Sistem Pembebanan Pembuktian Biasa

d. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. 112 Dari keterangan Pasal 189 KUHAP, dapat ditarik kesimpulan bahwa keterangan terdakwa dapat dinyatakan didalam siding pengadilan dan dapat pula diberikan diluar siding. Agar keterangan terdakwa yang dinyatakan di siding pengadilan dapat dinilai sebagai alat bukti sah, hendaknya berisikan penjelasan atau jawaban yang dinyatakan sendiri oleh terdakwa dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya terhadap perbuatan yang ia lakukan, ia ketahui dan ia alami sendiri. Sedangkan terhadap keterangan terdakwa yang diberikan diluar persidangan hanya dapat dipergunakan dalam eksistensinya membantu menemukan bukti disidang pengadilan. C. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi Dalam UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

1. Sistem Pembebanan Pembuktian Biasa

Dasar pijakan sistem beban pembuktian biasa, ialah pada prinsip “ siapa yang mendakwakan in casu negara, maka negaralah yang dibebani untuk membuktikan apa yang didakwakan itu benar”. Prinsip ini timbul akibat dari adanya asas Presumption of innocence yang dijunjung tinggi oleh hukum acara 112 Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 240-241 Universitas Sumatera Utara pidana Indonesia. Asas ini tertuang dalam Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004, dulu ditempatkan dalam Pasal 8 UU No. 14 Tahun 1970. 113 Sistem pembebanan pembuktian biasa mempunyai perbedaan dengan sisitem pembebanan pembuktian terbalik, walaupun bukan berupa perbedaan prinsip. Perbedaan itu terdapat dalam hal cara membuktikan dan alat bukti yang digunakan. Sedangkan pada standar bukti pada dasarnya tetap mengacu pada Pasal 183 KUHAP. Dalam sistem pembuktian biasa, mengenai apa yang harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum juga sama, yakni sama-sama membuktikan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur tindak pidana yang didakwakan. Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya itu dibuktikan dengan suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam pelaksanaan kewajiban negara membuktikan kesalahan terdakwa, negara diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam sistem ini, terdakwa atau Penasehat Hukum tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, melainkan terdakwa atau penasehat hukum justru mempunyai hak untuk membuktikan sebaliknya, atau hak menolak dengan membuktikan sebaliknya. Itulah sistem pembuktian biasa. Standar bukti yang harus dipenuhi oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menyatakan terbukti, semuanya telah diatur secara sempurna dalam KUHAP. 114 Pada sistem pembuktian biasa belaku cara menggunakan alat-alat bukti menurut KUHAP tanpa kecuali, ialah membuktikan semua unsur tindak pidana 113 Adami Chazawi, op.cit, hlm. 160. 114 Ibid, hlm. 161. Universitas Sumatera Utara dengan menggunakan alat-alat bukti yang mengacu pada syarat minimal pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP. Sedangkan pada sistem pembebanan pembuktian terbalik, disamping cara menggunakan alat-alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, jaksa dapat menggunakan hasil pembuktian terdakwapenasehat hukum menurut Pasal 37A ayat 2, apabila terdakwa tidak berhasil membuktikan tentang keseimbangan antara sumber pendapatannya atau penambahan kekayaannya dengan harta bendanya, maka keadaan ketidakberhasilan membuktikan keseimbangan itu digunakan oleh jaksa untuk memperkuat dari alat bukti yang sudah ada untuk menghasilkan kesimpulan pembuktian bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi yang didakwakan. Dalam hukum pidana korupsi, sistem beban pembuktian biasa berlaku dalam 3 tiga hal: 1. Jaksa membuktikan tindak pidana korupsi menerima suap gratifikasi yang nilai objeknya kurang dari Rp. 10.000.000 supuluh juta rupiah Pasal 12B huruf b. Tidak dapat ditafsirkan lain lagi, baik pembebanan pembuktiannya maupun cara dan prosedurnya karena telah tegas, harus berdasarkan KUHAP. 2. Jaksa membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok, dalam hal terdakwa didakwa juga menegenai harta benda yang menggunakan sistem beban pembuktian terbalik. Pembuktian jaksa ini dapat diperkuat dengan hasil pembuktian terdakwa yang tidak berhasil membuktikan tentang harta benda yang didakwakan bukan hasil dari korupsi. Universitas Sumatera Utara 3. Jaksa membuktikan tindak pidana korupsi yang didakwakan, yang mana dalam surat dakwaan tidak mendakwakan mengenai harta benda terdakwa. 115 Jadi, dalam hukum pembuktian korupsi, pihak yang dibebani kewajiban membuktikan tindak pidana yang didakwakan, selain korupsi suap menerima gratifikasi Rp. 10.000.000 sepuluh juta rupiah atau lebih, selalu berada pada pihak Jaksa Penuntut Umum. Pada UU No. 20 Tahun 2001 dilahirkan suatu sistem pembuktian terbalik, yang khusus diberlakukan untuk tidak pidana korupsi. Menurut sistem ini terdakwa harus membuktikan, bahwa gratifikasi yang diterimanya bukan merupakan suap. Menurut Darwan Prints, SH dengan demikian berlaku asas Praduga Bersalah. Artinya, bahwa sesuatu gratifikasi yang diterima oleh seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah suap, kecuali ia dapat membuktikan sebaliknya. Oleh karena itu, sisitem ini merupakan pengecualian atas asas Praduga Tidak Bersalah presumption of innocence sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU No 14 Tahun 1970. Hal ini ternyata dari ketentuan Pasal 12B ayat 1 yang mengatakan “setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”. Selanjutnya, untuk gratifikasi yang 115 ibid Universitas Sumatera Utara nilainya Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupih atau lebih penerima wajib membuktikannya bukan sebagai suap. 116

2. Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik Omkering Van Het Bewijslast

Dokumen yang terkait

Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001)

4 78 135

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA MATI DALAM KEADAAN TERTENTU BERDASARKAN PASAL 2 AYAT (2) UU No 31 TAHUN 1999 Jo UU No 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI

0 14 51

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

UU Tindak Pidana Korupsi No.31 tahun 1999

0 0 12

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3