3.4. Pemikiran Tjokroaminoto dalam Konfigurasi Politik Kontemporer
Tjokroaminoto pada akhirnya berusaha menunjukkan nasionalisme, sosialisme, bahkan demokrasi dapat berjalan beriringan, bukan ditempatkan dalam
posisi terkotak-kotak yang saling berkonfrontasi, juga tidak sebagai ideologi yang dikotomis melainkan semua merupakan sistem untuk membangun sebuah
komposisi masyarakat yang ideal. Dalam hal ini dapat terlihat keunggulan pemikiran Tjokroaminoto, dimana
meskipun ajaran-ajarannya dapat dikatakan ‘tertinggal’ lebih dari satu abad, namun tampak tetap lebih maju daripada pemikiran kelompok radikal Islam atau
kelompok ‘yang menganggap dirinya paling tahu tentang Islam’ di masa kini, yang terus sempit dalam melihat konsep nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme
sebagai sesuatu yang ‘anti Islam’ bahkan dianggap sebagai barang impor dari dunia Barat yang non-Islami, dan lebih parah lagi sampai ada anggapan sebagai
pemikiran kaum kafir. Misalkan saja ada tudingan yang menyatakan demokrasi bekan saja bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan bisa merusak tatanan Islam
karena demokrasi merupakan produk kapitalis. Sebutan sosialis juga selalu diidentikkan dengan komunisme dan atheisme dan oleh sebab itu harus diperangi.
Hal ini tidak terlepas dari adanya pengalaman sejarah yang terjadi di negara-negara Islam atau yang mayoritasnya penduduk Islam dalam hubungannya
dengan kolonialisme Barat yang mendera mereka di masa lalu, sehingga apa saja yang dianggap ‘produk Barat’ termasuk pemikiran dan ide yang dihasilkan dari
sana secara apriori dimusuhi dan dikategorikan sebagai ‘bertentangan dengan Islam’. Padahal sosialisme disini adalah yang diangkat dari konsep-konsep untuk
Universitas Sumatera Utara
membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diajarkan secara langsung oleh Rasul dan Islam, yang menghindari kediktatoran dan otoritarian.
Bagi mereka yang melihat konsep sosialisme dari sisi ini, bahkan kemudian menjadikannya sebagai salah satu bentuk solidaritas perlawanan
terhadap Barat. Dan ini kemudian ditandai dengan munculnya rasa nasionalisme. Sebagai pihak yang pernah merasakan pahitnya kolonialisme, Islam tak lagi hanya
bertahan sebagai identitas kultural. Nasionalisme juga menjadi ide politik yang terbuka untuk memerdekakan bangsanya. Oleh karena itu, hubungan Islam dengan
nasionalisme menjadi kesadaran yang paling kuat dan membekas dalam perlawanan panjang terhadap kolonialisme Barat. Beberapa negara yang merdeka
dan memilih sebagai negara Islam juga memilih jalan sosialisme Islam sebagai bentuk perlawanan kepada Barat yang kapitalistik. Sosialisme menjadi dekat
dengan masyarakat mayoritas muslim. Hanya saja, tidak berbeda dengan sosialisme Marx yang telah dijungkirbalikkan oleh pengikutnya sendiri di negara-
negara yang mengaku sosialis sejati tetapi rakyatnya malah menderita dipasung sistem tirani, demikian juga halnya sosialisme Islam telah dijungkirbalikkan
sehingga tak lagi menjadi kekuatan rakyat, malah menjadi ideologi rezim politik, rezim yang korup di mata kepentingan rakyat. Di negara-negara Islam yang
berkuasa adalah rezim kekuasaan yang satu sama lainnya saling bermusuhan. Dan hingga kini, memang belum pernah terdengar ada negara dengan
sebutan ‘Republik Sosialis Islam’ atau ‘Kerajaan Sosialis Islam’ dengan rakyatnya yang makmur sejahtera, tidak tertindas oleh rezim, tidak mengalami tirani jiwa
karena hak-hak asasinya terbelenggu. Tak beda dengan negara-negara yang memasang label ‘Republik Sosialis’ yang memilih jalan sosialisme Marx, dimana
Universitas Sumatera Utara
bukan hanya kemiskinan dan tirani jiwa yang diderita rakyatnya negara-negara berlabel sosialis itu bahkan malah mengalami keruntuhan karena dimana-mana
dibenci oleh rakyatnya sendiri sebelum mencapai tahap sebagai negara komunis. Apa yang dikemukakan oleh Tjokroaminoto tersebut sesungguhnya bukanlah
Tjokroisme melainkan murni ajaran Islam. Tjokroaminoto hanya berperan dalam mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN