Pembahasan mengenai tafsir dan perkembangannya

B. Pembahasan mengenai tafsir dan perkembangannya

Al- Qur‟an sebagai sumber asasi Islam memuat banyak makna. Hal itu misalnya sepeerti dikutip Quraish Shihab dari Abdullah Diras, “ayat-ayat Al- Qur‟an bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yan terpancar dari sudut lainnya. Dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya dari sudut lainnya, maka dia akan melihat banyak dibanding apa yang kita lihat”. Kekayaan makna itu pula yang mendorong nabi memerintahkan Muadz bin Jabal menggunakan ijtihad dalam memutus sesuatu yang tidak dapat secara harfiah di dalam Al- Qur‟an. Tidak hanya sebatas itu, tindakan berijtihadnya saja diberi imbalan pahala, lebih- lebih jika ijtihadnya benar, sejalan dengan anjuran Nabi, Ali bin Abi Thalib menyatakan “Al-Qur‟an baina daftay al-mushaf la yantiq, innama yantiqu yatakallamu bihi ar- rijal”. Artinya manusialah yang bertugas mengungkap pesan Al- Qur‟an agar ia berfungsi memberi petunjuk. Karena itu, makna- makna itu tidak akan membuahkan hasil apa-apa jika tidak digali. Dalam mengungkap makna pesan Tuhan di dalam Al- Qur‟an dikenal dua pendekatan, tafsir dan ta‟wil. Dilihat dari segi bahasa, tafsir bermakna menyingkap, menjelaskan dan menampakan. Dan dilihat dari segi istilah, tafsir berarti suatu ilmu yang dapat mengungkap pesan kitab Allah yang diturunkan kepada Muhammad sehingga dapat menjelaskan makna-makna dan hukum-hukumnya. Sedang ta’wil dari segi bahasa bermakna mengembalikkan, menuju titik akhir dan menjelaskan implikasinya, dan dari segi istilah berarti mengembalikan sesuatu kepada tujuannya semula, baik secara ilmiah maupun praksis. Atau memalingkan makna haqiqi pada makna majazi sebagaimana diteorisasi oleh Ibnu Rusyd. Dilihat dari sumber penafsirannya, para peneliti tafsir acap kali membedakan dua model tafsir: tafsir bi al- ma’sur yang juga dikenal dengan tafsir riwayah atau manqul, apabila sumber penafsirannya adalah riwayat- riwayat. Dan tafsir bi ar- ray yang juga dikenal dengan tafsir ma’qul atau tafsir dirayah, jika sumber yang diambil adalah ijtihad. Sebagai turunan dari kedua model tafsir itu, Hay Farmawi meringkas berbagai metode tafsir menjadi empat macam: tafsir tahlili, tafsir ijmali, tafsir muqarin, dan tafsir tematik maudhu’i. Dikatakan tafsir tahlili apabila ayat-ayat ditafsirkan satu persatu menurut urutannya sebagai mushaf. Atau, menjelaskan ayat-ayat Al- Qur‟an dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap deluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antarpemisah sampai keterkaitan riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi, Sahabat, tabi‟in dan prosedurnya dengan cara mengikuti urutan mushaf. Menurut Farmawi, para mufassir berbeda-beda dalam mengoperasionalkan metode ini. Karena itu, lahirlah metode tafsir bi al- ma’sur, tafsir bi ar-ra’yi, tafsir sufi, tafsir fiqhi, tafsir falsafi, tafsir ilmi dan tafsir adabi ij tima’i. Tafsir ijmali adalah tafsir yang memaknai ayat-yat Al- Qur‟an hanya secara global, seperti tafsir jalalain. Tafsir muqarin adalah tafsir yang mencoba membandingkan antara satu tafsir dengan tafsir yang lain, baik dari segi objek bahasannya maupun dari segi metodenya. Sedang tafsir tematik maudhu’i adalah tafsir yang membahas persoalan-persoalan tertentu dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al- Qur‟an yang senada yang membahas persoalan tertentu. Sementara itu, dilihat dari tren atau kecenderungan studi Al- Qur‟an mulai klasik hingga kontemporer, Ignaz Goldzhiher mencatat adanya lima kecenderungan, yakni studi Al- Qur‟an tradisional, studi Al-Qur‟an dogmatis, studi Al- Qur‟an mistik, studi Al-Qur‟an sektarian dan studi Al-Qur‟an modern. Kecenderungan sudi Al- Qur‟an modern, oleh Gholdziher dikaitkan dengan gerakan pemikiran yang berkembang di India dan Mesir, kendati dengan titik tolak yang berbeda. Gerakan Islam di India dengan figurnya Ahmad Khan bertolak pada pembaruan pemikiran keislaman dengan figur utamanya Muhammad Abduh. Muhammad Abduh tercatat sebagai pelopor studi Al- Qur‟an modern. Yang dimaksud studi Al- Qur‟an modern dalam hal ini adalah sebuah usaha “mengontekskan” Al-Qur‟an dengan tuntutan zaman. Tujuan seperti itu sebenarnya telah dirintis sejak Zaman Nabi Muhammad. Menurut Muhammad Abduh, Al- Qur‟an merupakan sumber asasi Islam sebagai agama universal, yang acap kali sesuai dengan kepentingan setiap masyarakat, Zaman dan berbagai peradaban, di mana pun dan kapan pun, sehingga ia tetap memberi petunjuk pada mereka dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Tafsir modern Muhammad Abduh ini kemudian dikenal sebagai tafsir adabi ijtima‟i. Tafsir adabi ijtima‟i ini mempunyai empat unsur pokok yaitu: a. menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qaur‟an. b. Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Quran dengan susunan kalimat yang indah. c. Aksentuasi pada tujuan utama di uraikannya. d. Penafsiran yang dikaitkan dengan sunatullah dalam masyarakat. Kecenderungan tafsir modern dibagi lagi menjadi tiga model, yakni tafsir ilmi, tafsir realis waqi‟i dan tafsir sastra adabi. Secara singkat, ketiga tafsir modern itu dapat di pahami demikian. Tafsir ilmi berprinsip bahwa Al- Qur‟an mendahului ilmu pengetahuan modern sehingga mustahil Al- Qur‟an bertentangan dengan sains modern. Tafsir waqi‟i berprinsip Al-Qur‟an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, sehingga ia harus ditafsiri dengan pendekatan tertentuyang membuatnya mampuh menjawab berbagai tantangan yang dihadapi manusia . dan tafsir adabi berprinsip bahwa Al- Qur‟an merupakan kitab sastra terbesar dan bacaan mulia yang mampu mempengaruhi jiwa terdalam manusia secara estetik. Berbeda dengan dua model lainnya, model tafsir sastra tidak berpotensi untul menjawab berbagai tantangan yang dihadapi umat manusia sebagaimana pendekatan lainnya, melainkan hendak mengembalikan Al- Qur‟an kepada pesan awalnya yang ditunjukan kepada jiwa pendengar awalnya. Sejalan dengan itu, jika menilik pada sejarah perkembangan tafsir, menurut Ignaz Goldziher, perkembangan tafsir selalu mengalami pergeseran paradigma dan epistemologi. Pada era klasik, epistemologi tafsir pada umumnya bertumpuh pada ranah verbal-tekstual yang penjelasannya sangat mengandalkan nalar bayani dan memiliki kecenderungan ideologis. Sedangkan tafsir di era modern tidak lagi bertumpuh pada verbal- tekstual, tetapi telah memanfaatkan metode-metode kontemporer. Kebenaran tafsir era ini diukur melalui apakah sebuah produk tafsir sesuai dengan teori pengetahuan atau tidak. Dan apakah produk tafsir mampuh menjawab persoalan-persoalan sosial keagamaan yang melanda kehidupan masyarakat atau tidak.

C. Ciri-ciri tafsir Al-Misbah