Bentuk-Bentuk Gratifikasi Unsur-Unsur Delik Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi

BAB III PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI GRATIFIKASI

DALAM UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Bentuk-Bentuk Gratifikasi

Bentuk gratifikasi yang disebutkan dalam penjelasan pasal 4 UU No. 20 Tahun 2001 adalah: Uang, Barang, Rabat, Komisi, Pinjaman tanpa bunga, Tiket perjalanan, Fasilitas penginapan, Pengobatan Cuma-Cuma, Wanita, dan Fasilitas lainnya 57 Menurut para ahli, macam-macam kasus yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi adalah: a. Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif. b. Cinderamata bagi guru PNS setelah pembagian rapor kelulusan. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian polisi lalu lintas, retribusi dinas pendapatan daerah, LLAJR dan masyarakat preman. Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan pelaporan yang dipublikasikan ke media massa dan penindakan tegas pada 57 Evi Hartanti, Tindak pidana korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005 , hlm. 136. Universitas Sumatera Utara pelaku. Penyediaan biaya tambahan fee 10-20 persen dari nilai proyek. c. Uang restribusi masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah. d. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat. e. Perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan. f. Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah karena biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat menggunakan kotak amal. g. Hadiah pernikahan ke keluarga PNS yang melewati batas kewajaran. h. Pengurusan KTPSIMPaspor yang dipercepat dengan uang tambahan. i. Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda, dengan jumlah tidak masuk akal. j. Pengurusan ijin yang dipersulit. 58

B. Unsur-Unsur Delik Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi

Tindak pidana korupsi gratifikasi dimuat dalam Pasal 12B. pasal ini merumuskan selengkapnya sebagai berikut : 1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan: a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih pembukiaannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; 58 ibid Universitas Sumatera Utara b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum: 2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. 59 Ternyata pasal 12 B memuat 2 ketentuan, yaitu: a. Pertama, tentang ketentuan korupsi suap menerima gratifikasi hukum pidana materil pada pasal 12 ayat 1 huruf a dan mengenai ancaman pidana dalam ayat 2; b. Kedua, tentang ketentuan hukum acara pidana hukum pidana formil khusus mengenai pembuktian bagi tindak pidana menerima gratifikasi tersebut; Unsur-unsur menerima suap gratifikasi adalah: 1. Pembuatnya adalah pegawai negeri atau penyelenggara Negara; 2. Perbuatannya adalah menerima pemberian dalam arti luas; 3. Objeknya adalah gratifikasi atau pemberian dalam arti luas; 4. Yang berhubungan dengan jabatannya; dan 5. Berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. 60 Ad.1 pembuatnya adalah pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Pengertian Pembuat adalah yang membuat. Membuat adalah: 59 Adami Chazawi, Hukum pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung : PT Alumni, 2008, hlm. 261. 60 Ibid, hlm. 262-263. Universitas Sumatera Utara a. Menciptakan menjadikan, menghasilkan;membikin; b. Melakukan, mengerjakan; c. Menggunakan, memakai untuk; d. Menyebabkan, mendatangkan. 61 Jadi, yang dimaksud dengan pembuat adalah orang ataupun suatu badan yang menciptakan, membikin, melakukan, mengerjakan sesuatu, ataupun menyebabkan terjadinya sesuatu. Yang dimaksud dengan Pegawai adalah orang yang bekerja pada pemerintahan. Sedangkan yang dimaksud dengan Pegawai negeri adalah pegawai pemerintah yang berada diluar politik, bertugas melaksanakan administrasi pemerintahan berdasarkan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Jadi dalam tindak pidana korupsi gratifikasi ini yang dimaksud dengan pegawai negeri adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999. Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999, Pegawai Negeri adalah meliputi : 62 1. Pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang kepegawaian; 2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 61 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indoneia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm. 168. 62 Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi, Bandung: Fokusmedia, 2008, hlm. 86. Universitas Sumatera Utara 3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; 4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; atau 5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan keuangan Negara atau keuangan daerah dalam Pasal 1 angka 2 huruf c berkaitan dengan pembayaran gaji atau upah yang harus diberikan kepada sipenerima yang kemudian menjadi tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi, maka yang dimaksud dengan keuangan Negara atau keuangan daerah tersebut berkaitan dengan asal dana atau anggaran dari mana gaji atau upah dibayarkan . Pembayaran gaji atau upah tersebut berasal dari anggaran pendapatan dan belanja Negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, kolusi dan Nepotisme, yang dimaksud dengan penyelenggara Negara adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 63 1. pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara; Dalam pasal 2 disebutkan bahwa Penyelenggara Negara meliputi: 63 Ibid, hlm. 121. Universitas Sumatera Utara 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku, dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 64 Ad.2 perbuatannya adalah menerima. Yang dimaksud dengan perbuatan adalah: a. Sesuatu yang diperbuat atau dilakukan; tindakan b. Kelakuan; tingkah laku Dalam pasal ini yang menjadi perbuatannya adalah menerima gratifikasi. Yang dimaksud dengan menerima adalah: a. Menyambut; mengambil mendapat, menampung sesuatu yang diberikan, dikirimkan. b. Mengesahkan; membenarkan; menyetujui; meluluskan atau mengabulkan permintaan; 65 c. Mendapat atau menerima sesuatu; 64 Ibid, hlm. 122-123 65 Andi Hamzah, Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hlm. 1183. Universitas Sumatera Utara d. Menganggap; e. Mengizinkan. Ad.3 objeknya adalah gratifikasi atau pemberian dalam arti luas. Yang dimaksud dengan objek adalah: a. hal; perkara; yang menjadi pokok pembicaraan; b. Benda yang dijadikan sasaran; c. Hal atau benda yang menjadi sasaran usaha. 66 Yang menjadi objek gratifikasi atau pemberian dalam arti luas, yang dimaksud dalam pemberian dalam arti luas adalah sebagaimana yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001, yaitu: a. pemberian uang b. barang c. rabat discount d. komisi e. pinjaman tanpa bunga f. tiket perjalanan g. fasilitas penginapan h. perjalanan wisata i. pengobatan Cuma-Cuma, j. dan fasilitas lainnya. k. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. 67 Ad.4 berhubungan dengan jabatannya. Yang dimaksud dengan berhubungan adalah: a. Berangkutan; ada sangkut pautnya; bertalian; berkaitan; 66 Ibid, hlm. 793. 67 Tim Redaksi Fokusmedia, op.cit, hlm. 81. Universitas Sumatera Utara b. Bertemu; mengadakan hubungan; c. Bersambung; d. Tukar-menukar atau beri memberi. Yang dimaksud dengan jabatan adalah pekerjaan tugas dalam pemerintahan atau organisasi; fungsi; dinas. Ad.5 berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya Selama ini gratifikasi sudah diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi maupun dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi tidak semua jenis gratifikasi dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi karena dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah ditetapkan sejumlah syarat kapan dan bagaimana suatu gratifikasi bisa menjadi delik korupsi, lebih spesifiknya delik suap. Menurut Pasal 12 B ayat 1, gratifikasi dikatakan suap jika berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya pejabat bersangkutan. Dari rumusan pasal 12B ayat 1 UU No. 311999 jo UU No. 202001, unsur tindak pidana Gratifikasi atau suap ada 2 dua, 1. pemberian dan penerimaan gratifikasi serah terima; 2. kedua, berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Pada unsur kedua ini, muncul konstruksi yuridis turunan unsur derivatif unsur kedua dua hal, yaitu mengeluarkan putusan dari jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Dan, putusan tersebut menguntungkan pihak pemberi gratifikasi. Ini berarti, dalam unsur kedua, ada Universitas Sumatera Utara putusan jabatan yang putusan tersebut bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya melawan hukum dan ada keuntungan dari putusan tersebut pada pemberi gratifikasi. Unsur pertama dan unsur kedua, diikat oleh rumusan kata ”apabila berhubungan dengan”. Ini menunjukan adanya hubungan sebab akibat qondite sine quanon antara unsur pertama dengan unsur kedua. Kata “apabila” menunjukan bahwa pembentuk undang-undang mengakui bahwa tidak semua gratifikasi berkaitan dengan jabatan unsur kedua. Tanpa adanya hubungan sebab akibat dua unsur tindak pidana gratifikasi atau suap tidak bisa menyatu menjadi tindak pidana gratifikasi atau suap. Cara merumuskan tindak pidana korupsi gratifikasi ini tidak lazim, tetapi karena diberikan ancaman pidana sebagaimana pada ayat 1 huruf a dan b, tidak diragukan lagi bahwa menerima gratifikasi adalah suatu jenis kejahatan suap pasif. Apa yang dimaksud dengan gratifikasi dalam Pasal 12B? sebetulnya lebih tepat disebut korupsi suap pegawai negeri manarima gratifikasi. Untuk memahami benar tentang kejahatan ini, perlu diketahui mengenai dua ketentuan yang memuat: 68 1. Pertama, tentang pengertian tindak pidana korupsi menerima gartifikasi. Menurut Pasal 12B ayat 1, ialah gratifikasi pemberian Pada pegawai negeri dianggap menerima suap artinya tindak pidana korupsi menerima gratifikasi adalah “apabila berhubungan denga jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya”. 68 Adami Chazawi , loc.cit Universitas Sumatera Utara 2. Kedua, tentang pengertian gatifikasi dan macam-macamnya yang ditempatkan pada penjelasan Pasal 12B, yang merumuskan: “yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yang meliputi pemberian uang, rabat discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas lainnya.” Jadi, pegawai negeri yang menerima sesuatu atau menerima sesiuatu janji yang bagimana yang dapat masuk dalam ruang lingkup suap menerima gratifikasi, harus diuji atau diukur dengan dua kriteria diatas. Pertama, apakah sesuatu yang diterima itu ada hubungannya dengan jabatannya atau tidak? jika ada hubungan, apakah pemberian yang diterimanya itu berlawanan ataukah tidak denga kewajibannya atau tugasnya? 69 1. Bahwa ternyata pemberian gatifikasi ini sama dengan pengertian suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa penerimaan dan pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri dari macam-macam; benda, jasa, fasilitas, dan lain sebagainya. Kedua, apakah bentuknya termasuk ataukah tidak dengan bentuk-bentuk yang disebutkan dalam syarat kedua. Bila keduanya terpenuhi, pegawai negeri tersebut telah masuk jarring Pasal 12B ialah tindak pidana korupsi gratifikasi. Dari kedua sumber formal yang memuat syarat atau kriteria menerima gratifikasi tersebut diatas dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut : 2. Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian suap aktif, artinya tidak bisa untuk mempermasalahkan dan mempertanggungjawabkan pidana pada pemberi suap gratifikasi 69 Adami Chazawi, op.cit, hlm. 264 Universitas Sumatera Utara dengan menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi atas dasar hukum Pasal 12B ini. 3. Bahwa luasnya pengertian tindak piadana korupsi gratifikasi seperti yang diterangkan dalam penjelasan mengenai Pasal 12B ayat 1 tadi, tidak bisa tidak tindak pidana korupsi gratifikasi ini menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindak pidana suap pasif pada Pasal 5 ayat 2, Pasal 6 ayat 2, dan Pasal 12 huruf a,b,c maupun Pasal 11. 70 Unsur gratifikasi yang amat penting dari dua sumber formal tersebut ialah hadian atau janji yan diberikan dan atau yang diterima oleh pegawai negeri sipembuat: a. Pertama, harus ada hubungannya dengan jabatan dengan pegawai negeri sipenerima gratifikasi; dan b. Kedua, penerimaan itu haruslah berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya; c. Ketiga, bentuk penerimaan pegawai negeri tersebut terdapat atau ada disebutkan dalam penjelasan Pasal 12 B. Pertama dan kedua dapat disebut unsur pokok atau unsur pembentuk tindak pidana kurupsi suap menerima gratifikasi. Sedangkan yang ketiga berupa bentuk pemberian atau sesuatu yang diterima pegawai negeri. Bentuk penerimaan itu bisa saja diluar yang disebutkan, karena walaupun dalam penjelasan dalam Pasal 12 B disebutkan secara limitatif, tetapi sifatnya terbuka. Artinya, masih dimungkinkan ada bentuk penerimaan gratifikasi lain, dari kata “fasilitas lainnya” diakhiri kalimat penjelasan tersebut. 70 Ibid, hlm 264 Universitas Sumatera Utara Terdapatnya kedua unsur dan ditambah bentuknya yang disebutkan ketiga ini harus kumulatif, tidak boleh terpenuhi satu unsur. Dua unsur inilah yang dapat menjadi sebab tindak pidana korupsi suap pasif lainnya seperti Pasal 5 ayat 2, Pasal 6 ayat 2, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c bisa masuk pada pengertian korupsi menerima gratifikasi. 71 Surat Dakwaan dapat dibuat dalam bentuk kumulatif antara dua atau lebih tindak pidana dalam pembarengan peraturan, Pasal 63 KUHP atau primer- Berdasarkan hal inilah, sesungguhnya setiap bentuk korupsi menerima suap yang masuk pada pengertiaan atau cakupan suap menerima gratifikasi, seharusnya dapat sekaligus didakwakan pula Pasal 12B. Tujuan satu-satunya agar dapat digunakannya sistem beban pembuktian terbalik sebagaimana dimaksudkan Pasal 12B ayat 1 huruf a. Bagaimana caranya untuk mengetahui bahwa pegawai negeri yang menerima pemberian adalah termasuk tindak pidana korupsi gratifikasi yang sekaligus masuk pula pada korupsi menerima suap lainnya ? Pertama, penerimaan itu disesuaikan bersesuaian dengan 2 dua unsur pokok dari pengertian tindak pidana korupsi gratifikasi dalam Pasal 12B; Kedua, bahwa apakah jenisnya sama dengan yang diterangkan dalam penjelasan Pasal 12B, walaupun ini tidak mutlak, karena mengenai bentuk gratifikasi sifatnya terbuka. Hubungannya untuk membuktikan adanya dua unsur korupsi menerima gratifikasi terutama yang unsur penerimaan pemberian itu berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dapat didasarkan pada tindak pidana korupsi mana yang telah dilanggar oleh orang yang menyuap pegawai negeri tersebut. 71 Ibid, hlm 265 Universitas Sumatera Utara subsider. Tidak tepat dibuat alternatif, karena tidak mengandung sifat saling mengecualikan antara korupsi menerima gratifikasi dengan bentuk-bentuk korupsi menerima suap lainnya. Jika dakwaan dibuat dalam bentuk primer-subsider, pada dakwaan primer adalah Pasal 12B, dengan alasan terberat ancaman pidananya. Jika kumulatif dari dua kejahatan yang masuk pembarengan peraturan Pasal 63, jaksa akan membuktikan kedua-duanya, tetapi hanya menuntut pidana yang terberat saja. Demikian juga hakim memilih dan menjatuhkan pidana yuang terberat ancaman pidananya in casu Pasal 12B. Tidak tepat dibuat surat dakwaan bentuk kumulatif dari perbarengan perbuatan Pasal 65 KUHP. Karena dapat dipastikan perbuatannya adalah satu, kecuali apabila menerima suap dilakukan dua kali atau lebih. Tentunya yang disebutkaan terakhir ini, bukan bentuk perbarengan peraturan melainkan perbarengan perbuatan Pasal 65 KUHP. Untuk menetapkan bahwa gratifikasi pemberian dalam arti luas yang diterima pegawai negeri ada hubungan dengan jabatannya, dapat diketahui atau dibuktikan dari segala hal atau keadaan objektif sekitar objek jenis dan nilai dan perbuatan cara dan saat gratifikasi diberikan, dan termasuk kausa pemberian berikut keadaan sipenyuap dan pegawai negeri yang menerima suap. Keadaan- keadaan itu misalnya: 72 1. Jenis dan nilai, berupa uang tunai Rp 10 juta atau lebih; 2. Cara memberikan secara sembunyi-sembunyi, dalam amplop atau map, diberikan melalui kurir atau perantara dikantor atau waktu makan bersama direstoran; 72 Adami Chazawi, op.cit, hlm. 267. Universitas Sumatera Utara 3. Juga yang sangat penting, pemberian uang itu tidak jelas kausanya; atau kalau ada kausanya misalnya hadiah perkawinan atau honor seminar, tetapi nilainya tidak wajar; 4. Yang jelas pegawai negeri memang mempunyai jabatan yang dimaksudkan Pasal 12B, sehingga ia memiliki kemampuan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu; 5. Bisa juga pegawai negeri ada hubungan khusus dengan orang yang memberi gratifikasi; 6. Daan lain-lain yang tidak bisa sama pada setiap kasus. Keadaan-keadaan seperti itulah yang dapat dijadikan indikator bahwa gratifikasi yang diterima pegawai negeri itu ada hubungannya dengan jabatannya. Sedangkan mengenai unsur pemberian maksudnya gratifikasi yang diterima berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, memang tidak ada penjelasan apapun dalam undang-undang. Namun, harus dicari hal atau faktor penting yang dapat dijadikan dasar penafsiran dalam mencari maksud unsur berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya tersebut. Hal tersebut terutama hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan sipemberi gratifikasi. 73 Menurut akal, tidaklah mungkin ada orang yang tanpa kausa yang masuk akal dan patut dengan serta merta memberi seorang hakim uang 100 juta. Pastilah dalam pemberian ini ada maksud yang tercela atau melawan hukum, karena seorang hakim dari sudut apapun tidak dapat dibenarkan menerima uang diluar haknya. Berdasarkan pada unsur maksud sipenyuap ini, maka dapat ditafsirkan bahwa bagi hakim yang menerima gratifikasi berupa uang Rp 100 juta, telah terdapat unsur berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya. Berlawanan 73 Ibid, hlm. 268. Universitas Sumatera Utara dengan tugasnya atau kewajibannya, ialah dari sudut jabatan dan tugasnya penerimaan itu tidak menjadi hak jabatan yang dipangkunya. Demikian juga, apabila dilihat dari penerimaan uang oleh hakim tadi, bertentangan dengan kepatutan, artinya mengandung sifat melawan hukum materil. Setiap perbuatan pegawai negeri menerima sesuatu dari dari orang diluar haknya adalah termasuk perbuatan yang mengandung sifat tercela. Oleh karena itu, telah masuk dalam unsur berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya. Oleh sebab itu, bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya menurut Pasal 12B ini harus diartikan sebagai bertentangan dengan haknya, atau tidak berhak menerimanya. 74

C. Batasan Gratifikasi

Dokumen yang terkait

Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001)

4 78 135

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA MATI DALAM KEADAAN TERTENTU BERDASARKAN PASAL 2 AYAT (2) UU No 31 TAHUN 1999 Jo UU No 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI

0 14 51

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

UU Tindak Pidana Korupsi No.31 tahun 1999

0 0 12

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3