Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Peranan kaum ulama dan santri dari awal perjuangan merebut kemerdekaan hingga dapat menikmati suasana kemerdekaan saat ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Merekalah yang memberikan keyakinan kepada rakyat Indonesia yang pada saat itu harga diri dan martabatnya sedang diinjak-injak penjajah dan dicap sebagai inlander atau bangsa rendahan. Dari gerakan perlawanan bersenjata hingga jalur diplomasi, keyakinan akan syahid-lah yang memberikan keberanian kepada mereka untuk melawan kaum kolonial Barat yang menganggap dirinya sebagai ras kulit putih yang unggul. Diawali dengan era penjajahan imperialis Portugis hingga Belanda peranan mereka cukup sentral. Ketika para imperialis Barat tersebut mencoba untuk menguasai Indonesia, mereka selalu dihadang oleh kaum Ulama dan Santri. Hanya merekalah yang mampu -melalui ajaran Islam- menumbuhkan kesadaran terhadap rakyat yang tertindas, rasa memiliki kesamaan sejarah, dan rasa tanggung jawab terhadap tanah air, bangsa dan agama. Terutama karena dibangkitkan kesadaran Islam dengan Sumpah Syahadatnya menjadikan rakyat berani memberikan jawaban yang tepat terhadap tantangan penjajahan. 1 Bahkan pada saat sebelum dicetuskannya ide Politik Etis oleh Van Deventer yang salah satu isinya adalah memajukan pendidikan kaum pribumi tanah jajahan, golongan ulama dan santri sudah terlebih dahulu muncul sebagai 1 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009, hal.19 Universitas Sumatera Utara figur-figur pendidik. Pada sekitar tahun 1900 misalnya, hanya guru-guru agama Islam-lah yang memberikan pendidikan formal terhadap orang-orang desa walaupu n belum tersistematis. 2 Kemudian tidak dapat dipungkiri besarnya pengaruh yang diberikan pesantren sebagai lembaga pencerdas bangsa kala itu. Sebelum adanya sekolah- sekolah bernuansa Barat yang bersifat eksklusif dan hanya terbatas untuk kalangan bangsawan saja, maka pesantren dengan ulama sebagai pengasuhnya adalah lembaga yang lebih dominan sebagai tempat untuk menuntut ilmu. Pesantren tidak hanya sebagai arena untuk melahirkan ulama namun juga dianggap sebagai kancah pembinaan calon pemimpin yang mempunyai kemampuan sebagai pembangkit kesadaran cinta tanah air, bangsa, agama, dan kemerdekaan. Kehadiran pesantren dengan santri yang datang dari berbagai suku, etnis, dan golongan telah menghilangkan pandangan yang bersifat etnosentrisme, primordialisme, maupun kelas-kelas sosial dan menjadikan Islam sebagai wawasan dasar nasionalisme. Fakta sejarah tersebut memberikan gambaran bahwa peran ulama sebagai pengasuh pesantren tidak hanya memfungsikan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan agama dalam arti sempit tetapi juga berperan serta dalam membangun character dan national buliding Indonesia. 3 Namun, adanya politik sekulerisasi dan upaya deislamisasi sejarah Indonesia menjadikan kaum ulama dan santri tidak mendapat tempat yang cukup terhormat dalam penulisan sejarah Indonesia. Adanya distorsi dan pembelokan sejarah membuat mereka lebih sering terpojokkan. Malah mereka lebih 2 Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 2009, hal.39 3 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, op.cit, hal.302 Universitas Sumatera Utara diidentikkan sebagai ekstrimis atau fundamentalis yang ingin makar dan menegakkan kedaulatan Islam di negeri ini. Walaupun kontribusi mereka acapkali cenderung dieliminir atau dihilangkan secara sengaja harus diakui bahwa mereka hampir selalu menjadi motor terdepan pada masa pra maupun masa mempertahankan kemerdekaan. Pemikiran-pemikiran mereka juga memberi dinamika dan warna tersendiri dalam konfigurasi politik Indonesia bahkan hingga saat ini. Tjokroaminoto adalah salah satu dari sekian banyak dari kaum ulama dan santri tersebut yang sumbangsihnya amat signifikan terhadap pembentukan national building negara ini. Kemunculannya kala itu dipengaruhi oleh dua kondisi yakni timbulnya semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang berjuang melepaskan diri dari belenggu penjajahan menuju tercapainya kemerdekaan dan keberadaan umat Islam pada zamannya yang mengalami berbagai kemunduran di segala aspek kehidupan. Sebagaimana diketahui dalam berbagai literatur sejarah dituliskan bahwa semangat nasionalisme mulanya dibangun oleh organisasi Budi Utomo yang berdiri pada 20 Mei 1908 dan merupakan suatu organisasi perintis yang lebih rapi dan terstruktur. Budi Utomo berusaha memperbaharui sistem perjuangan Bangsa Indonesia lama yang bersifat kedaerahan dan mudah untuk dipatahkan. 4 4 Tashadi dkk, Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Jakarta: Depdikbud, 1993, hal. 73 Namun realitanya Budi Utomo hanyalah sebagai perpanjangan tangan kaum kolonial Belanda saja. Tokoh-tokoh didalamnya adalah produk dari pendidikan ala Barat sehingga mengikuti trend dan gaya hidup yang dicontohnya dari para penjajah. Akibatnya tentu saja mereka cenderung bersifat eksklusif dan membentuk Universitas Sumatera Utara kelasnya sendiri. Apalagi mereka adalah anak-anak dari keluarga ningrat suku Jawa yang mendapat fasilitas dari adanya program Politik Etis sehingga keanggotaannya terbatas untuk keluarga bangsawan dari suku Jawa dan tentu saja hanya mewakili aspirasi dari suku Jawa saja. Sehingga dapat dikatakan bahwa Budi Utomo bukan merupakan representasi kebangkitan semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Seperti yang dikatakan Robert van Niel dalam bukunya bahwa ”Budi Utomo bersifat nasionalis hanya didalam pengertian yang amat terbatas -ia hanya menjelmakan kemajuan suatu kelompok tertentu- tetapi pada mulanya, sekurang-kurangnya, ia tidak berprestasi untuk membangun suatu bangsa. ’Kebangkitan’, jika kita ingin mendalami istilah yang banyak dipertentangkan ini, telah terjadi jauh sebelumnya dan Budi Utomo adalah wakil dari unsur-unsur mayarakat Indonesia yang sudah benar-benar ’bangkit’. Yang membuat Budi Utomo merupakan suatu ciptaan baru ialah bahwa ia adalah organisasi Indonesia pertama yang mengikuti garis-garis Barat.” 5 Sementara itu kemunduran umat Islam juga menggugah hati dan pikiran Tjokroaminoto. Beliau terusik dengan adanya wacana yang diungkapkan oleh ulama bahwa umat Islam waktu itu lemah dan mengalami kemunduran. Akibat kemunduran itu menyebabkan umat Islam menjadi bahan cemoohan, cercaan, dan hinaan dimana-mana. Berbagai hal yang menyebabkan kemunduran umat Islam antara lain disebabkan kebodohan, kerusakan budi pekerti, kebejatan moral para pemimpinnya, ulama yang tunduk pada penguasa yang zalim, dan sifat penakut. Kemunduran ini pula yang kemudian dimanfaatkan kaum kolonial sebagai momentum untuk melucuti kekuatan umata Islam karena mereka menyadari 5 Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, op.cit, hal.89 Universitas Sumatera Utara kekuatan tersebut berpotensi untuk membahayakan kedudukan mereka di tanah Indonesia. Dilatarbelakangi dua kondisi diatas, Tjokroaminoto pun muncul sebagai tokoh yang akan memenuhi ekspektasi segenap rakyat Indonesia yang membutuhkan figur seorang pemimpin yang dapat mengonsolidasikan kekuatan seluruh rakyat Indonesia untuk menuju bangsa yang merdeka dan terbebaskan. Ia tahu kalau rakyat Indonesia tidak akan mencapai kemerdekaan kalau mereka masih terkotak-kotakkan oleh ikatan kesukuan, kedaerahan, atau kelompok kepentingan yang berbeda-beda. Ia menyadari bahwa hanya Islam sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia waktu itu yang dapat menyatukan mereka sebagai suatu bangsa yang utuh. Tjokroaminoto-lah tokoh yang mempelopori Gerakan Kebangkitan Kesadaran Nasional Indonesia. Ia yang mampu menumbuhkan semangat persatuan di tengah perjuangan yang masih bersifat primordial atau kedaerahan di masa pra kemerdekaan. Beliau yang pertama kali mempelopori terbentuknya organisasi pergerakan modern yang berskala nasional yaitu Sarekat Islam. Ia pula- lah guru dan sumber inspirasi bagi tokoh-tokoh besar bangsa ini sekaliber Soekarno, Tan Malaka, Kartoesowiryo, Hamka, Alimin dan Moesso. Namun amat disayangkan jika popularitas dan sorotan yang diberikan padanya tidak sebesar publikasi yang diberikan kepada murid-muridnya tersebut. Bahkan ada kecenderungan untuk menganggapnya hanya sebagai seorang tokoh Sarekat Islam saja, padahal ia adalah seorang pahlawan nasional yang telah berjasa meletakkan dasar-dasar pemikiran tentang permasalahan nasional. Seperti yang dikatakan oleh Ajib Rasidi bahwa ”banyak konsep-konsep dan dasar-dasar Universitas Sumatera Utara pemikiran yang sekarang kita kenal sebagai milik orang lain, masih dapat kita kembalikan kepada Tjokro sebagai sumbernya.” Cendekiawan-cendekiawan muslim lain pun mengakui kebesaran tokoh ini, seperti A. Mukti Ali, ketika ia masih menjadi Menteri Agama, yang menyamakan sepak terjang Tjokroaminoto mirip dengan perjuangan Jamalluddin Al-Afghani tokoh Pan-Islamisme. 6 Atau Buya Hamka yang dengan jujur mengakui bahwa Tjokro-lah yang telah membuka matanya dalam melihat realitas yang terjadi pada masa penjajahan kolonial. Bahkan Presiden Soekarno, Presiden pertama sekaligus tokoh yang amat diagung- agungkan bangsa ini mengakui bahwa ”Tjokroaminoto adalah guru yang sangat dihormati, yang menanamkan pengaruh yang dalam pada jiwanya.” Kepribadian dan Islamisme-nya menarik Bung Karno dan memberikan pengaruh pada pandangan-pandangannya. Bung Karno mengakui bahwa dirinya campuran dari keagamaan, nasionalisme, dan sosialisme. Sebuah kombinasi yang dasar pemikirannya berasal dari Tjokroaminoto. 7 Sementara bagi penulis Tjokroaminoto adalah sosok yang unik dan menarik karena ia adalah kombinasi dari berbagai karakter yang membentuk kepribadiannya. Tjokroaminoto merupakan anak dari seorang bangsawan dan priyayi, namun ia malah menanggalkan status keningratannya dan meninggalkan segala fasilitas yang didapatnya jika bekerja sebagai priyayi. Ia juga adalah cucu dari seorang kyai ortodoks yang ternama, namun ia bukan seorang yang taqlid fanatisme buta dan introvert tertutup terhadap perubahan. Ia terbuka terhadap hal-hal baru dan pemikiran-pemikirannya banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh 6 M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, Yogyakarta : Cokroaminoto Universty Press, 1995, hal.3 7 Amelz, HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangannya Jilid I, Jakarta: Bulan bintang, 1952, hal.11-13 Universitas Sumatera Utara Islam Pembaharuan, meski begitu ia tetap mempertahankan nilai-nilai luhur dan tradisi setempat. Ia tetap menjaga simbol-simbol yang menjadi awal ciri khas nasionalisme bangsa ini semisal cara berpakaian ataupun bahasa Melayu sementara rekan-rekan seangkatannya yang juga bersekolah di sekolah Belanda mulai dipengaruhi trend berpakaian dan menggunakan bahasa Belanda dalam kesehariannya. Sikap inklusifnya inilah yang membuatnya dapat diterima oleh berbagai kalangan sebagai seorang pemimpin. Sifatnya yang membumi membuat rakyat dari golongan bawah seperti petani dan buruh mencintai dirinya bak dewa, sementara statusnya sebagai seorang ningrat dan terpelajar membuat dirinya didengar dan disegani oleh kelompok masyarakat elit dan intelektual, dan sebagai cucu dari seorang kyai kondang yang mempunyai pemahaman yang terbuka tentang Islam membuatnya memperoleh dukungan dari kalangan ulama dan santri dan tentu saja rakyat Indonesia secara keseluruhan yang merupakan mayoritas umat Islam. Selain itu, penulis juga menilai tingginya tingkat urgensi untuk mengadakan penelusuran kembali sejarah dari tokoh-tokoh bangsa terutama yang berasal dari masa pra-kemerdekaan karena pola pikir, karakter, maupun perilaku dari segenap pemimpin bangsa Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari pemikiran maupun perjuangan dari tokoh-tokoh terdahulu tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh seorang negarawan Romawi, Cicero 106- 46 SM, yang mengatakan bahwa ”sejarah adalah guru kehidupan magistra vitae dan ketertarikan ajek terhadap pelajaran masa lampau oleh pemimpin dan publik figur dari masyarakat sekarang sangat penting untuk pengamatannya.” 8 8 Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hal.6 Universitas Sumatera Utara Atas dasar alasan-alasan, baik tersurat maupun tersirat, di ataslah yang melatarbelakangi penulis sehingga menjadikan tokoh Tjokroaminoto sebagai sosok yang sangat pantas dan menarik untuk diteliti. Alasan ini pula yang mendorong penulis, untuk berusaha memperluas pemikiran-pemikiran positif dari tokoh yang piawai dengan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan tersebut. 1.2. Kerangka teori 1.2.1. Nasionalisme