sekali. Dari penjelasan pasal 12B ayat 1 ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa ternyata pengertian gratifikasi ini sama dengan pengertian suap
pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri atas
benda, jasa, fasilitas, dan sebagainya. 2.
Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian suap aktif, maksudnya tidak bisa mempersalahkan dan
mempertanggungjawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana paua pemberi grastifikasi menurut Pasal 12B ini.
3. Dengan demikian, luasnya pengertian gratifikasi ini seperti yang
diterangkan dan dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 12B ayat 1 ini, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi gratifikasi ini
menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindak pidana suap pasif pada Pasal 5 ayat 2, Pasal 6 ayat 2, dan Pasal 12 huruf a, b, dan c.
17
3. Subjek Gratifikasi
Berdasarkan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001, maka yang menjadi subjek tindak pidana gratifikasi adalah:
a. Pegawai Negeri
Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999, meliputi :
17
Adami chazawi, op.cit, hlm. 261-262.
Universitas Sumatera Utara
1. Pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang kepegawaian;
2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang
Hukum Pidana; 3.
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; atau 5.
Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.
18
b. Penyelenggara Negara
Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang
dimaksud dengan Penyelenggara Negara adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Penyelenggara Negara meliputi: 1.
pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara; 2.
Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3.
Menteri;
18
Tim Redaksi Fokusmedia, op.cit, hlm. 86-87.
Universitas Sumatera Utara
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan 7.
Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
19
Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi Sebagai White Collar Crime Kejahatan Kerah Putih
Desakan untuk menciptakan good governance di birokrasi merupakan tuntutan universal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kajian kriminologi
menempatkan korupsi secara umum sebagai white collar criminal atau kejahatan kerah putih. Hal ini dikarenakan salah satu pihak yang terlibat atau keduanya
berhubungan dengan pekerjaan atau profesinya. Demikian juga dengan tindak pidana Gratifikasi sebagaimana yang ada diatur dalam Pasal 12B UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang tergolong sebagai white collar Crime, mengingat kejahatan ini
berkembang dikalangan birokrat, yaitu para pegawai negeri dan penyelenggara negara.
Sesuai dengan karakteristik white collar crime, yang memang susah dilacak karena biasanya pelaku adalah orang yang memiliki status sosial tinggi
pejabat, memiliki kepandaian, berkaitan dengan pekerjaannya, yang dengannya
19
Ibid, hlm. 121-123.
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan pelaku bisa menyembunyikan bukti. Selain itu kerugian yang diakibatkan oleh perilaku korupsi biasanya tidak dengan mudah dan cepat
dirasakan oleh korban. Bandingkan dengan pencurian, perampokan atau pembunuhan.
Dictionary of Justice Data Terminology mendefinisikan white collar crime sebagai non violent crime dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial
yang dilakukan dengan menipu, oleh orang yang yang memiliki status pekerjaan sebagai pengusaha, professional, semi professional dan menggunakan kemampuan
teknis serta kesempatan atas dasar pekerjaannya.
Ciri khusus white collar crime yang membedakan dengan kejahatan lain:
1. Pelaku sulit diidentifikasi. Sehingga sulit dilacak.
2. Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga membutuhkan
keahlian tertentu. 3.
Jika menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab, biasanya kepada atasan dikenakan pasal pembiaran omission,
sementara bawahan pasal pelaksana commission. Tetapi biasanya “kaki berkorban untuk untuk melindungi kepala”.
4. Proses victimisasi korban juga tersamar karena pelaku dan korban tidak
secara langsung berhadapan. 5.
Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan. 6.
Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau hukuman yang ringan.
7.
Pelaku biasnya mendapatkan status kriminal yang ambigu. Jika ditelusuri
secara cermat, korupsi asal usulnya merupakan kejahatan kerah putih White Collar Crime.
Universitas Sumatera Utara
Pakar kriminolog, Sutherland menyebutkan kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang memiliki tiga dimensi perilaku manusia yang
berkaitan. Pertama, suatu kejahatan dilakukan ses
eorang yang memiliki status sos
ial tinggi tidak perlu apakah ia menduduki pekerjaan atau tidak. Dimensi kedua,
kejahatan dilakukan meng
atas
namakan suatu organisasi. Terakhir, kejahatan dilakukan seseorang bertentangan dengan kepentingan organisasi
.
Korupsi, sebagai kejahatan kerah putih tergolong suatu kejahatan yang melibatkan
tindakan kollektif, juga dilakukan dalam modus kejahatan lintas negara.
20
White collar crime dibedakan dari blue collar crime. Jika istilah white collar crime ditujukan bagi aparat dan petinggi negara, blue collar crime dipakai
untuk menyebut semua skandal kejahatan yang terjadi di tingkat bawah dengan Kejahatan kerah putih white collar crime adalah istilah temuan Hazel
Croal untuk menyebut berbagai tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara
individu. Hazel Croal mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana telah ditetpkan oleh hukum.
Umumnya, skandal kejahatan kerah putih sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa untuk memproduksi hukum dan membuat berbagai
keputusan vital. Kejahatan kerah putih terjadi dalam lingkungan tertutup, yang memungkinkan terjadinya sistem patronase. Kejahatan kerah putih sungguh
memasung dan membodohi rakyat. Rakyat yang tidak mengerti politik akhirnya pasrah, tetapi kepasrahan ini justru semakin membuat para pejabat
menggagahinya.
20
http:www.antikorupsi.orgindocontentview136436, 8 februari 2009, pkl 19.00.
Universitas Sumatera Utara
kualitas dan kuantitas rendah. Namun, kita juga harus tahu, kejahatan di tingkat bawah juga sebuah trickle down effect. Maka, jika kita mau memberantas berbagai
kejahatan yang terjadi di instansi pemerintahan, kita harus mulai dari white collar crime, bukan dari blue collar crime.
Di negara kita, yang namanya kejahatan kerah putih sudah menjadi berita biasa yang sering didengar, dilihat, dan dialami. Kejahatan kerah putih di negara
yang tidak pernah jera merampas uang rakyat, menindas, dan mendurhakai rakyat diglorifikasi dengan lemahnya tampilan penegak hukum di Tanah Air.
Kejahatan kerah putih yang endemik dan sistemik di negara kita adalah produk dari lemahnya tampilan penegak hukum. Tidak terlalu salah jika kita
mengatakan, kejahatan kerah putih di negara ini adalah karakter dari bangsa yang begitu permisif dan kompromis. Hukum dengan mudah diperjualbelikan dengan
harga kompromi. Rakyat tetap terpuruk dalam kawah krisis dan kemiskinan yang terus melilit hidupnya. Kejahatan kerah putih berjalan sendiri dan menetapkan
kebijakan sejauh dapat memberikan peluang kepadanya untuk terus melestarikan eksistensinya.
Salah satu pokok mengapa kejahatan kerah putih di negara kita yang tampil dengan banyak wajah sehingga sulit diberantas adalah karena esensi
kedaulatan rakyat tidak pernah ditegakkan. Kedaulatan hanya terwujud lima tahun sekali dalam momentum pemilu. Di lain pihak tidak ada empati politik dari para
politisi dan pemegang kekuasaan pada negara membuat kejahatan kerah putih terus berparade dan meneriakkan slogan suci dari mulut dan hatinya yang kotor.
Universitas Sumatera Utara
4. Objek Gratifikasi