Sifat Asasi da’i Rabbani

pengembang masyarakat banna. da‟i bukan hanya aktor atau pemain sandiwara yang hanya mencari tepuk tangan penonton, dan bukan juga seniman yang hanya mencari penghargaan. Sebagai arsitek dan pengembang sosial, da‟i harus melakukan rekayasa sosial dan melakukan perubahan, khususnya perubahan mental manusia taghyir al-nafs al-insaniyah dengan metode yang tepat. Dengan perubahan ini, diharapkan masyarakat, bahkan umat manusia mencapai kesempurnaan dan kemajuan. Jika demikian sungguh keliru menurut Saqar, orang yang berpendapat bahwa dia telah menyampaikan pidato, ia merasa telah berdakwah. da‟i harus melakukan perubahan dan gerakan di tengah- tengah masyarakat. Untuk itu da‟i harus memiliki sifat-sifat yang terpuji atau akhlak yang mulia. Keluhuran budi pekerti ini menjadi salah satu pendorong yang memungkinkan masyarakat mad’u dapat mengikuti jalan kebenaran yang diserukan sang da‟i. Sifat-sifat yang mulia itu adalah sifat yang harus dimiliki semua kaum muslim. Namun bagi seorang da‟i sifat- sifat itu haruslah memiliki nilai lebih. Dengan perkataan lain sifat-sifat yang mulia itu bagi seorang da‟i harus tampak lebih mantap, lebih sempurna, dan lebih menonjol, sehingga ia dapat menjadi dakwah yang hidup dan menjadi teladan yang bergerak.

B. Sifat Asasi da’i Rabbani

Menurut Abdurrahman An-Nahlawi, dalam buku konsep Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, berkaitan dengan tanggung jawab seorang juru dakwah da‟i dalam melaksanakan tugasnya. Beliau menyatakan bahwa sifat dan persyaratan juru dakwah da‟i adalah sifat Robbany pada tujuan, prilaku dan pola pikir, kemudian ikhlas, sabar dan jujur. Juga membekali dengan ilmu serta menguasai dengan teknis berdakwah dan mengenal mad‟u, di samping itu juga harus menguasai materi dakwah. 4 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dakwah yang bermutu ditandai oleh sifat tanggung jawab yang tercermin pada prilaku yang robbany, ikhlas sabar, dan jujur, dapat mengambil keputusan yang berwibawa serta mandiri dan propesional, memiliki keahlian tekhnis mengelolah dakwah, mampu mengajak mad‟u serta menguasai konsep. Dan juga disebutkan bahwa dakwah yang bermutu adalah da‟i yang membuat keputusan secara profesional, bertanggung jawab dan memberi arahan pada masyarakat m ad‟u. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur‟an pada surat al-Imran 146-148 sebagai berikut:                                                        Artinya: Berapa banyak Nabi yang berperang bersama Robbaniyyin yang banyak, mereka tidak merasa lemah di depan musuh karena musibah di jalan Allah, mereka tidak lemah dan tidak merasa kalah pesimis. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Bukanlah perkataan mereka kecuali lantunan doa Ya Robbana 4 Abdurrahman an-Nahlawi, Konsep Manajemen Mutu Dosen, Jakarta: logos wacana Ilmu cet. Ke-1, h.26. ampunilah dosa-dosa kami, kelebih-lebih sikap kami, teguhkanlah pendirian kami dan bantulah kami atas orang-orang kafir. Maka Allah memberikan balasan pahala di dunia dan kebaikan balasan akhirat, dan Allah menyukai orang-orang yang ihsan QS. Ali Imran: 146-148 Sifat asasi bagi setiap da‟i tergambar dalam ayat-ayat ini yang menjelaskan tentang mereka yang mengikuti jejak langkah perjuangan dakwah para Nabi , khususnya Nabi Muhammad SAW. Ribbiyyun: artinya orang-orang yang Robbaniyyun yaitu memiliki komitmen kuat kepada Allah Robb alam semesta; ada ulama yang menafsirkan Ribbiyun dengan kelompok ulama para pewaris Nabi yang berjuang membela dakwah Islam. Katsir: banyak, maksudnya adalah para pengikut Nabi itu hendak diperhatikan kuantitasnya, kalau kata Ribbiyyun menerangkan aspek kualitas para pengikut Nabi yaitu Robbaniyyun, maka kata katsir menjelaskan aspek kuantitas para pengikut Nabi. Sifat- sifat asasi para da‟i di jalan Allah SWT, sebagaimana tersurat dalam ayat-ayat ini adalah: 1. ا , tidak lemah mental saat ditimpah musibah dijalan Allah, dalam perjuangan mereka hanya menginginkan salah satu dari dua pilihan yang keduanya baik dalam pandangan ” mati syahid atau kemenangan” karena kemenangan bagi mereka adalah karunia Allah dan sekaligus perintahnya untuk terus melanjutkan perjuangan yang masih panjang menuju Ridho-Nya. mati syahid adalah pintu perjumpaan yang sangat mulia untuk bertemu dengan kekasih Allah SWT. 2.  tidak lemah Dakwah tidak menempuh jarak sepuluh atau dua puluh kilo meter, jalan dakwah tidak dihiasi bunga dan kenikmatan, tetapi jalan dakwah sarat dengan duri merintang dan hewan-hewan yang senantiasa mengganggu mereka yang melewatinya. Karenanya dakwah dalam mencapai tujuannya memerlukan orang-orang yang tangguh dan kuat dari segi fisik, dengan fisik yang sehat dan kuat para da‟i itu diharapkan dapat melewati rintangan dan cobaan dalam dakwah dengan penuh keikhlasan dan ketabahan. 3.   tidak tunduk kepada musuh. Diantara cobaan dalam dakwah adalah rayuan dan iming-iming yang dilakukan musuh-musuh dakwah untuk memperdayakan para da‟i, agar merek dengan leluasa melakukan kehendak dan keinginan mereka dalam menyebarkan kebatilan di muka bumi. Secara kontekstual ayat ini memberikan pengertian bahwa hendaknya da‟i tidak boleh menjadi orang yang lemah operasional, dalam beraktifitas setiap da‟i dituntut untuk dinamis, proaktif dan kreatif inovatif, sehingga tidak mudah dirayu dan diperdayakan oleh orang-orang yang tidak suka kepada dakwah Islam. 4.       َ   perkataan mereka tidak lain adalah permohonan ampunan Allah. Mengapa da‟i masih juga memohon ampun kepada Allah SWT? bukankah ia sudah banyak berbuat untuk banyak memperoleh pahala dari Allah ? oh tiada demikian halnya da‟i yang rabbani, ia tetap berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, ia merasa amalnya kecil dan lemah dihadapan Allah yang maha kuasa dan perkasa. Karenanya ia selalu tetap memohon ampunan kepadaNya, seperti sang teladan para da‟i Rasulullah SAW tidak kurang dari 70 kali dalam sehari beliau membaca istighfar, di samping senantiasa meningkatkan amal-amal ibadahnya. Ketika beliau ditabya mengapa engkau masih melakukan hal itu, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa sebelum dan sesudahnya? Nabi SAW menjawab: ” kenapa aku tidak menjadi hamba yang pandai bersyukur? Maksudnya : ampunan Allah SWT adalah karunia dan anugrah dariNya, maka setiap anugrah itu harus disyukuri dengan terus meningkatkan amal penghambaan kepadaNya. Merealisasi hal-hal di atas tidak semudah membalikkan telapak tangan, sangat membutuhkan kerja keras dan keseriusan aktivitas juga memerlukan kebersihan hati, niat dan motivasi. Beratnya realisasi itu bukan berarti tidak ada upaya merealisasinya. 5 Menurut pandangan Paradigma Dakwah Sayyid Quthub bahwasanya kedudukan Akhlak dihadapan Allah sangat jelas tingginya dan Akhlak merupakan salah satu prinsip yang amat penting dalam agama Islam, terlebih lagi seorang da‟i, lebih lanjut lagi Sayyid Quthub menegaskan sebagai berikut: Barang siapa memperhatikan agama Islam dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, ia akan mengetahui bahwa akhlak merupakan salah satu ajaran dasar Islam yang terang benderang yang di atasnya dibangun prinsip- prinsip penetapan hukum dan pendidikan moral Islam. Dakwah dalam agama 5 M. Idris Shomad, Mengenal ayat-ayat Dakwah, Diktat mata kuliah Tafsir, Jakarta: 2005 ini, adalah seruan keras besar kepada kesucian moralitas, kebersihan, amanah, kejujuran, keadilan, kasih sayang, kebajikan, tepat janji, integritas kesesuaian perkataan dengan tingkah laku perbuatan dan kesesuaian keduanya dengan tingkah laku dan hati nurani, dan mencegah manusia dari tindakan sewenang-wenang, zhalim, menipu, curang, makan harta manusia dengan bathil, menodai kehormatan manusia, dan mencegah berkembangnya perbuatan asusila dalam bentuk apapun.penetapan hukum dan undang-undang Islam ini menurut Sayyid Quthub dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi prinsip-prinsip moralitas. ini juga dimaksudkan agar nilai-nilai akhlak itu tetap terjaga dan terpelihara baik dalam rasa, jiwa, dan perilaku, maupun dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat, baik dalam masalah pribadi, sosial- kemasyarakatan. Maupun dalam masalah bangsa dan Negara. 6 Adapun Akhlak da‟i dalam pandangan Sayyid Quthub sebagai berikut: 1. Kasih sayang Menurut Sayyid Quthub, diantara sifat- sifat mulia yang amat penting dan mutlak harus dimiliki seorang da‟i adalah sifat kasih sayang rahmah, seperti kasih sayang yang dimiliki dan diperlihatkan oleh pelaku dakwah yang pertama, yaitu Rasulullah SAWdimana kasih sayang Nabi yang luas dan lapang. Dikatakan bahwa Rasulullah SAW, tidak pernah marah karena dirinya sendiri, tidak pula sempit dada karena kesalahan atau kelemahan orang lain. Beliau tidak pernah berebut sesuatu yang bernilai duniawi untuk kepentingan dirinya. Bahkan beliau memberikan semua yang 6 Sayyid Quthub, Fi Zhilal, op.cit., jilid V, h. 3657. dimilikinya untuk orang lain dengan lapang dada dan penuh kesenangan. Manusia dapat menikmati kesantunan beliau, kasih sayang, dan keluhuran budi pekerti beliau. Setiap orang yang pernah berteman atau bergaul dengan Nabi, ia pasti terkesan dan jatuh hati kepada beliau, ini tidak terlepas dari keluhuran budi pekerti beliau dan kasih-sayangnya. 7 Pentingnya kasih sayang ini, menurut pemikiran Sayyid Quthub, dapat dilihat dari sudut kepentingan da‟i dan mad‟u itu sendiri. Dari sudut kepentingan da‟i dapat ditegaskan bahwa kasih sayang bukan hanya diperlukan, tetapi merupa kan kebutuhan bagi seorang da‟i. hal ini karena da‟i pada dasarnya seorang pemimpin, pembimbing rohani, pengajar dan pendidik mu‟allim wa murabbi. Dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai semua itu, da‟i merupakan orang pertama yang harus memiiki sifat kasih sayang dan mewujudkan kasih sayang itu dalam proses dakwah yang harus dilakukan. Dari sudut kepentingan mad‟u, kasih sayang diperlakukan karena watak dan jiwa manusia mengalami perkembangan. pada kenyataannya jiwa manusia tidaklah sempurna. Namun, dalam waktu yang bersamaan, jiwa itu menerima pertumbuhan dan perkembangan sehingga mencapi tingkat kesempurnaan tertentu. Dalam suatu komunitas pastilah di situ terdapat orang-orang yang memiliki kelemahan dan kekurangan. Al- Qur‟an sendiri sama sekali tidak menyangkal kenyataan ini. 8 2. Integritas Keutuhan Pribadi 7 Sayyid Quthub,Ibid, Fi Zhilal, jilid 1, h. 500-501 8 Lihat Ibid, Fi Zhilal, jilid 1, h. 529. Di samping kasih sayang, seorang da‟i harus pula memiliki integritas atau keutuhan pribadi. Integritas mengandung beberapa makna, antara lain, keterpaduan, kebulatan, keutuhan, jujur dan dapat dipercaya. Dalam pengertian ini, orang yang memiliki integritas adalah orang yang pada dirinya berpadu dan bersatu antara kata dan perbuatan. Dengan kata lain, ia bersifat benar dan jujur, serta jauh dari sifat dusta. 9 Menurut Sayyid Quthub, integritas menunjuk pada sikap konsistensi dan persesuaian antara kata dan perbuatan dan antara keduanya dengan hati nurani. Dalam Integritas itu mengandung makna kejujuran al-shidq dan konsistensi al- Istiqomah dalam memperjuangkan kebenaran. Kedua sifat ini, menurut Sayyid Quthub, adalah orang yang dimensi batinnya sama dengan dimensi lahirnya dan laku perbuatannya sama dengan perkataanya. 10 Oleh larena itu tanpa kejujuran dan integritas, kata- kata para da‟i dan pemuka agama itu, meski amat indah dan dengan retorika tinggi, tidak akan ada pengaruhnya apa-apa. Bahkan, tidak seorangpun dapat mendengar dan mempercayai ucapan mereka, kecuali mereka mampuh membuktikan diri menjadi terjemah hidup dari apa yang mereka katakan dan mewujudkan dalam kehidupan nyata. ketika itu, masyarakat mad‟u dapat mendengar dan mempercayai perkataan mereka dan memegang teguh janji dan seruan mereka. 11 9 Depdikbud, Kamus Besar, op.cit., h. 335 10 Sayyid Quthub, Fi Zhilal, op.cit., jilid VI, h. 3553 11 Ibid Seperti halnya Al- Qur‟an Hadits al-sunnah, menurut Sayyid Quthub, juga memberikan perhatian besar terhadap pembentukan pribadi muslim yang memiliki integritas tinggi. Perhatian itu menurutnya, dapat dilihat dari keterangan Nabi tentang ciri-ciri orang munafik, yaitu dusta, tidak tepat janji, dan khianat tidak amanah. Sayyid Quthub juga mengutip hadits riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari Abd Allah Ibn Amir ibn Rabiah yang dianggapnya amat mengesankan dalam masalah ini. 12 3. Kerja Keras Sifat lain yang harus dimiliki seorang da‟i ialah sikap sungguh- sungguh dan kerja keras al- jidd wa‟amal. Sifat ini mengharuskan para da‟i untuk menggunakan waktunya secara efisien bagi kepentingan dakwah. Ia harus menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia dan tidak berguna. Ini berarti kerja keras harus menjadi watak pribadi muslim, terlebih lagi para da‟i. 13 Menurut Sayyid Quthub, keharusan kerja keras ini, merupakan tuntutan dari sistem Islam itu sendiri. yaitu sistem hidup yang realistik yang tidak mungkin diwujudkan hanya angan-angan dan ilusi semata. Islam adalah aqidah dan perbuatan atau kerja amal yang membuktikan aqidah itu. Komitmen seorang terhadap aqidah Islam harus ditunjukkan 12 Ibid., Fi Zhilal, jilid VI, H. 3553. 13 Ahmad Faiz, op.cit., h. melalui perbuatan yang dapat dilihat oleh Allah, Rasulullah SAW dan kaum muslimin. 14 Bagi seorang da‟i tuntutan kerja keras ini makin tinggi. Hal ini karena seorang da‟i pada dasarnya tidak tidak bekerja dan tidak hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain, umat. Oleh karena itu, ia harus mampuh mengatur waktunya secara efisien bagi kepentingan dakwah dan harus menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak bermakna dan sia-sia.

C. Perjuangan Da’i