BAB IV
SISTEM PEMBUKTIAN GRATIFIKASI DALAM KUHAP DAN UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pertanggungjawaban Dalam Tindak Pidana Gratifikasi
Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum pidana umum. Hal itu nyata dalam hal:
1. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia.
2. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa
yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi.
3. Perumusan delik dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi yang sangat luas ruang lingkupnya. 4.
Penafsiran kata menggelapkan pada delik penggelapan pasal 415 KUHP oleh yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat luas.
89
Meskipun di negeri Belanda dan Indonesia, yang hukum pidananya bersumber pada negeri Belanda, dianut asas keines atrfe ohne schuld atau geen
straff zonder schuld baik dalam kejahatan maupun pelanggaran arrest Hoge Raad tanggal 14 Desember 1916, NJ 1916, halaman 681 dan tanggal 25 Februari 1929,
NJ 1929 halaman 1500, kadang-kadang unsur kesengajaan tidak diutamakan seperti halnya Wet op de economische delicten 1950 di negeri belanda dan UU
89
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 93.
Universitas Sumatera Utara
Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia mengenai pemidanaan orang yang tidak dikenal onbekende overtreder.
Pemidanaan orang yang tidak dikenal dalam arti sempit tidak dikenal dalam delik korupsi, tetapi dapat juga dilakukan pemeriksaan sidang dan putusan
dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa putusan in absentia . Begitu pula bagi orang yang meninggal sebelum ada putusan yang tidak
dapat diubah lagi, yang diduga telah melakukan korupsi, hakim atas tuntutan Penuntut Umum dapat memutuskan perampasan barang-barang tertentu yang
telah disita. Kesempatam banding dalam putusan ini tidak ada. Orang yang telah meninggal dunia tidak mungkin melakukan delik. Delik dilakukan sewaktu ia
masih hidup, tetapi pertanggungjawabannya setelah dia meninggal dunia dibatasi sampai pada perampasan barang-barang yang telah disita.
90
UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan subjek delik terbagi dalam dua kelompok;
kedua-duanya jika melakukan perbuatan pidana diancam dengan sanksi. Kedua subjek atau pelaku delik itu adalah :
91
1. Manusia.
2. Korporasi.
3. Pegawai negeri.
4. Setiap orang.
90
Ibid, hlm. 94.
91
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Bandung: Mandar Maju, 2001, hlm. 21.
Universitas Sumatera Utara
Dalam tindak pidana gratifikasi, subjeknya adalah: 1.
Pegawai Negeri; atau 2.
Penyelenggara Negara.
92
Mampu Bertanggungjawab
Seseorang dikatakan bertanggungjawab jika dia melakukan kesalahan, untuk adanya kesalahan, terdakwa harus:
1. Melakukan delik;
2. Usia dewasa, karena mampu bertanggungjawab;
3. Terdapat kesengajaan atau kealpaan;
4. Tidak ada alasan pemaaf.
93
KUHP tidak ada mengatur batasan tentang mampu bertanggungjawab. Yang ada dalam KUHP ialah sebaliknya yakni tidak dapat
dipertanggungjawabkan yang disebut dalam Pasal 44. Dikatakan bahwa barabgsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwanya terganggu karena penyakit. Jika tidak dapat dipertanggungjawabkan itu disebabkan karena hal lain,
misalnya jiwanya tidak normal karena jiwanya masih sangat muda, atau hal lain, ketentuan dalam pasal ini tidak dapat diterapkan.
Dari ungkapan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab, terdakwa harus:
92
Martiman Prodjohamidjojo, loc.cit.
93
Ibid, hlm. 29
Universitas Sumatera Utara
1. Mampu membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum. 2.
Mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Yang pertama adalah faktor akal, yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang dibolehkan atau tidak; sedangkan yang kedua ialah faktor
perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan perbuatan tadi dengan keinsyafan terhadap perbuatan yang dibolehkan atau tidak.
94
1. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti luas schuld in
ruime zin, mempunyai tiga bidang: Dari pendapat para pakar, dapat ditarik kesimpulan:
a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan
toerekeningsvatbaarheid b.
Hubungan batin sikap psikis orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya:
b.1. Perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan, atau b.2. Perbuatan yang ada karena kealpaan, kelalaian, atau kurang hati-
hati. c.
Tidak ada alasan menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi pembuat anasir toerekenbaarheid.
94
Ibid, hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
2. Kesalahan dalam arti sempit yaitu
a. Kesengajaan dolus;
b. Kealpaan culpa.
95
B. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Gratifikasi Dalam KUHAP