Komunikasi Antarbudaya Terhadap Dinamika Komunikasi Warga Negara Asing Dan Warga Kota Medan (Studi Kualitatif Tentang Sikap dan Perilaku Antara Wisatawan Mancanegara dengan Masyarakat Kota Medan)

(1)

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

TERHADAP DINAMIKA KOMUNIKASI

WARGA NEGARA ASING DAN WARGA KOTA MEDAN

(Studi Kualitatif Tentang Sikap dan Perilaku Antara Wisatawan

Mancanegara dengan Masyarakat Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun Oleh:

RYKA ARIONA PARDEDE NIM : 070922054 Departemen Ilmu Komunikasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Ryka Ariona Pardede

NIM : 070922054

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : KOMUNIKASI ANTARBUDAYA TERHADAP DINAMIKA KOMUNIKASI WARGA NEGARA ASING DAN WARGA KOTA MEDAN

(Studi Kualitatif Tentang Sikap dan Perilaku Antara Wisatawan Mancanegara dengan Masyarakat Kota Medan)

Medan, Maret 2010 Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Dra. Lusiana A. Lubis, M.A Drs. Amir Purba, MA

NIP. 196704051990032002 NIP.195102191987011001

Dekan

Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A NIP. 195908091986011002


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan pada:

Hari :

Tanggal :

Pukul :

Tempat : Ruang Sidang FISIP USU

TIM PENGUJI

Ketua : ( ) NIP

Penguji I : ( ) NIP

Penguji Tamu : ( ) NIP


(4)

ABSTRAKSI

Penelitian ini membahas masalah sejauhmana dinamika komunikasi antarbudaya berperan dalam komunikasi antara wisatawan mancanegara dengan masyarakat Kota Medan, berdasarkan sikap dan perilaku yang ditampilkan dalam berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar belakang budayanya. Tujuannya adalah untuk memahami perbedaan persepsi warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut tentang etnik, tentang pesan-pesan, stereotipe, jarak sosial serta diskriminasi yang mempengaruhi dinamika komunikasi antarbudaya dan untuk memahami sikap dan perilaku sosial dari warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut dari wilayah setempat yang dipengaruhi oleh komunikasi antarbudaya. Uraian teoritis terdiri dari pengertian komunikasi, faktor penghambat dalam komunikasi, teori komunikasi antarbudaya, unsur-unsur dalam komunikasi antarbudaya, faktor-faktor penentu prasangka serta teori sikap dan perilaku. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang otentik mengenai pengalaman orang-orang, sebagaimana yang dirasakan oleh orang-orang yang bersangkutan. Pengamatan yang berperan serta dan wawancara secara mendalam (depth interview) merupakan metode yang potensial untuk tujuan tersebut. Populasi dan sampel penelitian ini adalah wisatawan mancanegara dan masyarakat Kota Medan yang terdiri dari latar belakang budaya yang berbeda yang ada di Kota Medan dengan dengan mempertimbangkan jumlah sampel sebanyak 20 orang wisatawan mancanegara dan 10 orang masyarakat Kota Medan yang ada di lingkungan sekitar Kota Medan. Teknik pengambilan sampel tersebut dapat dijabarkan dengan menggunakan Snowball Sampling dan Purposive Sampling. Hasil penelitian yang dapat disimpulkan adalah semakin tinggi tingkat loyalitas kewarganegaraan informan terhadap sikap dan perilaku, maka cenderung semakin rendah adaptasi informan terhadap masing-masing outgroupnya, sehingga hubungan yang lebih terbuka dan akrab pun cenderung rendah pula. Sebaliknya, semakin moderat sikap dan perilaku informan maka semakin tinggi tingkat adaptasi dinamika dalam budaya informan.


(5)

KATA PENGANTAR

Menulis skripsi ini merupakan pengalaman yang mengasyikkan sekaligus melelahkan. Merunutkannya hingga menjadi sebuah tulisan seperti apa adanya saat ini tidaklah semudah membacanya. Banyak pengalaman yang tidak terduga dan tidak tertuliskan saat mengerjakan skripsi ini. Tetapi biarlah itu menjadi sebuah kenangan yang akan selalu terbawa dengan tulisan ini.

Dengan menulis skripsi ini telah memungkinkan saya untuk menjawab pertanyaan yang sudah lama saya ajukan yaitu perihal sejauhmana dinamika komunikasi antarbudaya yang terjadi pada wisatawan mancanegara dengan masyarakat Kota Medan. Mengapa masih terjadi stereotip atau etnosentrisme atau bahkan diskriminasi yang begitu kuat dengan adanya pengaruh sikap dan perilaku namun tetap dapat terjalin hubungan kemasyarakatan meskipun belum bisa dikatakan langsung memiliki jarak dekat. Hal ini tentunya merupakan sesuatu hal yang menarik untuk dikaji. Terlebih lagi bahwa setiap individu mempunyai preferensi yang berbeda di tempat mereka bernaung.

Meskipun kajian penelitian saya hanya sebuah gambaran dinamika antarbudaya tanpa melihatnya menjadi variabel-variabel terukur tetapi saya harap mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan Ilmu Komunikasi khususnya kajian yang menyangkut Komunikasi Antarbudaya.

Saya ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih sayang, nafas hidup, kesehatan dan tantangan hidup untuk mengarungi perjalanan hidup saya. Saya juga ingin berterimakasih kepada sejumlah orang yang telah membantu saya menyelesaikan skripsi ini. Ucapan


(6)

terima kasih pertama saya ucapkan kepada Dra. Lusiana A. Lubis, MA, selaku Dosen Pembimbing dan Drs. Safrin, Msi selaku Dosen Wali. Beliau membimbing saya mulai dari awal perkuliahan, ujian hingga mampu melewati proses skripsi ini dengan baik dan saya sangat berterima kasih terhadap ketelitian beliau. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para dosen reader dan penguji yang dengan sabar membaca skripsi ini. Sukar rasanya membayangkan skripsi ini selesai tanpa bantuan mereka.

Terima kasih juga saya haturkan kepada teman-teman yang ada di Jurusan Ilmu Komunikasi yang telah menjadi tempat bertanya, berdiskusi dan berbagi pengalaman. Terima kasih buat suka duka yang dibagikan. Buat Susi, Sri, Lely, Asrul, Jerry. Hotlas, Popy, Poltak dan yang lainnya yang telah menjadi ‘teman seperjuangan’ saat kuliah dan saat mengerjakan skripsi juga. Akhirnya saat itu tiba juga.

Komunitasku National Research Center, tempatku bernaung bekerja seharian “up and down with you make me survive!”. Buat Pak Kaspan yang telah memberikanku kesempatan yang panjang untuk meneruskan masa perkuliahan dan proses penyelesaian skripsi hingga tuntas. Spesial thanks buat K’Nisa and Choe yang memberikan banyak ide dan masukan serta mendukung aku dalam melewati masa-masa tersulitku, Eva dan Putri juga terima kasih telah menjadikan aku teman dan saudara kalian (Love you all!!).

Buat keluarga dan kedua orang tuaku, M. Pardede dan B. Br. Sibarani, terima kasih telah menjadi suporter utama dalam hidupku. Begitu pula dengan saudara-saudariku Herlina & Agus Salim (I hope you will get what both of you


(7)

want), Imelda Osta, Franky, Fenita Soraya, yang telah mendukung habis-habisan selama proses perkuliahan hingga selesai. Buat kedua adik nakalku Irama dan Philip, terima kasih telah mendukung dan menjadi adik-adik terbaik. Semoga impian kita semua from zero to be hero terwujud.

Skripsi ini mungkin masih jauh dari sempurna, untuk itu saya menerima kritikan dan saran yang baik dari para pembaca untuk penyempurnaan kajian dalam penelitian ini.

Medan, 24 Maret 2010

Ryka Ariona Pardede


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Ruang Lingkup Kajian Penelitian ... 8

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1. Tujuan Penelitian... 9

1.4.2. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Kerangka Teori ... 10

1.6. Kerangka Konsep ... 14

1.7. Model Teoritis... 18

1.8. Operasionalisasi Variabel ... 18

1.9. Defenisi Operasional ... 20

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1. Pengertian Komunikasi ... 22

2.2. Teori Komunikasi Antarbudaya ... 25

2.3. Teori Sikap dan Perilaku ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 42

3.1.1. Sejarah Singkat Kota Medan ... 42

3.1.2. Kondisi Geografis Kota Medan ... 44

3.2. Metode dan Teknik Penelitian ... 45

3.2.1. Metode Penelitian ... 45

3.2.2. Lokasi Penelitian ... 46

3.3. Populasi dan Sampel ... 46

3.3.1. Populasi... 46

3.3.2. Sampel ... 47

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 49


(9)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

4.1. Proses Pengumpulan Data ... 52

4.4.1. Tahap-Tahap Pengumpulan Data ... 52

4.2. Hasil Observasi dan Wawancara dengan Informan ... 54

4.2.1. Heavy Nationality Loyalty Terhadap Sikap dan Perilaku ... 60

4.2.2. Moderate Nationality Loyalty Terhadap Sikap dan Perilaku ... 66

4.2.3. Light Nationality Loyalty Terhadap Sikap dan Perilaku ... 73

4.2. Analisis Hasil Penelitian ... 76

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 79

5.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... ix LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.8 Operasionalisasi Variabel ... 18

Tabel 4.1 Identitas Informan Wisatawan Asing ... 54

Tabel 4.2 Identitas Informan Warga Kota Medan ... 55

Tabel 4.3 Kriteria Loyalitas Kewarganegaraan ... 59

Tabel 4.4 Heavy Nationality Loyalty Terhadap Sikap dan Perilaku ... 63

Tabel 4.5 Moderate Nationality Loyalty Terhadap Sikap dan Perilaku ... 68


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.7 Model Teoritis ... 18 Gambar 2.1 Model Gudykunst dan Kim ... 28 Gambar 2.2 Theory Reasoned Action ... 40


(12)

ABSTRAKSI

Penelitian ini membahas masalah sejauhmana dinamika komunikasi antarbudaya berperan dalam komunikasi antara wisatawan mancanegara dengan masyarakat Kota Medan, berdasarkan sikap dan perilaku yang ditampilkan dalam berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar belakang budayanya. Tujuannya adalah untuk memahami perbedaan persepsi warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut tentang etnik, tentang pesan-pesan, stereotipe, jarak sosial serta diskriminasi yang mempengaruhi dinamika komunikasi antarbudaya dan untuk memahami sikap dan perilaku sosial dari warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut dari wilayah setempat yang dipengaruhi oleh komunikasi antarbudaya. Uraian teoritis terdiri dari pengertian komunikasi, faktor penghambat dalam komunikasi, teori komunikasi antarbudaya, unsur-unsur dalam komunikasi antarbudaya, faktor-faktor penentu prasangka serta teori sikap dan perilaku. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang otentik mengenai pengalaman orang-orang, sebagaimana yang dirasakan oleh orang-orang yang bersangkutan. Pengamatan yang berperan serta dan wawancara secara mendalam (depth interview) merupakan metode yang potensial untuk tujuan tersebut. Populasi dan sampel penelitian ini adalah wisatawan mancanegara dan masyarakat Kota Medan yang terdiri dari latar belakang budaya yang berbeda yang ada di Kota Medan dengan dengan mempertimbangkan jumlah sampel sebanyak 20 orang wisatawan mancanegara dan 10 orang masyarakat Kota Medan yang ada di lingkungan sekitar Kota Medan. Teknik pengambilan sampel tersebut dapat dijabarkan dengan menggunakan Snowball Sampling dan Purposive Sampling. Hasil penelitian yang dapat disimpulkan adalah semakin tinggi tingkat loyalitas kewarganegaraan informan terhadap sikap dan perilaku, maka cenderung semakin rendah adaptasi informan terhadap masing-masing outgroupnya, sehingga hubungan yang lebih terbuka dan akrab pun cenderung rendah pula. Sebaliknya, semakin moderat sikap dan perilaku informan maka semakin tinggi tingkat adaptasi dinamika dalam budaya informan.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sikap dan perilaku merupakan unsur pokok dalam memahami situasi konflik yang terjadi dalam masyarakat. Seringkali kita mengalami kesulitan untuk mengenal pandangan atau tindakan tentang suatu konteks atau peristiwa penting. Masing-masing pihak akan berpegang terhadap asumsi dan kerangka pikir masing. Hal ini pula menyebabkan konflik terus terjadi karena masing-masing pihak sulit untuk menerima sikap dan pandangan yang berbeda. Hal ini pula yang mendorong sebagian kelompok tetap pada pendiriannya tanpa melihat kepentingan orang lain, bisa saja memberikan nilai positif tentang sesuatu yang dipertentangkan.

Budaya berkaitan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefenisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh dari sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menempatkan diri dalam pola-pola bahasa dan


(14)

dalam bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Budaya juga berkaitan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Objek- objek seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan sosial.

Globalisasi ternyata bukan suatu keniscayaan, setidaknya dalam konteks budaya negara-negara Eropa yang budayanya berdekatan ternyata tetap otonom. Masing-masing menunjukkan kekhasannya, seperti identitas kolektif, bahasa verbal, dan nonverbal mereka. Perbedaan identitas kolektif itu berwujud antara lain oto-stereotip terhadap bangsa lainnya. Contoh stereotip ini misalnya, orang Inggris tidak ramah, orang Amerika ramah tapi bersuara keras, orang Italia emosional, dan orang Jerman kaku. Stereotip akan semakin kuat bila terdapat sejarah peperangan atau pertentangan atau ketidaksetaraan antara kedua kelompok, misalnya yang dialami orang kulit putih dan orang kulit hitam (Mulyana, 2004: 265).

Cara pandang yang berubah bukan persoalan yang mudah tetapi tidak sesulit yang dibayangkan. Persoalannya terletak bagaimana seseorang itu melakukan fungsi komunikasi dan interkoneksitas terhadap berbagai pihak, adapun caranya adalah dengan membuka ruang dialog dan keterbukaan terhadap


(15)

cara pandang masing-masing serta membuka sekat-sekat sempit tentang sesuatu yang diperdebatkan.

Dinamika suatu masyarakat dapat dipacu karena adanya pengakuan akan perbedaan. Memang tidak dapat dihindari bahwa dalam beberapa hal perbedaan yang muncul itu tentu dapat saja menimbulkan konflik sosial yang akan mengganggu kestabilan kehidupan masyarakat. Akan tetapi, menurut Coser (1956) (dalam Sairin, 2002) disisi lain konflik yang muncul dari suatu perbedaan akan menumbuhkan dan mendorong dinamika kehidupan masyarakat untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

Untuk dapat hadir secara dinamis, suatu kesatuan sosial, membutuhkan sebuah ‘instrumen’ yang mampu mengikat setiap anggota masyarakat yang berbeda-beda itu dalam sebuah sistem, dan sistem inilah yang kemudian disebut dengan kebudayaan.

Berbicara mengenai dinamika budaya jelas harus memahami kebutuhan perubahan budaya dalam kaitannya dengan stabilitas. Misalnya, dalam judul buku "Kebudayaan adalah dinamis", Melville Herskovits (1948:635. Dalam artikel :\DINAMIKA\translate2_files\translate_p.edisi Khusus Budaya Dynamics, MAK Halliday, Issue Editor.htm) menyatakan:

Dinamika adalah konstan dalam kebudayaan manusia. Akan tetapi,

selalu harus mempelajari stabilitas latar belakang budaya. Meskipun perubahan mungkin tampak jauh sampai ke anggota masyarakat di mana mereka berada, mereka jarang mempengaruhi bagian yang relatif kecil dari keseluruhan budaya di tempat di mana orang-orang tersebut hidup. Itu masalah dinamika budaya sehingga terlihat untuk mengambil yang positif dan pada saat yang sama

waktu aspek negatif. Perubahan, yaitu, harus selalu

dipertimbangkan dalam kaitannya dengan penolakan terhadap perubahan.


(16)

Menurut Purwasito (2003) komunikasi bersifat dinamik, artinya komunikasi adalah aktivitas orang-orang yang berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi dan mengalami perubahan-perubahan pada pola, isi dan salurannya.

Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula peraktek-peraktek komunikasi.

Untuk memahami interaksi antarbudaya, terlebih dahulu harus memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat dari apa yang terjadi, dan akhirnya apa yang dapat diperbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut.

Hal-hal yang sejauh ini dibicarakan tentang komunikasi, berkaitan dengan komunikasi antarbudaya. Fungsi-fungsi dan hubungan-hubungan antara komponen-komponen komunikasi juga berkenaan dengan komunikasi antarbudaya. Namun apa yang terutama menandai komunikasi antarbudaya adalah bahwa sumber dan penerimaannya berasal dari budaya yang berbeda. Ciri ini saja memadai untuk mengidentifikasi suatu bentuk interaksi komunikatif yang unik


(17)

yang harus memperhitungkan peranan dan fungsi budaya dalam proses komunikasi. Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya (Dedi Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, 2005:20).

Di Jerman, untuk menunjukkan istimewa (excellent), yang lebih dari pada sekadar bagus, mereka menggunakan isyarat yang sama dengan isyarat “oke” Amerika yakni dengan mempertemukan ujung jempol dan telunjuk (membentuk lingkaran) dengan membiarkan ketiga jari lainnya berdiri, demikian juga dengan masyarakat Kota Medan memaknainya sama dengan orang Jerman maupun Amerika. Sedangkan bila kita melakukannya di Paris, jangan-jangan kita dipukuli banyak orang, karena di Paris isyarat itu berarti “kamu tidak berharga” (Mulyana, 2005).

Dengan memahami berbagai perangkat nilai yang dianut bangsa lain dan perwujudannya dalam praktek komunikasi, masyarakat menjadi peka terhadap perbedaan budaya, untuk mempersiapkan pesan-pesan (komunikasi), dan mengantisipasi bagaimana orang-orang asing menanggapi pesan dan perilaku kita dalam era global, dan bagaimana masyarakat itu sendiri memberikan respons yang layak kepada mereka.

Inti dari kegagalan komunikasi adalah kesulitan-kesulitan untuk memahami etika komunikasi yang harus dihadapi masyarakat, yang diakibatkan perbedaan dalam ekspektasi budaya masing-masing. Perilaku manusia memang tidak bersifat acak. Semakin mengenal budaya orang lain, semakin terampillah kita memperkirakan ekspektasi orang itu dan memenuhi ekspektasinya tersebut.


(18)

Ekspektasi ini dan cara memenuhinya didasarkan pada apa yang telah terjadi sebelumnya. Setelah terjadi banyak pengulangan biasanya dapat dipastikan apa yang terjadi, sehingga kita tidaklah mungkin untuk melanggar aturan atau norma itu (Hopper dan Whitehead, 1979).

Para ilmuan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya.

Masyarakat Medan Kota merupakan masyarakat yang majemuk, yaitu terdiri dari berbagai kelompok ras atau etnis yang berada dibawah satu sistem pemerintahan. Menurut Bart, kemajemukan itu berarti terdapat keanekaragaman unsur masyarakat menurut suku bangsa, agama dan golongan lainnya. Ciri nyata dari keanekaragaman adalah adanya kecenderungan yang kuat untuk mempertahankan identitas masing-masing.

Masyarakat Kota Medan yang multi kultur (plural culture) secara demografis maupun sosiologis potensial terjadinya konflik, karena masyarakat terbagi (devided) ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas kultur mereka. Menurut Ting Toey (1999:30), identitas kultural merupakan perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu (Raharjo, 2005:3).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana sikap dan perilaku wisatawan mancanegara dan masyarakat Kota Medan dalam kajian dinamika komunikasi antarbudaya. Karena para wisatawan mancanegara


(19)

tersebut memiliki kebudayaan yang berbeda dengan negara Indonesia khususnya di wilayah Kota Medan, kemudian secara empiris penulis mengetahui bahwa beberapa wisatawan mancanegara ini memiliki kedekatan pengaruh dengan berbagai etnis yang ada di Indonesia khususnya dengan etnis-etnis yang ada di Sumatera utara dan kajian kultural dalam tindakan komunikasi dengan masyarakat lokal Kota Medan belum pernah diteliti. Maka dari itu, penulis akan melakukan penelitian ini

Pemilihan lokasi penelitian ini setelah penulis mengetahui bahwa di Kota Medan terdapat wisatawan mancanegara yang cukup memadai sebagai objek penelitian dan begitu pula dengan masyarakat lokal di Medan Kota yang sering berhadapan dan berkomunikasi dengan wisatawan mancanegara. Karena letaknya yang strategis dan mudah dijangkau, hal ini juga menjadi alasan penulis memilih wilayah Kota Medan menjadi lokasi penelitian.

1.2Perumusan Masalah

Dari adanya permasalahan ini juga maka akan dapat diarahkan pembahasan-pembahasan yang akan dilakukan dengan tujuan dasarnya yaitu untuk memecahkan masalah yang diajukan tersebut.

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah :

“Sejauhmana dinamika komunikasi antarbudaya berperan dalam komunikasi antara wisatawan mancanegara dengan masyarakat Kota Medan,


(20)

berdasarkan sikap dan perilaku yang ditampilkan dalam berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar belakang budayanya?”

1.3Ruang Lingkup Kajian Penelitian

Untuk memudahkan klarifikasi, maka perlu ditetapkan batas ruang lingkup kajian penelitian. Oleh karena itu, peneliti melakukan pengkajian dalam satu bidang fenomena komunikasi yaitu:

1. Subjek penelitian adalah wisatawan mancanegara dari berbagai negara. Subjek penelitian telah menetap selama sekurang-kurangnya satu hari di wilayah Kota Medan.

2. Penelitian bersifat analisis deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan situasi secara apa adanya mengenai variabel, gejala atau keadaan yang berkaitan dengan penilaian terhadap variabel tanpa mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka atau metode statistika.

3. Studi yang digunakan adalah emic research yang bertujuan untuk menelaah makna kultural dari “dalam”, analisisnya bersifat idiografik, jadi hasilnya tidak akan dikuantifikasikan dan tidak akan digeneralisasikan kepada seluruh masyarakat di wilayah Kota Medan.


(21)

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai pernyataan mengenai ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang akan dirumuskan (Jalaluddin Rakhmat, 1998: 313).

Untuk lebih jelasnya tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk memahami perbedaan persepsi warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut tentang etnik, tentang pesan-pesan, stereotipe, jarak sosial serta diskriminasi yang mempengaruhi dinamika komunikasi antarbudaya.

2. Untuk memahami sikap dan perilaku sosial dari warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut dari wilayah setempat yang dipengaruhi oleh komunikasi antarbudaya.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan mempunyai manfaat sebagai berikut:

1) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan penulis mengenai kajian komunikasi antarbudaya sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi.

2) Secara akademis, memberikan tambahan ilmu pengetahuan dalam bidang Komunikasi Antarbudaya dalam kajian Ilmu Komunikasi.


(22)

3) Manfaat praktis, memberikan pengetahuan dan masukan-masukan kepada setiap orang yang akan melakukan komunikasi dengan orang dari budaya yang berbeda khususnya budaya dari Asia dan Eropa.

1.5. Kerangka Teori

Dalam penelitian kualitatif, kerangka teori disebut juga literature review atau dimaknai dengan kajian terdahulu/sebelumnya. Kerangka teori menggambarkan dari teori yang mana suatu problem riset berasal (seperti dalam beberapa studi ekperimental), atau dengan teori yang mana problem itu dikaitkan (seperti dalam beberapa survei) (Suwardi, 1998).

Masyarakat kolektivis pada umumnya adalah masyarakat Timur. Dalam budaya kolektivis, diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok (keluarga, klan, kelompok kerja, suku, bangsa, dan sebagainya), sementara diri dalam budaya individualis (Barat) bersifat otonom. Akan tetapi suatu budaya sebenarnya dapat saja memiliki kecenderungan individualis dan kolektivis, hanya saja, seperti orientasi kegiatan, salah satu biasanya lebih menonjol.

Dalam masyarakat kolektivis, individu terikat oleh lebih sedikit kelompok, namun keterikatan pada kelompok lebih kuat dan lebih lama. Selain itu hubungan antarindividu dalam kelompok bersifat total, sekaligus di lingkungan domestik dan di ruang publik. Konsekuensinya, perilaku individu sangat dipengaruhi kelompoknya. Individu tidak dianjurkan untuk menonjol sendiri. Keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok dan kegagalan individu juga adalah


(23)

kegagalan kelompok. Oleh karena identifikasi yang kuat dengan kelompok, manusia kolektivis sangat peduli dengan peristiwa-peristiwa yang menyangkut kelompoknya. Seseorang bisa tersinggung berat hanya karena tidak diundang anggota lainnya dalam kelompok untuk menghadiri pernikahan anaknya. Pada hari-hari istimewa, seperti lebaran, ketidakhadiran seseorang bisa membuat orang tua ataupamannya sakit hati.

Berbeda dengan manusia individualis yang hanya merasa wajib membantu keluarga langsungnya, dalam masyarakat kolektivis, orang merasa wajib membantu keluarga luas, kerabat jauh, bahkan teman sekampung, dengan mencarikan pekerjaan, meskipun pekerjaan itu tidak sesuai dengan keahliannya. Dalam suatu masyarakat kolektivis tidaklah diterima bila seorang anggota keluarga kaya raya sementara anggota lainya kekurangan. Maka si kaya merasa wajib membantu orang yang kekurangan tadi dengan memberinya perhatian, waktu, uang dan pekerjaan yang dapat mendatangkan penghasilan. Celakanya, ini dianggap sah-sah saja, karena pemenuhan atas kebutuhan kelompoknya tersebut memberi mereka kepuasan. Masyarakat kolektivis tidak bisa memisahkan secara tegas antara hubungan kekerabatan dengan hubungan bisnis.

Salah satu bangsa yang paling kolektivis adalah Jepang, lebih kolektivis daripada bangsa kita. Begitu tinggi semangat kolektivismenya, sehingga mereka lebih lazim menggunakan nama keluarga daripada nama pertamanya sendiri. Semangat itu tampak juga di lingkungan kerja mereka.tidak ada orang yang berani menonjolkan diri sendiri. Penghargaan atau bonus diberikan kepada kelompok, bukan kepada individu. Mereka akan mengambil suatu keputusan berdasarkan


(24)

konsensus. Diperlukan kesabaran ekstra untuk berunding dengan mereka dan menandatangani kesepakatan bisnis, karena tim perunding Jepang harus berkonsultasi dulu dengan atasan mereka. Sikap mereka tampak bertele-tele dan berseberangan dengan pebisnis Amerika yang ingin memperoleh keputusan secepat mungkin. Perusahaan-perusahaan Jepang mengharapkan manajer-manajer mereka untuk mengikuti proses pengambilan keputusan yang sama di manapun mereka bertugas.

Bangsa-bangsa lainnya yang kolektivis, meskipun dengan kadar yang berlainan adalah Cina, Indonesia, Malaysia, India, Pakistan, Italia, Kenya, Spanyol, dan Amerika Latin. Semangat kolektivisme mereka ini antara lain diaktualisasikan dalam berbagai fenomena sosial, misalnya keluarga besar (extended family) yang terdiri dari tiga generasi dalam satu rumah; prinsip dalam perkawinan bahwa perkawinan bukan saja antara dua individu, namun juga antara dua keluarga. Masyarakat kolektivis senang saling mengunjungi dan berkumpul bersama. Di Indonesia, nilai ini misalnya tercermin dalam konsep gotong royong dan musyawarah, dan dalam budaya Jawa khususnya dalam pribahasa, “Mangan

ora mangan asal ngumpul”

Oleh karena masyarakat kolektivis mempunyai konsep yang berbeda tentang diri dan hubungannya dengan orang lain, mereka menemui kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang dari budaya individualis. Mereka mengharapkan hubungan persahabatan yang langgeng, sementara manusia individualis tidak terbiasa demikian. Dalam pandangan orang individualis, mereka tampak kekanak-kanakan yang serba bergantung ketika bergaul dengan orang


(25)

individualis yang merasa mandiri. Seorang mahasiswa kolektivis yang membereskan meja belajar temannya yang individualis boleh jadi justru akan membuat mahasiswa individualis berang, alih-alih berterima kasih, karena urusan merapikan mejanya itu adalah urusan dan tanggung jawabnya, bukan urusan dan tanggung jawab mahasiswa kolektivis.

Kontras dengan orang kolektivis, orang individualis kurang terikat pada kelompoknya, termasuk keluarga luasnya. Manusia individualis lebih terlibat dalam hubungan horizontal daripada hubungan vertikal. Mereka lebih membanggakan prestasi pribadi daripada askripsi, seperti jenis kelamin, usia, nama keluarga dan sebagainya. Hubungan di antara sesama mereka sendiri tampak lebih dangkal dibandingkan dengan hubungan antara orang-orang kolektivis, juga kalkulatif.

Dalam bepergian ke luar negeri, seperti berwisata, orang-orang kolektivis cenderung membentuk kelompok-kelompok, sedangkan orang-orang individualis secara individu. Kegemaran berkelompok ini membuat mereka sulit beradaptasi dengan lingkungan yang individualis.

Hasil pengamatan yang dilakukan Deddy Mulyana (2005) atas interaksi antara para pemukim (permanent resident) Indonesia dan warga pribumi di Melbourne, Australia, menunkukkan bahwa sementara hubungan orang-orang Indonesia (yang kolektivis) dengan sesamanya dalam segala situasi bersifat primer dan intim dalam arti semua status teridentifikasi dan ditanggapi, hubungan mereka dengan para warga pribumi (yang individualis), baik dilingkungan tetangga ataupun di tempat kerja, bersifat dangkal. Pribadi-pribadi yang terlibat dalam


(26)

pergaulan tidak sepenuhnya diketahui, melainkan hanya sebagian aspek kepribadian yang relevan dengan situasi yang bersangkutan. Kebanyakan menganggap warga pribumi sebagai kenalan, bukan sebagai kawan. Interaksi mereka dengan orang-orang Australia terbatas dan sering didasarkan atas informasi terbatas dan atas stereotip-stereotip tentang warga pribumi tersebut.

1.6. Kerangka Konsep

Dalam melakukan penelitian, kerangka konsep berperan sebagai dasar pemikiran untuk mendukung suatu permasalahan dengan jelas dan sistematis. Kerangka konsep ini juga diperlukan untuk pengembangan penelitian.

Setelah mengemukakan kerangka konsep maka ada beberapa konsep yang dapat dioperasionalisasikan pada penelitian ini, yaitu:

a. Komunikasi Antarbudaya dalam Level Komunikasi Antarpribadi

Tubbs dan Moss mendefenisikan komunikasi sebagai “proses penciptaan makna antara dua orang (komunikator 1 dan komunikator 2) atau lebih, sedangkan Gudykunst dan Kim mendefenisikan komunikasi (antarbudaya) sebagai “proses transaksional, simbolik yang melibatkan pemberian makna antara orang-orang (dari budaya yang berbeda).” Dalam mempelajari komunikasi antarbudaya khususnya, kita lebih baik mendekatinya secara lebih humanistik, tanpa harus mempertentangkannya dengan pendekatan mekanistik. Dengan kata lain, kita harus menganggap orang-orang berbeda budaya yang terlibat dalam komunikasi dengan kita sebagai orang-orang yang aktif, punya jiwa, nilai, perasaan, harapan, minat, kebutuhan, dan lain-lain, seperti juga diri kita.


(27)

Di dalam berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya, kita harus melakukan penundaan nilai atau keputusan sementara. Apa yang kita anggap baik, sopan, indah, atau etis dalam budaya kita, belum tentu berarti demikian dalam budaya lain. Jadi bukan tanpa alasan bila Gudykunst dan Kim menggunakan istilah Orang A (Person A) dan Orang B (Person B) dalam model komunikasi antarbudaya, mencerminkan dua posisi yang setara dan sama-sama aktif (komunikasi sebagai transaksi), ketimbang dua posisi yang berbeda: satu aktif dan lainnya pasif.

Komunikasi antarbudaya oleh Fred E. Jandi, diartikan sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya (intercultural

communication generally refers to face-to face interaction among people of diverse culture). Sedangkan Collier dan Thomas sebagaimana dikutip Jandt,

mendefinisikan komunikasi antarbudaya “as communication between persons

‘who idebtity themselves as district from ‘others in a cultural sense”.

Bagi Stephen Dahl dari Luton University, mendefinisikan komunikasi antarbudaya secara lebih spesifik, yaitu komunikasi dalam masyarakat yang tidak saja berlangsung dalam dua atau lebih pelaku dari kebangsaan yang berbeda seperti definisi Mowlana, tetapi dapat komunikasi tersebut terjadi dalam negara yang sama tetapi dalam konteks dua kewarganegaraan (can occur between two

nationals of the same country), misalnya perbedaan rasial dan latar belakang

etnik. Dia menuliskan secara lengkap pendapatnya sebagai berikut:

Intercultural communication as the information exchange between one person and many other sources transmitting a message displaying properties of a culture different to the one of the receiver’s culture. The source of such a massage can be either a


(28)

person, in an interpersonal communication process, or any form of mass media or other form of media.

(Komunikasi multikultural sebagai pertukaran informasi antara seseorang dengan orang lain, sebagai yang menyampaikan pesan dengan disertai berbagai unsur-unsur latar belakang kebudayaan yang berbeda kepada seorang penerima dari kultur lainnya. Sumber informasi sebagai pesan dapat berupa orang dalam proses komunikasi antarpersonal atau segala bentuk media massa atau bentuk lainnya dari media). (Dalam Jurnal terjemahan dari Hoper, Robert dan Jack L. Whitehead Jr., 1979)

Definisi dari Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss (1994, Pengantar oleh Deddy Mulyana, 1996), untuk komunikasi antarbudaya dilihat sebagai komunikasi antara dua anggota dari latar budaya yang berbeda, yakni berbeda secara rasional, etnik, atau sosial-ekonomis, (intercultural communication as

communication between members of different culture wheter defined in terms of racial, ethic, or socioeconomic difference).

Dari beberapa definisi di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap terjadi tindak komunikasi di mana para partisipan berbeda latar belakang budayanya disebut sebagai komunikasi antarbudaya. Sedangkan dalam konteks komunikasi antarbudaya, tidak hanya dalam level komunikasi antarpersonal, tetapi juga proses komunikasi yang melibatkan proses transformasi. Jadi, komunikasi antarbudaya selain berada pada level komunikasi antarpersonal, juga berlangsung pada level komunikasi massa, komunikasi kelompok, maupun komunikasi dalam organisasi.


(29)

b. Pengkategorian Konsep

Untuk memudahkan pembuatan model teoritis, maka konsep-konsep tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori sesuai dengan penjabaran di atas, yaitu:

1. Kategori berdasarkan pelaksanaan komunikasi antarbudaya

Dalam hal ini variable yang hendak diteliti adalah mengenai sikap dan perilaku masyarakat kota medan menurut persepsi wisatawan mancanegara tersebut, factor-faktor penghambat efektivitas proses komunikasi yang terjadi antara individu yang berbeda latar belakang budaya.

2. Kategori berdasarkan terbentuknya sikap dan perilaku

Dalam penelitian ini adalah terbentuknya sikap dan perilaku, yaitu niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya faktor-faktor seperti sikap terbuka, perasaan positif, berempati, sikap menjaga seimbang, sikap mendukung.

3. Kategori berdasarkan karakteristik informan

Yaitu sejumlah gejala yang tidak dapat dikontrol tetapi diperkirakan berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku yang diharapkan. Dalam hal ini faktor yang berkaitan adalah karakteristik usia, jenis kelamin, suku, agama, pekerjaan, tingkat pendidikan, status etnik dan lama tinggal dilokasi penelitian.


(30)

1.7. Model Teoritis

Untuk memudahkan kelanjutan penelitian berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka dibuatlah model teoritis dengan memasukkan seluruh unsur variabel tersebut ke dalam bagan atau skema.

Model teoritisnya adalah sebagai berikut:

1.8 Operasionalisasi Variabel

Untuk memudahkan operasionalisasi pemecahan masalah berdasarkan kerangka konsep di atas, maka perlu dibuat operasionalisasi variable berikut ini:

Variabel Teoritis Variabel Operasional

Komunikasi Antarbudaya: Dinamika Budaya

1. Stereotip 1. Penilaian atau pelabelan

2. Arah stereotip, yakni menunjukkan arah penilaian atau pelabelan yang diberikan kepada etnik tertentu:

a. Positif (disenangi) b. Negatif (dibenci)

3. Intensitas stereotip, yakni menunjuk Komunikasi Antarbudaya:

Dinamika Budaya

Sikap dan Perilaku Masyarakat dan Budaya

Karakteristik Informan: 1. Usia

2. Jenis kelamin 3. Suku

4. Agama 5. Pekerjaan

6. Tingkat Pendidikan 7. Lama tinggal 8. Status Etnik


(31)

pada seberapa kuat keyakinan tersebut.

4. Asal mula terbentuknya stereotip : a.Pengalaman pribadi

b.Pengalaman orang lain c.Media massa

2. Jarak Sosial 1. Tingkat penerimaan individu dalam berinteraksi dengan intraetnik dan antaretnik

2. Frekuensi interaksi dengan individu 3. Tujuan interaksi

4. Pola Pemukiman

5. Lamanya menetap di suatu daerah 3. Diskriminasi 1. Perbedaan sistem nilai

2. Status etnik

a. penduduk asli b. pendatang (migrant) 3. Bentuk diskriminasi

a. tindakan membatasi kebebasan dan mengurangi peran

b. menindas secara psikologis c. menindas secara fisik Sikap dan Perilaku Masyarakat dan

Budaya

1. Menampilkan sikap terbuka dalam interaksi, ditandai dari:

a. Ekspresi nonverbal b. Orientasi isi komunikasi

2. Perasaan positif, dilihat dari: a. Kondisi saat interaksi terjadi b. Suasana komunikasi


(32)

a. Dapat memahami orang lain b. Mau berbuat untuk orang lain 4. Sikap merasa seimbang

5. Sikap mendukung, dilihat dari:

a.. Ketersediaan memberi pendapat terhadap isi pesan individu yang berbeda secara budaya

b. Ketersediaan untuk bekerjasama Karakteristik Informan 1. Usia : 20 – 50 tahun

2. Jenis kelamin: a. laki-laki b. perempuan 3. Suku

4. Agama 5. Pekerjaan

6. Tingkat pendidikan 7. Status etnik

a. penduduk asli b. pendatang (migrant) 8. Lama tinggal

1.9 Defenisi Operasional

Dalam penelitian ini, defenisi operasionalnya adalah:

1. Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan yang berbeda budaya.

2. Prasangka sosial adalah sikap perasaan orang-orang terhadap golongan tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berlainan dengan golongannya (cenderung ke arah negatif).


(33)

3. Jarak sosial adalah perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain. 4. Karakteristik informan adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang


(34)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1. Pengertian Komunikasi

Pengertian komunikasi dapat ditinjau dari dua sudut pandang (Onong, 2000), dan (Effendi, 1998: 60), yaitu:

1. Pengertian Komunikasi secara umum

Komunikasi merupakan proses penyampaian suatu pesan dalam bentuk lambang bermakna sebagai paduan pikiran dan perasaan berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan, himbauan dan sebagainya, yang dilakukan kepada orang lain baik langsung secara tatap muka maupun tidak langsung melalui media dengan tujuan mengubah sikap, pandangan, atau perilaku (Effendi, 1998: 60).

Setiap orang hidup dalam masyarakat, sejak bangun tidur sampai tidur lagi, secara kodrati senantiasa terlibat dalam komunikasi. Terjadinya komunikasi sebagai konsekuensi dari hubungan sosial dan interaksi sosial. Komunikasi dalam pengertian secara umum dapat dibagi dua segi yaitu, secara etimologis dan terminilogis. Secara etimologis, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin

communicatio, berasal dari kata communis, yang berarti sama makna. Jadi,

komunikasi berlangsung apabila orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai sesuatu hal yang dikomunikasikan. Secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.


(35)

2. Pengertian komunikasi secara paradigmatis

Dalam pengertian paradigmatis, komunikasi mengandung tujuan tertentu yang dilakukan secara lisan, tatap muka atau melalui media. Dalam hal ini, komunikasi besifat intensional, karena itu harus dilakukan dengan perencanaan. Mengenai pengertian komunikasi secara paradigmatis, banyak defenisi yang dikemukakan oleh para ahli, tetapi dari sekian banyak dapat disimpulkan secara lengkap dengan menampilkan makna yang hakiki, yaitu komunikasi merupakan proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku, baik langsung melalui lisan maupun tidak langsung melalui media (Onong, 200:5).

Proses komunikasi yang berlangsung di antara individu tidak selalu berlangsung mulus dan lancar. Adakalanya pesan yang akan disampaikan tersebut mendapat hambatan sebelum sampai kepada komunikan. Hambatan-hambatan tersebut bisa disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:

1. Hambatan Sosio-Antro-Psikologis a. Hambatan Sosiologis

Masyarakat terdiri dari berbagai golongan dan lapisan, yang menimbulkan perbedaan dalam statu sosial, agama, ideologi, tingkat pendidikan dan sebagainya, yang kesemuanya dapat menjadi hambatan bagi kelancaran komunikasi.

b. Hambatan Antropologis

Dalam melancarkan komunikasi, seorang komunikator tidak akan berhasil apabila ia tidak mengenal siapa komunikannya. “siapa” di sini bukan


(36)

namanya, melainkan ras apa, bangsa apa, dan suku apa. Dalam hal ini, komunikator harus mengenal kebudayaan, gaya hidup, norma kehidupan serta kebiasaan komunikannya.

c. Hambatan Psikologis

Faktor psikologis seringkali menjadi hambatan dalam komunikasi. Hal ini umumnya disebabkan komunikator tidak mengkaji diri komunikan sebelum melancarkan komunikasi. Komunikasi sulit berhasil apabila komunikan sedang sedih, bingung, marah, kecewa, kesal dan lain sebagainya.

2. Hambatan Semantis

Hambatan semantis meliputi bahasa yang digunakan oleh komunikator dalam menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada komunikan. Demi kelancaran komunikasi, komunikator harus benar-benar memperhatikan gangguan semantis ini, sebab kesalahan dalam ucapan maupun tulisan dapat menimbulkan salah pengertian (misunderstanding) dan salah tafsir (misinterpreatation), yang pada akhirnya dapat menimbulkan salah komunikasi (misunderstanding).

3. Hambatan Mekanis

Hambatan mekanis kita jumpai pada media yang dipergunakan dalam melancarkan komunikasi. Seperti suara telepon yang berisik, ketikan huruf yang rusak pada media cetak, atau gambar kabur di layar televisi.


(37)

4. Hambatan Ekologis

Hambatan ekologis terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan terhadap berlangsungnya komunikasi. Contohnya adalah suara riuh orang-orang ramai atau kebisingan lalulintas, suara hujan atau petir, suara pesawat terbang dan lain-lain saat sedang berkomunikasi.

2.2. Teori Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya, yang disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda pula komunikasi dan makna yang dimilikinya.

Istilah antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada tahun 1959. namun demikian, Hall tidak menerangkan pengaruh perbedaan budaya terhadap proses komunikasi antarpribadi. Perbedaan antarbudya dalam berkomunikasi baru dijelaskan David K.Berlo melalui bukunya The Process of Communication (An Introduction to Theory and Practice) pada tahun 1960 (Liliweri, 2001:1).

Menurut Liliweri (2001), komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan yang berbeda budaya, bahkan dalam satu bangsa sekalipun.

Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam


(38)

keadaan demikian, akan segera dihadapkan pada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi tempat suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Seperti diketahui bahwa budaya sangat mempengaruhi orang yang berkomunikasi dan budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, bila dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda pula perbendaharaan yang dimilikinya, dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan tertentu.

Sehubungan dengan itu, Model William B. Gudykunst dan Young Yun Kim ini sebenarnya merupakan model komunikasi antarbudaya, yakni komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya yang berlainan, atau komunikasi dengan orang asing (stranger). Model komunikasi ini pada dasarnya sesuai untuk komunikasi tatap-muka, khususnya antara dua orang. Meskipun model itu disebut model komunikasi antarbudaya atau model komunikasi dengan orang asing, model komunikasi tersebut dapat mempresentasikan komunikasi antara siapa saja, karena pada dasarnya tidak ada dua orang yang mempunyai budaya, sosiobudaya dan psikobudaya yang persis sama.

Seperti model Tubbs, model Gudykunst dan Kim ini mengasumsikan dua orang yang setara dalam berkomunikasi, masing-masing sebagai pengirim dan sekaligus sebagai penerima, atau keduanya sekaligus melakukan penyandian (encoding) dan penyandian-balik (decoding). Karena itu, tampak pula bahwa pesan suatu pihak sekaligus juga adalah umpan balik bagi pihak lainnya. Pesan/umpan balik antara kedua peserta komunikasi dipresentasikan oleh garis


(39)

dari penyandian seseorang ke penyandian-balik orang lain dan dari penyandian orang kedua ke penyandian-balik orang pertama. Kedua garis pesan/umpan balik menunjukkan bahwa setiap kita berkomunikasi, secara serentak kita menyandi dan menyandi-balik pesan. Dengan kata lain, komunikasi tidak statis; kita tidak menyandi suatu pesan dan tidak melakukan apa-apa hingga kita menerima umpan balik. Alih-alih, kita memproses rangsangan yang datang (menyandi-balik) pada saat kita juga menyandi pesan.

Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian pesan dan penyandian-balik pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter konseptual yang dikategorikan menjadi faktor-faktor budaya, sosiobudaya, psikobudaya dan faktor lingkungan. Lingkaran paling dalam, yang mengandung interaksi antara penyandian pesan dan penyandian-balik pesan, dikelilingi tiga lingkaran lainnya yang mempresentasikan pengaruh budaya, sosiobudaya dan psikobudaya. Masing-masing peserta komunikasi, yakni orang A dan orang B, dipengaruhi budaya, sosiobudaya dan psikobudaya, berupa lingkaran-lingkaran dengan garis yang terputus-putus. Garis terputus-putus itu menunjukkan bahwa budaya, sosiobudaya dan psikobudaya itu saling berhubungan atau saling mempengaruhi. Kedua orang yang mewakili model juga berada dalam suatu kotak dengan garis terputus-putus yang mewakili pengaruh lingkungan. Lagi, garis terputus-putus yang membentuk kotak tersebut menunjukkan bahwa lingkungan tersebut bukanlah suatu sistem tertutup atau terisolasi. Kebanyakan komunikasi antara orang-orang berlangsung dalam suatu lingkungan sosial yang mencakup orang-orang lain yang juga terlibat dalam komunikasi.


(40)

Gambar 2.1. Model Gudykunst dan Kim

Sumber: William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, 1992)

Seperti ditunjukkan di atas, pengaruh-pengaruh budaya, sosiobudaya dan psikobudaya itu berfungsi sebagai filter konseptual untuk menyandi dan menyandi-balik pesan. Filter tersebut adalah mekanisme yang membatasi jumlah alternatif yang memungkinkan kita memilih ketika kita menyandi dan menyandi-balik pesan. Lebih khusus lagi, filter tersebut membatasi prediksi yang kita buat mengenai bagaimana orang lain mungkin menanggapi perilaku komunikasi kita. Pada gilirannya, sifat prediksi yang kita buat mempengaruhi cara kita menyandi pesan. Lebih jauh lagi, filter itu membatasi rangsangan apa yang kita perhatikan dan bagaimana kita menafsirkan rangsangan tersebut ketika kita menyandi-balik pesan yang datang.

Gudykunst dan Kim berpendapat, pengaruh budaya dalam model itu meliputi faktor-faktor yang menjelaskan kemiripan dan perbedaan budaya, misalnya pandangan dunia (agama), bahasa, juga sikap terhadap manusia, misalnya apakah kita harus peduli terhadap individu (individualisme) atau


(41)

norma dan aturan yang mempengaruhi perilaku komunikasi. Pengaruh sosiobudaya adalah pengaruh yang menyangkut proses penataan sosial (social

ordering process). Penataan sosial berkembang berdasarkan interaksi dengan

orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan berjalannya waktu. Sosiobudaya ini terdiri dari empat faktor utama: keanggotaan dalam kelompok sosial, konsep diri, ekspektasi peran, dan defenisi mengenai hubungan antarpribadi. Dimensi psikobudaya mencakup proses penataan pribadi (personal

ordering process). Penataan pribadi ini adalah proses yang memberi stabilitas

pada proses psikologis. Faktor-faktor psikobudaya ini meliputi stereotip dan sikap (misalnya etnosentrisme dan prasangka) terhadap kelompok lain. Stereotip dan sikap menciptakan pengharapan mengenai bagaimana orang lain akan berperilaku. Pengharapan itu pada akhirnya mempengaruhi cara kita menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang dibuat mengenai perilaku orang lain. Etnosentrisme, misalnya, mendorong kita menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan kerangka rujukan sendiri dan mengharapkan orang lain berperilaku sama seperti kita. Hal ini akan membuat salah penafsiran pesan orang lain dan meramalkan perilakunya yang akan datang secara salah pula.

Salah satu unsur yang melengkapi model Gudykunst dan Kim adalah lingkungan. Lingkungan sangat berpengaruh dalam menyandi dan menyandi-balik pesan. Lokasi geografis, iklim, situasi arsitektural (lingkungan fisik), dan persepsi atas linkungan tersebut, mempengaruhi cara menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang dibuat mengenai perilaku orang lain. Oleh karena orang lain mungkin mempunyai persepsi dan orientasi yang berbeda dalam situasi yang


(42)

sama. Intinya, model tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam perbedaan dalam komunikasi antarbudaya.

Ada beberapa unsur budaya dalam komunikasi antarbudaya yaitu: 1. Persepsi

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Secara umum dipercaya bahwa orang berperilaku sedemikian rupa sebagai hasil dari cara mereka mempersepsikan dunia yang sedemikian rupa pula. Perilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya mereka (Porter dan Samovar, dalam Mulyana dan Rakhmat, 1993:27).

Masyarakat Timur pada umumnya adalah masyarakat kolektivitis. Dalam budaya kolektivitis, diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok (keluarga, klan, kelompok kerja, suku, bangsa, dan sebagainya), sementara diri dalam budaya individualis (Barat) bersifat otonom. Akan tetapi suatu budaya sebenarnya dapat saja memiliki kecenderungan individualis dan kolektivitis, hanya saja seperti orientasi kegiatan, salah satu biasanya lebih menonjol.

Dalam komunikasi antarbudaya yang ideal kita akan mengharapkan persamaan dalam pengalman persepsi. Tetapi karak terbudaya cenderung memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang tidak sama, dan oleh karenanya, membawa kita kepada persepsi yang berbeda atas dunia ekstenal.


(43)

2. Proses Verbal

Proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana berbicara dengan orang lain, namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata0kata yang digunakan. Proses-proses ini secara vital berhubungan dengan proses pemberian makna saat melakukan komunikasi antarbudaya:

a. Bahasa Verbal

Bahasa merupakan alat utama yang digunakan oleh budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu lambang yang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar, yang digunakan untuk menyajikan penalaman-pengalaman dalam suatu komunitas budaya.

b. Pola Pikir

Pola pikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya tersebut berkomunikasi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang akan merespon individu-individu dari budaya lain. Kebanyakan orang menganggap bahwa setiap orang meiliki pola pikir yang sama. Namun, harus disadari bahwa terdapat perbedaan-perbedaan budaya dalam aspek berpikir. Kita tidak dapat mengharapkan setiap orang untuk menggunakan pola pikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat pola pikir dan belajar menerima pola-pola tersebut akan memudahkan kita dalam berkomunikasi.


(44)

3. Proses Nonverbal

Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk bertukar pikiran dan gagasan, namun proses ini sering diganti dengan proses nonverbal, yang biasanya dilakukan melalui gerak isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, dan lain-lain. Lambang-lambang tersebut dan respon-respon yang ditimbulkannya merupakan bagian dari pengalaman budaya. Budaya mempengaruhi kita dalam mengirim, menerima dan merespon lambang-lambang tersebut.

a. Perilaku Nonverbal

Kebanyakan komunikasi nonverbal berlandaskan budaya, apa yang dilambangkannya merupakan hal yang telah disebarkan budaya kepada anggota-anggotanya. Misalnya lambang bunuh diri berbeda-beda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Di Amerika Serikat, hal ini dilambangkan dengan jari yang diarahkan ke pelipis, di Jepang dilambangkan dengan tangan yang diarahkan ke perut, dan di New Guinea dilambangkan dengan tangan yang diarahkan ke leher.

Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi nonverbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman, kaum wanita seperti juga kaum pria biasa berjabat tangan dalam pergaulan sosial, sedangkan Amerika wanita jarang berjabat tangan. Di Muangthai orang-orang tidak bersentuhan (berpegang tangan) dengan lawan jenis di tempat umum, dan memegang kepala seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial.


(45)

b. Konsep Waktu

Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Konsep waktu pada suatu budaya merupakan filasafatnya tentang masa lalu, masa sekarang, masa depan, dan pentingnya atau kurang pentingnya waktu. Terdapat banyak perbedaan mengenai konsep waktu antara budaya yang satu dengan budaya yang lain, yang mempengaruhi komunikasi.

c. Penggunaan Ruang

Cara seseorang menggunakan ruang sebagai bagian dalam komunikasi disebut dengan prosemik. Prosemik tidak hanya meliputi jarak antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan, tetapi juga orientasi fisik mereka. Orang-orang dari budaya yang berbeda mempunyai cara-cara yang berbeda pula dalam menjaga jarak ketika bergaul dengan sesamanya. Bila berbicara dengan orang yang berbeda budaya, kita harus dapat memperkirakan pelanggaran-pelanggaran yang mungkin timbul, menghindari pelanggaran tersebut dan meneruskan interaksi kita tanpa memperlihatkan reaksi permusuhan.

Namun, melakukan komunikasi antarbudaya sebenarnya sangat sulit. Bukan hanya karena berbeda budaya, tetapi juga muncul hambatan-hambatan yang timbul dalam komunikasi antarbudaya atara lain disebabkan oleh:

1. Prasangka Sosial

Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berlainan dengan golongannya. Prasangka sosial terdiri dari sikap sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi perilakunya terhadap golongan tersebut.


(46)

Prasangka sosial awalnya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif, namun lambat laun dinyatakan dalam bentuk tindakan-tindakan yang diskriminatif (Gerungan, 1991: 167).

Menurut Jones (dalam Liliweri, 2001:175) prasangka adalah sikap antipati yang didasarkan pada suatu cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Kesalahan itu mungkin saja tertangkap secara langsung dan nyata yang ditunjukkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompok sendiri. Sehingga prasangka diduga memilliki pengaruh yang kuat sekali dalam menghambat terciptanya komunikasi antarbudaya yang efektif.

Ada tiga faktor penentu prasangka yang diduga mempengaruhi komunikasi antarbudaya menurut Poortinga (dalam Liliweri, 2001: 176), yaitu: a. Stereotip

Stereotip dapat diartikan sebagai suatu sikap atau karakter yang dimiliki oleh seseorang untuk menilai orang lain semata-mata berdasarkan kelas atau pengelompokan yang dibuatnya sendiri dan biasanya bersifat negatif.

Kendati pada permukaan orang-orang Indonesia tampak bersatu karena memiliki budaya Indonesia, namun tidak demikian halnya dalam kenyataan. Dari sudut pandang kultural atau psikologis, stereotip-stereotip antar etnis masih tetap ada di berbagai kelompok etnis, ras, dan agama di Indonesia. Sementara konsep budaya Indonesia sendiri dipertanyakan apakah ini sudah terbentuk atau tidak. Sebagai contoh, orang Jawa dan Sunda merasa bahwa diri mereka “halus” dan “sopan”, dan orang batak itu “kasar”, tegas dan “kepala batu”, “suaranya keras dan berisik”, “mudah marah” dan “suka bertengkar”. Yang paling menarik, orang


(47)

Batak memandang diri mereka sendiri sebagai “berani”, “terbuka” dan “langsung”, “cerdas”, “rajin”. “kuat” dan “tangguh”. Mereka menganggap orang Jawa dan Sunda sebagai “sopan” dan “halus”, namun mereka “penakut”, “lemah”, dan “ragu-ragu dalam berbicara”. Bagi orang Batak, merupakan kejujuran apa yang dipikirkan orang lain sebagai kekasaran, sementara mereka menafsirkan kehalusan orang Sunda dan Jawa sebagai kemunafikan.

Rich melakukan penelitian tentang hubungan stereotip dengan komunikasi. Ia memakai lima dimensi proses stereotip sebagai pesan yaitu: (1) pelabelan atau penanamaan dan generalisasi; (2) kesamaan individu dengan orang lain; (3) arah stereotip; (4) intensitas atau derajat stereotip; dan (5) kekerasan terhadap etnik. Maka dapat disimpulkan bahwa faktor pengalaman dengan intra maupun antaretnik mempengaruhi komunikasi. Dalam berkomunikasi terjadi proses persepsi yang bersifat selektif sehingga terjadi generalisasi yang keliru terhadap objek sikap.

b. Jarak Sosial

Jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain. Jarak sosial sebagai suatu penilaian di atas skala pada mulanya dilakukan oleh Borgadus, dengan mengambil sample 1725 orang Amerika asli dengan latar belakang 30 etnik. Borgadous menemukan bahwa pada setiap etnik ada perbedaan pilihan jarak sosial. Ada kecenderungan yang menunjukkan bentuk interaksi


(48)

sosial lebih bisa diterima jika ada kesamaan ras atau etnik atau faktor-faktor yang semu di antara ras atau etnik.

Sementara Golman meneliti jarak sosial antara sesama orang Negro berdasarkan usia responden yang berusia tua dan muda di dua wilayah yaitu Amerika Utara dan Amerika Selatan. Ia menemukan bahwa: (1) wilayah pemukiman menentukan pendapat responden; (2) faktor usia mempengaruhi jarak sosial; (3) perpaduan faktor usia dan tempat tinggal mempunyai peranan terhadap pilihan jarak sosial (Suwardi, 1999:26).

Dari berbagai penelitian tentang hubungan antara jarak sosial dan komunikasi itu dapat disimpulkan bahwa jarak sosial tergantung pada: (1) cirri dan sifat intraetnik dan antaretnik; (2) cara, tempat, usia; (3) perasaan jauh dekat antara intraetnik dengan antaretnik; (4) prestise; dan (5) kesejahteraan. Liliweri beranggapan semakin dekat jarak sosial dengan seorang komunikator dari suatu etnik dengan seorang komunikan dari etnik lain, maka semakin efektif komunikasi yang terjalin di antara mereka, begitu juga sebaliknya.

c. Sikap Diskriminasi

Secara teoritis Doob menyatakan bahwa diskriminasi dapat dilakukan melalui kebijaksanaan untuk mengurangi, memusnahkan, menaklukkan, memindahkan, melindungi secara legal, menciptakan pluralisme budaya, dan tindakan asimilasi terhadap kelompok lain. Ini juga berarti bahwa sikap diskriminasi tidak lain dari suatu kompleks berpikir, berpersaan, dan kecenderungan untuk berperilaku maupun bertindak dalam bentuk negatif maupun


(49)

positif. Sikap ini dapat mempengaruhi efektifitas komunikasi antaretnik (Liliweri, 2001: 178).

Menurut Zastrow, diskriminasi merupakan faktor yang merusak kerjasama antarmanusia maupun komunikasi di antara mereka. Doob (1985, dalam Liliweri, 2001:178) mengakui diskriminasi sebagai bentuk perilaku yang ditujukan untuk mencegah suatu kelompok atau membatasi kelompok lain yang berusaha memiliki atau mendapatkan sumberdaya.

Dari beberapa penelitian tentang diskriminasi, dapat disimpulkan bahwa diskriminasi terjadi karena: (1) alasan historis, seperti kebanggaan atas kejayaan suatu etnik; (2) sistem nilai yang berbeda antara etnis mayoritas dan minoritas; (3) pola kerjasamal (4) pola pemukiman yang berbeda, seperti Timur dan Barat, urban dengan rural; (5) faktor sosial budaya, ekonomi, agama yang memerlukan perbedaan perlakuan; dan prestise suatu kelompok.

Menurut O’Donnell prasangka social mengarah kepada kepercayaan dan nilai-nilai yang dipelajari oleh para anggota kelompok etnik tertentu dalam berhubungan dengan kelompok etnik lain. Prasangka sosial dan stereotip kemudian berpengaruh terhadap tingkah laku diskriminatis yang terinternalisasi melalui proses sosialisasi, persuasi, identifikasi dan penyesuaian. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap para anggota kelompok etnik lain dan mempengaruhi penilaian masing-masing anggota antar kelompok ini, karena mereka merefleksikan penilaian-penilaiannya yang perpengaruh terhadap identitas dirinya (Cookie dan Walter, 1985 dalam Nugroho, 2004).


(50)

Prasangka sosial sendiri muncul karena didasari oleh 3 hal yaitu: a. Etnosentrisme yaitu merasa etniknya sendiri yang paling baik

b. Terlalu mudah menganalisir perilaku etnik lain dengan pengetahuan dan pengalamannya yang terbatas

c. Cenderung memilih stereotip yang mendukung kepercayaannya tentang hubungan dan hak-hak istimewa apa yang harus dimiliki

2.3. Teori Sikap dan Perilaku

Sikap manusia, atau untuk singkatnya disebut sikap, telah didefenisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Berkowitz bahkan menemukan adanya lebih dari tiga puluh defenisi sikap (Berkowitz, 1972). Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Berkowitz, 1972, dalam Azwar, 2005: 5).

LaPierre (1934 dalam Allen, Guy, dan Edgley, 1980) mendefenisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.

Sebuah penelitian awal (LaPiere, 1934) (dalam Severin J. Werner & Tankard W. James, 2007: 199) telah menunjukan bahwa sikap mungkin tidak banyak berhubungan dengan perilaku. Satu alasan mengapa perubahan sikap mungkin tidak secara otomatis diikuti perubahan perilaku, menurut Festinger


(51)

(1946) adalah bahwa faktor-faktor lingkungan yang menghasilkan sikap asli biasanya akan tetap berlaku setelah sikap berubah.

Perilaku adalah respon individu atau kelompok terhadap lingkungan. dalam kacamata ilmu sosial, perilaku atau perbuatan manusia merupakan manifestasi terhadap pola-pola hubungan, dinamika, perubahan dan interaksi yang menitikberatkan pada masyarakat dan kelompok sosial sebagai satu kesatuan, serta melihat individu sebagai bagian dari kelompok masyarakat (keluarga, kelompok sosial, kerabat, klien, suku, ras, bangsa) (www.conflict resolution

training.com).

Teori sikap dan perilaku ini awalnya diformulasikan oleh Fishbein & Ajzen (1975) dengan nama Theory of Reasoned Action (TRA). Sebelum membahas lebih lanjut, penelitian ini diawali dengan paparan mengenai TRA. Penelitian ini akan terlebih dahulu memaparkan TRA (Theory of Reasoned Action).

Theory Reasoned Action pertama kali dicetuskan oleh Ajzen pada tahun

1980 (Jogiyanto, 2007). Teori ini disususn menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam TRA ini, Ajzen (1980) menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tersebut. Lebih lanjut, Ajzen mengemukakan bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang lain berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective


(52)

norms). Dalam upaya mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif

terhadap niat untuk dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, Ajzen melengkapi TRA ini dengan keyakinan (beliefs). Dikemukakannya bahwa sikap berasal dari keyakinan terhadap perilaku (behavioral beliefs), sedangkan norma subjektif berasal dari keyakinan normatif (normative beliefs). Secara skematik TRA digambarkan seperti skema berikut ini:

Gambar 2.2. Theory of Reasoned Action (Teori Tindakan Beralasan) (Fishbein & Ajzen, 1980 dalam Brehm & Kassin, 1990)

Untuk tidak sekedar memahami, tapi juga dapat memprediksi perilaku, Icek Ajzen, Martin Fishbein mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (theory of

reasoned action) (Ajzen & Fishbein, 1980 dalam Brehm & Kassin, 1990; Ajzen,

1988). Dengan mencoba melihat atesenden penyebab perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri), teori ini didasarkan atas asumsi-asumsi; a) bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal; b) bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada; c) bahwa secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka.

Sikap terhadap

perilaku

Norma-norma subjektif

Intensi untuk


(53)

Teori tindakan beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal. Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu. Ke dua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh norma-norma subjektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat. Ke tiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

Dari Gambar 2, tampak bahwa intensi merupakan fungsi dari determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal) dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak melakukan perilaku yang bersangkutan yang disebut dengan norma subjektif. Secara sederhana teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memendang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya.


(54)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Dalam mendeskripsikan lokasi penelitian, baik mengenai kondisi geografis maupun demografisnya, penulis menggunakan data-data Kota Medan tahun 2008. Data tersebut penulis kutip dari buku Medan Menuju Kota Metropolitan (Yayasan Potensi Pengembangan Daerah, Medan, 1979) Kota Medan dan situs Situs web resmi: berbahasa Indonesia.

3.1.1 Sejarah Singkat Kota Medan

Kota Medan didirikan ole 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan dinyatakan sebagai tempat kediaman Pada tahu setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran.

Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang perkebunan berhenti mendatangkan orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan


(55)

kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi

Sejak tahu dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha di tahun tahun setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat.

Pada tahun yang menjadi titik awal kerusuhan-kerusuhan besar yang kemudian terjadi di sepanjang Indonesia, termas kemudian. Dalam kerusuhan yang terkait dengan gerakan pembakaran, perusakan, maupun penjarahan yang tidak dapat dihentikan aparat keamanan.

Saat ini kota Medan telah kembali berseri. Pembangunan sarana dan prasarana umum gencar dilakukan. Meski jumlah jalan-jalan yang rusak, berlobang masih ada, namun jika dibandingkan dahulu, sudah sangat menurun. Kendala klasik yang dihadapi kota modern seperti Medan adalah kemacetan akibat jumlah kenderaan yang meningkat pesat dalam hitungan bulan, tidak mampu diimbangi dengan peningkatan sarana jalan yang memadai.


(56)

3.1.2. Kondisi Geografis Kota Medan

Kota Medan memiliki luas 26.510 Hektar (265,10 Km² ) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44° Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5-37,5 meter di atas permukaan laut.

Secara administratif, wilayah Medan berbatasan dengan berbatasan denga terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan sumber daya alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karena secara geografis Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Medan ini telah mendorong perkembangan kota


(57)

dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini

3.2. Metode dan Teknik Penelitian 3.2.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi yang bersifat kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2002: 3) menyatakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari individu serta dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar perilaku dari individu-individu tersebut secara holistik (utuh).

Sejalan dengan defenisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9) mendefenisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (dalam Moleong, 2004: 3).

Penelitian kualitatif bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang otentik mengenai pengalaman orang, sebagaimana yang dirasakan oleh orang-orang yang bersangkutan. Pengamatan yang berperan serta dan wawancara secara mendalam (depth interview) merupakan metode yang potensial untuk tujuan tersebut (Mulyana, 2001).

Proses penelitian ini tergantung pada kemampuan peneliti dalam mempergunakan sumber data tanpa merubah situasi sewajarnya menjadi situasi


(58)

yang berbeda yang berlangsung sehari-hari di lingkungan sumber data, selain itu dalam penelitian ini peneliti sendiri yang merupakan alat pengumpul data utama. Kemudian, peneliti juga dituntut untuk dapat besikap responsif, dapat menyesuaikan diri, menekankan keutuhan, mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan, memproses data secepatnya, memanfaatkan kesempatan untuk mengklarifikasikan dan mengikhtisarkan serta memanfaatkan kesempatan untuk mencari respon yang tidak lazim dan idiosinkratik (Moleong, 2004:121).

Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan, yaitu (1) penyesuaian metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; (2) metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden; dan (3) metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.

3.2.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di pusat-pusat perbelanjaan dan lokasi pariwisata Kota Medan, spesifiknya di wilayah kecamatan Medan Maimun, Medan Petisah, dan Medan Kota di Sumatera Utara.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Menurut Sudjana dalam buku Metoda Statistika (dalam Nawawi, 2007:150) dikatakan bahwa populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin,


(59)

baik hasil menghitung maupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif, daripada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan obyek yang lengkap dan jelas. Pengetian lain mengatakan populasi adalah sekelompok subyek, baik manusia, gejala, nilai test, benda-benda ataupun peristiwa. Di samping kedua pengertian itu dikemukakan juga oleh Sutrisno Hadi bahwa semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sample itu (tertentu) hendak digeneralisasikan, disebut populasi atau universe.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian.

Dalam penelitian ini populasinya adalah wisatawan mancanegara yang terdiri dari latar belakang budaya yang berbeda yang ada di Kota Medan.

3.3.2. Sampel

Sampel diambil dalam penelitian sebagai pertimbangan efisiensi dan mengarah pada sentralisasi permasalahan dengan memfokuskan pada sebagian dari populasinya (Subagyo, 1993:29). Dalam penelitian pengambilan sampel yang tepat merupakan langkah awal dari keberhasilan penelitian, karena dengan pemilihan sampel yang dilakukan dengan tidak benar akan menghasilkan temuan-temuan yang kurang memenuhi sasarannya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengambilan sampel non probabilitas (Nonprobability Sampling), dengan mempertimbangkan jumlah


(60)

sampel sebanyak 20 orang wisatawan mancanegara dan 10 orang masyarakat lokal yang ada di lingkungan sekitar Kota Medan. Hal ini akan memudahkan penulis untuk melakukan penelitian. Pertimbangan lain penulis memilih metode nonprobabilitas adalah bahwa dalam penelitian kualitatif penulis tidak bertujuan untuk menggeneralisasikan temuan penelitian nantinya, karena sifat penelitian kualitatif yang kasuistik dan ideografis (Mulyana: 2001).

Jenis pengambilan sampel nonprobabilitas yang penulis pilih adalah tekhnik snowball sampling dan purposif sampling. Teknik snowball sampling digunakan untuk mencari responden awal yang potensial serta bersedia untuk diwawancarai untuk rentang waktu tertentu, sedangkan teknik pengambilan sampel purposive sampling bertujuan untuk mencari dan menemukan informan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk lebih jelasnya, teknik pengambilan sampel tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Snowball Sampling yaitu teknik penarikan sampel dengan cara menentukan satu atau beberapa orang informan untuk diwawancarai sebagai titik awal penarikan sampel. Selanjutnya informan ditetapkan berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan awal hingga suatu saat peneliti memutuskan jumlah informannya sudah mencukupi (Bulaeng, 2004).

b. Purposive Sampling merupakan teknik penarikan sampel yang disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian (Nawawi, 2001). Adapun kriteria yang dimaksud adalah:

- Sampel adalah wisatawan mancanegara yang berasal dari berbagai negara. - Sampel merupakan individu yang berbeda latar belakang pribadi.


(61)

- Sampel berusia 20-50 tahun, dengan pertimbangan bahwa usia tersebut merupakan kelompok usia subur/produktif dan dianggap telah dewasa serta mampu mempertanggungjawabkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penulis nantinya.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu penelitian dengan cara

mengumpulkan data di lapangan yang meliputi kegiatan survei di lokasi penelitian melalui:

a. Observasi, yaitu kegiatan untuk melakukan pengukuran. Studi pengamatan secara khusus pada beberapa dimensi isi yang penting yaitu pada perhatian yang mungkin ditujukan kepada situasi dimana interaksi terjadi. Perilaku terbuka dari pelaku-pelaku, yaitu siapa, melakukan apa, dengan siapa dan dengan konsekuensi apa. Dalam hal ini, pengamatan dilakukan secara berperan serta. Menurut Denzim, pengamatan berperan serta adalah strategi lapangan yang secara simultan memadukan analisis dokumen, wawancara dengan informan, partisipasi observasi langsung serta intropeksi (Mulyana: 2001).

b. Wawancara, yaitu suatu bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan


(62)

data melalui wawancara secara mendalam (indepth interview) terhadap informan penelitian melalui tanya jawab secara langsung (face to face), dengan berpedoman pada alat yang disebut dengan interview guide. 2. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data dari literatur serta sumber-sumber yang relevan dan mendukung penelitian ini. Dalam hal ini, penulis akan menggunakan berbagai sumber dan literatur, seperti buku-buku yang mengulas tentang komunikasi antarbudaya dan komunikasi antarpribadi. Disamping itu, penulis juga menggunakan sumber-sumber lainnya, seperti internet yang dapat mendukung penelitian ini.

3.5. Teknik Analisa Data

Analisis data adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkannya dalam pola, tema atau kategori serta mencari hubungan dari berbagai konsep (Nasution, 1996: 12). Tanpa kategori atau klasifikasi data akan menjadi kacau. Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar (Moleong, 2004).

Dalam penelitian ini, interpretasi terhadap data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara, dilakukan sepanjang penelitian. Interpretasi dalam hal ini menggambarkan perspektif atau pandangan peneliti dan kebenarannya. Akan tetapi kebenaran hasil penelitian ini masih harus dinilai oleh orang lain dan diuji dalam berbagai situasi lain. Hasil interpretasi juga bukan generalisasi dalam arti


(1)

Lampiran 1

Panduan Pertanyaan (interview guide)

1. Apakah menurut anda perlu mengetahui atau memahami budaya di mana anda berada?

2. Bagaimana menurut pandangan anda tentang stereotip masyarakat Kota Medan/warga negara asing?

3. Apakah menurut anda media sangat berpengaruh dalam membentuk stereotip dan sikap serta perilaku masyarakat?

4. Apakah menurut anda sikap dan perilaku itu juga terbentuk dari terpaan budaya masing-masing etnik?

5. Selama anda di daerah ini, apakah anda pernah mengalami suatu diskriminasi budaya di daerah tujuan/di tempat tinggal anda?

6. Apakah menurut anda masyarakat/warga negara asing di lingkungan anda mudah untuk berinteraksi?

7. Sejauh yang anda lihat dan alami, sikap dan perilaku apa yang membedakan atau menyamakan anda dari masyarakat Kota Medan/warga negara asing?

8. Selama anda pernah berinteraksi dengan masyarakat Kota Medan/warga negara asing, bagaimana menurut anda dengan gambaran sikap dan perilaku mereka terhadap anda sendiri?

9. Hambatan seperti apa yang anda alami ketika berkomunikasi dengan masyarakat Kota Medan/warga negara asing?

10.Menurut anda, selama anda berada di daerah ini dan berinteraksi dengan masyarakat Kota Medan/warga negara asing, apakah anda merasakan adanya jarak sosial?


(2)

Lampiran 2

Petunjuk untuk Orang-Orang Kolektivis (Khususnya Indonesia) untuk Berinteraksi dengan Orang-Orang Individualis (Amerika, Eropa dan Australia):

1. Kurangilah perhatian terhadap kelompok-kelompok di mana orang-orang lain (dari budaya individualis/Barat) menjadi annggota. Anda tidak akan dapat meramalkan perilaku orang itu berdasarkan pengetahuan anda tentang keanggotaannya dalam kelompok, seperti yang biasa anda lakukan dalam budaya anda. Alih-alih, perhatikanlah kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap dan prinsip-prinsip orang itu.

2. Antisipasilah bahwa orang lain akan kurang terikat secara emosional dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kelompoknya dibandingkan dengan apa yang biasa terjadi dalam budaya anda. Jangan kaitkan perilaku ini dengan keburukan pribadi. Itu sekadar tuntutan budaya.

3. Antisipasilah bahwa hubungan-hubungan dengan orang lain bersifat dangkal, sementara, namun pada dasarnya baik. Jangan menafsirkan keramahan awal sebagai isyarat bahwa hubungan akan bersifat intim.

4. Antisipasilah bahwa orang individualis lebih terlibat dalam hubungan-hubungan horisontal dan kurang terlibat dalam hubungan-hubungan vertikal. Orang-orang berpengaruh terhadap orang itu

adalah kawan-kawan, istri/suami; merekalah yang paling sering diajak berkonsultasi.

5. Orang individualis akan merasa lebih nyaman dengan hubungan-hubungan sosial yang sederajat dibandingkan dengan orang-orang dalam budaya anda. Anda akan merasa tidak nyaman dengan hubungan-hubungan yang mengabaikan perbedaan-perbedaan status, namun orang-orang individualis menikmati hubungan-hubungan yang sederajat. Belajarlah mengantisipasi hal ini.

6. Jangan berharap menerima respek hanya karena posisi, usia, jenis kelamin atau nama keluarga anda. Jangan berharap bahwa tempat lahir anda, bila itu prestisius dalam pandangan anda (misalnya, Paris, Prancis) akan


(3)

mengundang lebih banyak respek dari orang lain. Orang lain cenderung tidak akan terkesan oleh tempat lahir yang bahkan paling Prestisius.

7. Bila anda mencoba mengubah pendapat orang lain itu, jangan berharap bahwa anda akan sepersuasif seperti dalam budaya anda ketika anda menggunakan argumen-argumen anda dan menekankan kerjasama, harmoni, atau penghindaran konfrontasi. Sementara itu, orang lain terkesan agak perhitungan terhadap anda ketika ia menggunakan argumen-argumen yang menekankan keuntungan dan kerugian sesuatu.

8. Jangan berharap ditemani atau dibantu dalam semua waktu. Orang lain punya komitmen lain dan mungkin tidak punya banyak waktu untuk anda. Di samping itu, dengan membiarkan anda sendirian, mereka menunjukkan kepercayaan mereka kepada anda. Mereka cenderung tidak percaya bahwa anda membutuhkan banyak pertolongan seperti yang anda harapkan.

9. Orang lain bangga akan prestasi, dulu, kini dan yang direncanakan. Berikan pujian atas usahanya lebih daripada yang biasa anda lakukan dalam budaya anda. Orang itu akan menghargai karena “diistimewakan” dan akan mempunyai harga diri yang tinggi, akan berbicara mengenai pencapaian-pencapaian pribadi, dan umumnya akan membicarakan lebih banyak hal negatif tentang orang-orang daripada yang biasa terjadi dalam budaya anda.

10.Hindarilah perilaku-perilaku yang terlalu mengatur (bossy) atau terlalu menyerah pada keadaan (submisif). Perilaku-perilaku itu terkesan buruk bagi orang lain.


(4)

Beberapa perbedaan sikap dan perilaku secara umum negara Individualis antara lain:

- Austria : Hindari berbicara dengan tangan di saku. Jangan mengunyah permen karet pada waktu berkunjung atau pertemuan. Dalam pertemuan, gunakan nada suara resmi.

- Belanda : Tidak lazim menyentuh orang lain pada waktu berbicara. Mengunyah permen karet atau berdiri dengan tangan di saku tidak sopan. Memberi isyarat kepada seseorang dengan tangan merupakan suatu hal yang normal. Melambaikan tangan kepada seseorang dari jarak jauh dapat diterima.

- Findlandia : Bersilang tangan merupakan tanda keangkuhan. Hindari isyarat-isyarat yang berlebihan. Dalam pertemuan, pembicara berdiri tegak; hindari lelucon berlebihan, lihat mata orang pada saat berbicara. - Inggris : Isyarat-isyarat berlebihan seperti menepuk punggung

atau merangkul bahu dengan lengan harus dihindari. Gunakan isyarat tangan sekali-sekali saja.

- Spanyol : Untuk memanggil seseorang, lambaikan jari-jari dengan telapak tangan di bawah. Jangan membiarkan tangan di saku. Di restoran, pelayan dipanggil dengan mengacungkan tangan. Pertemuan-pertemuan dimulai tepat pada waktunya. Orang-orang Spanyol merasa kewajiban merekalah untuk memperbaiki kekeliruan yang mereka lihat (dalam pertemuan).

- Jerman : Senyum hanyalah untuk teman. Senyum tidak selalu merupakan ketulusan. Taat pada apa yang mereka yakini. Mereka perfeksionis. Oleh karena itu, mereka mengharapkan pekerjaan dilakukakn dengan baik.


(5)

- Slovenia : Mereka tidak suka menyangkal kolega mereka. Mereka adalah pendengar yang baik dan akan bersimpati dengan pandangan anda. Bila mereka bermaksud menyesuaikan diri dengan anda, mereka akan membutuhkan waktu untuk mengatur hal tersebut.


(6)

BIODATA

I. DATA PRIBADI

Nama : Ryka Ariona Pardede

NIM : 070922054

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Fakultas : FISIP

Tempat /Tanggal Lahir : Rantauprapat/02 Mei 1986 Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : JL. Pendidikan Gg. Pribadi No.4 Medan – 20237

Nama Orang Tua

Ayah : M. Pardede, SE

Ibu : B.Sibarani

Alamat : JL. Gajah Mada No. 126 Rantauprapat

II.RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Taman Kanak-Kanak (TK) Methodist II Rantauprapat (1991) 2. Sekolah Dasar (SD) Negeri No. 112137 Rantauprapat (1992-1998) 3. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Rantauprapat (1998-2001) 4. Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 3 Rantauprapat (2001-2004) 5. Diploma III Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Inggris. Universitas Sumatera

Utara – Medan (2004-2007)

6. Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Ilmu Komunikasi. Universitas Sumatera Utara – Medan (2007-2010)


Dokumen yang terkait

Hubungan Komunikasi Antara Warga Asing Dan Warga Setempat (Studi Deskriptif Mengenai Hubungan Komunikasi Antar Pribadi Antara Warga Amerika Dan Warga Medan Setempat Yang Tergabung Dalam Sebuah Lembaga Language And Cultural Exchange Medan

26 312 107

Peran Imigrasi Dalam Penanganan Pengungsi Warga Negara Asing Di Kota Medan

8 83 120

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)

1 17 181

Dinamika Komunikasi Antarbudaya Pasca Tsunami (Studi Dramaturgis Dalam Kegiatan Kemasyarakatan Antar Warga Korban Tsunami Dan Interaksi Dengan Orang Asing Di Banda Aceh).

0 0 9

DINAMIKA KOMUNIKASI WARGA NEGARA ASING DAN WARGA NEGARA LOKAL DIPUSPA AGRO.

1 11 100

Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Pribumi di Kota Medan

0 0 15

Hubungan Komunikasi Antara Warga Asing Dan Warga Setempat (Studi Deskriptif Mengenai Hubungan Komunikasi Antar Pribadi Antara Warga Amerika Dan Warga Medan Setempat Yang Tergabung Dalam Sebuah Lembaga Language And Cultural Exchange Medan)

0 0 22

Hubungan Komunikasi Antara Warga Asing Dan Warga Setempat (Studi Deskriptif Mengenai Hubungan Komunikasi Antar Pribadi Antara Warga Amerika Dan Warga Medan Setempat Yang Tergabung Dalam Sebuah Lembaga Language And Cultural Exchange Medan)

0 0 17

Hubungan Komunikasi Antara Warga Asing Dan Warga Setempat (Studi Deskriptif Mengenai Hubungan Komunikasi Antar Pribadi Antara Warga Amerika Dan Warga Medan Setempat Yang Tergabung Dalam Sebuah Lembaga Language And Cultural Exchange Medan)

0 0 6

HUBUNGAN KOMUNIKASI ANTARA WARGA ASING DAN WARGA SETEMPAT (Studi Deskriptif Mengenai Hubungan Komunikasi Antar Pribadi Antara Warga Amerika dan Warga Medan Setempat yang tergabung dalam sebuah Lembaga Language and Cultural Exchange Medan)

0 0 14