Teori Modern Sistem Pembuktian Tindak Pidana Gratifikasi Dalam KUHAP

Teori ini mengatakan bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan terdakwa, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang. Dan jika bukti minimum itu kedapatan, bahkan hakim diwajibkan menyatakan bahwa kesalahan terdakwa. Titik berat dari ajaran ini adalah positivitas. Tidak ada bukti, tidak dihukum; ada bukti meskipun sedikit harus dihukum. Teori ini dianut oleh KUHAP, sebagaiman ternyata dalam ketentuan pasal 183 KUHAP. 98 c. Teori Bebas Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Teori ini tidak mengikat hakim pada aturan hukum. Yang dijadikan pokok, asal saja ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa, yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman. Teori ini tidak dianut oleh HIR maupun KUHAP. Perkembangan teori selalu dimungkinkan dan akhir-akhir ini berkembang suatu teori baru.

2. Teori Modern

98 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit, hlm. 100-101. Universitas Sumatera Utara 1. Teori Pembuktian Dengan Keyakinan Belaka. Teori ini tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan hakim dan terkesan hakim sangt bersifat subjektif. Menurut aliran ini sudah dianggap cukup bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. 99 2. Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif. Dalam sistem ini, hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan apakah keadaan harus dianggap telah terbukti. Aliran sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, atau disebut juga positief wettelijke bewijstheori. Dalam teori ini, undang- undang menetapkan alat-alat bukti mana yang dapat dipakai oleh hakim, cara bagaimana hakim mempergunakan alat-alat bukti serta kekuatan pembuktian dari alat-alat itu sedemikian rupa. 3. Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif Teori ini menghendaki alasan-alasan yang disebutkan oleh undang- undang, sebagai alat bukti wettelijk bewijmiddelen. Tidak diperbolehkan mengguanakan alat bukti lain yang tidak disebut dalam undang-undang dan tentang cara mempergunakan alat bukti hakim terikat pada ketentuan undang-undang. 100 4. Teori Keyakinan Atas Alasan Logis 99 Ibid, hlm 101 100 Ibid, hlm. 102-103 Universitas Sumatera Utara Teori ini menentukan bahwa hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil putusan tidak terikat pada penyebutan alat- alat bukti dan cara-cara menggunakan alat-alat bukti dalam UU, melainkan hakim leluasa untuk memakai alat-alat bukti lain asal saja semua dengan dasar alasan yang tepat menurut logika. 5. Teori Pembuktian Negatif Menurut Undang-Undang KUHAP maupun HIR menganut teori yang sama, yaitu teori negatif menurut undang-undang, kedua-duanya memiliki persamaan dalam sistem dan cara menggunakan alat-alat bukti, yakni teori pembuktian negatif menurut undang-undang. Hal itu ternyata pada Pasal 183 KUHAP sama dengan Pasal 294 ayat 1 HIR. Pasal 183 KUHAP berbunyi: Hakim tidak boleh menjalankan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang benar-benar yang bersalah melakukannya. Pasal 294 ayat 1 HIR berbunyi: Tiada seorangpun boleh dihukum kecuali hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang bersalah tentang perbuatan itu. 101 1. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah. Esensi dari pasal 183 KUHAP, ialah: 2. Terdakwa telah bersalah melakukannya. 101 Ibid, hlm 105 Universitas Sumatera Utara Kata “sekurang-kurangnya” dua alat bukti, memberikan limitatif pada alat bukti yang minimum, yang harus disampaikan pada acara pembuktian. Sedangkan kata-kata “alat bukti yang sah” menunjukkan pengertian bahwa hanyalah alat-alat bukti yang diatur dan diakui oleh undang-undang dapat diterapkan sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian pada pidana pada umumnya ataupun pada delik korupsi. 102 1. Keterangan saksi; Macam-macam alat bukti dan kekuatan alat-alat bukti. Mengenai jenis-jenis alat bukti yang boleh dipergunakan dan kekuatan pembuktian serta cara bagaimana dipergunakannya alat-alat bukti tersebut untuk membuktikan disidang pengadilan, adalah hal pokok dalam hukum pembuktian dengan sistem negatif. Ketiga hal pokok itu telah tertuang dalam pasal-pasal dalam bagian keempat KUHAP. Mengenai macam-macam alat bukti dimuat Pasal 184. Sedangkan mengenai cara mempergunakan alat-alat bukti dimuat dalam Pasal 185-Pasal 189 KUHAP. Mengenai macam alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan untuk membuktikan yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP, ialah: 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 102 ibid Universitas Sumatera Utara 5. Keterangan terdakwa; Jika dibandingkan dengan alat-alat bukti dalam Pasal 295 HIR, maka alat-alat bukti dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP ada perbedaan. Perbedaan itu adalah: 1. Alat bukti pengakuan menurut HIR, yang dalam KUHAP diperluas menjadi keterangan terdakwa. Pengertian keterangan terdakwa lebih luas dari sekadar pengakuan. 2. Dalam KUHAP ditambahkan, alat bukti baru yang dulu dalam HIR bukan merupakan alat bukti, yakni keterangan ahli. Ad.1. Alat Bukti Keterangan Saksi. KUHAP memberikan batasan pengertian saksi, ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu Pasal 1 angka 26. Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatuperistiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya. Pasal 1 angka 27. Dari batasan UU tentang saksi dan keterangan saksi tersebut, dapatlah ditarik 3 kesimpulan, yakni: 1. Bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Ketentuan ini juga Universitas Sumatera Utara mengandung pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangannya dalam 2 tingkat yakni ditingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan disidang pengadilan. 2. Bahwa isi apa yang diterangkan, adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala sesuatu yang yang sumbernya diluar 3 sumber tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan pembuktian. Ketentuan ini menjadi suatu prinsip pembuktian dengan menggunakan alat bukti keterangan saksi. Syarat keterangan saksi agar keterangan saksi agar keterangannya itu menjadi sah dan berharga, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya, dapat terletak pada beberapa hal, ialah: 103 a. Hal kualitas pribadi saksi; b. Hal apa yang diterangkan saksi; c. Hal sebab apa saksi mengetahui tentang sesuatu yang diterangkan; d. Syarat sumpah atau janji; e. Syarat mengenai adanya hubungan antara isi keterangan saksi dengan isi keterangan saksi lain atau isi isi alat bukti lain. Ada beberapa hal yang amat perlu diperhatikan dalam menilai kekuatan keterangan saksi dalam persidangan. Hal-hal ini dapat dianggap sebagai standar penilaian. Dalam menilai keterangan saksi, disamping harus memperhatikan tentang syarat sah dan berharganya keterangan saksi sebagaimana yang telah 103 Ibid, hlm. 38-39. Universitas Sumatera Utara dibicarakan diatas, juga harus memperhatikan standar penilaian keterangan saksi. Hal-hal yang harus diperhatikan sebagaimana yang ditentukan Pasal 185 ayat 6, ialah: a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi lainnya; b. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi; e. Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi pasal 164 ayat 1, dan f. Persesuaian keterangan saksi dipersidangan dengan keterangannya ditingkat penyidikan Pasal 163. 104 Ad.2. Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam praktik alat bukti ini disebut alat bukti saksi ahli. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan Pasal 1 angka 28. Apa isi yang diterangkan oleh ahli, serta syarat apa yang harus dipenuhi agar keterangan ahli mempunyai nilai tidaklah diatur dalam KUHAP, tetapi dapat dipikirkan bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 28 KUHAP, secara khusus ada 2 syarat dari keterangan seorang ahli, ialah: 1. Bahwa apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya. 104 Ibid, hlm. 55-56. Universitas Sumatera Utara 2. Bahwa yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. 105 Karena merupakan syarat, maka apabila ada keterangan seorang ahli yang tidak memenuhi salah satu syarat atau kedua syarat, maka keterangan ahli itu tidaklah berharga dan harus diabaikan. Kekuatan alat bukti keterangan ahli secara khusus adalah terletak pada 2 syarat tersebut, tetapi secara umum juga terletak pada syarat-syarat umum pembuktian dari alat-alat lain terutama keterangan saksi Pasal 179 ayat 2. Dari sudut sifat isi keterangan yang diberikan ahli, maka ahli dapat dibedakan antara: 1. Ahli yang menerangkan tentang hasil pemeriksaan sesuatu yang telah dilakukannya berdasarkan keahlian khusus untuk itu. Misalnya, seorang dokter ahli forensik yang memberikan keterangan ahli disidang pengadilan tentang penyebab kematian setelah dokter tersebut melakukan bedah mayat otopsi. Atau seorang akuntan memberikan keterangan disidang pengadilan tentang hasil audit yang dilakukannya atas keuangan suatu instansi pemerintah. 2. Ahli yang menerangkan semata-mata tentang keahlian khusus mengenai sesuatu hal yang berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Misalnya ahli dibidang perakit bom yang menerangkan didalam siding pengadilan tentang cara merakit bom. 105 Ibid, hlm. 62. Universitas Sumatera Utara Seorang ahli tidak selalu ditentukan oleh adanya pendidikan formal khusus untuk bidang keahliannya seperti ahli kedokteran forensik, tetapi pada pengalaman dan bidang pekerjaan tertentu yang ditekuninya selama waktu yang panjang, yang menurut akal sangat wajar menjadi ahli dalam bidang khusus tersebut. Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya. 106 a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang semua keterangan tentang tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; Ad.3. Alat Bukti Surat Aspek fundamental surat sebagai alat bukti diatur pada Pasal 184 ayat 1 huruf c KUHAP. Kemudian, secara substansial tentang bukti surat ini ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat 1 huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang ternasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; 106 Ibid, hlm 67. Universitas Sumatera Utara c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. 107 Dari ketentuan Pasal 187 KUHAP beserta penjelasannya, selintas menimbulkan nuansa yuridis didalamnya. Substansi pasal tersebut tidak mengatur dan menentukan korelasi limitatif antara alat bukti surat dalam hukum pidana maupun hukukm perdata seperti halnya HIR Stb. 1941 No. 44. Akan tetapi, apabila diperbandingkan lebih jauh dengan ketentuan hukum perdata, pada hakikatnya alat bukti surat Pasal 138, 165-167 HIR, Pasal 285-305 RBg, Pasal 1867-1894 KUH Perdata, Pasal 138-147 Rv serta Ordonansi 1867 No. 29 dalam praktik dapat diklasifikasikan menjadi 3 tiga macam, yaitu: 1. Akta otentik; 2. Akta dibawah tangan; 3. Surat biasa. 108 Ad.4. Alat Bukti Petunjuk Apabila kita bandingkan dengan 4 empat alat-alat bukti yang lain dalam Pasal 184, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang 107 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoretis, Praktik, dan Masalahnya, Bandung: PT. Alumni, 2007, hlm. 237. 108 Ibid Universitas Sumatera Utara bulaty dan berdiri sendiri, melainkan suatu alt bukti bentukan hakim. Hal itu tampak dari batasannya dalam ketentuan Pasal 188 KUHAP, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: a. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupunn dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 109 b. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari: 1. Keterangan saksi; 2. Surat; 3. Keterangan terdakwa. c. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu oleh Hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. 110 Menurut Wiryono Prodjodikoro, apa yang disebut sebagai petunjuk sebenarnya bukan alat bukti melainkan kesimpulan belaka yang diambil dengan menggunakan alat-alat bukti sah yang lain, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. 111 109 Adami Chazawi, op.cit, hlm 72-73. 110 Ibid, hlm 73. 111 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit, hlm. 130. Universitas Sumatera Utara Ad. 5. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Keterangan terdakwa erkentenis merupakan gradasi kelima dari ketentuan Pasal 184 ayat 1 huruf e KUHAP. Apabila diperbandingkan dari segi terminologinya, dengan pengakuan terdakwa bekentennis sebagaimana ketentuan Pasal 295 jo Pasal 367 HIR, istilah keterangan terdakwa Pasal 184 jo Pasal 189 KUHAP tampaknya lebih luas maknanya daripada pengakuan terdakwa karena aspek ini mengandung makna bahwa segala sesuatu yang diterangkan oleh terdakwa sekalipun tidak berisi pengakuan salah merupakan alat bukti yang sah. Dengan demikian, proses dan prosedural pembuktian perkara pidana menurut KUHAP tidak mengejar dan memaksakan agar terdakwa mengaku. Selanjutnya, terhadap keterangan terdakwa secara limitatif diatur oleh Pasal 189 KUHAP, yang berbunyi: a. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; b. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya; c. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri; Universitas Sumatera Utara d. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. 112 Dari keterangan Pasal 189 KUHAP, dapat ditarik kesimpulan bahwa keterangan terdakwa dapat dinyatakan didalam siding pengadilan dan dapat pula diberikan diluar siding. Agar keterangan terdakwa yang dinyatakan di siding pengadilan dapat dinilai sebagai alat bukti sah, hendaknya berisikan penjelasan atau jawaban yang dinyatakan sendiri oleh terdakwa dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya terhadap perbuatan yang ia lakukan, ia ketahui dan ia alami sendiri. Sedangkan terhadap keterangan terdakwa yang diberikan diluar persidangan hanya dapat dipergunakan dalam eksistensinya membantu menemukan bukti disidang pengadilan. C. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi Dalam UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

1. Sistem Pembebanan Pembuktian Biasa

Dokumen yang terkait

Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001)

4 78 135

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA MATI DALAM KEADAAN TERTENTU BERDASARKAN PASAL 2 AYAT (2) UU No 31 TAHUN 1999 Jo UU No 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI

0 14 51

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

UU Tindak Pidana Korupsi No.31 tahun 1999

0 0 12

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3