nilainya Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupih atau lebih penerima wajib membuktikannya bukan sebagai suap.
116
2. Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik Omkering Van Het Bewijslast
Pada dasarnya, secara normatif bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa extra ordinary crimes. Apabila dikaji dari pandangan
doktrina, Romli Atmasasmita menekankan, bahwa: Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari
sisi kuantitas maupun sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia
bukan merupakan kejahatan biasa ordinary crimes melainkan sudah merupakan kejahatan yang yang sangat luar biasa extra ordinary crimes.
Selanjutnya jika dikaji akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan orde baru sampai
saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.
117
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat. Karena itu, semua tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan
yang sangat luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagiudapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar buasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakuakan Selain itu, dalam dimensi lain penjelasan umum undang-undang No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, menegaskan pula:
116
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 115.
117
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 251
Universitas Sumatera Utara
secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan
suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
pelaksanannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serat berkesinambungan.
Konsekuensi logis bahwa Tindak Pidana Korupsi merupakan extra ordinary crimes, diperlukan penanggulangan yang luar biasa extra ordinary
enforcement dan perangkat hukum yang luar biasa pula extra ordinary measures. Dari dimensi ini, salah satu langkah komprehensif yang dapat
dilakukan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia adalah melalui sistem pembuktian yang relatif lebih memadai yaitu diperlukan adanya “pembuktian
terbalik” atau “Pembalikan Beban Pembuktian” atau dalam Sistem Anglo Saxon atau Case Law dikenal dengan terminology “Reversal Burden of ProofShifting
Burden of Proof” atau dalam Sistem Eropa Kontinental dikenal dengan terminology “Omkering Van het Bewijlat”.
118
Pada asasnya, beban “Pembuktian Terbalik” bermula dari sistem pembuktian yang dikenal dari negara yang menganut rumpun Anglo Saxon
terbatas pada “certain Cases” khususnya terhadap tindak pidana “gratification” atau pemberian yang berkolerasi dengan “bribery” suap, misalnya seperti di
Malaysia dan Singapura, yang mengatur gratifikasi dalam The Status of Prevention of Corruption Act Malaysia.
119
118
ibid
119
Andi Hamzah, Badan pembinaan Hukum nasional Departemen Hukum Dan HAM, Pengkajian Masalah Hukum penanggulangan Tindak pidana Korupsi, Jakarta:2002, hlm. 33.
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi , dengan keluarnya UU No. 20 Tahun 2001, beban pembuktian terbalik dikenal juga dalam rumpun hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia.
Secara eksplisit ketentuan Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 berbunyi sebagai berikut:
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan
ketentuan:
a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih
pembukiaannya bahwagratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 sepuluh juta
rupiah,pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum.
2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidupatau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20
dua puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu
miliar rupiah.
120
Dikali dari perspektif kebijakan formulatif, beban pembuktian terbalik ini dilakukan karena Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat
“premium Remedium” dan sekaligus mengandung prevensi khusus. Oleh karena itu, dengan ditetapkannya “pembuktian terbalik” ini, bergeserlah beban
pembuktian shifting of burden proof dari Jaksa Penuntut Umum kepada Terdakwa. Sebenarnya, bergesernya pembalikan beban pembuktiann ini dimulai
dari ketentuan Pasal 5 ayat 1 UU No. 24 Prpn Tahun 1960 yang menentukan: “setiap tersangka wajib member keterangan tentang seluruh harta bendanya dan
harta benda isterisuami dan anak dan harta benda sesuatu badan yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa”.
120
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 256.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penjelasan UU No. 20 tahun 2001 lebih lanjut dijelaskan bahwa: ”Ketentuan mengenai pembuktian terbalik perlu ditambahkan dalam UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “premium Remedium” dan sekaligus mengandung sifat
prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 37A menganut beban pembuktian terbalik secara terbatas dan berimbang. Untuk jelasnya, ketentuan Pasal 37 UU No. 20
Tahun 2001 selengkapnya berbunyi sebagai berikut: 1.
Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Sedangkan ketentuan Pasal 37A menyebutkan dengan tegas, bahwa: 1.
Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
Universitas Sumatera Utara
kekayaannya, keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. 3.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, pasal 4, Pasal 13, pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU ini, sehingga Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.
121
Hal ini berarti bahwa, Penuntut Umum hanya berkewajiban untuk membuktikan satu bagian inti delik penyuapan ex Pasal 419 KUHP, yaitu adanya
penerimaan pemberiaan dalam arti luas yang disebut gratifikasi gratification. Bagian inti deliknya adalah :
1. Ada penerimaan hadiah atau janji;
2. Pemberian itu berkaitan dengan jabatan in zijn bediening;
3. Pemberian itu berlawanan dengan kewajiaban penerima pegawai
negeri atau penyelenggara negara itu in strijdbmetbzijn plicht. Jadi, karena Penuntut Umum hanyabberkewajiban untuk membuktikan
satu bagian inti saja, yaitu adanya pemberian gratification itu, maka dua bagian inti berikutnya, yaitu adanya kaitan dengan jabatan pegawai negeri atau
penyelenggara negara itu, kemudian dia melalikan kewajiban karena mendapat
121
Ibid, hlm 260-262
Universitas Sumatera Utara
suap, dibebankan kepada tersangkaterdakwa. Jadi, ada pembalikan beban pembuktian terhadap dua bagian inti delik.
122
D. Sanksi Terhadap Tindak Pidana Gratifikasi