SAW  tidak  meneriam  wahyu,  sehingga  kalau  surah  l-Muddatsir  ini  akan dinamakan juga surah  yang pertama  yang turun, maka yang dimaksud surah
pertama  setelah  selang  waktu  tersebut,  bukan  yang  pertama  scara keseluruhan.
Antara  al-Muddatsir  dan  al-Muzammil  tidak  dapat  dipastikan  yang mana yang terdahulu dan yang mana yang kemudian. Kisah turunnya sangat
mirip,  yakni  seperti  yang  diceritakan  Jabir  di  atas.  Ayat-ayat  awalnya  pun berbicara  menyangkut  hal  yang  sama.  Yaitu  pembinaan  terhadap  diri
Rasulullah SAW, dalam rangka menghadapi tugas-tugas penyebaran agama.
1
3. Ayat Tentang Bekal Da’i dan penjelasannya
1
Artinya : “Hai yang berselimut.”
Kata al-Muddatsir  terambil  dari  kata
iddatsara.  Kata  ini apapun bentuknya, tidak ditemukkan dalam  Al-
Qur‟an kecuali sekali, yaitu pada ayat pertama surah ini.Iddatsara berarti mengenakan
ditsar, yaitu sejenis kain yang  diletakkan  di  atas  baju  yang  dipakai  dengan  tujuan  menghangatkan  atau
dipakai  sewaktu  berbaring  tidur  selimut.  Disepakati  oleh  ulama  tafsir  bahwa yang dimaksud dengan yang berselimut adalah Nabi Muhammad SAW.
Sabab  nuzul  yang  dikemukakan  di  atas  mengundang  kita  untuk memahami  kata  “berselimut”  dalam  arti  yang  hakiki,  bukan  dalam  arti  kiasan
seperti  “berselubung  dengan  pakaian  keNabian”    atau  dengan    “akhlak  yang mulia”  bila  kalimat  “orang  yang  berselimut“  dikaitkan  lebih  jauh  dengan  sebab
1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur‟an, Jakarta :
Lentra Hati , 2002
turunnya ayat, maka arti yang ditunjuk oleh peristiwa tersebut adalah orang yang diselimuti. Pengertian ini didukung oleh suatu bacaan yang dinisbahkan kepada
Ikrimah, yaitu: menyelimuti adalah istri beliau, khadijah ra.
Menyelimuti diri atau diselimuti, tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa takut yang menyelimuti jiwa Nabi Muhammad SAW, beberapa saat sebelum
turunnya  ayat-ayat  ini.  biasanya  bila  seseorang  takut,  ia  akan  menutupi  dirinya atau ia akan menggigil, dan saat  itu selimut akan sangat  bermanfaat.  Inilah  yang
tejadi  pada  diri  Nabi  Muhammad  SAW.  Khususnya  pada  masa  awal  kedatangan malaikat  jibril  kepada  beliau.  Hal  ini  terbukti  setelah  mengamati  pula  surah  Al-
Muzzammil yang turun berselang dengan surah ini dan yang artinya sama, yaitu” orang yang berselimut”.
Perasaan  takut  yang  meliputi  diri  Nabi  Muhammad  SAW.  Pada  awal kedatangan wahyu agaknya disebabkan karena pengalaman pertama beliau alami
ketika menerima wahyu Iqra. Beliau dirangkul oleh malaikat sedemikian kuatnya sehingga,  seperti  yang  beliau  akui  sendiri  dalam  hadits  yang  diriwayatkan
Bukhariy, “Telah  kurasakan  puncak  kepayahan  “atau,  dengan  kata  lain,  pada
riwayat  Ath- Thabariy,  “Aku  mengira  bahwa  itulah  kematian  mungkin  juga
perasaan  takut  tersebut  akibat  pandangannya  kepada  malaikat  yang  diberi  sifat oleh Al-
Qur‟an sebagai “yang mempunyai kekuatan disisi Allah, Pemilik „Arsy” QS 81:20; atau karena beratnya wahyu yang beliau terima itu QS 73:5. Adapun
penyebab rasa takut beliau yang dipahami dari sebab nuzul ayat serta dari celah- celah  kata  “Al-Muddatsir”,  namun  ia  sama  sekali  tidak  mengurangi  keagungan
Rasul  SAW.  Perasaan  serupa  pernah  dialami  oleh  Nabi  Musa  ketika  beliau
melihat tongkatnya berubah menjadi ular QS. 27:10. Hal-hal semacam ini untuk menggambarkan  bahwa  para  Nabi,  walaupun  mempunyai  keistimewaan-
keistimewaan  dari  segi  spiritual,  namun  mereka  tidak  luput  dari  naluri kemanusian, seperti rasa takut tersebut. Dan memang tidak mungkin bagi seorang
manusia  untuk  tidak  merasa  gentar  atau  takut  ketika  menghadap  untuk  pertama kalinya hal-hal semacam itu.
2
2
“Bangkitlah, lau berilah peringatan”
Kata
مق
qum terambil dari kata
م ق
qawama yang mempunyai banyak bentuk.  Secara  umum,  kata-kata  yang  dibentuk  dari  akar  kata  tersebut  diartikan
sebagai “melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagai seginya”. Karena itu, perintah  di  atas menuntut kebangkitan  yang  sempurna , penuh semangat  dan
percaya  diri,  sehingga  yang  diseru  dalam  hal  ini  Nabi  Muhammad  SAWharus membukabselimut,  menyingsingkan  lengan  baju  untuk  berjuang  menghadapi
kaum musrikin.
Kata
نا
andzir  berasal  dari  kata
ن
nadzara  yang  mempunyai banyak  arti,  antara  lain,  sedikit,  awal  sesuatu  dan  janji  untuk  melaksanakan
sesuatu  bila  tepenuhi  syaratnya.  Pada  ayat  di  atas,  kata  ini  biasa  ditejemahkan dengan  peringatkanlah.  Peringatan  di
definisan  sebagai  “penyampaian  yang mengandung unsur menakut-
nakuti.” Bila  diperhatikan  arti  asal  kosa  kata  tersebut,  maka  peringatan  yang
disampaikan  itu  merupakan  sebagian  kecil  serta  pendahuluan  dari  satu  hal  yang besar dan berkepanjangan dan apa yang diperingatkan itu pasti akan terjadi selama
syaratnya  telah  terpenuhi.  Syarat  tersebut  adalah  pengabaian  kandungan peringatan tersebut.
Disini  timbul  pertanyaan,  siapakah  yang  diperingatkan  dan  apa
kandungan  peringatan  tersebut?  Pertanyaan  ini  tidak  tersurat  jawabannya  dalam
2
M. Quraish Shihab, Tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan urutan turunnya wahyu Bandung: Pustaka Hidayah Cet. ke 3 1999 h. 219
redaksi ayat, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama tafsir. Satu  pihak  beranggapan  bahwa  mereka  yang  diperingatkan  sengaja  tidak
dikemukakan.  Hal  ini,  dissamping  untuk  menyesuaikan  bunyi  akhir  ayat  ini dengan  bunyi  akhir  ayat  yang  lain  dan  ayat-ayat  kemudian,  masing-masing
berakhir  dengan  huruf  ra juga  untuk  memberikan  cakupan  yang  umum  bagi
perintah  tersebut.  Dalam  Surah  Yunus  ayat  2  dijelaskan,  Patutkah  menjadi
keheranan  bagi  manusia  bahwa  kami  mewahyukan  kepada  seorang  lelaki diantara mereka bahwa
, “Berikanlah peringatan kepada manusia”
3
Ada juga ulama  yang berpendapat bahwa pada dasarnya perintah di sini belum ditujukan secara khusus kepada siapapun. Yang penting adalah melakukan
peringatan,  kepada  siapa  saja,  terserah  kepada  Rasulullah  SAW.  Hal  ini  sama dengan  perintah  makan  dan  minum,  baik  yang  ditemukkan  dalam  Al-
Qur‟an maupun  ucapan  seseorang  yang  mempersilahkan  tamunya  untuk  makan  dan
minum. Penulis cenderung untuk mendukung pendapat kedua ini, karena sejarah
memberitakan  bahwa  realisasi  perintah  itu  dilaksanakan  oleh  rasul  SAW.  Dalam bentuk  rahasia  yang  ditunjukan  kepada  orang-orang  yang  tertentu,  baik
keluarganya  maupun  teman-teman  yang  beliau  anggap  dapat  menerima  ajaran Islam, atau minimal tidak menimbulkan  reaksi yang dapat  menghalangi lajunya
dakwah.  Realisasi  perintah  ini  secara  terbuka  dimulai  setelah  berlau  tiga  tahun dari turunnya wahyu pertama, yakni dengan turunnya QS. Asy-
Syua‟ra : 26: 214
3
Ibid h.221
 
Artinya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”.
Dan ayat 94 Surah Al-Hijr
 
 
 
Artinya: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan  kepadamu  dan  berpalinglah  dari  orang-orang  yang musyrik
”. Adapun  kandungan  peringatan,  maka  berdasarkan  petunjuk  ayat-ayat
yang  menggunakan  redaksi  yang  sama  dengan  redaksi  ayat  ini,  dapat  kita katakana bahwa peringatan tersebut menyangkut “siksa di hari kemudian” dalam
Surah Ghafir Ayat 18 dinyatakan:
 
 
 
 
 
 
 
 
Artinya: “Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat hari kiamat yaitu
ketika  hati  menyesak  sampai  di  kerongkongan  dengan  menahan kesedihan.”
Demikian pula dengan surah ibrahim ayat 44:
 
 
Artinya: “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari yang pada
waktu itu datang azab kepada mereka”. Apa yang dikemukakan di atas tentang kandungan peringatan ini lebih di
perkuat  lagi  dengan  hadits  yang  menceritakan  kandungan  perintah  Nabi  SAW.
Ketika  turunya  firman  Allah  SWT  yang  memerintahkan  beliau  untuk  memberi peringatan kepada kerabat-kerabatnya yang dekat.
Dalam  redaksi  ayat  itu  juga  tidak  disebutkan  kandungan  peringatan, namun didalam hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabriy diinformasikan bahwa
ketika  itu  beliau  menyampaikan,  “Seandainya  kuberikan  kepada  kalian  bahwa dibelakang  bukit  Shafa  ini  telah  terkumpul  barisan  berkuda  untuk  menyerang
kalian, apakah kalian mempercayaiku ?” mereka menjawab, “kami tidak pernah mengenal  kebohongan  dari  engkau”  Rasul  bersabda:  “ketahuilah  bahwa
sesungguhnya  aku  adalah  pemberi  peringatan  kepada  kalian  tentang  siksa  yang akan datang dan amat pedih”.
Meyakini bahwa  kandungan  peringatan  tersebut  adalah  “siksa  tuhan”
menurut  hemat  penulis,  lebih  tepat  dari  pada  menjadikan  kandungan  ayat  ketiga “Dan  tuhanmu,  Agungkanlah  ”  sebagai  peringatan  yang  ditugaskan  kepada
Nabi  untuk  menyampaikannya.  Sebab,  kaidah  kebahasaan  tidak  mendukungnya, walaupun terdapat suatu ayat dalam Al-
Qur‟an yang memerintahkan kepada Nabi- Nabi untuk memberi keringatan tentang keesaan tuhan QS. 15:2.
3    
“Dan Tuhanmu, maka agungkanlah“
Karena  memberi  peringatan  dapat  mengakibatkan  kebencian  dan gangguan  dari  yang  diperingati,  maka  ayat  di  atas  melanjutkan  bahwa  dan
bersamaan itu hanya tuhan pemelihara dan pendidikmu saja, apapun yang terjadi maka agungkanlah
Ayat  ketiga  surah  ini  sampai  dengan  ayat  ketujuh  yang  turun  sebagai suatu rangkaian dengan ayat pertama dan kedua, merupakan petunjuk Allah SWT
dalam rangka pembinaan diri Nabi SAW. Demi suksesnya tugas-tugasvkeNabian. Petunjuk yang pertama adalah “ dan Tuhanmu, maka agungkanlah
Kata
كب
Tuhanmu  pada  ayat  di  atas  disebutkan  mendahului  kata ك agungkan. Itu disamping untuk menyesuaikan bunyi akhir ayat, bahkan yang
lebih  penting  untuk  menggambarkan  bahwa  perintah  takbir  mengagungkan hendaknya hanya diperuntukkan baginya semata-mata, tidak terhadap sesuatu pun
selain-Nya.  Mengagungkan  tuhan  dapat  berbentuk  ucapan,  perbuatan,  atau  sikap bathin. Takbir dengan ucapan adalah mengucapkan Allahu akbar. Takbir  dengan
sikap bathin adalah menyakini bahwa dia maha besar, kepada-Nya tunduk segala makhluk dan kepada-Nya kembali  keputusan segala sesuatu. Apapun dihadapan-
Nya  adalah  kecil  dan  tidak  berarti,  sehingga  bila  terjadi  benturan  dengan kehendak  atau  ketetapan-Nya,  maka  dia  pasti  yang  menentukan.  Sedang  takbir
dengan  perbuatan  adalah  pengejawantahan  makna-
makna yang dikandung”takbir dengan sikap bathin” tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Perintah  bertakbir  disini  mencakup  ketiga  hal  di  atas,  bahkan  diamati
bahwa  dalam  Al- Qur‟an tidak ditemukan perintah untuk “mengucapkan takbir”,
berbeda  hanya  dengan  Hamdallah  ucapan  al-hamdullah.  Perintah  bertakbir hanya  ditemukan  dua  kali  dalam  Al-
Qur‟an.  Yaitu  pada  surah  Al-Muddatsir  ini pada Surah Al-Isra ayat 111:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Artinya:
“
Dan  Katakanlah:  Segala  puji  bagi  Allah  yang  tidak  mempunyai  anak dan  tidak  mempunyai  sekutu  dalam  kerajaan-Nya  dan  dia  bukan  pula
hina  yang  memerlukan  penolong  dan  agungkanlah  dia  dengan pengagungan yang sebesar-besarnya
”.
Ketika seseorang mengucapkan takbir, maka pada hakikatnya ada dua hal yang  seharusnya  ia  capai,  pertama,  pernyataan  keluar  sikap  bathinnya  tersebut.
Kedua,  mengatur  sikap  lahirnya  sehingga  setiap  langkahnya  berada  dalam kerangka makna kalimat tersebut.
Dampak  dari  kedua  hal  ini  adalah  terhujamnya  kedalam  jiwa,  rasa memiliki  serta  kesediaan  mempertahankan  hakikat  yang  diucapkannya  itu.
Disamping  tertanamnya  kesadaran  akan  kecil  dan  remehnya  segala  sesuatu selainnya.
Betapapun ia dinamai “besar” atau “agung” dan pada saat yang sama pengucapannya  merasa  kuat  dan  mampu  menghadapi  segala  tantangan  karena  ia
telah  mengaggungkan  jiwa  raganya  kepada  yang  maha  agung  itu,  dan  dengan demikian  ia  tidak  akan  meminta  perlindungan  kceuali  kepadanya.  Ia  tidak  akan
mengharapkan  sesuatu  yang  lebih  besar  kecuali  darinya.  Ia  akan  selalu melaksanakan  perintahnya,  ini  terjadi  akibat  rasa  takut  kepadanya,  butuh
kepadanya, atau bahkan akibat rasa kagum. Inilah petunjuk pertama yang merupakan titik tolak bagi segala aktivitas.
Karena itu, adalah sangat wajar apabila hakikat ini merupakan pelajaran pertama yang  diberikan  kepada  Muhammad  SAW.  dalam  rangka  menghadapi  tugasnya
yang berat.
4 
“Dan Pakaianmu, maka bersihkanlah” Inilah  petunjuk  kedua  yang  diterima  oleh  Rasulullah  SAW.  Dalam
rangka  melaksanakan  tugas  tabligh,  setelah  pada  petunjuk  pertama  dalam  ayat ditekankan  keharusan  mengkhususkan  pengagungan  takbir  hanya  kepada  Allah
SWT ayat  di  atas menyatakan “Dan pakaianmu bagaimanapun keadaanmu maka
bersihkanlah”.
Kata
يث
tsiyab adalah bentuk jamak dari kata
ث
tsaub pakaian. Disamping makna tersebut  ia  gunakan juga sebagai  majaz dengan makna-makna
antara lain: hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti keluarga dan istri. Kata
ط
thahir adalah bentuk  perintah, dari kata
ط
thahara  yang berarti membersihkan dari kotoran.
Kata  ini  dapat  juga  dipahami  dalam  arti  majaz,  yaitu  menyucikan  diri
dari  dosa  atau  pelanggaran.  Gabungan  kedua  kata  tersebut  dengan  kedua kemungkinan  makna  hakiki  atau  majaz  itu  mengakibatkan  beragamnya  pendpat
ulama yang dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok: 1.
Memahami  kedua  kosa  kata  tesebut    dalam  arti  majaz,  yakni  perintah untuk  menyucikan  hati,  jiwa,  usaha,  budi  pekerti  dan  segala  macam
pelanggaran,  serta  mendidik  keluarga  agar  tidak  terjerumus  di  dalam  dosa atau tidak memilih untuk dijadikan istri kecuali wanita-wanita yang terhormat
serta bertakwa. 2.
Memahami  keduanya  dalam  arti  hakiki,  yakni  membersihkan  pakaian  dan segala  macam  kotoran,  dan  tidak  mengenakannya  kecuali  apabila  ia  bersih
sehingga nyaman dipakai dan dipandang. 3.
Memahami  tsiyab  pakaian  dalam  arti  majaz  dan  thahir  dalam  arti  hakiki, sehingga ia bermakna: “Bersihkanlah jiwa hati mu dari kotoran-kotoran”.
4. Memahami  Tsiyab  pakaian  dalam  arti  hakiki  dan  thahir  dalam  arti  majaz,
yakni  perintah  untuk  menyucikan  pakaian  dalam  arti  memakainya  secara halal  sesuai  ketentuan-ketentuan  agama  antara  lain  menutup  aurat  setelah
memperolehnya dengan cara-cara yang halal pula. Atau dalam arti “pakailah
pakaian  pendek  sehingga  tidak  menyentuh  tanah  yang  mengakibatkan kotornya  pakaian  tersebut.  Adat  kebiasaan  orang  arab  ketika  itu  adalah
memakai  pakaian-pakaian  yang  panjang  untuk  memamerkannya,  yang memberikan  kesan  keangkuhan  pemakainya  walaupun  mengakibatkan
pakaian tersebut kotor karena menyentuh tanah, akibat panjangnya. Penulis  cenderung  memilih  pendapat  yang  menjadikan  kedua  kata
tersebut  dalam  arti  hakiki.  Bukan  saja  karena  kaidah  tafsir  yang  menyatakan bahwa “satu kata tidak dialihkan kepada pengertian kiasan majazi kecuali bila
arti  hakiki  tidak  dapat  dan  atau  terdapat  petunjuk  yang  kuat  untuk  mengalihkan kepada makna majaz, tetapi juga karena memperhatikan konteks yang merupakan
sabab nuzul ayat ini yang menjelaskan bahwa ketika turunnya, Nabi Muhammad SAW.yang ketakutan melihat jibril, bertekuk lutut dan tejatuh ketanah  sehingga
tentu mengakibatkan kotornya pakaian beliau. Dan perlu kita ketahui bahwa semua pemeluk agama apapun agamanya
lebih-lebih  lagi  Islam  menyadari  bahwa  agama  pada  dasarnya  menganjurkan menganjurkan  kebersihan  bathin  seseorang.  Membersihkan  pakaian  tidak  akan
banyak  artinya  jika  badan  seseorang  kotor,  selanjutnya  membersihkan  pakaian dan badan belum berarti jika jiwa masih ternodai oleh dosa. Ada orang yang ingin
menempuh  jalan  pintas,  dengan  berkata,  “yang  penting  adalah  hati  atau  jiwa, biarlah  badan  atau  pakaian  yang  kotor,  karena  tuhan  tidak  memandang  kepada
bentuk-bentuk lahir. ”Sikap tersebut jelas tidak dibenarkan oleh ayat ini, jika kita
memahaminya  dalam  arti  hakiki.  Lebih  jauh  dapat  dikatakan  bahwa  pengertian hakiki  tersebut  mengantar  kepada  keharusan  memperhatikan  kebersihan  badan
dan  jiwa,  karena  jangankan  jiwa  atau  badan  ,  pakian  pun  diperintahkan  untuk dibersihkan.  sebagai  contoh,  jika  terdapat  perintah  untuk  menghormati  kakak,
maka  tentu  lebih  diperintahkan  lagi  untuk  menghormati  ayah,  walaupun  tidak tersurat dalam redaksi perintah. Disisi lain, dipahami dari petunjuk ayat ini, bahwa
seseorang  yang  bertugas  melayani  masyarakat  dan  membimbingnya  harus memiliki penampilan yang menyenangkan, antara lain kebersihan pakaiannya.
Kalau  dalam  petunjuk  pertama  pada  ayat  ketiga  ditekankan  pembinaan jiwa  dan  sikap  mentaal,  maka  dalam  ayat  keempat  ini  yang  ditekankan  adalah
penampilan  lahiriah  demi  menarik  simpati  mereka  yang  diberi  peringatan  dan bimbingan.
Dalam  ayat  di  atas,  Rasullah  SAW  diperintahkan  untuk  membersihkan pakaian-pakaian  beliau.  Telah  diuraikan  bahwa  perintah  ini  berkaitan  dnegan
konteks  ayat,  sehingga  kita  tidak  perlu  menduga  bahwa  sebelum  ini  Rasullah SAW.  Kurang  memperhatikan  kebersihannya  karena  sejarah  membuktikan
kekeliruan dugaan tersebut. Di sisi lain, dapat pula dipahami perintah di atas sama dengan  perintah  kepada  orang-orang  beriman.  Dalam  surah  An-Nisa  ayat  136,
Allah  memerintahkan:  Wahai  orang-orang  yang  beriman:  berimanlah  kepada Allah  dan  Rasulnya.  Perintah  tersebut  tentu  bukan  berarti  bahwa  mereka
sebelumnya belum beriman, tetapi ia merupakan perintah untuk mempertahankan. Memantapkan  dan  meningkatkan  iman  tersebut,  perintah  kepada  Rasullah  SAW
untuk  membersihkan  pakaian-pakaian  beliau  daapt  dipahami  demikian  pula, dalam  arti,  ”pertahankanlah,  mantapkan  dan  tingkatkanlah  kebiasaanmu  selama
ini dalam kebersihan pakainmu”. Sejarah  menjelaskan  bahwa  pakain  yang  paling  disukai  Rasullah  SAW
dan yang paling sering dipakainya adalah pakain-pakain yang berwarna putih. Hal
ini tentunya bukan saja disebabkan karena warna tersebut menangkal panas yang merupakan iklim umum daerah Mekkah dan sekitarnya, tetapi juga mencerminkan
kesenangan  pemakainya  terhadap  kebersihan,  karena  sedikit  saja  noda  pada pakain yang putih itu akan segera tampak. Sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau
juga  telah  dikenal  sebagai  seorang  yang  sangat  mendambakan  kebersihan.  Tidak semua  jenis  makanan  di  makannya.  Bawang  misalnya,  karena  memiliki  aroma
yang  tidak  menyenangkan  dihindarinya.  Bahkan  dianjurkan  kepada  para sahabatnya  untuk  tidak  mengunjungi  masjid  bila  baru  saja  memakan  bawang.
Noda dan kotoran yang mengotori dinding masjid dibersihkannya guna mmeberi contoh kepada umatnya. Pakain-pakainnya, walaupun tidak mewah bahkan sobek
dan dijahitnya sendiri, namun selalu rapih dan bersih ini merupakan sifat bawaan sejak kecilnya, kemudian dikukuhkan oleh pendidikan Al-
Qur‟an demi suksesnya tugas-tugas  pembinaan  masyarakat.  Karena,  seseorang  yang  bertugas  memimpin
dan membimng harus mendapat simpati masyarakatnya sekaligus memberi contoh kepada mereka. Dan hal inilah yang dimintakan perhatian oleh Al-
Qur‟an kepada Rasullah SAW. Bahkan kepada setiap orang, khususnya yang mengemban tugas-
tugas kemasyarakatan.
 
5 “Dan dosa maka tinggalkanlah“
Petunjuk  yang  ketiga  adalah,  dan  dosa  yakni  menyembah  berhala betapapun  hebat  atau  banyaknya    orang  yang  menyembah  nya  maka
tinggalkanlah.
Kata ج لا  ar-rujz  dengan  dhammah  pada  ra  atau   ج لا  ar-rijz,
dengan  kasrah  pada  ra  keduanya  merupakan  cara  yang  benar  untuk  membaca ayat ini, dan sebagian Ulama tidak membedakan arti yang  dikandungnya. Ulama
yang tidak membedakan kedua bentuk kata tersebut mengartikannya dengan dosa, sedangkan  ulama  yang  membedakannya  menyatakan  bahwa  ar-rujz  berarti
berhala.  pendapat  ini  dipelopori  oleh  Abu  Ubaidah.  lebih  jauh,  sebagian  ahli bahasa  berkata  bahwa  huruf     zay  pada  kata  ini  dapat  dibaca  dengan     sin
dengan  demikian  kata  ar-rijz  sama  pengertiannya  dengan
ج لا  ar-rijs  dosa. Dengan  demikian  kata  yang  digunakan  ayat  ini  dapat  berarti  berhala,  atau  siksa
atau dosa. Kata
جه ف
fa-hjur,  terambil  dari  kata
جه
hajara  yang  digunakan untuk  menggambarkan
“sikap  meninggalkan  sesuatu  karena  kebencian kepadanya.” Dari akar kata ini dibentuk kata-kata hijrah, karena Nabi dan sahabat-
sahabatnya  meninggalkan  mekkah  atas  dasar  ketidaksenangan  beliau  terhadap pelakuan  penduduknya.  kata
ج  ه
hajirah  berarti ”tengah  hari”  karena  pada
saat  itu  pemakai  bahasa  ini ”meninggalkan  pekerjaannya”  akibat  terik  panas
matahari yang tidak mereka senangi. Dalam hadits dinyatakan bahwa: ”Tidak dibenarkan meninggalkan untuk
tidak  bercakap- cakap  dengan  saudara  lebih  dari  tiga  hari.”  yang  dimaksud
”meninggalkan” adalah apabila hal tersebut dilakukan karena dorongan kebencian atau  kemarahan,  karena  hadits  tersebut  menggunakan  kata  Yahjuru
ج ي.  Ayat ini,  dengan
demikian  berarti:  ”Tinggalkanlah,  atas  dorongan  kebencian  dan ketidaksenangan, dosa, siksa atau berhala.”
Penulis  cenderung  untuk  memilih  arti  ”Berhala”  bukan  saja  dengan alasan  yang  dipelopori  oleh  Abu  Ubaidah,  tetapi  juga  dengan  memperhatikan
pendapat  yang  mempersamakan  antara  ar-rijz  dan  ar-rijs  serta  gaya  dan  bentuk redaksi  ayat  ini.  Yang  dimaksud  dengan  gaya  dan  bentuknya  adalah  bahwa  ayat
ini secara tegas mencegah Nabi untuk melakukan sesuatu, bahkan dapat dikatakan bahwa  ayat  ini  merupakan  larangan  petama  yang  diterima  Nabi  Muhammad
SAW. Kalau kita menelusuri ayat-ayat yang berbicara tentang ar-rijz dan ar-rijs,
maka  akan  kita  temukan  bahwa  ayat-ayat  tersebut  disusun  dalam  bentu  berita perhatikan,  misalnya.  QS.  7:113-114,  atau  QS.  10:100  dan  lain-lain.  Tetapi
ditemukan satu ayat yang menggunakan redaksi mencegah sekaligus menjelaskan
apa yang dimaksud dengan ar-rijs dan tentunya juga arti ar-rijs karena keduanya dinilai  dalam  arti  yang  sama.  Sebagaimana  dikemukakan  di  atas.  Ayat  tersebut
adalah:
 
 
 
Artinya: ”Maka  jauhilah  olehmu  berhala-berhala  yang  najis  itu  dan  jauhilah
perkataan- perkataan dusta.” QS. 22:30
Kalau  demikian,  ayat  yang  berbentuk  larangan  di  atas  dan  yang menjelaskan  arti  kotoran,  yakni  ”berhala-berhala”  dapat  diangkat  untuk
menjelaskan  ar-rijz  pada  ayat  5  Al-Muddatsir  yang  juga  menggunakan  bentuk larangan  sehingga  ayat  tersebut  seharusnya  diartikan  sebagai  petunjuk  kepada
Rasullah  SAW.  Untuk  menjauhi  berhala-berhala  atas  dorongan  kebencian kepadanya.  Mengartikan  ar-rijz  dengan  berhala  lebih  diperkuat  lagi  setelah
menganalisis  arti  uhjur  yaitu  meninggalkan  sesuatu  atas  dorongan  kebencian. Sebab,  dosa  apalagi  siksa  tidak  perlu  diperintahkan  untuk  dihindari  dengan
dorongan  kebencian.  Siapa  yang  tidak  membenci  sika  ?  ia  pasti  ditinggalkan petunjuk  ini,  sebagaimana  petunjuk  yang  lain,  bukanlah  berarti  bahwa  Rasullah
SAW.  Pada  suatu  ketika  pernah  ”mendekati”  berhala-berhala.  Riwayat-riwayat bahkan menunjukkan sebaliknya, jangankan berhala, mengunjungi tempat-tempat
yang tidak wajarpun tidak pernah dilakukannya. Dengan  demikian,  apa  arti  petunjuk  tersebut  untuk  Nabi  Muhammad
SAW menyangkut kebijaksanaan yang harus beliau tempuh dalam melaksanakan dakwahnya ? penggarisan tersebut adalah: ”apa pun yang terjadi dan dengan dalih
apa  pun  tidak  diperkenankan  bagimu,  Muhammad,  untu  menerima  dan  merestui
penyembahan  berhala. ”prinsip  akidah  yang  tidak  dapat  di  tawar-tawar  adalah
keesaan  tuhan  yang  murni  serta  penyembahan  kepadanya  semata ”.  Dosa-dosa
yang  lain  mungkin  masih  bisa  ditolerir  untuk  sementara.  Hal  ini  perlu  mendapat penegasan  sejak  dini,  karena  perjalanan  sejarah  dakwah  menunjukkan  bahwa
kaum musrikin menawarkan kompromi kepada Nabi. Tawaran yang ditolak secara tegas  tersebut  merupakan  sebab  nuzul  dari  surah  Al-Kafirun.  Bahkan  Al-
Qur‟an telah  mengisyaratkan  secara  dini  pula  pada  wahyu  Al-Qalam  QS.  68:9  bahwa
mereka menginginkan supaya kamu bersikap lemah sehingga merekapun bersikap lemah  kepadamu.  Tetapi,  tentunya  berdasarkan  petunjuk  yang  merupakan
penggarisan  dalam  Al-Muddatsir  ini,  semua  ajaran  dan  tawaran  tersebut  ditolak secara tegas oleh Rasullah SAW.
Di  atas  telah  dikemukan  bahwa  ayat  ini  merupakan  ayat  pertama  yang diterima  oleh  Nabi  Muhammad  SAW.  Dengan  redaksi  larangan  dan  telah
dikemukakan pula bahwa menungkin ada dosa-dosa yang dapat ditoleransi untuk sementara.  Hal  ini  secara  jelas  dapat  dibuktikan  melalui  perintah-perintah  dan
larangan Al- Qur‟an.
Detemukan  bahwa  Al- Qur‟an  memang  menggunakan  metode  bertahap
dalam  petunjuk  petunjuknya  yang  berkaitan  dengan  bidang  hukum,  namun  tidak demikian  jika  berkenaan  masalah  akidah  dan  etika.  Dalma  bidang  hukum,
ditemukan  pentahapan,  baik  petunjuk  hukum  yang  berkenaan  dengan  kewajiban maupun  larangan.  Perintah  shalat,  misalnya,  didahului  dengan  petunjuk  serta
penjelasan  tentang  kebesaran  tuhan,  kemudian  disusul  dengan  ayat-ayat  yang menghidupkan  ”rasa  keagamaan”  sehingga  mendorong  manusia  untuk
mengadakan hubungan dengannya, baru kemudian disusul dengan perintah shalat dua  kali  sehari  disertai  dengan  kebolehan  bercakap-bercakap  sambil
melaksanakan  shalat.  Kemudian  disusl  dengan  perintah  khusyu  dan  larangan bercakap  dan  diakhiri  dengan  petunjuk  untuk  melaksanakannya  lima  kali  sehari
semalam. Hal  yang  dikemukakan  di  atas  jelas  berbeda  dengan  bidang-bidang
akidah  yang tidak menamai istilah pentahapan.  Kandungan ayat  Al-Muddatsir di atas merupakan salah satu contoh yang membuktikan hal tersebut dan inilah yang
menjadi  pegangan  Nabi  Muhammad  SAW.  Serta  umatnya  kemudian.  Tidak  ada kompromi atau pengorbanan dalam bidang akidah.
Penulis  cenderung  memahaminya  dalam  arti  berhala.  Karena  kalau  kita menelusuri  ayat-ayat  yang  berbicara  tentang  ar-rijz  dan  ar-rijs,  maka  akan  kita
temukan bahwa ayat-ayat tersebut disusun dalam bentuk berita. Tetapi ditemukan satu ayat yang menggunakan redaksi “mencegah” sekaligus menjelaskan apa yang
dimaksud dengan ar-rijs dan tentunya juga ar-rijz, karena keduanya dinilai dalam arti  yang  sama  sebagaimana  telah  dikemukakan  di  atas.  Ayat  tersebut  adalah
firman-Nya dalam QS. al-hajj [22] : 30 maka hindarilah behala-berhala yang najis.
Kalau demikian, ayat  yang berbentuk larangan  di atas dan yang menjelaskan arti kekotoran,  yakni  berhala-berhala,  dapat  diangkat  untuk  menjelaskan  arti  ar-rijz
pada  ayat  5  surat  Al-Mudatsir  ini  yang  menggunakan  bentuk  larangan  sehingga ayat  tersebut  seharusnya  diartikan  sebagai  petunjuk  kepada  Rasulullah  SAW.
untuk menjauhi berhala-berhala atas dorongan kebencian kepadanya. mengartikan
ar-rujz  atau  ar-rijz,  dengan  berhala  lebih  diperkuat  lagi  setelah  menganalisis  arti uhjur, yaitu meninggalkan sesuatu atas dorongan kebencian.
Petunjuk ayat di  atas sebagaimana petunjuk  yang lalu , bukanlah berarti bahwa  Rasulullah  SAW  pada  suatu  ketika  pernah  “mendekati”  berhala-berhala.
Riwayat-riwayat bahkan menunjukkan sbaliknya, jangankan behala, mengunjungi tempat-tempat yang tidak wajar pun tidak pernah dilakukannya.
 
6 “Dan janganlah memberi untuk memperoleh yang lebih banyak”
Ayat  di  atas  merupakan  petunjuk  keempat  dalam  rangkaian  petunjuk petunjuk  Al-
Qur‟an kepada Nabi Muhammad SAW. Demi suksesya tugas-tugas dakwah.  sebagian  ulama  bependapat  bahwa  ayat  keenam  bukan  lagi  meupakan
suatu  kerangkaian  dari  segi  masa  turunnya  dengan  ayat-ayat  terdahulu,  karena adanya suatu riwayat yang menyatakan bahwa ayat yang kelima merupakan akhir
ayat  dalam  rangkaian  wahyu  ini.  lebih  jauh  mereka  berpendapat  bahwa  ayat kenam  ini  turun  setelah  Rasulullah  SAW  melaksanakan  perintah  berdakwah.
penulis  tidak  cenderung  mendukung  pendapat  tersebut,  walaupun  harus  diakui kesahihan  sanad  riwayat  yang  menegaskan  bahwa  rangkaian  pertama  wahyu  al-
mudatsir  hanya  sampai  dengan  ayat  kelima.yang  telah  diriwayatkan  oleh  Al- Bukhari .dengan demikian penulis cenderung menjadikan ayat kenam dan ketujuh
ini  merupakan  suatu  rangkaian  dari  segi  masa  turunnya  dengan  ayat-ayat sebelumnya.
Kata
ننمت
tamnun  terambil  dari  kata  manana  yang  dari  segi  asal pengertiannya  berarti  memutus  atau  memotong.  Sesuatu  yang  rapuh,  tali  yang
rapuh dinamai
نينم ل ح
habl manin karena kerapuhannya menjadikan ia mudah putus . pemberian yang banyak dinamai
نم
minnah, karena ia mengandung arti banyak  sehingga  seakan-akan  ia  tidak  putus-putus.  Makanan  yang  diturunkan
kepada bani Israil dinamai
نملا
al-mann karena ia turun dalam bentuk kepingan terpotong-potong.  sedangkan  menyebut-nyebut  pemberian  dinamai
نم
mann karena ia memutuskan ganjaran yang sewajarnya diterima oleh pemberinya.
Beraneka  ragam  pendapat  ulama  tentang  maksud  ayat  di  atas.  al-
Qurthubi mengemukakan sebelas pendapat,  yang setelah diteliti sebagian darinya dapat  dikelompokkan  dengan  sebagian  yang  lain,  sehingga  dapat  disimpulkan
bahwa  paling  tidak  ada  empat  pendapat  ulama  tafsir  tentang  ayat  keenam  ini yaitu:
1. Jangan  merasa  lemah  pesimis  untuk  memperoleh  kebaikan  yang  banyak.
pendapat ini berdasarkan suatu qiraat bacaan yng dinisbahkan oleh sahabat Nabi
, abdullah ibnu mas‟ud, yang membaca ayat di atas dengan
يخلا ىف  ثكتست ننمت ا
Pengertian tersebut dapat dibenarkan oleh penggunaan bahasa, karena
ننمت
tamnun  yang  darinya  dibentuk  kata
نيننم
manin  yang  berarti  lemah walaupun  penulis  tidak  menemukan  ayat  yang  menggunakan  kata  tersebut
dalam arti lemah. Namun perlu dicatat bahwa kata
يخلا ىف
fi al-khair pada bacaan  tersebut  bukanlah  bagian  ayat  ini,  tetapi  dia  dinamai  mudraj  yakni
sisipan dari sahabat mulia itu dalam konteks menjelaskan maksudnya. 2.
Jangan  memberikan  sesuatu  dengan  tujuan  untuk  mendapatkan  yang  lebih banyak  darinya.pendapat  ini  berdasarkan  pengertian  kata
نم
manna  yang
biasa  diterjemahkan  dngan  meemberi  .dalam  Al-Qur ‟an  ditemukaan  sekian
ayat yang mengandung arti tersebut seperti, misalnya dalam QS.Shad [38]:39. 3.
Janganlah  membrikan  sesuatu  dan  menganggaap  bahwa  apa  yang    engkau berikan itu banyak. Maksud dai larangan di atas mengarah kepada pengikisan
sifat  kikir  dengan  menggunakan  suatu  redaksi  yang  halus  .  pemahaman  ini berdasarkan  kenyataan  bahwa  seseorang  yang  menganggap  pemberiannya
merupakan sesuatu yang banyak, pada hakikatnya ingin menguranginya, dan hal  tersebut  menunjukan  bahwa  ia  memiliki  sifat  kikir.  Pendapat  ketiga  ini
sama  dari  segi  pengertian  kata  tamnun  dengan  pendapat  pertama,  namun pengertian yang dikemukakan disini berbeda dngan pengertian pertama akibat
perbedaan  pendapat  tentang  arti  huruf sin  pada  kata
ثكتثت
tastaksir. pendapa pertama mengartikannya dengan menganggap.
4. Jangan menganggap usahamu berdakwah sebagai anugrah kepada manusia,
tetapi  berupa  ganjaran  dari  Allah.  Konsekuensi  dari  larangan  ini  adalah bahwa  Nabi  Muhammad  SAW  tidak  dibenarkan  menuntut  upah  dari  usaha-
usaha beliau dalam berdakwah. Konsekuensi  dari  larangan  ini  adalah  bahwa  Nabi  Muhammad  SAW  tidak
dibenarkan  menuntut  upah  dari  usaha-usaha  beliau  dalam  berdakwah  kalau kita  kembali  kepada  Al-
Qur‟an,  maka  hanya  sekali  kita  menembukan  kata tammun
ننمت  yakni  pada  ayat  enam  tersebut  di  atas,  tetapi  bila  kita menelusuri  semua  kata  yang  berakar  pada  kata  manana
ننم  yang  darinya kata  tanmmun  juga  terambil,  maka  ditemukan  keseluruhannya  berjumlah  27
kali, dengan pengertian yang berbeda-beda, yakni:
1. Anugerah atau pemberian, seperti dalam Surah Al-Imran ayat 164:
 
 
 
 
 
Artinya: “Sungguh  Allah  Telah  memberi  karunia  kepada  orang-orang
yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri.”
2. Putus, seperti dalam Surah Fushshilat ayat 8:
 
 
Artinya: “bagi mereka ganjaran yang tiada putus-putusnya
3. Menggap  pemberian  sebagai  anugerah  sehingga  menyebut-nyebutnya,
seperti dalam Surah Al_Imran ayat 164 di atas. 4.
Sejenis makanan manis seperti madu yang diturunkan Allah SWT kepada Bani  Israil  yang  disampaikan  oleh  Al-
Qur‟an  dalam  Surah  Al-Baqarah ayat 57.
 
 
Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu manna dan salwa.”
Kata  manana
ننم
dari segi asal pengertiannya adalah “memutus” atau “memotong”  sesuatu  yang  rapuh,  misalnya  tali  yang  rapuh,  dinamai  Nabi  mani
ٌنينم ٌل ح ,  sebab  karena  rapunya  ia  mudah  putus.  Pemberian  yang  banyak
anugerah  dinamai  minnah َنم, karena ia mengandung arti “banyak” sehingga
seakan-akan  ia  tidak  putus-putus  makanan  yang  diturunkan  kepada  Bani  Israil dinamai Al-Mann
ٌنم karena ia memutuskan ganjaran yang sewajarnya diterima oleh pemberinya.
Berdasarkan arti di atas, yang kesemuanya ditemukan dalam  Al- Qur‟an,
kemudian  kita  membandingkannya  dengan  keempat  pendapat  tentang  arti  ayat keenam  ini,  maka  terlihat  bahwa  arti  “lemah”  yang  menjadi  dasr  pengertian
pendapat pertama tidak digunakan oleh Al- Qur‟an, walaupun dikenal oleh bahasa
Arab. Atas dasar ini, kita tidak cenderung menyetujui pendapat pertama tersebut. Pendapat
kedua,  yakni:  “jangan  memberikan  sesuatu  dengan  tujuan mendapatkan yang lebih banyak darinya,” menurut hemat penulis, walaupun dari
segi ide larangan tersebut benar secara etis, namun keberatan untuk menerimanya muncul  dan  tidak  ditemukan  pada  ayat  tersebut.  Indikator  untuk  adanya  sisipan
dalam  arti  bahwa  kata- kata  “dengan  tujuan”  yang  disisipkan  oleh  penganut-
penganut tersebut. Walaupun penyisipan kata dalam suatu redaksi dibenarkan dari segi tata
bahasa,  namun  mayoritas  Ulama  Tafsir  tidak  melakukannya  kecuali  bila  sisipan tersebut memang dibutukan dmei ksempurnaan makna suatu redaksi. Dalam ayat
yang ditafsirkan ini, agaknya sisipan tersebut tidak dibutuhkan, karena kita masih daapt memahaminya secara baik dan sempurna tanpa memberikan sisipan.
Adapun  pendapat  ketiga,  ia  tidak  didukung  oleh  konteks  pembicaraan ayat  yang  merupakan  bimbingan  bagi  Nabi  Muhammad  SAW.  Dalam
menghadapi umat. Penulis  cenderung    memilih  pendapat  keempat,  yakni  bahwa  ayat  ini
meletakkan  beban  tanggung  jawab  di  atas  pundak  Nabi  guna  menyampaikan dakwahnya  tanpa  pamrih  atau  tidak  menuntut  suatu  imbalan  duniawi.  Hal  ini
sejalan dengan perintah tuhan kepada beliau untuk selalu menegaskan:
 
 
 
Katakanlah:  Aku  tidak  meminta  atas  hal  ini  dakwah  sedikit  imbalan pun.” QS. Al-Furqon: 57
Berdakwah bukan untuk memperoleh imbalan duniawi, apaun bentuknya imblaan tersebtu. Karena itu, pernyataan yang senada dengan pernyataan tersebut
ditemukan  tidak  kurang  dari  12  kali  dalam  Al- Qur‟an dan  yang diucapkan oleh
berbagai  Nabi  dan  Rasul,  seperti  Nabi  Nuh  dalam  Surah  yunus  ayat  72,  Nabi Shalih dalam Surah Hud ayat 51, Nabi Hud, Nabi Luth, dan Nabi
Syu‟aib masing- masing dalam surah Asy-
Syu‟ara 127, 164 dan 186. Telah  menjadi  kodrat  Nabi
atau  dengan  kata  lain  “hukum kemasyarakatan”  bahwa  setiap  Nabi  serta  pewaris-pewaris  mereka  yang
bermaksud  merombak  keyakinan  masyarakatnya  yang  telah  mapan,  serta membawa  paham-paham  pembaharuan,  selalu  mendapat  tantangan  baca  QS.
25:31.  Dan  sering  kali  tantangan  tersebut  datang  bersamaan  dengan  tuduhan- tuduhan  menya
ngkut  i‟tikad  baik  mereka  dengan  menyatakan  bahwa  mereka memiliki  tujuan-tujuan  duniawi,  ambisi  pribadi  tersebut.  Tentunya  tuduhan-
tuduhan  tersebut  harus  dibuktikan  kekeliruannya  dan  salah  satu  caranya  adalah penegasan  serta  pembuktian  bahwa  sedikit  imbalan  duniawipun  tidak  mereka
harapkan dalam penyampaian dakwah tersebut. Disini kita melihat ciri khas dari semua dakwah keagamaan ia bersumber
dari  “langit”  sehingga  para  penyampaiannya  harus  mampu  melepaskan  kaitan antara  dakwahnya  dan  tujuan-tujuan  pribadi
nya  yang  bersumber  dari  “bumi” keduniaan.  Agama  harus  dibebaskan  dari  hal  tersebut,  karena  bila  tidak
terbebaskan ajarannya akan menyimpang dari ciri khas isinya, bahkan ia pun akan dianut  bila  ada  yang  menganutnya  untuk  tujuan-tujuan  keduniaan.  Dan  apabila
yang demikian itu terjadi, terbukalah pintu selebar-lebarnya untuk mecemoohkan
dan megabaikan ajarannya. Ajakan keagamaan harus dibebaskan dari kepentingan duniawi pengajakannya, karena kalau tidak demikian, ia akan diputar balikan atau
dalam  istilah  Al- Qur‟an,  ia  akan  “ditakwilkan”  QS.  3:71  demi  kepentingan
pribadi  guna  mencipatkan  kesempatan  berkuasa,  mempertahankan  kedudukan, memperoleh popularitas dan atau menimbun materi.
Inilah  agaknya  yang  merupakan  sebagian  alasan  mengapa  sejak  dini, yakni  bersamaan  dengan  saat  diperintahkan  untuk  meyampaikan  dakwah,  Allah
SWT telah menekankan kepada manusia yang di tugaskan itu bahwa: “janganlah menganggap  demikian,  karena  anggapan  ini  mengantar  kepada  perasaan  adanya
“jasa” kepada mereka yang kemudian melahirkan usaha untuk menuntut imbalan duniawi  dari  mereka.  Bila  petunjuk  ini  dilaksanakan,  mereka  pasti  akan  percaya
sehingga akan semakin banyak orang yang mengikutimu.” Sebelum beralih kepada ayat ke tujuh yang merupakan petunjuk ke lima
dalam  rangkaian  wahyu  ini,  kita  perlu  menggaris  bawahi  satu  masalah  yang berkaitan erat dengan kehidupan para da‟i dewasa ini. Pada hakikatnya. Menerima
sesuatu  yang  berbentuk  materi  atau  duniawi,  baik  oleh  para  Nabi  maupun  para penerus-penerus  mereka,  tidaklah  terlarang  menurut  ayat  ini,  bahkan  tidak  pula
menurut keseluruhan ajaran agama. Nabi    Muhammad  SAW  sendiri  sering  kali  menerima  pemberian-
pemberian  atau  hadiah-hadiah  dari  berbagai  pihak,  baik  sahabatnya  maupun penguasa-penguasa  pada  masanya.  Dari  Alexandria  di  Mesir,  penguasa  Mesir
ketika itu mengirimkan kepada beliau pakaian-pakaian, seekor binatang kendaraan “Baghal”  hasil  perkawinan  kuda  dan  keledai  serta  dua  orang  gadis  yang
kemudian salah satunya di nikahi oleh Nabi dan yang darinya lahir putera beliau yang  diberi  nama  Ibrahim.  Tetapi  pemberian  tersebut  bukan  sebagai  imbalan
dakwanya, atau diperolehnya melalui permintaan halus atau tegas. Adalah  sangat  keliru  anggapan  sementara  orang  yang  meminta
keikhlasan  melalui  penerimaan  materi,  karena  daapt  saja  seseorang  melakukan satu  pekerjaan  dengan  penuh  keikhlasan  dan  pada  saat  yang  sama  ia  menerima
materi.  Demikian  pula  sebaliknya  dapat  saja  seseorang  menolak  penerimaan materi tetapi justru penolakannya mengandung unsur pamrih riya.
Ayat  di  atas  melarang  mengaitkan  dakwah  dengan  tujuan  memperoleh imbalan  duniawi  yang  salah  satu  contoh  perwujudannya  adalah  memilih  atau
memilah objek dakwah atas dasar “basah dan keringnya” objek tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka kepercayaan terhadap para pengajar akan sirna dan pada saat
itu  dakwah  yang  disampaikan  tidak  berbekas  lagi.  Harus  diakui  bahwa  larangan memperoleh  imbalan  tersebut  akan  mengakibatkan  kesulitan  bagi  penganjur-
penganjur  ajaran  agama  dan  karenannya,  petunjuk  selanjutnya  masih  sangat dibutuhkan.  Petunjuk  yang  dimaksud  adalah  ayat  ketujuh  dan  terakhir  dalam
rangkaian wahyu pertama Al-Muddatsir ini. 
 
7
“Dan hanya kepada Tuhanmu saja maka bersabarlah“ Sebagaimana  ditegaskan  oleh  ayat-ayat  yang  lalu,  harus  diakui  bahwa
larangan  memperoleh  imbalan  tentu  dapat  mengakibatkan  kesulitan  bagi penganjur-penganjur  ajaran  agama,  dan  karenanya  ayat  di  atas  memberi
petunjuk  terakhir  dalam  konteks  surat  Al-Mudatsir  ini  yaitu  Dan  hanya kepada Tuhanmu saja apapun yang kau hadapi maka bersabarlah.
Dalam kamus bahasa-bahasa kata
ص
shabr sabar diartikan sebagai menahan,  baik  secara  fisik  material,  seperti  menahan  diri  atau  jiwa  dalam
menghadapi  sesuatu  yang  diinginkannya  .dari  akar  kata  shabr  diperoleh sekian bentuk kata dengan arti yang beraneka ragam.
Sabar bukanlah kelemahan atau menerima  apa  adanya tetapi  ia adalah
perjuangan yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan  keinginan  nafsunya.Di  dalam  Al-
Qur‟an,  ditemukan  perintah bersabar berkaitan dengan sekian banyak konteks, antara lain:
1. Menanti ketetapan Allah, seperti dalam QS.Yunus [10]:109.
2. Menanti  datangnya  janji  Allah  atau  hari  kemenangan,  seperti  dalam  QS.
Ar-rum [30]:60. 3.
Menghadapi ejekan dan gangguan orang-orang yang tidak percaya, seperti dalam Qs. Thaha [20]:130.
4. Menghadapi  dorongan  nafsu  untuk  melakukan  pembalasan  yang  tidak
setimpal, seperti QS. An-Nahl [16]:127. 5.
Melaksanakan ibadah, seperti dalam QS. Maryam [19]:65. 6.
Menghadapi malapetaka, seperti dalam QS. Luqman [31]:17. 7.
Memperoleh  apa-apa  yang  diinginkan,  seperti  dalam  QS.  Al-Baqarah [2]:53.
Ar-Raghib Al-Asfahany, seorang ahli dalam bidang tafsir dan bahasa Al-
Qur‟an, menjadikan  ayat 177 surah Al-Baqarah sebagai kesimpulan dari segala  macam  bentuk  kesabaran  atau  ketabahan  yang  dituntut  Al-
Qur‟an. Ayat  tersebut  berbicara  tentang  al-birr  kebaikan  dan  orang-orang  yang
melakukannyan adalah mereka yan gdigambarkan sebaga i “Orang-orang yang
bersabar dalam al- ba‟sa‟, adh-dharra, dan hina al-ba‟s.
Menurut Ar-Raghib, Sabar tabah dalam menghadapi kebutuhan yang mengakibatkan  kesulitan  tergambar  dlam  kata  al-
ba‟sa,  sabar  dalam menghadapi  kesulitan  malapetaka  yang  telah  menimpa,  dicakup  oleh  kata
adh-dharra,  sedangkan  sabar  dalam  peperangan  atau  menghadapi  musuh tergambar dalam hina al-
ba‟s. Dengan demikian, kesabaran yang dituntut Al- Qur‟an  adalah  pertama,  dalam  usaha  mencapai  apa  yang  dibutuhkan
kesabaran  ini  menuntut  usaha  yang  tidak  mengenal  lelah,  serta  tidak memperdulikan  rintangan  apapun,  sampai  tercapainya  apa  yang  dibutuhkan
itu.  Kedua,  sabar  dalam  menghadapi  malapetaka  sehingga  menerimanya dengan  jiwa  yang  besar  dan  lapang  dada  guna  memperoleh  imbalan  dan
hikmahnya  dan  yang  terakhir  yang  secara  khusus  digaris  bawahi  adalah dalam  peperangan  dan  perjuangan.  Walaupun  hal  yang  terahir  sudah  dapat
tercakup oleh kedua hal sebelumnya. Penulis  cenderung  memahami  perintah  bersabar  disini  dalam
pengertiannya  yang  luas  mencangkup  semua  yang  diuaikan  di  ataswalaupun kita dapat berkata bahwa ayat ini menekankan kesabaran secara khusus, yakni
dalam  menghadapi  gangguan-gangguan  mereka  yang  tidak  mempercayai ajaran agama yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Penekanan khusus ini
dipahami  dari  lanjutan  ayat  tersebut  yang  menggunakan  kata  penghubung
ف
fa yang diartikan oleh karena atau disebabkan, dan dengan demikian ayat ini  telah  memberikan  isyarat  yang  cukup  jelas  kepada  Nabi  SAW.bahwa
dalam melaksanakan tugas Dakwah, beliau pasti akan menghadapi tantangan, rintangan serta gangguan-gangguan dari berbagai pihak.
Kini setelah pengertian dan kandungan yang dicangkup oleh perintah bersabar  fashbir,  maka  kita  kembali  mempertanyakan  apa  yang  dimaksud
dengan  kalimat
كب ل
wa  li  rabbika  yang  diterjemahkan  dengan  karena Tuhanmu saja. Kalimat ini menuntun agar kesabaran dilaksanakan oleh Nabi
semata-mata  karena  Allah  SWT.  Bukan  karena  sesuatu  yang  lain.  Misalnya, karena  diiming-imingi  oleh  pencapain  target,  dalam  hal  ini  target  keislaman
umat  manusia.  Ayat  ini  melalui  kalimat  wa  li  rabbika  ingin  menegaskan bahwa  yang  dituntut  adalah  pelaksanaan  perintah  Allah  SWT  dengan  penuh
ketabahan  da  kesabaran,  apapun  hasil  yang  dapat  dicapai  akibat  ketabahan dan kesabaran tersebut.
Menurut    Quraish  Shihab  dalam  bukunya  ”Membumikan  Al-Qur‟an: fungsi  dan  peran  wahyu  dalam  kehidup
an  masyarakat”  bahwasanya  ada empat  tugas  yang  harus  dijalankan  oleh  da‟i  sesuai  dengan  tugas  keNabian
dalam mengembangkan kitab suci: 1.
Menyampaikan tabligh ajaran-ajarannya, sesuai dengan perintah, wahai rasul  sampaikanlah  apa  yang  diturunkan  kepadamu  dari  tuhanmu  QS.
5:67. 2.
Menjelaskan  ajaran-ajaranya    berdasarkan  ayat,  dan  kami  turunkan  al- Kitab kepadamu untukkamu jelaskan kepada manusia QS. 16:44
3. Memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat berdasarkan
ayat,  dan  Allah  turunkan  bersama  mereka  Al-Kitab  dengan  benar,  agar dapat memutukan perkara QS. 2:213
4. Memberikan  contoh  pngalaman,  sesuai  dengan  hadits  Aisyah  yang
diriwayatkan  oleh  bukhari,  yang  menyatakan  bahwa  prilaku  Nabi  adalah praktek dari Al-
Qur‟an. Sungguh tidak ringan tugas  yang dipikul oleh seorang da‟i, ia harus
selalu  menyampaikan  segala  yang  tersurat  dan  tersirat  dalam  Al- Qur‟an
sebagai  suatu kewajiban. Disamping harus dapat  memberikan penjelasan  dan
pemecahan  mengenai  problem  yang  dihadapi  masyarakat,  berdasarkan  Al- Qur‟an  meskipun  al-Qir‟an  tidak  memberikan  konsep  prinsip-prinsip  dasar
dan nilai-nilai yang digariskannya. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Dalam  hal  ini,  seorang  da‟i  tidak  dapat  berpegang  hanya  pada  satu penafsiran  ayat  Al-
Qur‟an  saja.  Tetapi  ia  harus  dapat  mengembangkan prinsip-prinsip yang ada dalam menjawab tantangan yang selalu berubah. Hal
ini bukan berarti bahwa Al-Quran mengakui begitu saja dengan perkembangan masyarakat.  Da‟i  harus  dapat  memberikan  petunjuk  dan  bimbingan  yang
mengarahkan  perkembangan  budaya  modern  atau  tekhnologi  yang  canggih sekalipun
4
Adapun bekal yang harus dimiliki oleh da‟i yang tertulis dalam surah al-Muddaatsir  ayat  1-7  menurut  Quraish  Shihab  dalam  tafsir  al-Misbahnya
mencangkup empat hal sebagai berikut:
1. Ibadah kepada Allah SWT.