Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar,
karena hal ini bearti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencaapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk
mampuh menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia
bertagung jawab, sehinga ia tidak melakukan pengrusakan, bahkan dengan kata lain,
” setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri”
Membentuk bekal spritualnya dalam artian keimanannya, karena kuat atau lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari prilaku
akhlaknya. Dengan iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedang iman yang lemah mewujudkan akhlak yang jahat dan buruk,
mudah terkilir pada perbuatan keji yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
4. Sabar
Adapun bekal yang terakhir yang harus dimiliki oleh da‟i yaitu sabar
dalam menjalankan syi‟ar agama Islam. Sudah pasti kesabaran ini harus dimiliki oleh da‟i karena mengemban tugas menjadi da‟i bukanlah tugas
yang ringan melainkan amanah yang harus dapat dipertanggung jawabkan baik untuk dirinya sendiri dan pertanggung jawaban kepada Allah SWT.
Pengertian sabar disini bukanlah arti dari segi kelemahan atau menerima apa adanya, akan tetapi adalah perjuangan yang menggambarkan
kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan keinginan nafsunya. Kesabaran disini harus disertai niat karena Allah SWT, karena
Nabi pun menjalankan kesabaran ini benar-benar semata-mata karena Allah bukan karena diiming-imingi oleh pencapaian target.
Dengan demikian jika hati sudah mantap dengan langkah yang diambil untuk menja
lankan syi‟ar agama Islam sudah barang tentu ujian dan coba‟an akan datang silih berganti akan tetapi mereka- mereka ini akn
memperoleh kemenangan apabila disertai dengan sabar, karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
5
Kelima bekal ini hanyalah sebagian kecil yang terulis dalam surah al- Muddatsir 1-7, masih banyak lagi ayat-
ayat yang menerangkan tentang da‟i dalam menjalankan dakwahnya.
Seiring berjalannya waktu perubahan sosial budaya dalam masyarakat kita kian terasa, semakin nyata pula gejala yang menuntut agar peran agama
lebih ditingkatkan dan menuntut kehadiran da‟i yang dapat diandalkan. Ini terjadi bukan saja karena kepergian satu persatu da‟i besar sementara
penggantinya belum muncul. Tetapi juga dari kualifikasi da‟i yang diperlukan tidak sederhana yang sudah dihasilkan. Inilah agaknya yang
memperhatikan banyak orang, dengan timbulnya apa yang di sebut dengan ” krisis ulama atau da‟i”. Hemat saya, persoalannya lebih banyak menyangkut
kualitas, intensitas dan efektivitas lembaga-lembaga pendidikan yang kita miliki.
5
M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Quran:Tafsir Maudu‟I atas berbagai persolan umat
,Penerbit Mizan, 1996
Da‟i yang diperlukan pada masa kini dan masa yang akan datang tentu tidak sama dengan da‟i yang sudah dilahirkan pada masa lalu, baik
kualifikasi maupun kapabilitasnya. Karena itu, dengan tidak bermaksud mengingkari prest
asi pesantren yang telah berhasil mencetak kiayi dan da‟i pada masa lalu, tentu saja untuk saat ini tidak dapat bertahan terus dengan
sistem pendidikan dan pengajarannyaseperti puluhan tahun yang lalu. Ini dimaksudkan jika pesantren tersebut tidak bermaksud mencetak kiayi atau
da‟i yang terlambat lahir atau dengan kata lain, jika pesantren tetap ingin mempertahankan dedikasi kiayi dan pengaruhnya yang mengakar.
Seorang da‟i dituntut untuk dapat memahami perkembangan masyarakatnya. Dalam dunia modern sekara
ng ini, seorang da‟i tidak dapat hanya sekedar mendalami ilmu-ilmu fiqih, tafsir, atau hadits saja. Apalagi
jika pengetahuannya itu hanya bersifat hafalan yang statis. Untuk menjawab tantangan dan problem masa kini dan masa yang akan datang, diperlukan
penguasaan ilmu-ilmu tentang Islam yang lengkap dan dinamis. Di samping perangkat ilmu dan wawasan yang dapat dipakai untuk memahami
perkembangan masyarakat. Dengan demikian da‟i selalu dapat memberikan bimbingan dan pengarahan yang apat diterima, tidak tertimggal atau terjerat
karena pemahaman agama yang statis dan wawasan yang sempit. Bahan-bahan literatur lama berupa kitab-kitab karya para ulama
terdahulu tetap mempunyai karya ilmiah yang tinggi. Sebagai calon da‟i yang bersangkutan harus mempelajarinya dengan sikap kritis agar dapat
mengetahui bagaimana dan mengapa pengarang tersebut berpendapat
demikian. Sebagai calon da‟i tidak wajar jika terpaku pada satu Imam atau madzhab saja. Ia harus mempunyai wawasan yang menyelami khazanah
intelektual yang diwarisi oleh para da‟i terdahuluditambah dengan
pemikiran dan pengetahuan yang tidak kalah penting. Akhirnya untuk tidak melambung dalam utopia, perlu disadari bahwa
bagaimanapun profil da‟i yang kita idealakan ia tetap manusia biasa dan tidak mungkin dapat sempurna, ulama hanya pewaris Nabi yang tidak dapat
memerankan kenabian dalam seluruh aspek yang ditemukan di atas secara sempurna.
80
BAB V PENUTUP