Ayat Tentang Bekal Da’i dan penjelasannya

SAW tidak meneriam wahyu, sehingga kalau surah l-Muddatsir ini akan dinamakan juga surah yang pertama yang turun, maka yang dimaksud surah pertama setelah selang waktu tersebut, bukan yang pertama scara keseluruhan. Antara al-Muddatsir dan al-Muzammil tidak dapat dipastikan yang mana yang terdahulu dan yang mana yang kemudian. Kisah turunnya sangat mirip, yakni seperti yang diceritakan Jabir di atas. Ayat-ayat awalnya pun berbicara menyangkut hal yang sama. Yaitu pembinaan terhadap diri Rasulullah SAW, dalam rangka menghadapi tugas-tugas penyebaran agama. 1

3. Ayat Tentang Bekal Da’i dan penjelasannya

1  Artinya : “Hai yang berselimut.” Kata al-Muddatsir terambil dari kata iddatsara. Kata ini apapun bentuknya, tidak ditemukkan dalam Al- Qur‟an kecuali sekali, yaitu pada ayat pertama surah ini.Iddatsara berarti mengenakan ditsar, yaitu sejenis kain yang diletakkan di atas baju yang dipakai dengan tujuan menghangatkan atau dipakai sewaktu berbaring tidur selimut. Disepakati oleh ulama tafsir bahwa yang dimaksud dengan yang berselimut adalah Nabi Muhammad SAW. Sabab nuzul yang dikemukakan di atas mengundang kita untuk memahami kata “berselimut” dalam arti yang hakiki, bukan dalam arti kiasan seperti “berselubung dengan pakaian keNabian” atau dengan “akhlak yang mulia” bila kalimat “orang yang berselimut“ dikaitkan lebih jauh dengan sebab 1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur‟an, Jakarta : Lentra Hati , 2002 turunnya ayat, maka arti yang ditunjuk oleh peristiwa tersebut adalah orang yang diselimuti. Pengertian ini didukung oleh suatu bacaan yang dinisbahkan kepada Ikrimah, yaitu: menyelimuti adalah istri beliau, khadijah ra. Menyelimuti diri atau diselimuti, tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa takut yang menyelimuti jiwa Nabi Muhammad SAW, beberapa saat sebelum turunnya ayat-ayat ini. biasanya bila seseorang takut, ia akan menutupi dirinya atau ia akan menggigil, dan saat itu selimut akan sangat bermanfaat. Inilah yang tejadi pada diri Nabi Muhammad SAW. Khususnya pada masa awal kedatangan malaikat jibril kepada beliau. Hal ini terbukti setelah mengamati pula surah Al- Muzzammil yang turun berselang dengan surah ini dan yang artinya sama, yaitu” orang yang berselimut”. Perasaan takut yang meliputi diri Nabi Muhammad SAW. Pada awal kedatangan wahyu agaknya disebabkan karena pengalaman pertama beliau alami ketika menerima wahyu Iqra. Beliau dirangkul oleh malaikat sedemikian kuatnya sehingga, seperti yang beliau akui sendiri dalam hadits yang diriwayatkan Bukhariy, “Telah kurasakan puncak kepayahan “atau, dengan kata lain, pada riwayat Ath- Thabariy, “Aku mengira bahwa itulah kematian mungkin juga perasaan takut tersebut akibat pandangannya kepada malaikat yang diberi sifat oleh Al- Qur‟an sebagai “yang mempunyai kekuatan disisi Allah, Pemilik „Arsy” QS 81:20; atau karena beratnya wahyu yang beliau terima itu QS 73:5. Adapun penyebab rasa takut beliau yang dipahami dari sebab nuzul ayat serta dari celah- celah kata “Al-Muddatsir”, namun ia sama sekali tidak mengurangi keagungan Rasul SAW. Perasaan serupa pernah dialami oleh Nabi Musa ketika beliau melihat tongkatnya berubah menjadi ular QS. 27:10. Hal-hal semacam ini untuk menggambarkan bahwa para Nabi, walaupun mempunyai keistimewaan- keistimewaan dari segi spiritual, namun mereka tidak luput dari naluri kemanusian, seperti rasa takut tersebut. Dan memang tidak mungkin bagi seorang manusia untuk tidak merasa gentar atau takut ketika menghadap untuk pertama kalinya hal-hal semacam itu. 2 2 “Bangkitlah, lau berilah peringatan” Kata مق qum terambil dari kata م ق qawama yang mempunyai banyak bentuk. Secara umum, kata-kata yang dibentuk dari akar kata tersebut diartikan sebagai “melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagai seginya”. Karena itu, perintah di atas menuntut kebangkitan yang sempurna , penuh semangat dan percaya diri, sehingga yang diseru dalam hal ini Nabi Muhammad SAWharus membukabselimut, menyingsingkan lengan baju untuk berjuang menghadapi kaum musrikin. Kata نا andzir berasal dari kata ن nadzara yang mempunyai banyak arti, antara lain, sedikit, awal sesuatu dan janji untuk melaksanakan sesuatu bila tepenuhi syaratnya. Pada ayat di atas, kata ini biasa ditejemahkan dengan peringatkanlah. Peringatan di definisan sebagai “penyampaian yang mengandung unsur menakut- nakuti.” Bila diperhatikan arti asal kosa kata tersebut, maka peringatan yang disampaikan itu merupakan sebagian kecil serta pendahuluan dari satu hal yang besar dan berkepanjangan dan apa yang diperingatkan itu pasti akan terjadi selama syaratnya telah terpenuhi. Syarat tersebut adalah pengabaian kandungan peringatan tersebut. Disini timbul pertanyaan, siapakah yang diperingatkan dan apa kandungan peringatan tersebut? Pertanyaan ini tidak tersurat jawabannya dalam 2 M. Quraish Shihab, Tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan urutan turunnya wahyu Bandung: Pustaka Hidayah Cet. ke 3 1999 h. 219 redaksi ayat, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama tafsir. Satu pihak beranggapan bahwa mereka yang diperingatkan sengaja tidak dikemukakan. Hal ini, dissamping untuk menyesuaikan bunyi akhir ayat ini dengan bunyi akhir ayat yang lain dan ayat-ayat kemudian, masing-masing berakhir dengan huruf ra juga untuk memberikan cakupan yang umum bagi perintah tersebut. Dalam Surah Yunus ayat 2 dijelaskan, Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa kami mewahyukan kepada seorang lelaki diantara mereka bahwa , “Berikanlah peringatan kepada manusia” 3 Ada juga ulama yang berpendapat bahwa pada dasarnya perintah di sini belum ditujukan secara khusus kepada siapapun. Yang penting adalah melakukan peringatan, kepada siapa saja, terserah kepada Rasulullah SAW. Hal ini sama dengan perintah makan dan minum, baik yang ditemukkan dalam Al- Qur‟an maupun ucapan seseorang yang mempersilahkan tamunya untuk makan dan minum. Penulis cenderung untuk mendukung pendapat kedua ini, karena sejarah memberitakan bahwa realisasi perintah itu dilaksanakan oleh rasul SAW. Dalam bentuk rahasia yang ditunjukan kepada orang-orang yang tertentu, baik keluarganya maupun teman-teman yang beliau anggap dapat menerima ajaran Islam, atau minimal tidak menimbulkan reaksi yang dapat menghalangi lajunya dakwah. Realisasi perintah ini secara terbuka dimulai setelah berlau tiga tahun dari turunnya wahyu pertama, yakni dengan turunnya QS. Asy- Syua‟ra : 26: 214 3 Ibid h.221    Artinya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. Dan ayat 94 Surah Al-Hijr       Artinya: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik ”. Adapun kandungan peringatan, maka berdasarkan petunjuk ayat-ayat yang menggunakan redaksi yang sama dengan redaksi ayat ini, dapat kita katakana bahwa peringatan tersebut menyangkut “siksa di hari kemudian” dalam Surah Ghafir Ayat 18 dinyatakan:                 Artinya: “Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat hari kiamat yaitu ketika hati menyesak sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan.” Demikian pula dengan surah ibrahim ayat 44:      Artinya: “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari yang pada waktu itu datang azab kepada mereka”. Apa yang dikemukakan di atas tentang kandungan peringatan ini lebih di perkuat lagi dengan hadits yang menceritakan kandungan perintah Nabi SAW. Ketika turunya firman Allah SWT yang memerintahkan beliau untuk memberi peringatan kepada kerabat-kerabatnya yang dekat. Dalam redaksi ayat itu juga tidak disebutkan kandungan peringatan, namun didalam hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabriy diinformasikan bahwa ketika itu beliau menyampaikan, “Seandainya kuberikan kepada kalian bahwa dibelakang bukit Shafa ini telah terkumpul barisan berkuda untuk menyerang kalian, apakah kalian mempercayaiku ?” mereka menjawab, “kami tidak pernah mengenal kebohongan dari engkau” Rasul bersabda: “ketahuilah bahwa sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian tentang siksa yang akan datang dan amat pedih”. Meyakini bahwa kandungan peringatan tersebut adalah “siksa tuhan” menurut hemat penulis, lebih tepat dari pada menjadikan kandungan ayat ketiga “Dan tuhanmu, Agungkanlah ” sebagai peringatan yang ditugaskan kepada Nabi untuk menyampaikannya. Sebab, kaidah kebahasaan tidak mendukungnya, walaupun terdapat suatu ayat dalam Al- Qur‟an yang memerintahkan kepada Nabi- Nabi untuk memberi keringatan tentang keesaan tuhan QS. 15:2. 3    “Dan Tuhanmu, maka agungkanlah“ Karena memberi peringatan dapat mengakibatkan kebencian dan gangguan dari yang diperingati, maka ayat di atas melanjutkan bahwa dan bersamaan itu hanya tuhan pemelihara dan pendidikmu saja, apapun yang terjadi maka agungkanlah Ayat ketiga surah ini sampai dengan ayat ketujuh yang turun sebagai suatu rangkaian dengan ayat pertama dan kedua, merupakan petunjuk Allah SWT dalam rangka pembinaan diri Nabi SAW. Demi suksesnya tugas-tugasvkeNabian. Petunjuk yang pertama adalah “ dan Tuhanmu, maka agungkanlah Kata كب Tuhanmu pada ayat di atas disebutkan mendahului kata ك agungkan. Itu disamping untuk menyesuaikan bunyi akhir ayat, bahkan yang lebih penting untuk menggambarkan bahwa perintah takbir mengagungkan hendaknya hanya diperuntukkan baginya semata-mata, tidak terhadap sesuatu pun selain-Nya. Mengagungkan tuhan dapat berbentuk ucapan, perbuatan, atau sikap bathin. Takbir dengan ucapan adalah mengucapkan Allahu akbar. Takbir dengan sikap bathin adalah menyakini bahwa dia maha besar, kepada-Nya tunduk segala makhluk dan kepada-Nya kembali keputusan segala sesuatu. Apapun dihadapan- Nya adalah kecil dan tidak berarti, sehingga bila terjadi benturan dengan kehendak atau ketetapan-Nya, maka dia pasti yang menentukan. Sedang takbir dengan perbuatan adalah pengejawantahan makna- makna yang dikandung”takbir dengan sikap bathin” tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Perintah bertakbir disini mencakup ketiga hal di atas, bahkan diamati bahwa dalam Al- Qur‟an tidak ditemukan perintah untuk “mengucapkan takbir”, berbeda hanya dengan Hamdallah ucapan al-hamdullah. Perintah bertakbir hanya ditemukan dua kali dalam Al- Qur‟an. Yaitu pada surah Al-Muddatsir ini pada Surah Al-Isra ayat 111:                        Artinya: “ Dan Katakanlah: Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya ”. Ketika seseorang mengucapkan takbir, maka pada hakikatnya ada dua hal yang seharusnya ia capai, pertama, pernyataan keluar sikap bathinnya tersebut. Kedua, mengatur sikap lahirnya sehingga setiap langkahnya berada dalam kerangka makna kalimat tersebut. Dampak dari kedua hal ini adalah terhujamnya kedalam jiwa, rasa memiliki serta kesediaan mempertahankan hakikat yang diucapkannya itu. Disamping tertanamnya kesadaran akan kecil dan remehnya segala sesuatu selainnya. Betapapun ia dinamai “besar” atau “agung” dan pada saat yang sama pengucapannya merasa kuat dan mampu menghadapi segala tantangan karena ia telah mengaggungkan jiwa raganya kepada yang maha agung itu, dan dengan demikian ia tidak akan meminta perlindungan kceuali kepadanya. Ia tidak akan mengharapkan sesuatu yang lebih besar kecuali darinya. Ia akan selalu melaksanakan perintahnya, ini terjadi akibat rasa takut kepadanya, butuh kepadanya, atau bahkan akibat rasa kagum. Inilah petunjuk pertama yang merupakan titik tolak bagi segala aktivitas. Karena itu, adalah sangat wajar apabila hakikat ini merupakan pelajaran pertama yang diberikan kepada Muhammad SAW. dalam rangka menghadapi tugasnya yang berat. 4  “Dan Pakaianmu, maka bersihkanlah” Inilah petunjuk kedua yang diterima oleh Rasulullah SAW. Dalam rangka melaksanakan tugas tabligh, setelah pada petunjuk pertama dalam ayat ditekankan keharusan mengkhususkan pengagungan takbir hanya kepada Allah SWT ayat di atas menyatakan “Dan pakaianmu bagaimanapun keadaanmu maka bersihkanlah”. Kata يث tsiyab adalah bentuk jamak dari kata ث tsaub pakaian. Disamping makna tersebut ia gunakan juga sebagai majaz dengan makna-makna antara lain: hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti keluarga dan istri. Kata ط thahir adalah bentuk perintah, dari kata ط thahara yang berarti membersihkan dari kotoran. Kata ini dapat juga dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan diri dari dosa atau pelanggaran. Gabungan kedua kata tersebut dengan kedua kemungkinan makna hakiki atau majaz itu mengakibatkan beragamnya pendpat ulama yang dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok: 1. Memahami kedua kosa kata tesebut dalam arti majaz, yakni perintah untuk menyucikan hati, jiwa, usaha, budi pekerti dan segala macam pelanggaran, serta mendidik keluarga agar tidak terjerumus di dalam dosa atau tidak memilih untuk dijadikan istri kecuali wanita-wanita yang terhormat serta bertakwa. 2. Memahami keduanya dalam arti hakiki, yakni membersihkan pakaian dan segala macam kotoran, dan tidak mengenakannya kecuali apabila ia bersih sehingga nyaman dipakai dan dipandang. 3. Memahami tsiyab pakaian dalam arti majaz dan thahir dalam arti hakiki, sehingga ia bermakna: “Bersihkanlah jiwa hati mu dari kotoran-kotoran”. 4. Memahami Tsiyab pakaian dalam arti hakiki dan thahir dalam arti majaz, yakni perintah untuk menyucikan pakaian dalam arti memakainya secara halal sesuai ketentuan-ketentuan agama antara lain menutup aurat setelah memperolehnya dengan cara-cara yang halal pula. Atau dalam arti “pakailah pakaian pendek sehingga tidak menyentuh tanah yang mengakibatkan kotornya pakaian tersebut. Adat kebiasaan orang arab ketika itu adalah memakai pakaian-pakaian yang panjang untuk memamerkannya, yang memberikan kesan keangkuhan pemakainya walaupun mengakibatkan pakaian tersebut kotor karena menyentuh tanah, akibat panjangnya. Penulis cenderung memilih pendapat yang menjadikan kedua kata tersebut dalam arti hakiki. Bukan saja karena kaidah tafsir yang menyatakan bahwa “satu kata tidak dialihkan kepada pengertian kiasan majazi kecuali bila arti hakiki tidak dapat dan atau terdapat petunjuk yang kuat untuk mengalihkan kepada makna majaz, tetapi juga karena memperhatikan konteks yang merupakan sabab nuzul ayat ini yang menjelaskan bahwa ketika turunnya, Nabi Muhammad SAW.yang ketakutan melihat jibril, bertekuk lutut dan tejatuh ketanah sehingga tentu mengakibatkan kotornya pakaian beliau. Dan perlu kita ketahui bahwa semua pemeluk agama apapun agamanya lebih-lebih lagi Islam menyadari bahwa agama pada dasarnya menganjurkan menganjurkan kebersihan bathin seseorang. Membersihkan pakaian tidak akan banyak artinya jika badan seseorang kotor, selanjutnya membersihkan pakaian dan badan belum berarti jika jiwa masih ternodai oleh dosa. Ada orang yang ingin menempuh jalan pintas, dengan berkata, “yang penting adalah hati atau jiwa, biarlah badan atau pakaian yang kotor, karena tuhan tidak memandang kepada bentuk-bentuk lahir. ”Sikap tersebut jelas tidak dibenarkan oleh ayat ini, jika kita memahaminya dalam arti hakiki. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pengertian hakiki tersebut mengantar kepada keharusan memperhatikan kebersihan badan dan jiwa, karena jangankan jiwa atau badan , pakian pun diperintahkan untuk dibersihkan. sebagai contoh, jika terdapat perintah untuk menghormati kakak, maka tentu lebih diperintahkan lagi untuk menghormati ayah, walaupun tidak tersurat dalam redaksi perintah. Disisi lain, dipahami dari petunjuk ayat ini, bahwa seseorang yang bertugas melayani masyarakat dan membimbingnya harus memiliki penampilan yang menyenangkan, antara lain kebersihan pakaiannya. Kalau dalam petunjuk pertama pada ayat ketiga ditekankan pembinaan jiwa dan sikap mentaal, maka dalam ayat keempat ini yang ditekankan adalah penampilan lahiriah demi menarik simpati mereka yang diberi peringatan dan bimbingan. Dalam ayat di atas, Rasullah SAW diperintahkan untuk membersihkan pakaian-pakaian beliau. Telah diuraikan bahwa perintah ini berkaitan dnegan konteks ayat, sehingga kita tidak perlu menduga bahwa sebelum ini Rasullah SAW. Kurang memperhatikan kebersihannya karena sejarah membuktikan kekeliruan dugaan tersebut. Di sisi lain, dapat pula dipahami perintah di atas sama dengan perintah kepada orang-orang beriman. Dalam surah An-Nisa ayat 136, Allah memerintahkan: Wahai orang-orang yang beriman: berimanlah kepada Allah dan Rasulnya. Perintah tersebut tentu bukan berarti bahwa mereka sebelumnya belum beriman, tetapi ia merupakan perintah untuk mempertahankan. Memantapkan dan meningkatkan iman tersebut, perintah kepada Rasullah SAW untuk membersihkan pakaian-pakaian beliau daapt dipahami demikian pula, dalam arti, ”pertahankanlah, mantapkan dan tingkatkanlah kebiasaanmu selama ini dalam kebersihan pakainmu”. Sejarah menjelaskan bahwa pakain yang paling disukai Rasullah SAW dan yang paling sering dipakainya adalah pakain-pakain yang berwarna putih. Hal ini tentunya bukan saja disebabkan karena warna tersebut menangkal panas yang merupakan iklim umum daerah Mekkah dan sekitarnya, tetapi juga mencerminkan kesenangan pemakainya terhadap kebersihan, karena sedikit saja noda pada pakain yang putih itu akan segera tampak. Sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau juga telah dikenal sebagai seorang yang sangat mendambakan kebersihan. Tidak semua jenis makanan di makannya. Bawang misalnya, karena memiliki aroma yang tidak menyenangkan dihindarinya. Bahkan dianjurkan kepada para sahabatnya untuk tidak mengunjungi masjid bila baru saja memakan bawang. Noda dan kotoran yang mengotori dinding masjid dibersihkannya guna mmeberi contoh kepada umatnya. Pakain-pakainnya, walaupun tidak mewah bahkan sobek dan dijahitnya sendiri, namun selalu rapih dan bersih ini merupakan sifat bawaan sejak kecilnya, kemudian dikukuhkan oleh pendidikan Al- Qur‟an demi suksesnya tugas-tugas pembinaan masyarakat. Karena, seseorang yang bertugas memimpin dan membimng harus mendapat simpati masyarakatnya sekaligus memberi contoh kepada mereka. Dan hal inilah yang dimintakan perhatian oleh Al- Qur‟an kepada Rasullah SAW. Bahkan kepada setiap orang, khususnya yang mengemban tugas- tugas kemasyarakatan.   5 “Dan dosa maka tinggalkanlah“ Petunjuk yang ketiga adalah, dan dosa yakni menyembah berhala betapapun hebat atau banyaknya orang yang menyembah nya maka tinggalkanlah. Kata ج لا ar-rujz dengan dhammah pada ra atau ج لا ar-rijz, dengan kasrah pada ra keduanya merupakan cara yang benar untuk membaca ayat ini, dan sebagian Ulama tidak membedakan arti yang dikandungnya. Ulama yang tidak membedakan kedua bentuk kata tersebut mengartikannya dengan dosa, sedangkan ulama yang membedakannya menyatakan bahwa ar-rujz berarti berhala. pendapat ini dipelopori oleh Abu Ubaidah. lebih jauh, sebagian ahli bahasa berkata bahwa huruf zay pada kata ini dapat dibaca dengan sin dengan demikian kata ar-rijz sama pengertiannya dengan ج لا ar-rijs dosa. Dengan demikian kata yang digunakan ayat ini dapat berarti berhala, atau siksa atau dosa. Kata جه ف fa-hjur, terambil dari kata جه hajara yang digunakan untuk menggambarkan “sikap meninggalkan sesuatu karena kebencian kepadanya.” Dari akar kata ini dibentuk kata-kata hijrah, karena Nabi dan sahabat- sahabatnya meninggalkan mekkah atas dasar ketidaksenangan beliau terhadap pelakuan penduduknya. kata ج ه hajirah berarti ”tengah hari” karena pada saat itu pemakai bahasa ini ”meninggalkan pekerjaannya” akibat terik panas matahari yang tidak mereka senangi. Dalam hadits dinyatakan bahwa: ”Tidak dibenarkan meninggalkan untuk tidak bercakap- cakap dengan saudara lebih dari tiga hari.” yang dimaksud ”meninggalkan” adalah apabila hal tersebut dilakukan karena dorongan kebencian atau kemarahan, karena hadits tersebut menggunakan kata Yahjuru ج ي. Ayat ini, dengan demikian berarti: ”Tinggalkanlah, atas dorongan kebencian dan ketidaksenangan, dosa, siksa atau berhala.” Penulis cenderung untuk memilih arti ”Berhala” bukan saja dengan alasan yang dipelopori oleh Abu Ubaidah, tetapi juga dengan memperhatikan pendapat yang mempersamakan antara ar-rijz dan ar-rijs serta gaya dan bentuk redaksi ayat ini. Yang dimaksud dengan gaya dan bentuknya adalah bahwa ayat ini secara tegas mencegah Nabi untuk melakukan sesuatu, bahkan dapat dikatakan bahwa ayat ini merupakan larangan petama yang diterima Nabi Muhammad SAW. Kalau kita menelusuri ayat-ayat yang berbicara tentang ar-rijz dan ar-rijs, maka akan kita temukan bahwa ayat-ayat tersebut disusun dalam bentu berita perhatikan, misalnya. QS. 7:113-114, atau QS. 10:100 dan lain-lain. Tetapi ditemukan satu ayat yang menggunakan redaksi mencegah sekaligus menjelaskan apa yang dimaksud dengan ar-rijs dan tentunya juga arti ar-rijs karena keduanya dinilai dalam arti yang sama. Sebagaimana dikemukakan di atas. Ayat tersebut adalah:        Artinya: ”Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan- perkataan dusta.” QS. 22:30 Kalau demikian, ayat yang berbentuk larangan di atas dan yang menjelaskan arti kotoran, yakni ”berhala-berhala” dapat diangkat untuk menjelaskan ar-rijz pada ayat 5 Al-Muddatsir yang juga menggunakan bentuk larangan sehingga ayat tersebut seharusnya diartikan sebagai petunjuk kepada Rasullah SAW. Untuk menjauhi berhala-berhala atas dorongan kebencian kepadanya. Mengartikan ar-rijz dengan berhala lebih diperkuat lagi setelah menganalisis arti uhjur yaitu meninggalkan sesuatu atas dorongan kebencian. Sebab, dosa apalagi siksa tidak perlu diperintahkan untuk dihindari dengan dorongan kebencian. Siapa yang tidak membenci sika ? ia pasti ditinggalkan petunjuk ini, sebagaimana petunjuk yang lain, bukanlah berarti bahwa Rasullah SAW. Pada suatu ketika pernah ”mendekati” berhala-berhala. Riwayat-riwayat bahkan menunjukkan sebaliknya, jangankan berhala, mengunjungi tempat-tempat yang tidak wajarpun tidak pernah dilakukannya. Dengan demikian, apa arti petunjuk tersebut untuk Nabi Muhammad SAW menyangkut kebijaksanaan yang harus beliau tempuh dalam melaksanakan dakwahnya ? penggarisan tersebut adalah: ”apa pun yang terjadi dan dengan dalih apa pun tidak diperkenankan bagimu, Muhammad, untu menerima dan merestui penyembahan berhala. ”prinsip akidah yang tidak dapat di tawar-tawar adalah keesaan tuhan yang murni serta penyembahan kepadanya semata ”. Dosa-dosa yang lain mungkin masih bisa ditolerir untuk sementara. Hal ini perlu mendapat penegasan sejak dini, karena perjalanan sejarah dakwah menunjukkan bahwa kaum musrikin menawarkan kompromi kepada Nabi. Tawaran yang ditolak secara tegas tersebut merupakan sebab nuzul dari surah Al-Kafirun. Bahkan Al- Qur‟an telah mengisyaratkan secara dini pula pada wahyu Al-Qalam QS. 68:9 bahwa mereka menginginkan supaya kamu bersikap lemah sehingga merekapun bersikap lemah kepadamu. Tetapi, tentunya berdasarkan petunjuk yang merupakan penggarisan dalam Al-Muddatsir ini, semua ajaran dan tawaran tersebut ditolak secara tegas oleh Rasullah SAW. Di atas telah dikemukan bahwa ayat ini merupakan ayat pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan redaksi larangan dan telah dikemukakan pula bahwa menungkin ada dosa-dosa yang dapat ditoleransi untuk sementara. Hal ini secara jelas dapat dibuktikan melalui perintah-perintah dan larangan Al- Qur‟an. Detemukan bahwa Al- Qur‟an memang menggunakan metode bertahap dalam petunjuk petunjuknya yang berkaitan dengan bidang hukum, namun tidak demikian jika berkenaan masalah akidah dan etika. Dalma bidang hukum, ditemukan pentahapan, baik petunjuk hukum yang berkenaan dengan kewajiban maupun larangan. Perintah shalat, misalnya, didahului dengan petunjuk serta penjelasan tentang kebesaran tuhan, kemudian disusul dengan ayat-ayat yang menghidupkan ”rasa keagamaan” sehingga mendorong manusia untuk mengadakan hubungan dengannya, baru kemudian disusul dengan perintah shalat dua kali sehari disertai dengan kebolehan bercakap-bercakap sambil melaksanakan shalat. Kemudian disusl dengan perintah khusyu dan larangan bercakap dan diakhiri dengan petunjuk untuk melaksanakannya lima kali sehari semalam. Hal yang dikemukakan di atas jelas berbeda dengan bidang-bidang akidah yang tidak menamai istilah pentahapan. Kandungan ayat Al-Muddatsir di atas merupakan salah satu contoh yang membuktikan hal tersebut dan inilah yang menjadi pegangan Nabi Muhammad SAW. Serta umatnya kemudian. Tidak ada kompromi atau pengorbanan dalam bidang akidah. Penulis cenderung memahaminya dalam arti berhala. Karena kalau kita menelusuri ayat-ayat yang berbicara tentang ar-rijz dan ar-rijs, maka akan kita temukan bahwa ayat-ayat tersebut disusun dalam bentuk berita. Tetapi ditemukan satu ayat yang menggunakan redaksi “mencegah” sekaligus menjelaskan apa yang dimaksud dengan ar-rijs dan tentunya juga ar-rijz, karena keduanya dinilai dalam arti yang sama sebagaimana telah dikemukakan di atas. Ayat tersebut adalah firman-Nya dalam QS. al-hajj [22] : 30 maka hindarilah behala-berhala yang najis. Kalau demikian, ayat yang berbentuk larangan di atas dan yang menjelaskan arti kekotoran, yakni berhala-berhala, dapat diangkat untuk menjelaskan arti ar-rijz pada ayat 5 surat Al-Mudatsir ini yang menggunakan bentuk larangan sehingga ayat tersebut seharusnya diartikan sebagai petunjuk kepada Rasulullah SAW. untuk menjauhi berhala-berhala atas dorongan kebencian kepadanya. mengartikan ar-rujz atau ar-rijz, dengan berhala lebih diperkuat lagi setelah menganalisis arti uhjur, yaitu meninggalkan sesuatu atas dorongan kebencian. Petunjuk ayat di atas sebagaimana petunjuk yang lalu , bukanlah berarti bahwa Rasulullah SAW pada suatu ketika pernah “mendekati” berhala-berhala. Riwayat-riwayat bahkan menunjukkan sbaliknya, jangankan behala, mengunjungi tempat-tempat yang tidak wajar pun tidak pernah dilakukannya.    6 “Dan janganlah memberi untuk memperoleh yang lebih banyak” Ayat di atas merupakan petunjuk keempat dalam rangkaian petunjuk petunjuk Al- Qur‟an kepada Nabi Muhammad SAW. Demi suksesya tugas-tugas dakwah. sebagian ulama bependapat bahwa ayat keenam bukan lagi meupakan suatu kerangkaian dari segi masa turunnya dengan ayat-ayat terdahulu, karena adanya suatu riwayat yang menyatakan bahwa ayat yang kelima merupakan akhir ayat dalam rangkaian wahyu ini. lebih jauh mereka berpendapat bahwa ayat kenam ini turun setelah Rasulullah SAW melaksanakan perintah berdakwah. penulis tidak cenderung mendukung pendapat tersebut, walaupun harus diakui kesahihan sanad riwayat yang menegaskan bahwa rangkaian pertama wahyu al- mudatsir hanya sampai dengan ayat kelima.yang telah diriwayatkan oleh Al- Bukhari .dengan demikian penulis cenderung menjadikan ayat kenam dan ketujuh ini merupakan suatu rangkaian dari segi masa turunnya dengan ayat-ayat sebelumnya. Kata ننمت tamnun terambil dari kata manana yang dari segi asal pengertiannya berarti memutus atau memotong. Sesuatu yang rapuh, tali yang rapuh dinamai نينم ل ح habl manin karena kerapuhannya menjadikan ia mudah putus . pemberian yang banyak dinamai نم minnah, karena ia mengandung arti banyak sehingga seakan-akan ia tidak putus-putus. Makanan yang diturunkan kepada bani Israil dinamai نملا al-mann karena ia turun dalam bentuk kepingan terpotong-potong. sedangkan menyebut-nyebut pemberian dinamai نم mann karena ia memutuskan ganjaran yang sewajarnya diterima oleh pemberinya. Beraneka ragam pendapat ulama tentang maksud ayat di atas. al- Qurthubi mengemukakan sebelas pendapat, yang setelah diteliti sebagian darinya dapat dikelompokkan dengan sebagian yang lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada empat pendapat ulama tafsir tentang ayat keenam ini yaitu: 1. Jangan merasa lemah pesimis untuk memperoleh kebaikan yang banyak. pendapat ini berdasarkan suatu qiraat bacaan yng dinisbahkan oleh sahabat Nabi , abdullah ibnu mas‟ud, yang membaca ayat di atas dengan يخلا ىف ثكتست ننمت ا Pengertian tersebut dapat dibenarkan oleh penggunaan bahasa, karena ننمت tamnun yang darinya dibentuk kata نيننم manin yang berarti lemah walaupun penulis tidak menemukan ayat yang menggunakan kata tersebut dalam arti lemah. Namun perlu dicatat bahwa kata يخلا ىف fi al-khair pada bacaan tersebut bukanlah bagian ayat ini, tetapi dia dinamai mudraj yakni sisipan dari sahabat mulia itu dalam konteks menjelaskan maksudnya. 2. Jangan memberikan sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan yang lebih banyak darinya.pendapat ini berdasarkan pengertian kata نم manna yang biasa diterjemahkan dngan meemberi .dalam Al-Qur ‟an ditemukaan sekian ayat yang mengandung arti tersebut seperti, misalnya dalam QS.Shad [38]:39. 3. Janganlah membrikan sesuatu dan menganggaap bahwa apa yang engkau berikan itu banyak. Maksud dai larangan di atas mengarah kepada pengikisan sifat kikir dengan menggunakan suatu redaksi yang halus . pemahaman ini berdasarkan kenyataan bahwa seseorang yang menganggap pemberiannya merupakan sesuatu yang banyak, pada hakikatnya ingin menguranginya, dan hal tersebut menunjukan bahwa ia memiliki sifat kikir. Pendapat ketiga ini sama dari segi pengertian kata tamnun dengan pendapat pertama, namun pengertian yang dikemukakan disini berbeda dngan pengertian pertama akibat perbedaan pendapat tentang arti huruf sin pada kata ثكتثت tastaksir. pendapa pertama mengartikannya dengan menganggap. 4. Jangan menganggap usahamu berdakwah sebagai anugrah kepada manusia, tetapi berupa ganjaran dari Allah. Konsekuensi dari larangan ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak dibenarkan menuntut upah dari usaha- usaha beliau dalam berdakwah. Konsekuensi dari larangan ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak dibenarkan menuntut upah dari usaha-usaha beliau dalam berdakwah kalau kita kembali kepada Al- Qur‟an, maka hanya sekali kita menembukan kata tammun ننمت yakni pada ayat enam tersebut di atas, tetapi bila kita menelusuri semua kata yang berakar pada kata manana ننم yang darinya kata tanmmun juga terambil, maka ditemukan keseluruhannya berjumlah 27 kali, dengan pengertian yang berbeda-beda, yakni: 1. Anugerah atau pemberian, seperti dalam Surah Al-Imran ayat 164:            Artinya: “Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri.” 2. Putus, seperti dalam Surah Fushshilat ayat 8:     Artinya: “bagi mereka ganjaran yang tiada putus-putusnya 3. Menggap pemberian sebagai anugerah sehingga menyebut-nyebutnya, seperti dalam Surah Al_Imran ayat 164 di atas. 4. Sejenis makanan manis seperti madu yang diturunkan Allah SWT kepada Bani Israil yang disampaikan oleh Al- Qur‟an dalam Surah Al-Baqarah ayat 57.     Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu manna dan salwa.” Kata manana ننم dari segi asal pengertiannya adalah “memutus” atau “memotong” sesuatu yang rapuh, misalnya tali yang rapuh, dinamai Nabi mani ٌنينم ٌل ح , sebab karena rapunya ia mudah putus. Pemberian yang banyak anugerah dinamai minnah َنم, karena ia mengandung arti “banyak” sehingga seakan-akan ia tidak putus-putus makanan yang diturunkan kepada Bani Israil dinamai Al-Mann ٌنم karena ia memutuskan ganjaran yang sewajarnya diterima oleh pemberinya. Berdasarkan arti di atas, yang kesemuanya ditemukan dalam Al- Qur‟an, kemudian kita membandingkannya dengan keempat pendapat tentang arti ayat keenam ini, maka terlihat bahwa arti “lemah” yang menjadi dasr pengertian pendapat pertama tidak digunakan oleh Al- Qur‟an, walaupun dikenal oleh bahasa Arab. Atas dasar ini, kita tidak cenderung menyetujui pendapat pertama tersebut. Pendapat kedua, yakni: “jangan memberikan sesuatu dengan tujuan mendapatkan yang lebih banyak darinya,” menurut hemat penulis, walaupun dari segi ide larangan tersebut benar secara etis, namun keberatan untuk menerimanya muncul dan tidak ditemukan pada ayat tersebut. Indikator untuk adanya sisipan dalam arti bahwa kata- kata “dengan tujuan” yang disisipkan oleh penganut- penganut tersebut. Walaupun penyisipan kata dalam suatu redaksi dibenarkan dari segi tata bahasa, namun mayoritas Ulama Tafsir tidak melakukannya kecuali bila sisipan tersebut memang dibutukan dmei ksempurnaan makna suatu redaksi. Dalam ayat yang ditafsirkan ini, agaknya sisipan tersebut tidak dibutuhkan, karena kita masih daapt memahaminya secara baik dan sempurna tanpa memberikan sisipan. Adapun pendapat ketiga, ia tidak didukung oleh konteks pembicaraan ayat yang merupakan bimbingan bagi Nabi Muhammad SAW. Dalam menghadapi umat. Penulis cenderung memilih pendapat keempat, yakni bahwa ayat ini meletakkan beban tanggung jawab di atas pundak Nabi guna menyampaikan dakwahnya tanpa pamrih atau tidak menuntut suatu imbalan duniawi. Hal ini sejalan dengan perintah tuhan kepada beliau untuk selalu menegaskan:       Katakanlah: Aku tidak meminta atas hal ini dakwah sedikit imbalan pun.” QS. Al-Furqon: 57 Berdakwah bukan untuk memperoleh imbalan duniawi, apaun bentuknya imblaan tersebtu. Karena itu, pernyataan yang senada dengan pernyataan tersebut ditemukan tidak kurang dari 12 kali dalam Al- Qur‟an dan yang diucapkan oleh berbagai Nabi dan Rasul, seperti Nabi Nuh dalam Surah yunus ayat 72, Nabi Shalih dalam Surah Hud ayat 51, Nabi Hud, Nabi Luth, dan Nabi Syu‟aib masing- masing dalam surah Asy- Syu‟ara 127, 164 dan 186. Telah menjadi kodrat Nabi atau dengan kata lain “hukum kemasyarakatan” bahwa setiap Nabi serta pewaris-pewaris mereka yang bermaksud merombak keyakinan masyarakatnya yang telah mapan, serta membawa paham-paham pembaharuan, selalu mendapat tantangan baca QS. 25:31. Dan sering kali tantangan tersebut datang bersamaan dengan tuduhan- tuduhan menya ngkut i‟tikad baik mereka dengan menyatakan bahwa mereka memiliki tujuan-tujuan duniawi, ambisi pribadi tersebut. Tentunya tuduhan- tuduhan tersebut harus dibuktikan kekeliruannya dan salah satu caranya adalah penegasan serta pembuktian bahwa sedikit imbalan duniawipun tidak mereka harapkan dalam penyampaian dakwah tersebut. Disini kita melihat ciri khas dari semua dakwah keagamaan ia bersumber dari “langit” sehingga para penyampaiannya harus mampu melepaskan kaitan antara dakwahnya dan tujuan-tujuan pribadi nya yang bersumber dari “bumi” keduniaan. Agama harus dibebaskan dari hal tersebut, karena bila tidak terbebaskan ajarannya akan menyimpang dari ciri khas isinya, bahkan ia pun akan dianut bila ada yang menganutnya untuk tujuan-tujuan keduniaan. Dan apabila yang demikian itu terjadi, terbukalah pintu selebar-lebarnya untuk mecemoohkan dan megabaikan ajarannya. Ajakan keagamaan harus dibebaskan dari kepentingan duniawi pengajakannya, karena kalau tidak demikian, ia akan diputar balikan atau dalam istilah Al- Qur‟an, ia akan “ditakwilkan” QS. 3:71 demi kepentingan pribadi guna mencipatkan kesempatan berkuasa, mempertahankan kedudukan, memperoleh popularitas dan atau menimbun materi. Inilah agaknya yang merupakan sebagian alasan mengapa sejak dini, yakni bersamaan dengan saat diperintahkan untuk meyampaikan dakwah, Allah SWT telah menekankan kepada manusia yang di tugaskan itu bahwa: “janganlah menganggap demikian, karena anggapan ini mengantar kepada perasaan adanya “jasa” kepada mereka yang kemudian melahirkan usaha untuk menuntut imbalan duniawi dari mereka. Bila petunjuk ini dilaksanakan, mereka pasti akan percaya sehingga akan semakin banyak orang yang mengikutimu.” Sebelum beralih kepada ayat ke tujuh yang merupakan petunjuk ke lima dalam rangkaian wahyu ini, kita perlu menggaris bawahi satu masalah yang berkaitan erat dengan kehidupan para da‟i dewasa ini. Pada hakikatnya. Menerima sesuatu yang berbentuk materi atau duniawi, baik oleh para Nabi maupun para penerus-penerus mereka, tidaklah terlarang menurut ayat ini, bahkan tidak pula menurut keseluruhan ajaran agama. Nabi Muhammad SAW sendiri sering kali menerima pemberian- pemberian atau hadiah-hadiah dari berbagai pihak, baik sahabatnya maupun penguasa-penguasa pada masanya. Dari Alexandria di Mesir, penguasa Mesir ketika itu mengirimkan kepada beliau pakaian-pakaian, seekor binatang kendaraan “Baghal” hasil perkawinan kuda dan keledai serta dua orang gadis yang kemudian salah satunya di nikahi oleh Nabi dan yang darinya lahir putera beliau yang diberi nama Ibrahim. Tetapi pemberian tersebut bukan sebagai imbalan dakwanya, atau diperolehnya melalui permintaan halus atau tegas. Adalah sangat keliru anggapan sementara orang yang meminta keikhlasan melalui penerimaan materi, karena daapt saja seseorang melakukan satu pekerjaan dengan penuh keikhlasan dan pada saat yang sama ia menerima materi. Demikian pula sebaliknya dapat saja seseorang menolak penerimaan materi tetapi justru penolakannya mengandung unsur pamrih riya. Ayat di atas melarang mengaitkan dakwah dengan tujuan memperoleh imbalan duniawi yang salah satu contoh perwujudannya adalah memilih atau memilah objek dakwah atas dasar “basah dan keringnya” objek tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka kepercayaan terhadap para pengajar akan sirna dan pada saat itu dakwah yang disampaikan tidak berbekas lagi. Harus diakui bahwa larangan memperoleh imbalan tersebut akan mengakibatkan kesulitan bagi penganjur- penganjur ajaran agama dan karenannya, petunjuk selanjutnya masih sangat dibutuhkan. Petunjuk yang dimaksud adalah ayat ketujuh dan terakhir dalam rangkaian wahyu pertama Al-Muddatsir ini.    7 “Dan hanya kepada Tuhanmu saja maka bersabarlah“ Sebagaimana ditegaskan oleh ayat-ayat yang lalu, harus diakui bahwa larangan memperoleh imbalan tentu dapat mengakibatkan kesulitan bagi penganjur-penganjur ajaran agama, dan karenanya ayat di atas memberi petunjuk terakhir dalam konteks surat Al-Mudatsir ini yaitu Dan hanya kepada Tuhanmu saja apapun yang kau hadapi maka bersabarlah. Dalam kamus bahasa-bahasa kata ص shabr sabar diartikan sebagai menahan, baik secara fisik material, seperti menahan diri atau jiwa dalam menghadapi sesuatu yang diinginkannya .dari akar kata shabr diperoleh sekian bentuk kata dengan arti yang beraneka ragam. Sabar bukanlah kelemahan atau menerima apa adanya tetapi ia adalah perjuangan yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan keinginan nafsunya.Di dalam Al- Qur‟an, ditemukan perintah bersabar berkaitan dengan sekian banyak konteks, antara lain: 1. Menanti ketetapan Allah, seperti dalam QS.Yunus [10]:109. 2. Menanti datangnya janji Allah atau hari kemenangan, seperti dalam QS. Ar-rum [30]:60. 3. Menghadapi ejekan dan gangguan orang-orang yang tidak percaya, seperti dalam Qs. Thaha [20]:130. 4. Menghadapi dorongan nafsu untuk melakukan pembalasan yang tidak setimpal, seperti QS. An-Nahl [16]:127. 5. Melaksanakan ibadah, seperti dalam QS. Maryam [19]:65. 6. Menghadapi malapetaka, seperti dalam QS. Luqman [31]:17. 7. Memperoleh apa-apa yang diinginkan, seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]:53. Ar-Raghib Al-Asfahany, seorang ahli dalam bidang tafsir dan bahasa Al- Qur‟an, menjadikan ayat 177 surah Al-Baqarah sebagai kesimpulan dari segala macam bentuk kesabaran atau ketabahan yang dituntut Al- Qur‟an. Ayat tersebut berbicara tentang al-birr kebaikan dan orang-orang yang melakukannyan adalah mereka yan gdigambarkan sebaga i “Orang-orang yang bersabar dalam al- ba‟sa‟, adh-dharra, dan hina al-ba‟s. Menurut Ar-Raghib, Sabar tabah dalam menghadapi kebutuhan yang mengakibatkan kesulitan tergambar dlam kata al- ba‟sa, sabar dalam menghadapi kesulitan malapetaka yang telah menimpa, dicakup oleh kata adh-dharra, sedangkan sabar dalam peperangan atau menghadapi musuh tergambar dalam hina al- ba‟s. Dengan demikian, kesabaran yang dituntut Al- Qur‟an adalah pertama, dalam usaha mencapai apa yang dibutuhkan kesabaran ini menuntut usaha yang tidak mengenal lelah, serta tidak memperdulikan rintangan apapun, sampai tercapainya apa yang dibutuhkan itu. Kedua, sabar dalam menghadapi malapetaka sehingga menerimanya dengan jiwa yang besar dan lapang dada guna memperoleh imbalan dan hikmahnya dan yang terakhir yang secara khusus digaris bawahi adalah dalam peperangan dan perjuangan. Walaupun hal yang terahir sudah dapat tercakup oleh kedua hal sebelumnya. Penulis cenderung memahami perintah bersabar disini dalam pengertiannya yang luas mencangkup semua yang diuaikan di ataswalaupun kita dapat berkata bahwa ayat ini menekankan kesabaran secara khusus, yakni dalam menghadapi gangguan-gangguan mereka yang tidak mempercayai ajaran agama yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Penekanan khusus ini dipahami dari lanjutan ayat tersebut yang menggunakan kata penghubung ف fa yang diartikan oleh karena atau disebabkan, dan dengan demikian ayat ini telah memberikan isyarat yang cukup jelas kepada Nabi SAW.bahwa dalam melaksanakan tugas Dakwah, beliau pasti akan menghadapi tantangan, rintangan serta gangguan-gangguan dari berbagai pihak. Kini setelah pengertian dan kandungan yang dicangkup oleh perintah bersabar fashbir, maka kita kembali mempertanyakan apa yang dimaksud dengan kalimat كب ل wa li rabbika yang diterjemahkan dengan karena Tuhanmu saja. Kalimat ini menuntun agar kesabaran dilaksanakan oleh Nabi semata-mata karena Allah SWT. Bukan karena sesuatu yang lain. Misalnya, karena diiming-imingi oleh pencapain target, dalam hal ini target keislaman umat manusia. Ayat ini melalui kalimat wa li rabbika ingin menegaskan bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan perintah Allah SWT dengan penuh ketabahan da kesabaran, apapun hasil yang dapat dicapai akibat ketabahan dan kesabaran tersebut. Menurut Quraish Shihab dalam bukunya ”Membumikan Al-Qur‟an: fungsi dan peran wahyu dalam kehidup an masyarakat” bahwasanya ada empat tugas yang harus dijalankan oleh da‟i sesuai dengan tugas keNabian dalam mengembangkan kitab suci: 1. Menyampaikan tabligh ajaran-ajarannya, sesuai dengan perintah, wahai rasul sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu QS. 5:67. 2. Menjelaskan ajaran-ajaranya berdasarkan ayat, dan kami turunkan al- Kitab kepadamu untukkamu jelaskan kepada manusia QS. 16:44 3. Memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat berdasarkan ayat, dan Allah turunkan bersama mereka Al-Kitab dengan benar, agar dapat memutukan perkara QS. 2:213 4. Memberikan contoh pngalaman, sesuai dengan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh bukhari, yang menyatakan bahwa prilaku Nabi adalah praktek dari Al- Qur‟an. Sungguh tidak ringan tugas yang dipikul oleh seorang da‟i, ia harus selalu menyampaikan segala yang tersurat dan tersirat dalam Al- Qur‟an sebagai suatu kewajiban. Disamping harus dapat memberikan penjelasan dan pemecahan mengenai problem yang dihadapi masyarakat, berdasarkan Al- Qur‟an meskipun al-Qir‟an tidak memberikan konsep prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai yang digariskannya. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Dalam hal ini, seorang da‟i tidak dapat berpegang hanya pada satu penafsiran ayat Al- Qur‟an saja. Tetapi ia harus dapat mengembangkan prinsip-prinsip yang ada dalam menjawab tantangan yang selalu berubah. Hal ini bukan berarti bahwa Al-Quran mengakui begitu saja dengan perkembangan masyarakat. Da‟i harus dapat memberikan petunjuk dan bimbingan yang mengarahkan perkembangan budaya modern atau tekhnologi yang canggih sekalipun 4 Adapun bekal yang harus dimiliki oleh da‟i yang tertulis dalam surah al-Muddaatsir ayat 1-7 menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbahnya mencangkup empat hal sebagai berikut:

1. Ibadah kepada Allah SWT.