keraguan, oleh sebab itu bisa menyebabkan tafsiran yang bebeda oleh kedua puhak. Termasuk juga Muhammad Roem, salah satu anggota inti dalam
delegasi indonesia da seorang tokoh Masyumi yang mulai menanjak karirnya melihat persetujuan tersebut sebagai pengakuan de fakto atas Republik
Indonesia atas Belanda. Suatu sidang pleno Masyumi di Jogjakarta tanggal 20- 21 November, dan yang dihadiri oleh berbagai ketua departemen partai, serta
mewakili Musliat, Sabilillah, Hizbullah, Majlis Syuro, dan anggota Istimewa Muhammadiayah, NU, dan PUI. Menolak untuk menerima persetujuan
tersebut. Melihat kemungkinan gagalnya persetujuan linggarjati, pada tanggal 6
Juni 1947 Masyumi mengeluarkan manifesto politik, yang tam[paknya memberi maksud penerangan kepada masyarakat serta dunia luar tentang apa
yang ia tempuh bila sekiranya dipercaya memimpin kabinet. Manifesto lebih menekankan pada kekuatan diri dalam berhadapan dengan Belanda, bahkan
sebaliknuya Syahrir dilihat sebagai menggantungkan diri pada kemauan baik belanda serta dunia internasional. Tekanan pada kekuatan diri itu bisa
diartikan bahwa pada ahirnya kekrasan turut berbicara. Masyumi benar-benar menolak kebijaksanaan kabinet Syahrir, apalagi setelah lebih banyak konsesi
diberikan kepada pihak Belanda. Pendirian yang sama dari banyak partai lain menyebabkan Syahrir menyerahkan mandatnya tanggal 27 Juni 1947.
G. Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin 1947-1948
Pembentukan kabinet berikutnya menyebabkan perpecahan didalam Masyumi, pada tanggal 30 Juni 1947 presiden memberi mandat kepada Amir
Syarifuddin sosialis, Sukiman Masyumi, A.K. Gani PNI, dan Setiadjit, untuk membentuk suatu kabinet koalisi. Usaha keempat mereka ini gagal
karena Masyumi menuntuk kursi perdana menteri dan menteri-menteri pertahanan, luar negeri dan dalam negeri. Kemudian tanggal 2 Juli, tiga orang
formatir ditunjuk yaitu Amir Syarifudin, A.K. Gani, dan Setiadjit, berhasil membentuk kabinet nasional. Amir yang menjadi perdana menteri,
mengumumkan kabinetnya tanggal 3 Juli, yang menyebutnya kembali berdirinya PSII. Partai ini diusahakan kembali oleh Arudji Kartawinata serta
Wondoamiseno yang juga duduk dalam kabinet, masing-masing menjadi menteri muda pertahanan dan menter dalam negeri, yang didampingi oleh
Syahbuddin Latif Penerangan dan SukosonWirjosaputro Menteri Muda Soial. Hal ini merupakan pukulan besar bagi Masyumi yang merasa yakin
bahwa Amir Syarifuddin akan gagal membentuk kabinet tanpa Masyumi. Kalangan PSII dituduh oportunistis dan merugikan perjuangan Islam.
Sebaliknya, PSII merasa ingin memainkan peranan yang lebih berarti, mungkinjuga hubungan mereka yang kurang mesra dengan berbagai tokoh
Masyumi dari masa sebelum perang mendorong perpecahan.
Tabel Kabinet Amir Syarifuddin 1947-1948
Perdana Menteri Mr. Amir Syarifuddin Wakil perdana Menteri I Samsuddin
Wakil Perdana Menteri II Wondoamiseno
Menteri Luar Negeri H. Agus Salim Menteri Muda Luar Negeri Mr. Tamsil
Menteri Dalam Negeri Mr. Muhammad Roem Menteri Muda Dlam Negeri Mr. Abdul Madjid Djojohadikusumo
Menteri Peratahanan Arudji Kartawinata
Menteri Muda pertahanan Mr. Kasman Singodimedjo Menteri Penerangan Sjahbuddin Latif
Menteri Muda Penerangan Ir. Setiadi Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis
Menteri Kemakmuran Dr. A.A. Gani Menteri Muda Kemakmuran II Dr. A. Tjondronegoro
Menteri Perhubungan Ir. Juanda Menteri Pekerjaan Umum Ir. H. Laoh
Menteri Perburuhan S.K. Trimurti Menteri Agama K.H. Masykur
Menteri Sosial Soepardjo Meneteri Kesehatan Dr. J. Leimena
Menteri Pengajaran Mr. Sastroamidjoyo Menteri Negara Hamengkubuwono IX
Menteri Negara Urusan Pemuda Wikana Menteri Negara Urusan Makanan Sujas
Menteri Negara Urusan Kepolisian Mr. Hendromartono
Kabinet Amier terdiri atas 34 orang anggota, yang termasuk 5 0rang dari sosialis yang jumlahnya sama dengan dari PSII. Masyumi mempunyai alasan
mengapa dia berposisi menolak terhadap Amir, karena dia adalah Tokoh sosialis yang dianggap kurang dapat dipercaya, sebab Amir lahir sebagai
muslim, masuk Kristen ketika umur 24 tahun. Pada masa sebelum perang ia memimpin partai Gerinda, sebuah partai kebangsaan yang masuk rasdikal
menentang menentang pihak Belanda walaupun ia menjalankan politik Koprasi. Bahkan Masyumi berpendapat bahwa Amir sebagai menteri
pertahanan telah menyalahgunakan kekuasaan yang ada, untuk kepentingan suatu kelompok, yaitu golongan sosialis dan mungkin komunis. Pada masa ia
dalam kabinet Syahrir ia menjabat menteri perthanan, biro perjuangan dalam inspektorat biro perjuangan di kemnenterian tersebut didominasi oleh
golongan kiri. Masyumi juga menuduh Inspektorat telah mengorganisasikan sebagai latihan untuk kelompok-kelompok perjuangan bersenjata yang juga
memperoleh senacam indoktrinasi suatu ideologi politik tertentu yaitu sosialisme.
Pandanagn Amir lebih banyak negatifnya, ketika perundingan dengan pihak Belanda akan dimuali, pihak Masyumi masih bersedia membentu
pemerintah. Perundingan dengan Belanda diadakan atas saran dan pengawasan komosi Jasa-Jasa baik Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang lebih dikenal dengan
nama Komisi Tiga Negara. Masyumi bersedia masuk pada tanggal 13 November 1947 dengan memperoleh 4 kursi, yaitu Wakil Perdana Menteri I
Samsudin. Menteri Dalam Negeri Muhammad Roem, Menteri Agama K.H.
Masykur, dan Menteri Muda Kehakiman Kasman Singodimedjo. Amir memang berhasil menandatangai perjanjian renville dengan belanda, tetapi
umumnya orang berpendapat bahwa perjanjian ini kurang menguntungkan dibandingkan dengan persetujuan Linggarjati. Pada tanggal 16 Januari 1948
Masyumi langsung menarik menteri-menterinya dari kabinet Amir, sehari sebelum penandatanganan persetujuan renville dengan pihak Belanda.
Penolakan Masyumi terhadap persetujuan Renville didasarkan pada dua alasan. Pertama, isi persetujuan lebih menguntungkan pihak Belanda. Kedua
sikap ketua delegasi Indonesia yaitu Perdana Menteri Amier Syarifuddin yang tidak menolak tuntutan Belanda dalam perundingan padahal penolakan ini
keputusan kabinet. Penolakan ini harus segera disampaikan kepihak Belanda dan Komisi Tiga Negara hal ini tidak dilakukan oleh Amir. Kemudian
kesempatan untuk menolak lewat, karena komisi tiga negara mengemukakan usul perubahan terhadap tuntutan Belanda. Sedangkan kabinet menerima usul
tersebut, sedangkan Masyumi tetap menolak.
H. Masyumi dan Kabinet Hatta1948-1949