Pemikiran Politik Tjokroaminoto Mengenai Nasionalisme yang Berdasarkan Islam

BAB III ANALISIS PEMBAHASAN

3.1. Pemikiran Politik Tjokroaminoto Mengenai Nasionalisme yang Berdasarkan Islam

Menurut Tjokroaminoto makna istilah nasional merupakan suatu usaha untuk meningkatkan seseorang pada tingkat natie bangsa. Selanjutnya, ditambahkan pengertian nasional sebagai usaha untuk memperjuangkan tuntutan Pemerintahan Sendiri atau sekurang-kurangnya agar orang-orang Indonesia diberi hak untuk mengemukakan suaranya dalam masalah-masalah politik. 92 Disini dapat dilihat bagaimana Tjokroaminoto terinspirasi dan bersimpati terhadap gerakan Pan-Islamisme. Ia dan rekan-rekannya di SI memang mencita- citakan politik Pan-Islamisme. Ia berharap dapat mempersatukan kekuatan Islam di Hindia Indonesia dalam rangka mewujudkan gagasan besarnya, Pan- Islamisme. Pan-Islamisme melihat perjuangan umat Islam di Hindia sebagai Hal ini menunjukkan adanya beberapa fase, dimana ketika seorang individu yang berbeda karakteristiknya seperti suku, agama, atau kultur disatukan dengan individu lain yang juga memiliki karakteristik berbeda sehingga membentuk suatu identitas baru yang mempersatukan diantara mereka menjadi suatu bangsa. Kemudian bangsa tersebut memperjuangkan hak-hak politiknya untuk dapat membentuk pemerintahan sendiri, mengatur bangsa dan wilayahnya sendiri, sehingga pada akhirnya dapat menentukan nasib bangsanya sendiri. 92 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009, hal. 391 Universitas Sumatera Utara bagian dari perjuangan umat Islam di Asia dan Afrika untuk menyingkirkan penjajah Eropa. Ia menjadikan referensi kemenangan Turki atas Yunani dan Armenia sebagai teladan bagi gerakan pembebasan Islam atas dominasi kolonial barat. Namun demikian penekanan utamanya tetap pada ’masalah-masalah nasional dan problem-problem umat Islam di Hindia.’ 93 Tjokroaminoto pernah merumuskan bahwa untuk menjalankan Islam dalam segala aspek kehidupan, ”bangsa Hindia Indonesia harus bersandar kepada sijasah politik yang berkenaan dengan bangsa dan Negeri tumpah darah sendiri, dan politik menuju maksud akan mencapai persatuan atau perhubungan dengan ummat Islam di lain-lain negeri Pan Islamisme agar dapat mencapai kemuliaan dan keluhuran derajat.” Atau dengan kata lain Tjokroaminoto menganggap bahwa ”pergerakan sijasah politik itu suatu kewajiban yang penting bagi orang Islam” karena dua kepentingan, yaitu untuk mencapai kemerdekaan umat dan agar kita dapat melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. Upaya untuk mencapai kemerdekaan dipertegas lagi bahwa ”tak boleh tidak kita kaum muslimin mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan kebangsaan nationale urijbeid dan mesti berkuasa atas Negeri tumpah darah kita sendiri.” 94 Tjokroaminoto melihat kebangkitan kembali Pan Islamisme di negara- negara Islam yang pergerakannya semakin baik, kuat, dan terorganisir. Tjokroaminoto dengan demikian meyakini bahwa sejarah akan berulang dimana umat Islam di seluruh dunia akan bersatu menjadi suatu bangsa yang kuat dan 93 Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008, hal.179 94 M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, Yogyakarta : Cokroaminoto Universty Press, 1995, hal.39 Universitas Sumatera Utara kemudian akan mengambil alih kepemimpinannya yang dahulu untuk menginternalisasi kembali nilai-nilai Islam kepada golongan lain sehingga dapat menundukkan negeri Barat dan Timur. 95 Mengenai kentalnya ikatan primordial ini juga dinyatakan Tjokroaminoto dalam suatu pidato di tahun 1915 yang menyatakan bahwa di kalangan rakyat Indonesia masih terlalu sedikit perasaan persatuan kebangsaan. Orang Madura tidak merasa satu dengan orang Jawa, orang Jawa pun demikian dengan orang Sunda, dan orang Sunda demikian pula dengan orang Palembang. Namun, demi kemajuan dan kebangkitannya, di atas segala-galanya rakyat Indonesia harus berhati-hati. Sarana untuk mencapainya adalah agama Islam. Islam menghimpun semua orang karena tidak seorang pun di Hindia yang mau disebut bukan orang Arti dari gerakan Pan Islamisme ini, menyiratkan bahwa setidaknya yang dibayangkan oleh Tjokroaminoto persatuan nasib. Islam maupun sekuler diakui sebagai unsur yang sedang berjuang demi nasionalisme. Tjokroaminoto sendiri amat menyadari adanya perbedaan karakteristik tersebut hingga menciptakan pluralisme dan kemajemukan dalam diri bangsa Indonesia. Kemajemukan ini terutama terletak pada beragamnya suku-suku yang ada di Indonesia. Dan kemajemukan ini pula-lah yang menjadi ’senjata’ bagi pemerintah Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Dengan jitu mereka menerapkan politik devide et impera lewat pembentukan kelas-kelas sosial yang berbeda di dalam kemajemukan suku tadi. Sehingga masing-masing suku membentuk eksklusifitasnya masing-masing dan mengedepankan ikatan primordialnya saja. 95 Anhar Gonggong, H.O.S Tjokroaminoto, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, hal.111 Universitas Sumatera Utara Islam, walaupun sedikit sekali pengetahuannya tentang agama Islam ini. Dalam istilah ’Oetoesan Hindia’, Islam adalah semen pengikat puluhan juta orang Indonesia. Islam juga sebagai alat untuk meningkatkan nasionalisme dan cinta tanah air. 96 Maka seandainya umat muslim hanya diam saja dalam menghadapi perselisihan antar kultur tersebut, Tjokroaminoto mengkhawatirkan ikatan yang ada di antara umat muslim akan rusak dan menyebabkan mereka akan mudah terpecah belah satu sama lainnya ke dalam beberapa kelompok Islam dan satu sama lainnya saling membesarkan cita-cita kesukuannya masing-masing seperti ke-Maduraan, ke-Sundaan, ke-Jawaan, ke-Lampungan, ke-Minagkabauan, ke- Bugisan, ke-Ambonan, dan lainnya. Tentu hal ini merupakan bahaya laten karena amat rentan untuk disusupi politik devide et impera Belanda. Jadi akan semakin sulitlah untuk mencapai persatuan. Untuk mengantisipasi hal tersebut kaum Yang kemudian dipertegas lagi oleh beliau dalam pendapat yang disampaikannya di depan Kongres PSII XIX yang diadakan di Jakarta pada tahun 1933 yang judul pre-advisenya adalah Cultuur dan Adat Islam. Pada pidatonya tersebut Tjokroaminoto mengingatkan agar kaum muslimin jangan sampai meninggalkan kultur dan adat Islam atau bahkan sampai menukarnya dengan kultur segelintir golongan rakyat Indonesia. Walaupun perselisihan ini belum tampak terlalu besar namun kaum muslimin tidak boleh hanya bersikap netral atau diam dalam menghadapi perselisihan antara kultur Islam dengan kultur lainnya itu karena hanya akan merugikan kultur Islam saja. 96 A.P.E. Korver, Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Gratifipers, 1985, hal.56 Universitas Sumatera Utara muslimin wajib menciptakan kultur Islam dengan dasar-dasar yang sebenarnya dan berusaha meng-sinkronkannya dengan pemikiran dan cita-cita modern. 97 ”Kita cinta bangsa sendiri dengan kekuatan ajaran agama kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangsa kita, atau sebagian besar dari bangsa kita. Kita cinta tanah air, dimana kita dilahirkan, dan kita cinta Pemerintah yang melindungi kita. Karena itu, kita tidak takut untuk meminta perhatian atas segala sesuatu, yang kita anggap baik, dan menuntut apa saja, yang dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita dan pemerintah kita.” Namun bukan berarti hanya umat Islam saja yang dapat mempersatukan dirinya ke dalam suatu bangsa natie. Dalam Kongres Central Sarekat Islam CSI di Bandung 1916, Tjokroaminoto mengatakan bahwa: 98 Bahkan dengan kesadaran yang tinggi tentang pluralitas bangsanya sebagai realitas sosial, budaya, dan politik yang memang nyata ada di tengah- tengah masyarakat, Tjokroaminoto lebih banyak bicara tentang nasionalisme, sosialisme, dan demokrasi yang berasaskan Islam namun bukan mengarah pada berdirinya sebuah Negara Teokrasi Negara Agama. Dengan perjuangan yang Ucapan ini tentu yang dimaksudkan agar umat Islam dengan kekuatan agamanya dapat berperan mempersatukan bangsanya yang pluralis. Bukan dalam arti menjadikan seluruh bangsanya menjadi Islam. Karena ketika itu, bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya umat agama lain, berada pada posisi termarjinalkan oleh penjajah Belanda, selalu diperintah tetapi tak pernah mendapatkan hak untuk ikut memerintah. Hal ini semakin menguatkan perspektif beliau bahwa untuk membangun nasionalisme dalam arti yang luas, tidak dapat dibangun dari sesuatu yang general. Nasionalisme harus dibangun atas dasar kesamaan dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya dari unsur lain. Tjokroaminoto percaya unsur pembeda itu adalah Islam. 97 Anhar Gonggong, H.O.S Tjokroaminoto, op.cit, hal.103 98 Ibid, hal.43 Universitas Sumatera Utara berlandaskan semangat nasionalisme dan demokrasi, berarti mengajak seluruh komponen bangsa yang beragam ini untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, tak mengenal istilah mayoritas-minoritas yang cenderung bermakna diskriminatif, untuk bersama-sama melepaskan diri dari cengkeraman penjajah. Jadi yang berusaha dijelaskan oleh beliau adalah bahwa Nasionalisme Islam bukanlah suatu nasionalisme yang buta, fanatis, atau cenderung fundamental. Melainkan nasionalisme yang menuju kepada sosialisme yang berdasarkan Islam. ”Islam sepertujuh bagian rambut pun tidak menghalangi dan merintangi kemajuan nasionalisme yang sejati, tetapi memajukan dia. Nasionalisme yang dimajukan oleh Islam bukannya ’eng’ nasionalisme yang sempit dan berbahaya, tetapi yang menuntun kepada sosialisme berdasar Islam. Yakni sosialisme yang menghendaki mono-humanisme persatuan manusia dikuasai oleh satu Yang Maha Kuasa, Allah SWT, dengan lantaran melalui hukum-hukum yang sudah dipermaklumkan kepada Utusan-Nya Nabi penutup Muhammad SAW.” 99 “Yang kita inginkan adalah sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian hingga mencapai tahap berpemerintahan sendiri. CSI menentang kapitalisme berdosa, CSI tidak akan mentolerir dominasi manusia atas manusia lainnya. CSI akan bekerja sama dengan siapa saja yang mau bekerja untuk kepentingan ini.”

3.2. Pemikiran Politik Tjokroaminoto Mengenai Sosialisme yang Berdasarkan Islam