Batasan Gratifikasi Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Menerima Gratifikasi Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dengan tugasnya atau kewajibannya, ialah dari sudut jabatan dan tugasnya penerimaan itu tidak menjadi hak jabatan yang dipangkunya. Demikian juga, apabila dilihat dari penerimaan uang oleh hakim tadi, bertentangan dengan kepatutan, artinya mengandung sifat melawan hukum materil. Setiap perbuatan pegawai negeri menerima sesuatu dari dari orang diluar haknya adalah termasuk perbuatan yang mengandung sifat tercela. Oleh karena itu, telah masuk dalam unsur berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya. Oleh sebab itu, bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya menurut Pasal 12B ini harus diartikan sebagai bertentangan dengan haknya, atau tidak berhak menerimanya. 74

C. Batasan Gratifikasi

Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12C ayat 4 pada saat sekarang sudah ada, yaitu UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 27 Desember 2002. Dalam Pasal 12 C ayat 4 ditentukan bahwa undang-undang tentang komisi pemberantasan korupsi tersebut mengatur mengenai: 75 a. Tata cara penyampaian laporan dari Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara kepada komisi pemberantasan tindak pidana korupsi tentang adanya penerimaan gratifikasi; b. Penentuan status gratifikasi oleh komisi pemberantasan korupsi, apakah gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau 74 Ibid, hlm. 269. 75 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Sinar Grafika, 2005, hlm. 113. Universitas Sumatera Utara penyelenggara Negara akan ditetapkan menjadi milik pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerimanya atau menjadi milik Negara. Mengenai tata cara penyampaian laporan dan penentuan status gratifikasi tersebut, diatur lebih lanjut dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 18 UU No. 30 Tahun 2002. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12C ayat 1, dapat diketahui bahwa tidak setiap gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara Negara selalu merupakan tindak pidana korupsi tentang gratifikasi. 76 76 Ibid, hlm 114. Jika pegawai negeri atau penyelenggara Negara telah melapor gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut tidak dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi tentang gratifikasi, tetapi sebaliknya jika pegawai negeri atau penyelenggara Negara tidak melapor gratifikasi yang diterimanya, pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi tentang gratifikasi. Atau dengan perkataan lain, penerimaan gratifikasi baru merupakan tindak pidana korupsi, jika pegawai negeri atau penyelenggara Negara tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Jadi, apakah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi tentang gratifikasi sangat tergantung dari apakah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut telah melaporkan atau tidak melaporkan adanya penerimaan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Universitas Sumatera Utara Karena didalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12C ayat 1 hanya disebutkan Pasal 12B ayat 1, maka yang dimaksud gratifikasi dalam ketentuan tersebut adalah baik gratifikasi yang nilainya Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat 1 huruf a maupun gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat 1 huruf b. Tindak pidana korupsi gratifikasi ini merupakan tindak pidana baru, yang dalam Undang-Undang yang lama tidak ada diatur. Namun, mengenai dicantumkannya alasan peniadaan penuntutan pidana berupa melaporkan penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri yang menerima gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut Pasal 12C ayat 1, rupanya meniru ketentuan Pasal 1 ayat 1 huruf d dan e UU No. 3 Tahun 1971, berbunyi : d. barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu. e. barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal: 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. 77 Hanya ada perbedaan, ialah menurut Pasal 1 ayat 1 huruf d UU No. 3 Tahun 1971 tempat melapor ditentukan adalah pada yang berwajib, maksudnya 77 R. Wiyono, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1986, hlm. 92. Universitas Sumatera Utara Polisi. Akan tetapi, menurut Pasal 12C ayat 1 adalah Komisi Pemberantasan Korupsi KPK. Perbedaan lain ialah penyampaian laporan penerimaan gratifikasi menurut Pasal 12 C ayat 2 diberi tenggang waktu paling lambat 30 tiga puluh hari kerja sejak tanggal menerima gratifikasi. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat 1 huruf d UU No. 3 Tahun 1971 tidak disebut tenggang waktu tertentu,hanya disebutkan “dalam waktu yang sesingkat-singkatnya”. Pasal 12 C UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 1. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat 1 tidak berlaku, jika penerima melaorkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. 2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 tiga puliuh hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. 3. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lambat 30 tiga puluh hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. 4. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 diatur dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 78 78 Tim Redaksi Fokusmedia, op.cit, hlm. 68. Universitas Sumatera Utara Tata Cara Pelaporan dan Penentuan Status Gratifikasi Pasal 16 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasa Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut: a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsidengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi. b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; 2. Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; 3. Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; 4. Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan 5. Nilai gratifikasi yang diterima. 79 Pasal 17 1. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari kerja terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi disertai pertimbangan. 2. Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 Komosi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi. 79 Ibid, hlm. 10. Universitas Sumatera Utara 3. Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. 4. Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagainmana dimaksud dalam ayat 3 dapat berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik negara. 5. Komisi pemberantasan Korupsi wajib menyarahkan keputusan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 4 kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan. 6. Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan, dilakukan paling lambat 7 tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan. 80 Pasal 18 Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengumumkan gratifikasi yang ditetapkan menjadi milik negara paling sedikit 1 satu kali dalam setahun dalam Berita Negara. 81 Menurut ketentuan Pasal 12C ayat 1 jo 2, ketentuan sebagaiman dimaksud Pasal 12B ayat 1 tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK dalam waktu 30 tiga puluh hari kerja sejak menerima gratifikasi. Apakah artinya Pasal 12B ayat 1 tidak berlaku? Apakah sama artinya dengan bukan merupakan tindak pidana? Atau alasan peniadaan pidana? 82 Berdasarkan penafsiran sistematis, tampaknya memang kalimat “Pasal 12B ayat 1 tidak berlaku” adalah mengandung arti tidak berlaku sebagai tindak 80 Ibid, hlm. 11. 81 ibid 82 Adami Chazawi, op.cit, hlm 269 Universitas Sumatera Utara pidana, karena yang dimaksud tidak berlaku ialah Pasal 12B ayat 1. Pasal 12B ayat 1 adalah mengenai tindak pidana suap menerima gratifikasi. Oleh sebab itu dapat diartikan bila pelaporan dilakukan, menjadi bukan tindak pidana suap menerima gratifikasi, tetapi dari sudut logika pendapat itu tentu tidak benar, karena apabila pemberiannya gratifikasi telah diterima, sesungguhnya kejahatan korupsinya telah terjadi. Dalam hal tindak pidana sudah selesai dilakukan secara sempurna, maka tidak mungkin menjadi bukan tindak pidana oleh sebab kemudian melaporkan ke KPK. Pengertian yang demikian tidak logis. Padahal hukum haruslah logis, karena logika adalah landasan hukum normatif. Apakah ketentuan mengenai melaporkan penerimaan gratifikasi ini merupakan alasan penghapusan pidana? Kiranya juga tidak. Mengapa?. Karena alasan peniadaan pidana yang dalam doktrin hukum terdiri dari alasan pemaaf dan alasan pembenar, baik didalam maupun diluar UU, adalah terbentuk oleh hal-hal yang sudah ada dan berlaku pada saat perbuatan dilakukan. Bahkan, merupakan bagian dari perbuatan yang dilakukan pembuat dan atau bagian dari keadaan batin si pembuat, yang memang sudah harus ada pada saat perbuatan dilakukan, dan bukan sesudah perbuatan dilakukan. Sedangkan tindakan pegawai negeri penerima gratifikasi “melaporkan penerimaan gratifikasi” kepada KPK adalah sesudah perbuatan terjadi, atau jauh setelah terjadinya perbuatan, bisa jadi pada ke 30 tiga puluh hari kerja. Oleh karena itu, dari sudut ini tindakan melaporkan penerimaan gratifikasi tidak dapat dianggap sebagai alasan peniadaan pidana. Kalau begitu, apakah dapat dianggap sebagai unsur yang meniadakan tindak pidana sebagaimana bunyi Pasal 12C ayat 1? Sama saja, anggapan yang demikian juga tidak tepat. Karena tindak pidananya sudah terjadi, bagaimana Universitas Sumatera Utara tindak pidana sudah terjadi kemudian ada unsur tambahan yang apabila unsur itu ada, lalu tindak pidana yang sudah terjadi berubah menjadi bukan tindak pidana? 83 Memang, dapatlah dimaklumi maksud pembentuk UU dengan membuat ketentuan semacam itu, ialah dalam rangka pendidikan moral bangsa, khususnya pada pegawai negeri dan penyelenggara negara kearah moral yang terpuji, disamping maksud memberikan kepastian hukum tentang haram halalnya harta Kemudian, apakah bisa tindakan melaporkan penerimaan gratifikasi ke KPK dianggap sebagai dasar penghapusan sifat melawan hukum perbuatan menerima gratifikasi seperti halnya adanya 3 alasan dalam pertimbangan hukum Putusan MA No. 42KKr`1965: 8-1-1966, yakni negara tidak dirugikan, masyarakat dilayani dan pembuat tidak diuntungkan yang dapat menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan dalam tindak pidana korupsi? Jika melihat temuan hukum melalui putusan MA seperti itu, maka boleh jadi ada yang menganggap tindakan melaporkan penerimaan gratifikasi ke KPK adalah merupakan dasar penghapusan sifat melawan hukumnya perbuatan. Namun, pendapat ini juga lemah mengingat tindak pidananya sudah terjadi. Apakah mungkin tindak pidana sudah terjadi lalu dengan melaporkan, sifat melawan hukumnya menjadi hapus dengan adanya tindakan melaporkan itu? Karena hapusnya sifat melawan hukum materiel dalam fungsinya yang negatif seperti halnya Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut harus sudah terbentuk pada saat tindak pidana dilakukan, bukan dibentuk setelah tindak pidana dilakukan. 83 Ibid, hlm. 270. Universitas Sumatera Utara benda objek pemberian gratifikasi tersebut, walaupun maksud yang terakhir ini juga tidak punya dasar yuridis yang kuat. 84 84 Ibid, hlm. 271. Mengapa tidak punya dasar yuridis yang kuat? Kalau kita meneliti bunyi Pasal 16 s.d Pasal 18 Bab III UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK, yang tidak dijelaskan bagaimana prosedur pengambilan keputusannya, yang walaupun dalam UU ini diatur pula mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tetapi pengambilan keputusan mengenai gratifikasi tersebut tidaklah dilakukan melalui persidangan pengadilan, melainkan sekadar melalui Keputusan Pimpinan KPK belaka Pasal 17 ayat 4. Sedangkan menurut hukum, lembaga yang berwenang untuk menentukan sesuatu perbuatan in casu penerimaan gratifikasi sebagai sah dan haram, seharusnya lembaga peradilan bukan lembaga lain seperti KPK. Menurut Drs. Adami Chazawi, SH: “rasanya pelaporan mengenai gratifikasi yang diterima pegawai negeri tersebut, lebih baik dianggap sebagai alasan peniadaan penuntutan vervolgingsuitslutingsgronden. Sehingga andaikata telah melaporkan, masih juga diajukan ke pengadilan. Polisi yang melakukan penyidikan dan jaksa yang mengajukan kepengadilan dapat dibenarkan. Apabila terbukti telah ada laporan yang demikian, dan laporan itu dilakukan dengan sukarela, serta dilakukan masih dalam tenggang waktu 30 hari kerja sejak diterimanya, maka hakim menjatuhkan putusan yang amarnya menyatakan pelepasan dari tuntutan hukum ontslag van alle rechtsvervolging. Apabila penasehat hukum mengajukan eksepsi, hakim dalam putusan sela menetapkan amar menyatakan jaksa tidak berwenang menuntut pidana.” Disamping harus dianggap sebagai alasan peniadaan penuntutan pidana, sesungguhnya syarat pelaporan bagi pegawai negeri yang menerima gratifikasi, ditujukan pada 3 tiga hal, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Untuk tidak memidana pegawai negeri yang secara sukarela melaporkan tentang penerimaan gratifikasi. Pelaporan dapat dinilai sebagai suatu kesadaran bagi pegawai negeri untuk berbuat jujur, menegakkan moral dan menjunjung tinggi derajat dan martabat serta sumpah jabatan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai pelaksana pelayanan publik. 2. Bertujuan pendidikan moral bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara. Dalam waktu 30 hari kerja, adalah waktu yang cukup bagi pegawai negeri untuk merenungkan dengan hati, memikirkan dengan akal tentang haramnya penerimaan suatu gratifikasi. 3. Ditujukan untuk menentukan apakah penerimaan gratifikasi menjadi milik negara atau milik pegawai negeri yang menerima gratifikasi Pasal 12C ayat 3. Kiranya ketentuan Pasal 12 C ayat 3 tidak berlaku untuk semua penerimaan gratifikasi. Melihat tujuan melaporkan ke KPK ialah untuk menentukan gratifikasi menjadi milik negara atau milik pribadi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi, karena sifatnya maka tidak semua penerimaan gratifikasi dapat dipertimbangkan dan ditentukan menjadi milik pribadi atau milik negara sebagaimana perintah Pasal 12C ini. Seperti penerimaan fasilitas penginapan, jasa pengobatan, dan yang seperti itu, karena sifatnya tidaklah mungkin dapat dipertimbangkan dan diputuskan menjadi milik negara atau milik pribadi. Jadi, hanya berlaku bagi penerimaan gratifikasi berupa barang saja. Universitas Sumatera Utara Dari ketentuan Pasal 12 ayat 3, yang memungkinkan pegawai negeri yang menerima gratifikasi menjadi pemilik yang sah dari apa yang diterimanya itu, tidak berarti perbuatannya menerima tadi lalu dapat dinyatakan sebagai perbuatan halal, apabila secara materiel telah memenuhi Pasal 12 B. Dibentuknya ketentuan Pasal 12C ini, diakui sangat berguna dalam hal penerimaan gratifikasi yang tidak secara jelas memenuhi unsur-unsur tindak pidana suap pasif. Pasal ini memang ditujukan pada penerimaan oleh pegawai negeri yang kurang jelas, jika dilihat dari pasal-pasal lain tentang penyuapan pasif. Unsur yang tidak jelas itu khususnya ialah: 1. Unsur penerimaan gratifikasi itu apakah berhubungan ataukah tidak berhubungan dengan jabatannya; dan 2. Apakah penerimaan pegawai negeri tersebut berlawanan ataukah tidak dengan kewajiban dan atau tugasnya. Akan tetapi, bagi penerimaan yang sudah jelas-jelas telah memenuhi unsure-unsur yang ditentukan dalam UU, maka ketentuan ini justru dapat menghambat bagi usaha pemberantasan atau penanggulangan korupsi ditanah air kita. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana korupsi ini, ialah berupa tindak pidana yang berlangsung atau terjadi seketika, bukan termasuk tindak pidana yang berlangsung terus seperti penculikan Pasal 333 KUHP, walaupun korupsi sering dilakukan dalam waktu yang lama secara berketerusan, baik berupa perbarengan perbuatan, maupun perbuatan berlanjut voortgezete handeling. 85 85 Ibid, hlm. 274. Universitas Sumatera Utara Terjadinya tindak pidana menerima suap suap pasif ialah pada saat perbuatan menerima telah selesai, artinya objek korupsi telah diterimanya, telah berada dalam kekuasaannya secara penuh dan mutlak. Adalah tidak logis apabila tindak pidana yang sudah selesai dilakukan kemudian dilaporkan, dan karenanya lalu tidak boleh dituntut atau dipidana. Bahkan, tidak mungkin diajukan kepengadilan lebih-lebih tidak masuk akal lagi kemudian oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dinyatakan pemberian itu halal dan menjadi milik pegawai negeri yang menerima gratifikasi. Tenggang waktu 30 tiga puluh hari kerja bukanlah waktu yang pendek bagi pegawai negeri yang bersangkutan yang telah memanfaatkan sedemikian rupa pemberian itu, yang artinya pemanfaatan itu juga termasuk haramn hukumnya, yang pada akhirnya dia tidak diajukan kepengadilan karena pada hari kerja yang ketiga puluh baru melaporkan ke Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jadi, ketentuan mengenai pelaporan tindak pidana suap gratifikasi ini hendaknya jangan diperlakukan secara umum, mengingat gratifikasi itu sangatlah luas pengertiannya. Apa maksudnya hendaknya tidak diperlakukan secara umum, ialah agar setiap pelaporan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidaklah dijadikan alasan oleh pejabat Penyidik untuk tidak melakukan penyidikan, atau tidak memproses tentang kasus penerimaan itu. 86 KPK dalam hal menetapkan gratifikasi sebagai milik penerima atau milik negara tidak dapat dianggap sebagai putusan hakim. Dan memang dari segi yuridis, penyidikan tidak terhenti atau hak penyidikan tidak hapus karena 86 Ibid, hlm. 275. Universitas Sumatera Utara sipembuat telah melaporkan ke KPK. Dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak ditemukan ketentuan yang melarang penyidik melakukan penyidikan apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara telah melaporkan penerimaan gratifikasi, atau melarang menghentikan penyidikan yang sedang berjalan apabila penerimaan gratifikasi dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi oleh yang menerimanya. Begitu juga yang akan menentukan apakah pegawai negeri yang menerima pemberian tadi, ada tidaknya alasan peniadaan penuntutaan atau alasan peniadaan pidana, sewajarnya yang menentukan bukan lembaga KPK, tetapi lembaga peradilan atau pengadilan Tindak Pidana korupsi sebagaiman dimaksud dalam Pasal 53. Menurut Drs. Adami Chazawi, SH ada titik lemahnya yakni dapat terjadi keputusan KPK yang menyatakan uang itu halal, sedangkann putusan pengadilan menyatakan haram. Akan tetapi, soal kelemahan ini dijawab, bahwa pada dasarnya kebenaran itu hanya satu, tidak dua atau tiga. Kalau terjadi pertentangan, pasati salah satu bukan kebenaran. Kebenaran yang ditelurkan oleh KPK dari segi hukum pidana adalah kebenaran semu, karena dari segi hukum pidana untuk menyatakan kebenaran yuridis berada pada lembaga peradilan melalui putusannya yang sudah bersifat tetap. Meskipun demikian, putusan KPK dapat juga digunakan sebagai dasar upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali, yang akan dijadikan bahan pertimbangan hakim pemeriksa ditingkat upaya hukum tetrsebut. Apabila pada putusan terakhir yang tidak dapat dilawan dengan upaya hukum apapun, tetap masih bertentangan, maka yang harus dipilih adalah putusan Universitas Sumatera Utara pengadilan, dan bukan putusan KPK. Alasan ini masuk akal, karena pengadilanlah yang berwenang untuk menetapkan tentang salah tidaknya seseorang. 87 Jadi dikatakan ketentuan Pasal 12C ini dapat menghambat upaya pemberantasan korupsi, karena dapat dipakai alasandasar oleh pegawai negeri yang tidak jujur sebagai alasan untuk berlindung, yang pada akhirnya dia tidak dipidana, pada hal tindak pidana korupsi menerima suapnya telah terjadi secara sempurna. 88 87 Ibid, hlm. 276. 88 Ibid, hlm. 276. Universitas Sumatera Utara BAB IV SISTEM PEMBUKTIAN GRATIFIKASI DALAM KUHAP DAN UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pertanggungjawaban Dalam Tindak Pidana Gratifikasi

Dokumen yang terkait

Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001)

4 78 135

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA MATI DALAM KEADAAN TERTENTU BERDASARKAN PASAL 2 AYAT (2) UU No 31 TAHUN 1999 Jo UU No 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI

0 14 51

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

UU Tindak Pidana Korupsi No.31 tahun 1999

0 0 12

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3