Pergerakan Partai Masyumi Di Indonesia 1945-1960

(1)

PERGERAKAN PARTAI MASYUMI DI

INDONESIA 1945-1960

Oleh :

NOOR ISHAK

NIM: 204033203130

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Pengesahan Panitia Ujian

Skripsi berjudul “PERGERAKAN PARTAI MASYUMI DI INDONESIA 1945-1960”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Januari 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 26 Juni 2008 Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A NIP. 150 232 921 NIP. 150 282 120

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dra. Haniah Hanafi, M. Si Dra. Hermawati, M.A NIP. 150 299 932 NIP. 150 227 408

Pembimbing,

Drs. Agus Nugraha, M. Si NIP. 150 262 447


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “PERGERAKAN PARTAI MASYUMI DI INDONESIA 1945-1960”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Januari 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 26 Juni 2008 Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A NIP. 150 232 921 NIP. 150 282 120

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dra. Haniah Hanafi, M. Si Dra. Hermawati, M.A NIP. 150 299 932 NIP. 150 227 408

Pembimbing,

Drs. Agus Nugraha, M. Si NIP. 150 262 447


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 22 Januari 2009


(5)

KATA PENGANTAR

Limpahan nikmat, barakah dan kasih sayank yang sangat besar telah menggetarkan hati dan menggerakkan lisan penulis untuk senantiasa mengukir rasa syukur ke hadirat Illahi Rabbi –Allah SWT–, atas semua yang telah kita lewati. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan nabi besar Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya serta para pengikutnya, yang telah memberi banyak pelajaran hidup kepada kita.

Jika air mata ini harus tertumpah, jika raga ini harus tersungkur, dan jika jiwa ini harus berhimpun, maka semua itu adalah ungkapan rasa syukur yang paling dalam kepada Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan atas terselesaikannya skripsi yang penulis beri judul “ Pergerakan Parati Masyumi 1945-1960.” Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-apa, apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya haturkan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

4. Bapak Drs. Agus Nugraha, M.Si selaku Dosen Pembimbing. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua dedikasi dan perhatian dalam memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Haniah Hanafi, M.Si selaku dosen penguji I, terima kasih atas perhatian, masukan, dan kritikan serta arahan yang beliau berikan kepada saya. penulis haturkan banyak-banyak terima kasih.

6. Ibu Dra. Hermawati, M.A, selaku dosen penguji II, saya hanya bisa bersyukur dan berterima kasih kepada beliau, sehingga saya mampu menyelesaikan dan menuangkan revisi tulisan ini.

7. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam ( PPI ) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

8. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo ( Fakultas FISIP UI ), dan Perpustakaan LIPI ( Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ) yang banyak memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur yang tersedia dan juga yang rela “menunggu” penulis hingga larut.

9. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua, Ayahanda Chalimi (alm) dan Ibunda tercinta Zama’inah, Kakanda Ali Asrori beserta keluarga, Kakanda Zulianti beserta keluarga, Adinda Syamsul Arief beserta keluarga, dan Adinda Siti May Syaroh. Serta seluruh Keluarga Besar: Mbah Ahmad (alm), yang selalu memberi


(7)

semangat bagi penulis, Paman Hamzah beserta keluarga, Soelaiman, Salamun, Rohimin, dan Soekarwie, beserta keluarga masing-masing. Bibik, Ruhamah, Sri Aini dan Soekandar, Zainal Anwar, Beserta keluarga, Nufus Nitami dan Iray Agusti. Seluruh keluarga besar yang berada di Kudus. Mereka semua tak pernah lelah memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik, terima kasih atas bantuan moral dan financial selama penulis menempuh study S1 di Ibu Kota. Dan mereka semua layak mendapat balasan surga dari Allah SWT. Amien

10.Kepada Kakanda yang terhormat Ali Asrori dan seluruh keluarga besar Istri Ali Asrori, terimakasih atas segala curahan perhatian dan dorongannya baik moral maupun spiritual kepada penulis. Semoga Allah senantiasa memberikan kesabaran dan kemanfaatan dalam setiap jejak langkah yang akan ditempuhnya.

11.Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Non-Reguler, Nufus Nitami (Psikologi), Ayu Sartika, Estria (Guru Bahasa Indonesia) Ade Nissa ( Ekonomi ), Sofyan (V.Onk), Tsani ( Kak Asep ), Yusuf Fadli ( Ucup ), Muhsin, Hudori, Zulfikar, Indra, Tya/Maulidia ( Sosiologi Agama ), Isti, Buhari, Tohid, Sa’di, Aziz, Fadil, Galo, Agus ( Awe ), Iin Solihin, Asep Muharuddin, Lia ( SA ), Surono, Saiman, Iray Agusti ( medan ), dr. Ricardo, Mas Harris, dan lain-lain. Keyakinan dan kesungguhan merekalah yang menjadi sumber inspirasi penulis.

12.Teman-teman yang tergabung dalam mengajar di SMA Yayasan Pendidikan Dharma Karya, Ibu Suparmi, Spd selaku Kepala Sekolah SMA, Kepala Bidang Pendidikan, Pengurus OSIS, dan teman-teman lain


(8)

yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semangat perjuangan dan bantuan mereka selalu memberi inspirasi dan semangat bagi penulis. 13.Teman-teman yang tergabung dalam mengajar di SMP N 250 Jakarta,

Kepala Sekolah SMPN 250, Pak Tumardi, Pak Tri, Pak Paryono, Bu Kristi, Bu Suyani, dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas motivasi dan dukungannya.

14.Teman-Teman yang tergabung dalam mengajar di Yayasan Kesejahteraan BKUI Jakarta, Ibu Dra. Tutik selaku ketua Yayasan, Pak Andhi Alfian, Pak Rahmatullah, Ibu Hetty Novianti, beserta teman-teman yang lain tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas do’a restunya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi dan wisuda sarjana.

15.Heningnya suasana malam, dan terangnya gemintang, rembulan, lampu-lampu jalan, hembusan angin, dan balutan semesta malam yang selalu setia menemani penulis selama menjalani perkuliahan di Program Non-Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik Allah, dan kita sebagai manusia sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini, yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.

Jakarta, Mei 2009


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Sistematika Penelitian ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Metodologi Penelitian ... 14

E. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 15

BAB II MASYUMI A....Aw al Berdirinya Masyumi... 16

B....Asa s Partai Masyumi ... 23

C...Sus unan Organisasi Masyumi ... 25

D....Ke anggotaan Masyumi ... 29


(10)

BAB III DINAMIKA PERGERAKAN MASYUMI DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA

A. Masyumi Sebagai Wahana Perjuangan politik Islam

(1945-1947) ... 38 B. Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948)... 44 C. Masyumi dan Kabinet Hatta (1948-1949)... 52

BAB IV MASYUMI DAN DEMOKRASI PARLEMENTER

A....Ma syumi dan Kabinet Natsir (1950-1951)... 67 B....Ma

syumi dan Kainet Soekiman (1951-1952 )... 76 C...Ma

syumi dan Kabine Burhanuddin (1955-1956) ... 82 D....Ma

syumi dan Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (1956-1957) ... 84

BAB V PENUTUP

A. Saran ... 90 B. Kesimpulan... 93


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Wacana mengenai Pergerakan Masyumi 1945-4960 dalam diskursus perpolitikan di Indonesia sejak dahulu memang tidak pernah habis untuk di bahas. Perdebatanya dalam kaitan ini secara umum mengacu pada gagasan dan sentiment yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang sering hadir bersamaan dengan identits yang lain, seperti: agama, suku, bahasa, teretorial dan kelas. Oleh karena itu, pergerakan Masyumi adalah faham yang meyakini kebenaran dan pikiran, bahwa setiap bangsa seharusnya bersatu dalam komunitas politik yang dikelola dalam kehidupan bernegara.

Benturan ideologi peran partai Masyumi belum berahir, tidak sedikit orang menilai bahwa peran Partai Masyumi dari beberapa Kabinet tidak bertahan lama, kaena mosi tidak percaya dari bebrapa anggota parlemen menjatuhkan kabinet-kabinet tersebut. Peran partai Masyumi sebagai kabinet tidak bisa hidup secara berdampingan secara harmonis. Walaupun sebagian umat muslim lain menganggap tidak ada sebuah pertentangan diantara keduanya. Pro-kontar tidak hanya berhenti disini saja, belum kita bahas lebih dalam, pertikaian ternayta bukan saja berlanjut dalam aspek politik, ekonomi, soasial, dan budaya, akan tetapi sampai keranah sejarah. Hitam-putihnya sejarah tidak lepas dari siapa yang berkuasa (membuat)


(12)

Meskipun partai Masyumi mendapat kesempatan memimpin kabinet, bukan berarti Masyumi memonopoli dalam menetukan anggota-anggota kabinetnya. Contoh kabinet Natsir merangkul berbagi partai antara lain dari: Masyumi, PIR, Demokrat, PSI, Parinda, Katholik, Parkindo, dan Partai Syarekat Islam Indonesia. 1

Banyak literatur barat, mencatat sejarah kebangkitan nasionalsime sering kali dikaitkan dengan kebangkitan para pemimpin sekuler, termasuk Budi Utomo dan Partai Nasional Indonesia-nya Soekarno. Nasionalisme diyakini sebagai sebuah barang Impor dari Barat, dan para pemimpin di didik secara sekuler untuk memperkenalkan konsep tersebut di Negara Indonesia. Disinilah letak sejarah berkemabangnya sebuah Negara, tidak heran apabila banyak masyarakat yang menentang.

Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Idonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama untuk mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa tersebut.

Pemahaman nasionalisme dari penulis adalah sebuah upaya untuk memperjuangkan dan mewujudkan sebuah negara-bangsa (nation state). Orientasi kenegaraan nasional dari konsep nasionalisme merupakan gerakan kemerdekaan dari dominasi kolonial, kemudian sebagai gerakan demokrasi. Oleh karena itu nasionalisme memiliki dua dimensi yang saling berkaitan,

1

. Haniah Hanafi, Partai-Partai Islam di Indonesia, (Hasil Penelitian FUF-UIN Jakarta, 2005). H. 44


(13)

yaitu dimensi internal dan eksternal. Dimensi internal merujuk pada kemampuan domestik untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi pembangunan nasional, terutama konsensus nasional untuk memperkecil bahkan meniadakan konflik-konflik internal itu yang lebih penting. Kemudian dimensi ekstrenal adalah mencerminkan kemampuan nasional suatu negara-bangsa dalam menjalankan hubungan luar negerinya dengan berbagai aktor negara-negara tetangga. Dengan demikian nasionalisme merupakan faktor determinan dalam politik luar negeri suatu negara yang akan memepengaruhi efektifitas perpolitikan luar negeri.2

Pemikiran dan pergerakan nasionalisme maupun Islam bisa dilihat dari kebangkitan nasiomalisme dan Islam di Indonesia pada abad ke-20. sebagai mana sejarah mencatat bangkitnya pergerakan di Indonesia awal abad kedua puluh ditandai dengan perubahan kesadaran politik yang tumbuh dengan subur, yang tepatnya pada tahun 1920-1930, terjadi pergolakan pemikiran untuk mencari nilai dasar atau ideologi untuk memperjuangkan kemerdekaan atau dalam bahasa Taufik Abdullah sebagai “dasawarsa ideologi” dalam sejarah pergerakan di Indonesia.3

Nasionalisme berasal dari kata Nation yang dipadankan dengan bangsa. Dalam bahasa Indonesia, bangsa mempunyai dua pengertian yaitu pengertian antropologis-sosiologis, dan pengertian politis. Dalam pengertian antropologis dan sosiologis bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan

2

Ali Mahsan Musa, Nasionalisme Kiai kontruksi social berbasis agama, (Yogyakarta, PT. Lkis Pelangi Aksara, 2007) h. 32

3

Adihiyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta, PT.Pustaka Al-kKausar. 2005), cet- 1. h.36.


(14)

suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing angggota merasa sebagai satu kesatuan Ras, Bahasa, Agama, Sejarah, dan Adat Istiadat. Sedangkan yang dimaksud bangsa dalam politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi, baik keluar maupun kedalam.

Gelombang nasionalisme pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang melanda negara-negara Islam, telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perpolitikan umat Islam. Dalam kaitan ini, secara umum istilah nasionalisme mengacu kepada gagasan yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang hadir bersama identitas lain seperti, Agama, bahasa, suku, teritorial, dan kelas. Sehingga negara bangsa (nation state) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari umat Islam4. Oleh karena itu, nasionalisme atau kebangsaan adalah faham dan meyakini kebenaran, bahwa kebenaran setiap bangsa harus bersatu padu dalam komunitas politik yang dikelola secara rasional dalam kehidupan bernegara.

Memasuki abad-21, serbuan globalisasi mengguncang sendi-sendi identitas nasional. Proses globalisasi yang berlangsung cepat, cendrung melenyapkan batas-batas negara dan nasionalisme. Bentuk perubahan sosial yang menyertai Era globalisasi tersebut, mempengruhi cara pandang masyarakat terhadap kehidupan dan semesta. Tatanan globalisasi ini semakin menjauhkan manusia dari kepastian moral dan nilai luhur yang telah dipegang-teguh sebelumnya.

4

Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terj), (Jakarta: PT. Pembangunan dan Penerbit Erlangga,1984),h. 108


(15)

Jadi benarkah nasionalisme telah telah tiada? Dalam karya klasik Daniel Bell, The End of Ideology, nasionalisme adalah ideologi intelektual lama abad ke-19, dan ketika ideologi marxisme telah lumpuh (exhausted) dalam masyarakat Barat, terutama Eropa Barat dan Amerika, ideologi-ideologi baru semacam ini, seperti industrialisasi, modernisasi, Pan-Arabisme, warna kulit (etnisitas), dan nasionalisme justru menemukan momentum, kesadaran dan pemberdayaan menurut keperluan yang dihadapi, khususnya di negara-negara yang baru bangkit di Asia Afrika seusai perang dunia II. Jadi, nasionalisme memang surut di negara-negara maju, namun yang jelas nasionalisme tidak mati. 5

Pada dewasa ini di Indonesia, ada isu mengenai nasionalisme yang semakin memudar, indikasi seperti ini bisa dilihat dari fenomena yang berkembang pada tataran masyarakat (grass root) terutama pada generasi muda sedikit sekali dari salah satu mereka yang mengerti makna nasionalisme, terlebih mengaplikasikan nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan keseharian dalam bingkai kebangsaan.

Komposisi Indonesia sebagai bangsa yang sangat besar, baik dari segi luas wilayah negara (teritorial), ragam Agama, multi kultural dan multi etnis, yang meniscayakan terbangunnya nasionalisme secara kokoh. Kondisi yang sangat rentan tersebut di perparah dengan adanya mekanisme globalisasi dunia, yang membuat jarak geografis antara negara yang semakin tipis atau mengecil. Jika hal tersebut tidak dihindari atau diwaspadai dan diambil

5

Azyumardi Azra,Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan,


(16)

tindakan preventif sedini mungkin, maka dapat berimbas hilangnya identitas suatu masyarakat bahkan negara.

Salah satu hal penting yang dilakukan dalam pergerakan nasional adalah munculnya pencarian yang dilakukan oleh sekian banyak warga yang terdidik dari berbagai daerah yang berbeda, namun dalam lingkup wilayah yang sama yaitu Indonesia, dari Sabang sampai Meraoke. Pencarian identitas seperti ini ditopang oleh kecerdasan serta keberanian yang kuat. Hal seperti ini ditandai oleh berdirinya Masyumi, Karena organisasi ini berkaitan dengan tingkah laku dan kebudayaan, serta tujuannya adalah untuk memersatukan, dan menegakkan kedulatan republik Indonesia yang berlandaskan agama Islam serta memberikan pendidikan kepada warga negara dan anak-anak bangsa.

Cara pandang terhadap sejarah sebuah pergerakan, baik bersifat sosial, pendidikan, maupun politik, dengan melihat motif atau tujuan dan latar belakang sosio-ideologis-politis, gerakan tersebut adalah sangat penting. Dengan begitu, maka akan diketahui secara jelas bagaimana paradigma, asumsi nilai, pemikiran dan ideologi untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dengan gerakan tersebut dibangun oleh tokoh pendiri atau pengambil inisiatif, dalam konteks ini, kata kunci nasionalisme adalah supreme loyality terhadap bangsa. Kesetiaan itu muncul karena adanya kesadaran akan identitas yang berbeda dengan yang lain. Signifikansi nasionalisme dewasa ini pada dasarnya terletak pada kenyatan bahwa di dalam sebuah negara terdapat berbagai


(17)

kelompok yang berbeda. Nasionalisme dipandang sebagai kekuatan perekat agar negara tidak bercerai berai.

Dapat kita lihat dalam organisasi yang berkaitan dengan tingkah laku dan kebudayaan, warga yang terdidik dapat menggerakkan perpolitik dengan tujuan untuk kemerdekaan, dan membebaskan dari penjajahan demi warga dan negara Indonesia. Dengan adanyan nasionalisme masyarakat Indonesia pada masa penjajahan yang perlu diperhatikan adalah politiknya, yang terpusat pada tercapainya kemerdekaan, dan yang lebih komitmen adalah kepada ajaran Islam.6

Sehingga ahirnya Masyumi dilahirkan, karena adanya pengumuman pemerintah tanggal 3 Oktober 1945 yang menghendaki agar rakyat mendirikan partai. Terjadilah perbedaan pendapat, ketika akan melahirkan Masyumi, akhirnya pada tannggal 7 dan 8 November 1945 diadakan Muktamar Islam Indonesia di Yokyakarta yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang sampai masa kependudukan Jepang. Ahirnya muktamar memutuskan mendirikan Majlis Syuro pusat bagi umat Islam Indonesia dan Masyumi dianggap sebagi satu-satunya partai politik bagi umat Islam.

Politik dan agama sudah meluas di Dunia muslim lainnya, kemudian Islam menjadi salah satu kekuatan dalam peta kekuatan politik. Sehingga perkembangan politik pun pararel dengan kebangkitan reformisme Islam, yang

6

Herbert Feith, Lance Caslest, Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965, ( Jakarta, LP3S, 1988), h. 137.


(18)

di lahirkan dalam perputaran keanggotaan agar Peran partai Masyumi dapat dilihat sebagai wakil uamt, tanpa ada yang merasa tidak terwakili.

Salah satu faktor yang berkaitan dengan persoalan politik umat Islam, adalah pandangan umum seperti pendapat Oliver Roy, (political Imagination)

imaginasi politik dalam pengertian cakrawala, baik oleh sebagian besar komunitas Islam maupun non-Islam. Imaginasi politik tersebut berujung pada tumbuhnya suatu keyakinan akan ketidakterpisahan antara, Wilayah Agama, Hukum, dan Politik. Yang ditegaskan oleh Oliver Roy dan para pengamat politik Islam lainnya adalah memiliki elemen-elemen yang tidak sepenuhnya bisa direkonsiliasikan dengan pembangunan politik modern. Politik modern yang dimaksud adalah sebuah struktur, sistem, tatanan, atau konstruksi politik yang berjalan diatas logikanya sendiri. Tesis “berjalan diatas logikanya sendiri” antara lain ditandai oleh dianutnya ideologi negara-bangsa ( nation-state) sebagai sebuah struktur, sistem, tatanan atau konstruksi politik yang sekuler. Imajinasi politik diatas adalah kenyataan kehidupan politik yang berjalan menurut logikanya sendiri sehingga menimbulkan gesekan yang tidak mudah untuk disintesiskan.7

Indonesia merupakan panggung politik yang cukup baik untuk menggambarkan tingkat sintesis antara Islam dan nasionalisme dalam politik modern. Tiga priodisasi politik Indonesia dengan jelas mencerminkan gesekan-gesekan yang masih belum terselesaikan secara baik, sehubungan dengan politik umat Islam Vis a Vis kehidupan politik nasional Indonesia.

7

Abdullah Nata, Azyumardi Azra, Problematika Politik Islam di Indonesia, ( Jakarta, P.T. Grasindo bekerja sama dengan UIN Jakarta pers 2002 ). hal. 155-158.


(19)

Upaya seperti ini hendaknya tidak dilihat sebagai “pemolitikan agama” yaitu menjadikan isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh kekuasaan dan semacamnya, akan tetapi lebih pada “pengamanan politik” yaitu menjadikan agama sebagai pengawas para pelaku politik, agar tidak terjebak dalam politik Machiavelinisme, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Hal inilah yang menjadi acuan penulis untuk membahas tentang Pergerakan Masyumi di Indonesia 1945-1960. Masyumi merupakan partai politik yang mempunyai Tiga lapangan perjuangan yaitu: Pertama, memperluas pengetahuan dan percakapan umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik. Kedua, memperkokoh barisan umat Islam untuk berjuang mempertahankan agama, dan kedaulatan negara. Dan yang Ketiga adalah melaksanakan kehidupan masyarakat berdasarkan Iman dan Taqwa yang berprikemanusiaan, persaudaraan dan persamaan hak menurut ajaran Islam.

Priode pertama mencakup pengalaman 1945-1947 yaitu gesekan ideologis dan politis. Hal ini membawa akibat terpinggirnya peran politik umat Islam. Yang bergilir sejak awal kemerdekaan bersifat Inimical

(bermusuhan dengan konstruksi ideologi nasional) oleh karena itu, keabsahan nasionalisme menemukan alasan yang bersifat kualitatif dengan adanya prinsip kewarganegaraan. Prinsip seperti ini memiliki daya reduksi yang sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas atas persamaan. Dalam perkembangannya, prinsip kewarganegaraan mengalami proses pertumbuhan yang luar biasa sehingga dimaknai sebagai jantung dari konsep nasionalisme.


(20)

Priode kedua 1947-1948 adalah transformasi pemikiran dan praktek politik umat Islam terjadi dalam situasi kehidupan politik nasional besifat tidak kompetitif. Karena itu tranformasi hanya terjadi sebagian pemikir dan pelaku politik. Adapun ranah struktur, adalah ketidak adanya persetujuan perundingan tentang renvill, yang sering kali dipahami sebagai bentuk perpolitikan, atau strategi politik. Dalam pengertian ini, Partai Masyumi merupakan bagian dari fenomena politik. Oleh karena itu politik selalu berkaitan dengan kekuasaan, bahwa kekuasaan selalu berkaitan dengan persoalan pengendalian negara, maka partai Masyumi selalu berkenaan dengan bagaimana meperoleh dan menggunakan kekuasaan tersebut.

Priode ketiga 1950-1951 yaitu dimulainya demokrasi parlementer berdasarkan UUDS 1950, massa yang kemudian sering di asosiasiakan dengan priode kehidupan demokrasi ini membuat kehidupan sosial-budaya, ekonomi-politik, hingga Agama, menjadi kompetitif (persaingan). Situasi seperti ini seolah-olah apa saja dapat dilakukan. Semangat inilah yang kemudian melahirkan reformalisasi politik Islam. Dengan itu, formalisasi pertama mengambil bentuk menjadikan Islam sebagai simbol dan asas partai.

Islam dalam perkembangan ini tidak lagi bertahan sebagai identitas kultural, namun bersamaan dengan munculnya rasa nasionalisme yang membara, Islam menjadi ide politik yang terbuka untuk kemerdekaan bangsa. Oleh karena itu hubungan Islam telah menjadi kesadaran politik yang sangat kuat. Di Indonesia yang notabennya adalah penduduknya mayoritas Islam, mempunyai harapan yang sangat tinggi, dalam mengisi kemerdekaan dengan


(21)

rakyat yang sejahtera, hal seperti ini masuk akal karena kaum muslim dimana-mana menghadapi kemiskinan.8

Sampai sekarang pergerakan Masyumi 1945-1960 akan terus menjadi wacana politik umat Islam di tengah-tengah modernisasi dan globaisasi yang hampir meruntuhkan identitas-identitas negara dan budaya nasional. Atas dasar inilah yang melatar belakangi penulis untuk mengambil tema, “PERGERAKAN PARTAI MASYUMI 1945-1960” sebagai judul skripsi.

Dalam berbagai skripsi yang berjudul tentang Masyumi, baik dari pembentukan, program kerjanya maupun yang lain sudah ada disebutkan, maka penulis lebih mengarahkannya kepada Pergerakan. Sebagai salah satu rujukan penulis adalah dari matarantai sejarah, “keputusan politik” yang mengenai titik kebangkitan nasional yang masih dan pasti memunculkan pendapat lain, suara-suara beda yang harus di dengar dan dipertimbangkan. Karena kejujuran suatu sejarah akan sangat tergantung sejauhmana kita bersedia menghiraukan dan membahas tentang kenyataan-kenyataan lain yang lebih mungkin.

Selama beberapa tahun silam memang perbincangan masalah pergerakan Masyumi dalam persepektif Islam merupakan hal yang sangat umum kita dengar maupun kita baca, akibatnya banyak para aktifis Islam yang membuat jarak terhadap permasalahan ini. Sehingga konstribusi penulis memahami gerakan Islam dan Masyumi masih harus ditelusuri, apa yang menyebabkan berbeda dengan dari gerakan-gerakan tersebut.

8

Moeslim Abdurrahman, Islam yang Memihak, (Jogjakarta, P.T. LKiS Pelangi Aksara, 2005) h. 28


(22)

Dengan demikian, tidak kecil kemungkinan maknanya dalam sejarah Indonesia, adanya Masyumi yang sebelumnya tidak dipahami seperti ini, sekarang banyak kalangan Mahasiswa, maupun kalangan-kalangan umum, yang mempunyai kepedulian yang sangat besar, dan rela berkorban dengan harta, nyawa, ilmu, waktu, dan apa saja demi kemajuan bangsa. Tulisan ini adalah salah satu bentuk yang mengingatkan, bukan berarti gangguan bagi sifat kebangsaan dan gerakan-gerakan Masyumi.

Berangkat dari etos kebangkitan nasionalisme (kebangsaan) Indonesia, maka penulis menyusun dengan sederhana dan keterbatasan, namun dengan harapan semoga menjadi bahan penyumbang penyadaran bagi mahasisiwa yang masih aktif di perkuliahan, demi menyongsong era kebangkitan nasional yang baru. Tentu sangat sederhana, tulisan penulis ini hadir dihadapan khalayak pembaca. Akan tetapi besar manfaatnya bila kita sama-sama memberi respon positif atas sekripsi yang penulis uraikan, dengan judul “Pergerakan Partai Masyumi di Indonesia 1945-1960” Insya Allah memberikan manfaat besar untuk kemajuan bersama.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat kompleksitas masalah yang akan diteliti dan keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, maka masalah yang akan dibahas hanya akan dibatasi kepada perdebatan mengenai Pergerakan Partai Masyumi 1945-1960, dalam lingkup Partai Masyumi pada masa awal


(23)

Kemerdekaan Indonesia 1945. Pembatasan ini akan bermaksud untuk mempermudah dalam penulisan skripsi bagi penulis, agar skripsi ini lebih terfokus dan terarah.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas maka permasalahan ini dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimana Pergeraka Partai Masyumi 1945-1960 yang mempunyai peran dan aktifitas perpolitikan di Indonesia serta mengatur sebuah negara yang berkulturkan Islam yang beberapa kali berganti-ganti kabinet?

C. Tujuan dan Manfaaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Pergerakan Partai Masyumi di Indonesia 1945-1960

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan oleh penulis agar memberikan manfaat, antara lain:

a. Secara teoritis maupun akademis, diharapkan oleh penulis agar dapat memperkaya khazanah kepustakan perpolitikan


(24)

b. Secara praktis agar dapat memberikan masukan kepada mahasiswa yang lain agar bisa menilai dan merespon tentang kebaikan dan kejelekan yang menyangkut Pergerakan Partai Masyumi pada masa itu.

D. Metodologi Penelitian

Tipe Penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan yang dibahas dengan menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, dan majalah, Analisa data menggunakan metode deskriptif, yaitu bersifat eksploratif dengan menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah metode yang analitis.

Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2007.

E.Sistematika Penelitian

Dalam sistematika penulisan dan penelitian ini, penulis membagi dalam Lima bab. Yang masing-masing bab terdiri dari sub bab secara sistematis. Hal seperti ini penulis bermaksud untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai uraian diatas, sehingga dapat memudahkan para pembaca dalam memahami penulisan ini:

Bab I Adalah pendahuluan yang berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan Perumusan Masalah, Metode Penelitian dan Sistematik Penulisan.


(25)

Bab II Pembahasan dalam bab ini adalah mengenai Awal berdirinya Masyumi, Asas Partai Masyumi, dan Keanggotaan Masyumi Bab III Pembahasan pada bab ini akan membahas tentang, Dinamika

Pergerakan Masyumi dalam Perpolitikan di Indonesia, Masyumi Sebagai Wahana Perjuangan Politik Islam, Masyumi dan Kabinet Syahrir (1945-1947), Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948), serta Masyumi dan Kabinet Hatta (1948-1949). Bab VI Pembahasan pada bab ini, akan membahas tentang Masyumi dan

Demokrasi Parlementer, yang isinya Peran Masyumi dalam Kabinet Nasir (1950-1951), Masyumi dan Kabinet Soekiman (1951-1952), Masyumi dan Kabinet Boerhanuddin (1955-1956), Serta Masyumi dan Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (1956-1957). BAB V Bab ini adalah penutup atau bagian terahir dari penulisan skripsi,


(26)

BAB II MASYUMI

A. Awal Berdirinya Masyumi

Tumbuh dan berkembangnya partai-partai politik di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan adalah setelah dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 4 November 1945. Maklumat tersebut berisikan bahwa pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik yang teratur dan difahami oleh masyarakat. Sejak keluarnya maklumat, maka berdirilah partai-partai politik, pada umumnya partai politik yang didirikan adalah kelanjutan dari organisasi-organisasi sosial dan partai politik yang sudah terbentuk pada masa kekuasaan kolonial belanda dan kekuasaan pendudukan Jepang. Antara lain adalah partai Masyumi, PNI, PKI, dan PSI.

Sejarah pembentukan Masyumi tidak terlepas dari motif sejarah sebuah gerakan, yang bersifat sosial, pendidikan, dan politik. Partai Masyumi lahir 7 November 1945 yang berdasarkan keputusan kongres Muslimin Indonesia di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Muhammadiyah adalah salah satu organ yang turut mensponsori berdirinya partai Masyumi. 9 dalam pembentukan partai-partai politik, tampak jelas dalam pengorganisasian partai-partai politik, yang terpengaruh oleh ikatan primordial, seperti Agama, suku, dan kedaerahan. Dalam hal ini sangat kentara pada waktu pemilihan umum 1955. Pada waktu paska kemerdekaan Indonesia merupkan perwujudan

9

Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban / TANWIR, Perjalanan Politik Muhammadiyah dari ahmad Dahlan hingga Syafi’i Ma’arif, edisi Perdana, Vol. 1, mei 2003


(27)

dari aliran pemikiran yang ada dalam masyarakat politik Indonesia. Masyumi, Muhammadiyah dan NU merupakan perwujudan aliran pemikiran Islam, PNI merupakan perwujudan aliran nasionalisme Radikal, PKI merupakan perwujudan aliran Komunis, dan PSI merupakan perwujudan aliran sosialisme-Demokrat. 10

Tampilnya Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak satu kesatuan dalam kemerdekaan Indonesia bukan suatu kebetulan dalam sejarah (an historical accident) yang tidak dilatarbelakangi kesadaran yang dalam dan panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah (an historical necessity) bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia.

Dalam pembahasan seperti ini, penulis akan meluruskan kembali tentang Islam, Nasionalisme, dan Masyumi. Utamanya dalam rangka untuk mengantisipasi impact (dampak) yang sangat buruk untuk pertikaian ideologi kebangsaan yang terus berkembang di Indonesia, Indonesia adalah sebuah negara yang sebagian besar penduduknya adalah beragama Islam, mempunyai berbagai pembahasan hubungan antara Islam dan nasionalisme dalam konteks Indonesia kembali akan menyita banyak perhatian bagi akademisi dan banyak kalangan lain. Dalam persoalan aspek sosial, politik dan kemanusiaan, Islam mengakui aspek plural sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Berkaitan dengan persoalan nasionalisme, Masyumi berpandangan untuk menegaskan bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam baik dari segi ajaran maupun sejarahnya.

10

Herbert Feith dan Lance castle, pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta, P.T. LPES, 1988) h. 34


(28)

Inisiatif pembentukan Masyumi adalah inisiatif para tokoh partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam sejak zaman pergerakan, seperti Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasim, Muhammad Nasir, Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. SoekimanWirosandjojo, Kibagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah. Keputusan pembentukan Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam tersebut tidak hanya sekedar keputusan, akan tetapi sebuah keputusan dari seluruh umat Islam melalui wakil-wakilnya. Penilaian seperti ini cukup beralasan apabila Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya, yang merupakan sebuah cerminan wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam tersebut. 11

Secara eksplisit sistematika politik yang disusun Masyumi, adalah sebagai politik yang tidak terlepas dari fungsi-fungsi lain, seperti artikulasi kepentingan, seleksi kepentingan, dan komunikasi politik. Secara implisit upaya pendidikan politik Masyumi adalah usaha untuk mencapai tujuan, yang dengan cara menginsafkan dan memperluas pengetahuan kecakapan umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik. Perjuang politik Masyumi yang sangat kuat adalah perjuangan ideologi untuk menghadapi komunis yang diperjuangkan oleh PKI berdasarkan “teori-teori Marx, Engles Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung. Keyakinan Masyumi sebagai propaganda ideologi yang bisa menyesatkan adalah PKI, yang disebar luaskan melalui media cetak sepeti buku-buku tentang Marxise.

11


(29)

Untuk mengantisipasi propaganda tersebut Partai Masyumi mengeluarkan sebuah kebijakan bagi para anggotanya, kebijakan itu adalah buku-buku yang bertemakan “sosialisme-religius” atau lebih dikenal dengan buku-buku bacaan keluaga Masyumi.12

Pilihan Islam sebagai ideologi partai Masyumi adalah sejalan dengan latar belakang pembentukan Masyumi. Karena cita-cita Islam sebagai ideologi Masyumi sudah tampak jelas, dalam rumusan tujuan yang pertama kali diputuskan dalam kongres umat Islam di Yogyakarta, pada tanggal 7-8 November 1945, pada pasal II ayat I, yang berbunyi kedaulatan Rebuklik Indonesia dan Agama Islam, adalah melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan ketatanegaraan. Dengan demikian, menegakkan Islam tidak dapat dipisahkan dari Masyarakat, Negara, dan kemerdekaan.

Apabila dihubungkan dengan situasi tahun 1945, maka pembentukan Masyumi adalah dalam rangka menyalurkan aspirasi politik umat sebagai cerminan dari potensi yang sangat besar dan konkret. Pada masa itu, masa konkrit adalah masa yang tanpa pimpinan politik yang berasaskan Islam. Dapat dipahami pula bahwa munculnya masyumi pada tahun 1945 dipandang sebagi jawaban positif umat, terhadap manifiesto politik yang mendorong partai-partai, dan direspon oleh pihak-pihak lain. Sehingga umat Islam-pun merespon kesempatan tersebut dengan mendirikan partai yang berasaskan Islam, yang diberi nama Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik yang berasaskan Islam di Indonesia pada waktu itu.

12

Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004) h. 96-97


(30)

Pada awalnya pendukung Masyumi terdiri dari empat organisasi yaitu Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Perserikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Dalam perkembengan Masyumi hampir semua organisasi Islam bergabung menjadi anggota. Ketua umum partai Masyumi yang pertama adalah DR. Soekiman, dia adalah pemimpin muslim yang terkenal dari Syarikat Islam, dan dia dibantu oleh pemikir-pemikir intelektual muslim muda, seperti Syarifuddin Prawiranegara, Muhmmad Roem, Mr. Kasman Singodimedja, Yusuf Wibisana, Abu Hanifah dan Mohammad Nasir. Dalam perkembangan berikutnya terdapat tiga kelompok dalam partai Masyumi yaitu, konserfatif, moderat, dan sosialis religius. Kelompok

Konserfatif adalah terdiri dari pemimpin agama Islam, kelompok Moderat

yang terdiri dari Mohammad Nasir, Syarifuddin dan Muhammada Roem, sedangkan kelompok Sosialis Religius, lebih berfikir secara kebaratan, seperti DR. Soekiman, Yusuf Wibisono, dan Abu Hanifah. Pada awal pembentukan partai Masyumi secara formal pernah mengalami kejayaan, yang berhasil mempersatukan umat Islam. Akan tetapi lima belas tahun kemudian nasib partai Masyumi sangat memprihatinkan. Karna Masyumi belum berhasil melakukan konsolidasi politik yang berkaitan dengan pengkaderan. Sehingga konsep dan pemikiran partai Masyumi belum menjadi semangat para tokoh yang terkait, hal seperti ini disebabkan adanya perbedaan yang mendasar tentang pola fakir para tokoh yang telah terkotak-kotak sebagaiman kita telah ketahui.


(31)

Dilihat dari pertumbuhan partai Masyumi yang secara sepontan dan para tokoh idealisnya yang berfariasi dapat diprediksi bahwa partai Masyumi akan menghadapi banyak kendala dalam mewujudkan misinya. Hal seperti ini dapat dibuktikan ketika Masyumi dihadapkan kepada pembahasan struktur yang tidak kunjung pernah selesai sebagaimana diungkapkan oleh M. Fahry. “Masyumi mengalami berbagi macam persoalan internal”, diantara persoalan internal tersebut, semenjak berdirinya sampai menjelang dibubarkan (1960), ini adalah persoalan struktural organisasi partai yang tidak pernah tertuntaskan. Dari konggres ke konggres persoalan tersebut selalu diperbincangkan, termasuk juga masalah keanggotaannya. Dari penuturan M. Fahri tersebut dapat digambarkan bahwa partai Masyumi adalah partai Islam yang belum berhasil membawa umat Islam dari hambatan yang dialaminya, baik dari dalam maupun dari luar. Keberadaan para tokoh yang irasionalnya masih belum cukup handal untuk menangkal pengaruh-pengaruh yang datang. Mekanisme Syura yang ada belum dapat memberikan solusi dari permasalahan yang diajukan, semua bertumpu pada integritas partai yang pada dasarnya melambangkan eksistensi Ukhuwah Islamiyah yang belum mantap.13

Konsep dan pemikiran (Visi dan Misi) partai Masyumi, adalah menegakkan kedaulatan Negara Republik Indonesia dan Agama Islam, dan yang kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan, sedangkan dalam anggaran dasar anggaran rumah tangga partai Masyumi yang tertuang dalam pasal III diungkapkan untuk:

13


(32)

1. Menginsafkan serta memperluas pengetahuan serta kecakapan umat islam indonesia dalam perjuangan politik

2. Menyusun dan memperkokoh barisan umat islam untuk berjuang dan mempertahankan agama dan kedaulatan negara

3. Melaksanakan kehidupan rakyat berdasarkan iman dan taqwa, pri kemanusiaan persaudaraan, dan persamaan hak menurut agama islam 4. Bekerja sama dengan golongan lain dalam lapangan perjuangan

menegakkan kedaulatan negara.

Dilihat dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagaimana tercantum diatas partai Masyumi adalah sangat toleran artinya, Masyumi ingin mewujudkan Negara Republik Indonesia yang berdaulat, (toyyibatun warobbun ghofur), dengan demikian Masyumi tidak meniggalkan kelompok minoritas selain Islam di Negara Republik Indonesia. Mereka diajak bersama-sama berjuang untuk kepentinagn Negara dengan tidak mencampuri urusan peribadatan mereka sedikitpun, bahkan mereka diajak kerja sama untuk menegakkan kedaulatan negara.

Pemimpin-pemimpin partai Masyumi menafsirkan konsep Syura dalam Al-qur’an dengan demokrasi parlementer sebagaimana yang telah berkembang di Barat, meski tidak selalu pararel dengan partai Masyumi, sikap Masyumi seperti ini memberikan kesan bahwa Masyumi benar-benar partai Islam yang konsisten dengan visi dan misinya benar-benar Islami. Dari uraian tentang visi misi secara umum tampaknya Masyumi cukup idealis dan moderat dalam konsep, namun dilihat dari perjalanan partai terdapat kondisi kemandegan, ini


(33)

berarti keempat macam tujuan usaha yang diungkapkan pada anggaran dasar yang begitu ideal tidak terimplementasikan dengan baik. Pada kegiatan partai selama Lima Belas tahun nampak ada kelemahan dalam pelaksanaan program-programnya. Mungkin penyebabnya adalah lemahnya sistem menejerial keorganisasian anggota yang banyak tidak ditangani dengan sugguh-sungguh.

B. Asas Partai Masyumi

Partai Masyumi adalah partai yang berasaskan Islam, yang tujuannya adalah agar terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan negara di republik Indonesia, untuk menuju keridhaan Ilahi. Pemilihan Islam sebagai asas Partai Masyumi adalah sejalan dengan pembentukannya, cita-cita Islam sebagai ideologi Masyumi sudah nampak dari rumusan yang pertama kali diputuskan oleh Konggres Umat Islam di Jogjakart, tanggal 7-8 November 1945, yaitu pasal II, yang berbunyi (1) menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan Agam Islam (2) melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan ketatanegaraan. 14

Asas tersebut mengemukakan agar semua hukum dan peraturan negara sesuai dengan hukum dan peraturan Islam. Hal ini tidak akan merugikan bagi yang berlainan agama karena ini tidak merugikan dan tidak ada prinsip Islam yang berlawanan dengan ajaran-ajaran agama-agama lain. Menurut Masyumi asas Islam, merupakan cita-cita yang bisa tumbuh dalam ketertiban dan keamanan, kekacauan akan memboroskan tenaga, harta dan jiwa,. Kekacauan

14

Prawoto Mangkusasmito, Memperingati enam tahun Masyumi, (Jakarta, P.T. Hikmah, 1951) h. 6


(34)

akan meruntuhkan segala usaha dan ihtiar. Oleh karena itu partai menolak setiap usaha dari pihak manapun yang mengakibatkan kekacauan dan kelumpuhan negara serta alat-alatnya. 15

Tafsir asas yang menimbulkan pendirian partai Masyumi secara dasar terumuskan pada tahun 1952 pada konggres ke-6 bulan Agustus. Ini merupakan tonggak sejarah dalam pertumbuhan Masyumi sehingga pertikaian dapat dikembalikan pada partainya. Tafsir asas ini bermula dengan uraian entang keadaan International. Perkembangan terjadi dengan dua kekuatan dan analogi yang dibuat dengan membandingkan cerita-cerita dalam al-Quran. Yaitu Kapitalis dan Matrealisme yang menghasilkan falsafah perebutan hidup. (struggle for life) dan kejayaan sikuat yang mengalahakan si lemah, sehingga mengakibatkan permusuhan antara majikan dan bueruh. Dengan demikian damai tidak akan muncul karena masyarakat terpecah dalam golongan yang bermusuhan tanpa berniat untuk mengutamakan kepentingan bersama. Komunisme tidak jauh dengan pernyataan ini, dalam komunisme kesewenangan diperbaharui, hak-hak rakyat ditindas, dan dunia juga ingin direbut. 16

15

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-1965, (Jakarta, P.T. Temprint, 1987), h. 138

16

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Politik, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987), h. 138.


(35)

C. Susunan Organisasi Masyumi

Cara pandang terhadap sejarah sebuah gerakan, baik bersifat sosial, pendidikan, maupun politik, maka harus melihat motif atau tujuan kondisi sosio-ideologis-politis gerakan tersebut adalah sangat dianjurkan. Maka akan mengetahui secara jelas bagaimana paradigma asumsi nilai, pemikiran, dan ideologi untuk mencapai tujuan gerakan yang akan dijalankan.

Sejarah pembentukan Masyumi tidak terlepas dari motif dan faktor-faktor yang melatarinya, suasana revolusi dan persaingan berbagi kelompok ideologi di Indonesia pasca kemerdekaan, serta peran tokoh-tokoh yang mengambil inisiatif ikut mewarnai pembentukan Masyumi. “Partai Politik Islam Indonesia Masyumi” didirikan dan di ikrarkan sebagai satu-satunya partai politik Islam pada 7 November 1945, yang berdasarkan keputusan konggres umat Islam di Jogjakarta. Inisiatif pembentukan ini berasal dari tokoh partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam sejak zaman pergerakan, seperti: Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Nastir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Soekiman Wirjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.

Keputusan membentuk Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam itu tidak sekedar sebagai keputusan tokoh-tokoh tesebut, tetapi keputusan dari seluruh umat Islam melalui utusan wakil-wakil mereka. Penilaian ini cukup beralasan apabila Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya, yang mencerminkan wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagmaan Islam sebagai berikut:


(36)

1. Majlis Syura (Dewan Partai)

a. Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asj’ari (NU), Ketua Umum b. Ki Bagus Hadikusuma (Muhammadiyah), Ketua Muda I c. K.H. Wahid Hasjim (NU), Ketua Muda II

d. Mr. Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), Ketua Muda III Anggota:

a. R.H.M. Adnan (Persatuan Penghulu dan Pegawainya, PPDP) b. H. Agoes Salim (Penjadar)

c. K.H. Abdul Wahab (NU) d. K.H. Sanusi (PUI) e. K.H. Abdul Halim (PUI)

f. Syeh Djamil Djambek (Majlis Tinggi, MIT) 2. Pengurus Besar

a. Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Partai Islam Indonesia, PII), Ketua Umum

b. Mr. Muhammad Roem Wakil Ketua I c. Mr. Syamsudin Wakil Ketua II

d. Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Ketua Muda I e. Wali Alfatah (PII) Ketua Muda II

f. Harsono Tjokroaminoto (PSII), Sekretaris I

g. Prawoto Magkusasmito (Muhammadiyah), Sekretaris II h. Mr. R.A. Kasmat (PII), Bendahara.


(37)

3. Pimpinan Bagian Penerangan

a. Wiwoho Purbohadidjojo, (Menteri Penerangan) b. K.H. Wahid Hasyim, (Menteri Agama)

4. Utusan Luar Negeri

a. Mr, Syamsudin, (Duta Besar Indonesia di Mesir) b. H. Dahlan Abdullah, (Duta Besar Indonesaia di Irak)

c. Mohammad Roem, (Komisaris Tinggi Indonesia di Negeri Belanda) 5. Bagian Barisan Sabilillah dan Hizbullah:

a. K.H. Masykur (NU) b. W. Wondoamiseno (PSII) c. Hasyim (Muhammadiyah)

d. Sulio Hadikusumo (Jong Islamiten Bond, JIB) 6. Bagian Keuangan:

a. Mr. R.A. Kasmat (PII)

b. R. Prawiro Juwono (Muhammadiyah) c. H. Hamid BKN (Muhammadiyah) d. Harsono Tjokroaminoto (PSII) 7. Anggota-anggota:

a. K.H. Dahlan (NU) b. Ki Bagus Hadikusumo

c. H.M. Farid Ma’ruf (Muhammadiyah) d. Junus Anis (Muhammadiyah)


(38)

f. Dr. Abu Hanifah

g. Mohammad Natsir (Persis) h. S.M. Kartosuwiryo (PSII Baru) i. Anwar Cokro Aminoto (PSII) j. Dr. Syamsuddin (Muhammadiyah) k. Mr. Muhammad Roem (Penjadar) l. Mr. Syafruddin Prawiranegara

Keterwakilan tokoh-tokoh berbagai organisasi Islam dalam Masyumi menceminkan sifat pluralisme sebagai “partai tunggal Islam” yang menghimpun semua potensi kekuatan politik Islam. Motif itu, menurut Yusril Ihza Mahendra didorong oleh pandangan-pandangan dasa modernisme yang positif dan optimis dalam memandang pluralisme. Perbedaan pandangan sebagai ramat Tuhan, karena perbedaan itu tidak bersifat fundamental, akan tetapi hanya berhubungan dengan masalah furu’iyah (perkara-perkara kecil). Tidaklah mengherankan apabila pada akhirnya para tokoh tersebut mengambil keputusan dalam pembentukan partai Masyumi guna menyatukan golongan-golongan Islam kedalam satu partai politik yang kuat.

Perakara-perkara besar yang dipandang perlu dan mendesak dilakukan menurut para tokoh pembentuk Masyumi adalah menyikapi suasana “revolusi Indonesia” dan persaingan berbagai ideologi politik dalam masyarakat Indonesia. Suasana revolusi sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Suasana tersebut tampak mempengaruhi rumusan tujuan dan program Masyumi yang


(39)

kelihatan sangat patriotik dan nasionalistik. Inilah yang perlu di garis bawahi, sebagai kemantapan judul sekripsi yang penulis uraikan. Tujuan Masyumi pada kongres Umat Islam itu adalah “menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam”, dengan senantiasa melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Pencapaian tujuan itu kemudian merumuskan program kerja sebagaimana terbaca pada paparan berikut:

D. Keanggotaan Partai Masyumi

Keanggotaan partai Masyumi dibagi menjadi dua macam:

1. Perorangan: untuk menjadi anggota perorangan harus berumur 18 tahun atau sudah berkeluarga, tidak boleh merangkap anggota partai lain, dan setiap anggota mempunyai hak suara.

2. Organisasi (anggota Istimewa): anggota ini berdasarkan organisasi-organisasi, mempunyai hak nasehat atau saran. 17

Adanya dua macam keanggotaan ini dengan alasan untuk memperbanyak anggota dan agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat, tanpa tidak ada yang merasa terwaili. Pada mulanya yang menjadi anggota istimewa Partai Masyumi adalah Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Perserikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam, ahirnya bersatu menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia yang bersifat tradisional dalam bidang agama, tetapi modern dalam bidang keduniaan, sehingga memudahkan mereka untuk bekerja sama dengan kalangan modernis.

17

Dra. Haniah Hanafi, M.si, Partai-Partai Islam di Indonesia, (Hasil Penlitian FUF-UIN Jakarta, 2005)


(40)

Selain keempat organisasi tersebut, keanggotaan Masyumi mulai bertambah dengan masuknya Persisi (Bandung) pada tahun 1948 dan Al-Irsyad Jakarta pada tahun 1950. dari Sumatra Utara ikut pula bergabung, yaitu Al-Jamiatul Wasliyah dan Al-Ittihadiyah dari Aceh, serta PUSA ikut bergabung pada tahun 1949-1953. orgaisasi-organisasi Islam didaerah pendudukan juga ikut bergabung dengan menjadi cabang Masyumi di daerah.

Pada awalnya Masyumi kelihatan solid dan terkenal dengan integritas pribadi yang dimiliki oleh para pengurus Masyumi, namun ketika terjadi konflik antara Masyumi dengan Soekarno masalah Pemberontakan Pemerintah Revolusioner RI, maka para anggota istimewa Masyumi melepaskan ikatan dengan Masyumi.

Selain anggota perorangan dan istimewa sebagai pendudung partai ini, Masyumi mencoba menggalang dukungan melalui “anak organisasi” 17 yang didirikan, seperti Muslimat, Persatuan Dagang Islam Indonesia, Persatuan Tani Indonesia, yang didirikan masa revolusi. Persatuan Nelayan Islam Indonesia, Persatuan Buruh Islam Indonesia didirikan pada tahun 1950-an. 18

Partai Masyumi yang didirikan pada tahun 1945 dan terpaksa bubar pada tahun 1960 dapat dikatakan pula partai Islam terbesar di dunia. Partai Masyumi juga mengemukakan dialog yang produktif antara Islam dan demokrasi, sejarah partai ini dapat dilihat dari kegiatan maupun program-programnya mengenai identitas Islam dihadapan pluralisme politik. Selama massa begejolak yang dialami Indonesia, partai Masyumi menyusun dan

18


(41)

mempertahankan suatu demokrasi Islam yang merupakan subtitusi dari pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar Negara Islam didirikan di Indonesia. 19

Pemilu 1955, adalah pemilihan umum yang pertama kali dilaksanakan semenjak Indonesia merdeka, pada awalnya pemilu direncanakan pada tahun 1946, enam bulan setelah kemerdekaan. Nemun situasi yang tidak memungkinkan karena adanya perang kemerdekaan akibat agresi Belanda I dan II, jadi pelaksanaan pemilu tertunda. Pada saat memasuki demokrasi parlementer, setiap kabinet dalam programnya mencantumkan pelaksanaan pemilu. Namun hal ini tidak terjadi karena perebutan kekuasaan yang mengakibatkan kabinet jatuh-bangun, sehingga menimbulkan dampak tidak terlaksananya program pelaksanaan pemilu.

Kabinet Hatta (Desember 1949-Agustus 1951) pada mulanya berencana untuk menyelenggarakan pemilu sebagai program kerjanya, sehingga suatu dewan konstituante hasil pemilihan akan menentukan apakah Negara RI, mengambil bentuk suatu Negara Federal atau Negara Kesatuan. Namun dorongan kuat dari rakyat Indonesia untuk Negara kesatuan melalui Mosi Integrasi Nastir, ahirnya membatalkan pemilu.

Kabinet Nastir (September 1950-Maret 1951) adalah menerusakan kebijakan, sebelumnya serta mengajukan suatu RUU pemilihan atas dasar pemilihan tidak langsung. Namun kabinet Nastir keburu jatuh sebelum RUU diajukan keparlemen. Kabinet Soekiman (April 1951-Februari 1952) adalah

19

Ahmad Syafi’I Ma’arif, (DKK) lslam dan Nilai-Nilai Universal, ( Jakarta, International Center for Islam and Plularism ICIP), cet 1, Juli 2008, h. 60


(42)

meneruskan kebijakan kabinet sebelumnya, yaitu mengajukan RUU, namun ditolak juga oleh parlemen, karena parlemen menghendaki adanya pemilihan umum secara langsung.

Menurut Herbert Feith, adanya penundaan-penundaan, pemilu di Indonesia adalah, pertama, banyaknya anggota parlemen yang mendapatkan kursi namun keadaannya belum normal. Karna itu mereka sadar bahwa apabila pemilu dilaksanakan akan di copot dari jabatannya. Kedua adanya kehawatiran pemilu akan menggeser Negara yang ber-ideologi islam.

Pemilu bisa terlaksana pada kabinet Burhanuddin Harahap (salah satu ketua dari Masyumi), pada tanggal 29 September 1955, pemilu dilaksanakan guna untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR dan konstituante. Dalam pemilu ini tidak kurang dari 28 partai politik peserta pemilu, dengan menganut sistem proporsional. Yang secara garis besar dilihat dari segi ideologi, dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu, Islam, Nasionalis, dan Komunis atau Sosialisme. 20 Namun ketiga aliran dasar itu muncul kedalam berbagai kelompok dan organisasi politik, dan mereka mengikuti pemilihan umum dengan penuh semangat dalam suasana bebas dan demokratis.

Hasil pemilu ternyata tidak memuaskan pihak manapun, terutama Masyumi dan PNI, yang sebelumnya mempunyai harapan besar akan menang (Masyumi) yang hanya memperoleh kursi 75, dalam parlemen dari jumlah total 257 kursi yang diperebutkan. Sedangkan NU mendapatkan kursi 45, dan

20

Lily Ramli, Islam Yes Partai Islam Yes, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik, 2004), h. 46-47


(43)

PKI, 39. dan partai-partai lain kurang dari 10 kursi. Hasil perolehan yang hampir sama dengan kekuatan nasionalis, maka akan sukar bagi golongan Islam untuk memperjuangkan dasar negara Islam dalam konstituante. Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai pemenang pemilu tersebut dapat dilihat bahwa semua umat Islam yang mayoritas, untuk memilih partai-partai Islam. Bahkan sebagian diantara mereka memilih partai-partai sekuler dan partai atheis, (PKI). Hal ini memang umat Islam Indonesia tidak homogen dalam pemahaman terhadap Islam. Karena Islam di Indonesia terdiri atas Islam Santri dan Islam Abangan.

Pemilihan umum bagi Masyumi telah menjadi perhatian khusus sejak Muktamar ke-III di Kediri tahun 1947, dan termasuk sebagai urgensi program Masyumi adalah revolusi untuk memperahankan kemerdekaan dari penjajahan oleh Belanda, sejak penyerahan kedaulatan Masyumi dikasih kesemepatan untuk memimpin pemerintahan, dan pemilu menjadi hal penting dalam tiap-tiap Kabinet sampai dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 tentang pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. UU ini berhasil diterapkan oleh kabinet Wilopo, dan Muhammad Roem (Masyumi) menjabat sebagai Menteri dalam Negeri yang bersama-sama dengan Menteri Kehakiman bertanggung jawab atas terselenggaranya Pemilu. 21

Masyumi sebagai partai politik terbesar, tentunya mempunyai karakteristik yang tersendiri sebagai ciri khas partai Islam pada waktu itu. Ciri khasnya antara lain merupakan sebuah organisasi politik yang mampu merumuskan citra Islam dan cita-cita kebangsaan secara modern bagi umat

21


(44)

Islam keseluruhan di Indonesia. Dalam wadah partai Masyumi berhasil menghimpun suatu kekuatan politik umat Islam Indonesia sehingga menjadi bersatu, mungkin bisa dinilai yang bersifat formal, namun pada waktu itu memang kekuatan politik Masyumi sangat maha dahsat, sehingga umat Islam berada dalam satu pimpinan.

Masyumi bekerja sama dengan partai-partai Islam lain untuk memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara republik Indoneisa dalam konstituante. Ini merupakan konsekwensi dan cita-cita Masyumi untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ada hal lain yang perlu dipahami, bahwa memperjuangkan cita-cita Negara berdasarkan Islam melalui musyawarah dalam konstituante hasil pemilu betapapun tidak bertentangan dengan undang-undang yang sudah di bentuk pemerintah sebelumnya dan sudah berlaku.

Secara umum dapat dikatakan bahwa prilaku politik Masyumi selama priode kritis pada waktu itu memang tidak ada cacat sedikitpun, karena Masyumi keperpihakannya terhadap martabat Negara Republik Indonesia begitu jelas, penuh konsisten dan penuh dengan perhitungan. Dengan rumusan serta tujuan yang hendak diperjuangkan oleh Masyumi adalah menciptakan Indonesia yang bercoraka Islam, namun memberikan kebebasan penuh kepada golongan-golongan lain untuk berbuat dan memperjuangkan aspirasi politik sesuai dengan ideologinya masing-masing. 22

22

Ahmad Syafi’I Ma’arif, islam dan politik Indonesia Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, (Jogjakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Press, 1988), h. 33


(45)

Masyumi melibatkan diri sebagai peranan penting dalam kancah politik demokrasi parlementer pada tahun 1950 dan 1957 adalah menginginkan sebuah Negara Islam, dan ingin membentuk pemerintahan yang berpandangan pragmatis, serta ingin berkoalisi dengan partai-partai sekuler dan Kristen. Pada awal demokrasi parlementer, Masyumi mengalami ketimpangan dalam pembagian kekuasaan pemerintahan yang terkesan kurang adil, sehingga Masyumi tidak terlalu banyak andil dalam Kabinet. Akan tetapi Masyumi lebih menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada mempersoalkan kepentingan partainya sendiri, oleh karena itu Masyumi tidak setuju dengan adanya perubahan sistem kabinet presidensil ke kabinet parlementer.23

Masyumi dan pemerintahan pada Massa 1955-1960 adalah priode pemilihan umum yang ditandai dengan munculnya empat partai besar, yaitu Masyumi PNI, NU dan PKI. Pada bulan Maret 1956-1957 terbentuk kabinet Sastroamidjojo II dan aktifnya Soekarno sebagai Presiden Konstitusional menurut undang-undang dasar sementra 1950 kedalam persoalan politik praktis. Pada posisi cabinet ini Masyumi mewakili kedudukan sebagai Perdana Menteri dalam kepemerintahan.

Dalam priode 1956-1957 Presiden Soekarno mengumumkan konsepnya yang terkenal dngan nama Demokrasi Terpimpin, dengan pernyataan in Masyumi menghadapi perubahan-perubahan. Sementara wakil-wakilnya di konstituante dengan gigih memperjuangkan terciptanya sebuah konstituante

23

Jajang Muttaqin, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah PRESS, 2004), h. 51-52.


(46)

yang mencerminkan aspirasi-aspirasi Islam, yang berhubungan dengan ideologi Negara. Dalam priode ini juga terjadinya peristiwa PRRI yang melibatkan sejumlah tokoh penting Masyumi yang dan dikeluarkannya dekrit Presiden serta terbentuknya Kabinet Djuanda.

Sedangkan pada tahun 1959 dan 1960 merupakan tahun yang menimbulkan ketegangan bagi kalangan Masyumi baik didalam pemerintahan maupun didalam partainya, karena pada tanggal 31 Desember 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan Presiden (Penpres) No. 7 / 1959 yang mengatur kehidupan partai politik dan pembubaran partai. Penetapan tersebut memberikan hak kepada Presiden untuk menindak partai-partai yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar Negara, atau pula pemimipinya terlibat dalam pemberontakan atau menolak untuk menindak anggota-anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan.

Setelah penetapan tersebut, tepatnya pada tahun 1960 dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 / 1960 yang secara resmi memerintahkan pembubaran partai Masyumi. Tepatnya pada jam 05.20 pada tanggal 17 Agustus 1960, dimana pemimpin pusat Masyumi menerima surat dari direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa dalam waktu tiga puluh hari sesudah tanggal keputusan, pemimpin partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Dan pembubarannya harus diberitahukan oleh Presiden, kalaupun tidak partai Masyumi akan di umumkan sebagi partai terlarang.


(47)

Apa yang saya tulis sebagai skripsi ini adalah salah satu karya cemerlang dari karir politik Masyumi, karya politik itu adalah prestasi partai dalam membela bangsa dan Negara. Karena pembelaan itu memang dituntut pada setiap patriot Indonesia. Prestasi politik yang cemerlang perlu kita menengok lebih dekat “dapur Masyumi” yang di huni berbagai kecendrungn keagamaan dan politik yang sulit dipersatukan. Fenomena subkelompok dalam Masyumi tersebut berdasarkan kategori yang dibuat oleh Wahid Hasyim, yaitu saling bertabrakan untuk memahami masalah sengketa di dalam partai.


(48)

BAB III

DINAMIKA PERGERAKAN MASYUMI DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA

E. Masyumi Sebagai Wahana Perjuangan Politik Islam

Pendeknya usia piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat perjuangan politik umat Islam di alam kemerdekaan. Bila selama ini kesatuan gerak politik di kalang organisasi dan partai-partai Islam yang dirasakan tidak memadai sebagai wahana perjuangan, maka dipandang sudah sangat mendesak agar umat merapatkan barisan dalam satu partai politik. Partai politik itu ialah Masyumi, tapi bukan Masyumi buatan Jepang, “seperti yang dibentuk pada 1943, atas kebaikan” penguasa Jepang di Indonesia. Masyumi yang berdiri pada tanggal 7-8 November 1945 sepenuhnya merupakan hasil karya pemimpin-pemimpin umat Islam dalam sebuah konggres yang bertempat di gedung Madrasah Muallimin Muhammadiyah Jogjakarta.

Dilihat dari data sosiologis umat, pendukung utama partai Masyumi adalah Muhammadiyah dan NU. Jadi jelas secara ideologis, Masyumi adalah kelanjutan dari MIAMI, tapi kali ini menghususkan perjuangan dibidang p[olitik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka. Selain Muhammadiyah dan NU, hampir semua organisasi Islam di Indonesia kecuali Perti, mendukung kehadiran Masyumi sebagai satu-satunya


(49)

partai umat Islam di Indonesia. Kemudian Masyumi tampil sebagai pembela demokrasi yang tangguh dalam negara demokrasi Indonesia.

Dalam konggres November itu, tercatat sebagai ketua panitia adalah Mohammad Natsir dengan anggota-anggota: Soekiman Wirjosendjoyo, Abikusno Tjokrodjujoso, A. Wahid Hasyim, Wali Al-fatah, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII dan A. Gaffar Ismail. Dalam konggres diputuskan bahwa Satu, Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam di Indonesia, Dua, Masyumilah yang akan memmpejuangkan nasib (politik) uamt Islam Indonesia. Dengan ikrar ini, berati eksistensi partai Islam yang lain tidak diakui lagi. Masyumi priode awal terdiri dari Majlis Syura yang diketuai oleh K.H. Hasyim Asyari, dan pengurus besar (Badan Eksekutif) yang diketuai oleh Soekiman Wirdjosenjojo.

Sejarah pembentukan Masyumi tidak terlepas dari motif sejarah sebuah gerakan, yang bersifat sosial, pendidikan, dan politik. Partai Masyumi lahir 7 November 1945 yang berdasarkan keputusan kongres Muslimin Indonesia di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Muhammadiyah adalah salah satu organisasi yang turut mensponsori berdirinya partai Masyumi. 24 dalam pembentukan partai-partai politik, tampak jelas dalam pengorganisasian partai-partai politik, yang terpengaruh oleh ikatan primordial, seperti Agama, suku, dan kedaerahan. Dalam hal ini sangat kentara pada waktu pemilihan umum 1955. Pada waktu paska kemerdekaan Indonesia merupkan perwujudan dari aliran pemikiran yang ada dalam masyarakat politik Indonesia. Masyumi,

24

Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban / TANWIR, Perjalanan Politik Muhammadiyah dari ahmad Dahlan hingga Syafi’i Ma’arif, edisi Perdana, Vol. 1, mei 2003


(50)

Muhammadiyah dan NU merupakan perwujudan aliran pemikiran Islam, PNI merupakan perwujudan aliran nasionalisme Radikal, PKI merupakan perwujudan aliran Komunis, dan PSI merupakan perwujudan aliran sosialisme-Demokrat. 25

Kekuatan sekaligus kelemahan Masyumi menurut analisis, yaitu terletak pada sifatnya yang federatif. Menurut A.R. Bawesdan (1909-1986) salah seorang pemimpin penting Masyumi dan mantan pendiri PAI (Partai Arab Indonesia). Masyumi, berhasil menarik hampir semua organisasi Islam Indonesia, sedangkan mereka tetap mempunyai otonomi dalam kegiatan sosio-keagamaan mereka. Kelemahan Masyumi juga terletak pada semangat golongan mereka yang selalu lebih dominan dalam partai ketimbang semangat persatuan. Kenyataan seperti inilah yang sering menempatkan Masyumi pada posisi yang sulit dalam menyusun badan eksekutif yang kuat dan handal. Kegagalan dalam mengarahkan dan mengteluarkan semangat golongan yang hedrogen telah membawa partai Masyumi berhadapan dengan masalah-masalah intern yang serius. Apalagi posisi-posisi politik formal dalam negara yang baru merdeka tidak jarang mempunyai daya tarik tersendiri bagi pemimpin-pemimpin partai yang berasal dari berbagai golongan umat.

Tampilnya Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak satu kesatuan dalam kemerdekaan Indonesia bukan suatu kebetulan dalam sejarah (an historical accident) yang tidak dilatarbelakangi kesadaran yang dalam dan

25

Herbert Feith dan Lance castle, pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta, P.T. LPES, 1988) h. 34


(51)

panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah (an historical necessity) bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia.

Inisiatif pembentukan Masyumi adalah inisiatif para tokoh partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam sejak zaman pergerakan, seperti Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasim, Muhammad Nasir, Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. SoekimanWirosandjojo, Kibagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah. Keputusan pembentukan Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam tersebut tidak hanya sekedar keputusan, akan tetapi sebuah keputusan dari seluruh umat Islam melalui wakil-wakilnya. Penilaian seperti ini cukup beralasan apabila Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya, yang merupakan sebuah cerminan wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam tersebut. 26

Secara eksplisit sistematika politik yang disusun Masyumi, adalah sebagai politik yang tidak terlepas dari fungsi-fungsi lain, seperti artikulasi kepentingan, seleksi kepentingan, dan komunikasi politik. Secara implisit upaya pendidikan politik Masyumi adalah usaha untuk mencapai tujuan, yang dengan cara menginsafkan dan memperluas pengetahuan kecakapan umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik. Perjuang politik Masyumi yang sangat kuat adalah perjuangan ideologi untuk menghadapi komunis yang diperjuangkan oleh PKI berdasarkan “teori-teori Marx, Engles Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung. Keyakinan Masyumi sebagai propaganda ideologi yang

26


(52)

bisa menyesatkan adalah PKI, yang disebar luaskan melalui media cetak sepeti buku-buku tentang Marxise.

Untuk mengantisipasi propaganda tersebut Partai Masyumi mengeluarkan sebuah kebijakan bagi para anggotanya, kebijakan itu adalah buku-buku yang bertemakan “sosialisme-religius” atau lebih dikenal dengan buku-buku bacaan keluaga Masyumi.27

Pada awalnya pendukung Masyumi terdiri dari empat organisasi yaitu Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Perserikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Dalam perkembengan Masyumi hampir semua organisasi Islam bergabung menjadi anggota. Ketua umum partai Masyumi yang pertama adalah DR. Soekiman, dia adalah pemimpin muslim yang terkenal dari Syarikat Islam, dan dia dibantu oleh pemikir-pemikir intelektual muslim muda, seperti Syarifuddin Prawiranegara, Muhmmad Roem, Mr. Kasman Singodimedja, Yusuf Wibisana, Abu Hanifah dan Mohammad Nasir. Dilihat dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagaimana tercantum diatas partai Masyumi adalah sangat toleran artinya, Masyumi ingin mewujudkan Negara Republik Indonesia yang berdaulat, (toyyibatun warobbun ghofur), dengan demikian Masyumi tidak meniggalkan kelompok minoritas selain Islam di Negara Republik Indonesia. Mereka diajak bersama-sama berjuang untuk kepentinagn Negara dengan tidak mencampuri urusan peribadatan mereka sedikitpun, bahkan mereka diajak kerja sama untuk menegakkan kedaulatan negara.

27

Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004) h. 96-97


(53)

Pemimpin-pemimpin partai Masyumi menafsirkan konsep Syura dalam Al-qur’an dengan demokrasi parlementer sebagaimana yang telah berkembang di Barat, meski tidak selalu pararel dengan partai Masyumi, sikap Masyumi seperti ini memberikan kesan bahwa Masyumi benar-benar partai Islam yang konsisten dengan visi dan misinya benar-benar Islami. Dari uraian tentang visi misi secara umum tampaknya Masyumi cukup idealis dan moderat dalam konsep, namun dilihat dari perjalanan partai terdapat kondisi kemandegan, ini berarti keempat macam tujuan usaha yang diungkapkan pada anggaran dasar yang begitu ideal tidak terimplementasikan dengan baik. Pada kegiatan partai selama lima belas tahun nampak ada kelemahan dalam pelaksanaan program-programnya. Mungkin penyebabnya adalah lemahnya sistem menejerial keorganisasian anggota yang banyak tidak ditangani dengan sugguh-sungguh.

Masyumi telah merumuskan tujuan jangka panjang yang hendak diraihnya dalam perjuangan politik. Dalam anggaran dasar tujuan itu dirumuskan secara terbuka sebagai berikut: “tujuan partai adalah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju Keridhaan Ilahi. Dengan rumusan ini, Masyumi melalui cara-cara dan saluran-saluran demokratis yang ingin menciptakan Indonesai yang bercorak Islam. Akan tetapi memberikan kebebasan penuh kepada golongan-golongan lain untuk berbuat memperjuangkan inspirasi politik sesuai dengan agama dan ideologinya masing-masing. Hak bebas bagi golongan-golongan lain ditegaskan dalam tafsiran anggaran dasar partai. Dalam perjalanan sejarahnya orang memang


(54)

meragukan kejujuran Masyumi dalam membela dan mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi dalam suatu pluralisme ideologi, sekalipun umat Islam secara kuantitatif merupakan mayoritas mutlak dari penduduk Indonesia. Mayoritas tidak berarti seluruhnya menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Secara ideologis, hanya partai-partai saja yang di kategorikan sebagai wakil Islam pada waktu itu, karena ideologi itu telah mempersempit ruang gerak Islam.

F. Masyumi dan Kabinet Syahrir (1945-1947)

Walaupun mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, seperti yang sudah dikatakan diatas, kedudukan uamt Islam pada masa permulaan revolusi itu tidak dapat disebut kuat. Hal ini tercermin dalam kabinet dan ,KNIP. Hanya dua orang menteri yang mewwakili mereka dalam kabinet presidensiil, yang dibentuk pada bulan Agustus 1945 dan hanya 20 dari 137 anggota KNIP. Kedua menteri itu adalah Abikusno Tjokrosujoso (Pekerja Umum) dan K.H. A. Wahid Hasyim (Menteri Negara) dalam badan pekerja KNIP yang jumlahnya 15 orang dan dibentuk oktober 1945, hanya dua orang yang mewakili umat islam duduk diparlemen yaitu Wahid Hasyim dan Syarifuddin Prawiranegara, namun setelah perombakan bulan berikutnya yaitu Syarifuddin, Jusuf Wibisono dan Muhammad Natsir, dari 17 orang ketika keanggotaan badan pekerja diperluas menjadi 26 pada bulan Desember denagn maksud memasukkan juga wakil-wakil daerah hanya 4 orang yang mewakili umat (yang keempat adalah Muhammad Zein Djambek). Dengan demikian,


(55)

Masyumi yang merupakan satu-satunay partai Islam ketika itu, dan merasa pembagian sedemikian kuarang adil, tidak mendesakkan tuntutan perubahan apapun. Partai ini sungguh mengharapkan porsi yang lebih besar, lebih menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada mempersoalkan kepentingan diri. Oleh karena itu juga, partai ini tidak setuju dengan perubahan sistem kabinet presidensiil ke kabinet parlementer.

Dalam kabinet ini hanya seorang anggota Masyumi yang duduk, yaitu H.M. Rasyidi, yang bertugas menghadapi persoala-persoalan agama. Pada tanggal 3 Januari 1946 Muhammad Natsir dari Masyumi diangkat sebagai menteri penerangan, dan ketika Departemen Agama diadakan H,M. Rasyidi sebagai Menterinya. Tetapi baik Natsir maupun Rasyidi turut serta dalam kabinet sebagai perseorangan bukan sebagai wakil partai. 28

Kekecewaan Masyumi tentang perubahan sistem kabinet telah dikemukakan oleh Natsir dalam sidang KNIP dengan sebuah manifesto. Karena partai Masyumi menekankan pendapat bahwa presidensiiilakan lebih menjamion stabilitas pemerintahan, bahwa perubahan melanggar Undang-Undang Dasar. Alasan perubahan yaitu untuk “membersihkan kalangan pemerintah dari orang-orang yang telah bekerja sama dengan jepang” dalam masa pendudukan, tidak dapat diterima. Menurut Masyumi, sebagian besar dari anggota Kabinet Syahrir merupakan orang-orang yang bekerja sama dengan Jepang, dimasa pendudukan, dan dengan Belanda pada masa penjajahan. Partai Masyumi berpendapat bahwa segala perubahan, baik yang

28

Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987). H. 154


(56)

berkenaan dengan Undang-Undang Dasar maupun yang mengenai kabinet dapat dilakukan seterlah diadakan pemilihan umum.

Tabel Kabinet Syahrir 1945-1946

Perdana Menteri Sutan Sjahrir Menteri Luar Negeri Sutan Syarir Menteri Dalam Negeri Sutan Syahrir Wakil Menteri Dalam Negeri Mr. Harmani

Menteri Keamanan Rakyat Mr. Amir Syarifuddin Wakil Menteri Keamanan Rakyat Abdul Murad

Menteri Kehakiman Mr. Soewardi

Menteri Penerangan Mr. Amir Syarifuddin Menteri Keuangan Mr. Sunarjo Kolopaking Menteri Kemakmuran Ir. Darmawan Mangunkusumo Menteri Perhubungan Ir. Abdul Karim

Menteri Pekerjaan Umum Ir. Putu Hena

Menteri Sosial Dr. Adji Darmo Tjokronegoro Menteri Pengajaran Mr. Dr. T.S.G. Mulia

Menteri Kesehatan Dr. Darma Setiawan Menteri Negara H. Rasjidi

Cara pandang terhadap sejarah sebuah gerakan, baik bersifat sosial, pendidikan, maupun politik, maka harus melihat motif atau tujuan kondisi sosio-ideologis-politis gerakan tersebut adalah sangat dianjurkan. Maka akan


(1)

harmonis. Meski sebagian muslim lain menganggap tidak ada sebuah pertentangan diantara keduanya.47

Barang kali perlu dicatat juga dalam hubungan ini betapa NU, yang nomor tiga dalam pemilu tahun 1955, menduduki posisi yang menentukan. Kabinet manapun sesudah 1956 tidak mungkin terbentuk bila NU bertahan. Pada tahun 1953 terdengan santer jaminan NU bahwa ia tidak akan ikut dalam kabinet bila Masyumi turut serta. Kabinet itu (Ali I 1953-1955) memang jatuh dengan pengunduran diri NU. Kabinet Djuanda (1957) tidak akan terbentuk bila NU tidak bersedia masuk didalamnya.

Sejarah politik Islam Indonesia sejak dulu sampai sekarang merupakan khazanah perbandingan yang cukup lumayan dibandingkan dengan pemikiran-pemikiran politik ke-Islaman yang pernah dikembangkan di kawasan Timur Tengah atau dunia muslim lainnya. Sepajang sejarah yang sudah berumur setengah abad lebih, politik Islam berkembang dalam batas-batas tertentu. Pada tahun 1940-an sampai dengan awal tahun 1960-an, ekspresi, artikulasi, dan detil pemikirannya yang berbeda kubu “golongan agama” dan “golongan nasionalis”. Seperti yang ditampilkan dalam sidang dewan konstitunte pada ahir tahun 1950-an, sehingga kompromi dan negosiasi yang di harapkan melahirkan jalan tengah tidak terjadi, malahan menimbulkan setigma sejarah dalam soal kaitan antara Islam dan politik atau Islam dan Negara. 48

47

Opini, Khoiril Mahfud, Mengahiri Benturan Ideologi, Islam dengan Nasionalisme, (Maarif Vol.3, No. 2 Mei 2008), h. 43-44

48


(2)

B. Saran-Saran

Berahirnya dari beberapa poin skripsi yang penulis uraikan, ada kiranya dipenghujung bab ini akan saya cantumkan saran-saran sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang mempunyai rasa memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam skripsi ini, saran-saran yang ingin saya ajukan adalah sebagai berikut:

1. Dalam Anggaran Dasar Partai Masumi, telah di rumuskan secara terbuka yang bertujuan agar terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat, dan Negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Illahi. Dalam sejarahnya, tidak diragukan lagi kejujuran Masyumi dalam membela dan mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi dalam suatu pluralisme ideologi. Disinilah letak pergolakan antara Islam dan nasionalisme yang ada pada perpolitikan Partai Masyumi.

2. Dalam Pergerakan Politik ini, antara Islam dan Masyumi memunculkan pertanyaan yang bisa di sederhanakan dengan Dua jawaban, menolak atau menerima. Sehingga tidak ada sebuah perselisihan,

3. Sebagian karya yang sangat cemerlang dalam karir Partai Politik Masyumi, adalah sebuah prestasi partai dalam membela kedaulatan Bangsa dan Negara. Seperti membentuk Barisan Hisbullah para pemuda dan pemudi Islam di Indonesia, mendukung usaha demokrasi di Indonesia, untuk mewujudkan suasana negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan masyarakat berdasarkan keadilan menurut ajaran Islam. Perwujudan kedaulatan rakyat itu dengan adanya hak pilih dan dipilih secara umum


(3)

dan langsung. Dan partai Masyumi juga berupaya agar pemerintah Indonesia menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, agar manisfesto politik Islam dapat menempatkan negara republik Indonesia berdampingan dengan negara-negara demokrasi, terutama yang berkuasa dan berpengaruh di Asia Pasifik.

4. Dilingkungan Masyumi pada umumnya berhati-hati dalam menerima lulusan Barat sebagai pemimpin mereka. Usaha Sukiman (ketua Partai 1945-1949), Presiden partai 1949-52, dan kemudia wakil ketua partai 1952-1960, untuk menarik beberapa lulusan pendidikan Barat ini kedalam partai kurang memperoleh simpati. Karena sebelumnya orang-orang ini belum dikenal ikatan ke-Islamanya. Siakap ini kurang memberikan kesempatan kepada para lulusan Barat untuk memperlihatkan kebolehan mereka dalam hubungan dengan kegiatan partai Islam, dalam rangka ini rasa golongan kalangan partai Islam agak menyempit.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri landasan Gerakan Membela kaum Mustadl’afin, (Jogjakarta, P.T. Kreasi Wacana, 2002).

Abdurrahman, Islam yang Memihak, (Jogjakarta, P.T. LKiS Pelangi Aksara, 2005)

Adam, Ian, Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depan. (Jogjakarta, C.V. Qalam, 1993)

Astuti, Linda E, (skripsi) Nasionalisme Dalam Pandangan Mohammad Natsir: Studi Pemikiran Moh. Natsir Tentang Nasionalisme, (Jakarta, UIN Syahid, 2005).

Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000)

Black, Antoni, Pemikiran Politik Islam, dari masa nabi hingga masa kini, (Jakarta, P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2001)

Bukhari, Manan, Menyikap Tabir Orientalisme, (Jakarta, P.T. Amzah 2006), Chaidar, Al, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.

Kartosoewirjo, (Jakarta, P.T. Darul Falah, 1993)

Dault, Adhiyaksa, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, (Jakarta, P.T. Pustaka Al-Kautsar)

Damami, Muhammad, Akar Gerakan Muhammadiyah, (Jogjakarta, P.T. Adipura, 2000)

Effendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam, (Jogjakarta, P.T. Galang Press, 2001)

Feith, Herbert dan Lance castle, pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta, P.T. LPES, 1988)


(5)

Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani, (Jakarta, P.T. PSAP (pusat setudi agama dan peradaban) Muhammadiyah, 2005.

Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban / TANWIR, Perjalanan Politik Muhammadiyah dari ahmad Dahlan hingga Syafi’i Ma’arif, edisi Perdana, Vol. 1, mei 2003

Kamal, Mustafa, Pasha, B.Ed, Dkk, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, (Yogyakarta, P.T. Citra Karsa Mandiri, 2005)

Opini, Khoiril Mahfud, Mengahiri Benturan Ideologi, Islam dengan Nasionalisme, (Maarif Vol.3, No. 2 Mei 2008)

Kohn, Hans, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terj), (Jakarta: PT. Pembangunan dan Penerbit Erlangga,1984)

Ma’arif, Syafi’i A, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Jakarta P.T. Pustaka LP3S, 2006).

Ma’arif, Syafi’i A, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (Jakarta, P.T. Gema Insani Press, 1996)

Muttaqin, Jajang, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah PRESS, 2004)

Media Ma’arif (Artikel), Yudi Latief, Ph.d. Islam dan Awal Kebangkitan Nasionalisme di Indonesia, (Ma’arif Edisi Vol. 3, No.2 Mei 2008)

Nata, Abdullah, Azyumardi Azra, Problematika Politik Islam di Indonesia, ( Jakarta, P.T. Grasindo bekerja sama dengan UIN Jakarta pers 2002 ). Sasono, Adi, Rakyat Bangkit Bangun Martabat, (Jakarta, P.T. Pustaka Alvabet,

2008)

Syam, Firdaus, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Dipentas Politik Indonesia Modern, (Jakrta, P.T. Kaherul Bayan, 2003)

Syahrasad, Herdi, Islamisme Nasionalisme Globalisme: Jejak-Jejak Ideologi Terkoyak, (Jakarta, P.T. Melibas, 2005)

Sucipto, Heri, Menegakkan Indonesia: Pemikiran dan Konstribusi 50 Tokoh Bangsa Berpengaruh, (Jakarta, P.T. Grafindo, 2004)


(6)

Ramlan, Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta, P.T. Gramedia Media Sarana, 1992)

Roy, Oliverd, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta, P.T. Serambi Ilmu Semesta, 1996) Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Safira Insani Press, 2004) Sardar, Zainuddin, Kembali ke Masa Depan, (Jakarta, P.T. serambi Ilmu Semesta,

2003)

Lily Ramli, Islam Yes Partai Islam Yes, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik, 2004) Hamka, Muhammadiyah-Masyumi, (Jakarta, P.T. Masyarakat Islam, 1959)

Hatington, Samuel. P, Tertib Politik, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2004 ) Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987). H. 154