Perumusan Masalah Ruang Lingkup Kajian Penelitian Kerangka Teori

tersebut memiliki kebudayaan yang berbeda dengan negara Indonesia khususnya di wilayah Kota Medan, kemudian secara empiris penulis mengetahui bahwa beberapa wisatawan mancanegara ini memiliki kedekatan pengaruh dengan berbagai etnis yang ada di Indonesia khususnya dengan etnis-etnis yang ada di Sumatera utara dan kajian kultural dalam tindakan komunikasi dengan masyarakat lokal Kota Medan belum pernah diteliti. Maka dari itu, penulis akan melakukan penelitian ini Pemilihan lokasi penelitian ini setelah penulis mengetahui bahwa di Kota Medan terdapat wisatawan mancanegara yang cukup memadai sebagai objek penelitian dan begitu pula dengan masyarakat lokal di Medan Kota yang sering berhadapan dan berkomunikasi dengan wisatawan mancanegara. Karena letaknya yang strategis dan mudah dijangkau, hal ini juga menjadi alasan penulis memilih wilayah Kota Medan menjadi lokasi penelitian.

1.2 Perumusan Masalah

Dari adanya permasalahan ini juga maka akan dapat diarahkan pembahasan-pembahasan yang akan dilakukan dengan tujuan dasarnya yaitu untuk memecahkan masalah yang diajukan tersebut. Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah : “Sejauhmana dinamika komunikasi antarbudaya berperan dalam komunikasi antara wisatawan mancanegara dengan masyarakat Kota Medan, Universitas Sumatera Utara berdasarkan sikap dan perilaku yang ditampilkan dalam berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar belakang budayanya?”

1.3 Ruang Lingkup Kajian Penelitian

Untuk memudahkan klarifikasi, maka perlu ditetapkan batas ruang lingkup kajian penelitian. Oleh karena itu, peneliti melakukan pengkajian dalam satu bidang fenomena komunikasi yaitu: 1. Subjek penelitian adalah wisatawan mancanegara dari berbagai negara. Subjek penelitian telah menetap selama sekurang-kurangnya satu hari di wilayah Kota Medan. 2. Penelitian bersifat analisis deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan situasi secara apa adanya mengenai variabel, gejala atau keadaan yang berkaitan dengan penilaian terhadap variabel tanpa mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka atau metode statistika. 3. Studi yang digunakan adalah emic research yang bertujuan untuk menelaah makna kultural dari “dalam”, analisisnya bersifat idiografik, jadi hasilnya tidak akan dikuantifikasikan dan tidak akan digeneralisasikan kepada seluruh masyarakat di wilayah Kota Medan. Universitas Sumatera Utara 1.4 . Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai pernyataan mengenai ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang akan dirumuskan Jalaluddin Rakhmat, 1998: 313. Untuk lebih jelasnya tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk memahami perbedaan persepsi warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut tentang etnik, tentang pesan-pesan, stereotipe, jarak sosial serta diskriminasi yang mempengaruhi dinamika komunikasi antarbudaya. 2. Untuk memahami sikap dan perilaku sosial dari warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut dari wilayah setempat yang dipengaruhi oleh komunikasi antarbudaya.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan mempunyai manfaat sebagai berikut: 1 Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan penulis mengenai kajian komunikasi antarbudaya sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi. 2 Secara akademis, memberikan tambahan ilmu pengetahuan dalam bidang Komunikasi Antarbudaya dalam kajian Ilmu Komunikasi. Universitas Sumatera Utara 3 Manfaat praktis, memberikan pengetahuan dan masukan-masukan kepada setiap orang yang akan melakukan komunikasi dengan orang dari budaya yang berbeda khususnya budaya dari Asia dan Eropa.

1.5. Kerangka Teori

Dalam penelitian kualitatif, kerangka teori disebut juga literature review atau dimaknai dengan kajian terdahulusebelumnya. Kerangka teori menggambarkan dari teori yang mana suatu problem riset berasal seperti dalam beberapa studi ekperimental, atau dengan teori yang mana problem itu dikaitkan seperti dalam beberapa survei Suwardi, 1998. Masyarakat kolektivis pada umumnya adalah masyarakat Timur. Dalam budaya kolektivis, diri self tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok keluarga, klan, kelompok kerja, suku, bangsa, dan sebagainya, sementara diri dalam budaya individualis Barat bersifat otonom. Akan tetapi suatu budaya sebenarnya dapat saja memiliki kecenderungan individualis dan kolektivis, hanya saja, seperti orientasi kegiatan, salah satu biasanya lebih menonjol. Dalam masyarakat kolektivis, individu terikat oleh lebih sedikit kelompok, namun keterikatan pada kelompok lebih kuat dan lebih lama. Selain itu hubungan antarindividu dalam kelompok bersifat total, sekaligus di lingkungan domestik dan di ruang publik. Konsekuensinya, perilaku individu sangat dipengaruhi kelompoknya. Individu tidak dianjurkan untuk menonjol sendiri. Keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok dan kegagalan individu juga adalah Universitas Sumatera Utara kegagalan kelompok. Oleh karena identifikasi yang kuat dengan kelompok, manusia kolektivis sangat peduli dengan peristiwa-peristiwa yang menyangkut kelompoknya. Seseorang bisa tersinggung berat hanya karena tidak diundang anggota lainnya dalam kelompok untuk menghadiri pernikahan anaknya. Pada hari-hari istimewa, seperti lebaran, ketidakhadiran seseorang bisa membuat orang tua ataupamannya sakit hati. Berbeda dengan manusia individualis yang hanya merasa wajib membantu keluarga langsungnya, dalam masyarakat kolektivis, orang merasa wajib membantu keluarga luas, kerabat jauh, bahkan teman sekampung, dengan mencarikan pekerjaan, meskipun pekerjaan itu tidak sesuai dengan keahliannya. Dalam suatu masyarakat kolektivis tidaklah diterima bila seorang anggota keluarga kaya raya sementara anggota lainya kekurangan. Maka si kaya merasa wajib membantu orang yang kekurangan tadi dengan memberinya perhatian, waktu, uang dan pekerjaan yang dapat mendatangkan penghasilan. Celakanya, ini dianggap sah-sah saja, karena pemenuhan atas kebutuhan kelompoknya tersebut memberi mereka kepuasan. Masyarakat kolektivis tidak bisa memisahkan secara tegas antara hubungan kekerabatan dengan hubungan bisnis. Salah satu bangsa yang paling kolektivis adalah Jepang, lebih kolektivis daripada bangsa kita. Begitu tinggi semangat kolektivismenya, sehingga mereka lebih lazim menggunakan nama keluarga daripada nama pertamanya sendiri. Semangat itu tampak juga di lingkungan kerja mereka.tidak ada orang yang berani menonjolkan diri sendiri. Penghargaan atau bonus diberikan kepada kelompok, bukan kepada individu. Mereka akan mengambil suatu keputusan berdasarkan Universitas Sumatera Utara konsensus. Diperlukan kesabaran ekstra untuk berunding dengan mereka dan menandatangani kesepakatan bisnis, karena tim perunding Jepang harus berkonsultasi dulu dengan atasan mereka. Sikap mereka tampak bertele-tele dan berseberangan dengan pebisnis Amerika yang ingin memperoleh keputusan secepat mungkin. Perusahaan-perusahaan Jepang mengharapkan manajer-manajer mereka untuk mengikuti proses pengambilan keputusan yang sama di manapun mereka bertugas. Bangsa-bangsa lainnya yang kolektivis, meskipun dengan kadar yang berlainan adalah Cina, Indonesia, Malaysia, India, Pakistan, Italia, Kenya, Spanyol, dan Amerika Latin. Semangat kolektivisme mereka ini antara lain diaktualisasikan dalam berbagai fenomena sosial, misalnya keluarga besar extended family yang terdiri dari tiga generasi dalam satu rumah; prinsip dalam perkawinan bahwa perkawinan bukan saja antara dua individu, namun juga antara dua keluarga. Masyarakat kolektivis senang saling mengunjungi dan berkumpul bersama. Di Indonesia, nilai ini misalnya tercermin dalam konsep gotong royong dan musyawarah, dan dalam budaya Jawa khususnya dalam pribahasa, “Mangan ora mangan asal ngumpul” Oleh karena masyarakat kolektivis mempunyai konsep yang berbeda tentang diri dan hubungannya dengan orang lain, mereka menemui kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang dari budaya individualis. Mereka mengharapkan hubungan persahabatan yang langgeng, sementara manusia individualis tidak terbiasa demikian. Dalam pandangan orang individualis, mereka tampak kekanak-kanakan yang serba bergantung ketika bergaul dengan orang Universitas Sumatera Utara individualis yang merasa mandiri. Seorang mahasiswa kolektivis yang membereskan meja belajar temannya yang individualis boleh jadi justru akan membuat mahasiswa individualis berang, alih-alih berterima kasih, karena urusan merapikan mejanya itu adalah urusan dan tanggung jawabnya, bukan urusan dan tanggung jawab mahasiswa kolektivis. Kontras dengan orang kolektivis, orang individualis kurang terikat pada kelompoknya, termasuk keluarga luasnya. Manusia individualis lebih terlibat dalam hubungan horizontal daripada hubungan vertikal. Mereka lebih membanggakan prestasi pribadi daripada askripsi, seperti jenis kelamin, usia, nama keluarga dan sebagainya. Hubungan di antara sesama mereka sendiri tampak lebih dangkal dibandingkan dengan hubungan antara orang-orang kolektivis, juga kalkulatif. Dalam bepergian ke luar negeri, seperti berwisata, orang-orang kolektivis cenderung membentuk kelompok-kelompok, sedangkan orang-orang individualis secara individu. Kegemaran berkelompok ini membuat mereka sulit beradaptasi dengan lingkungan yang individualis. Hasil pengamatan yang dilakukan Deddy Mulyana 2005 atas interaksi antara para pemukim permanent resident Indonesia dan warga pribumi di Melbourne, Australia, menunkukkan bahwa sementara hubungan orang-orang Indonesia yang kolektivis dengan sesamanya dalam segala situasi bersifat primer dan intim dalam arti semua status teridentifikasi dan ditanggapi, hubungan mereka dengan para warga pribumi yang individualis, baik dilingkungan tetangga ataupun di tempat kerja, bersifat dangkal. Pribadi-pribadi yang terlibat dalam Universitas Sumatera Utara pergaulan tidak sepenuhnya diketahui, melainkan hanya sebagian aspek kepribadian yang relevan dengan situasi yang bersangkutan. Kebanyakan menganggap warga pribumi sebagai kenalan, bukan sebagai kawan. Interaksi mereka dengan orang-orang Australia terbatas dan sering didasarkan atas informasi terbatas dan atas stereotip-stereotip tentang warga pribumi tersebut.

1.6. Kerangka Konsep

Dokumen yang terkait

Hubungan Komunikasi Antara Warga Asing Dan Warga Setempat (Studi Deskriptif Mengenai Hubungan Komunikasi Antar Pribadi Antara Warga Amerika Dan Warga Medan Setempat Yang Tergabung Dalam Sebuah Lembaga Language And Cultural Exchange Medan

26 312 107

Peran Imigrasi Dalam Penanganan Pengungsi Warga Negara Asing Di Kota Medan

8 83 120

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)

1 17 181

Dinamika Komunikasi Antarbudaya Pasca Tsunami (Studi Dramaturgis Dalam Kegiatan Kemasyarakatan Antar Warga Korban Tsunami Dan Interaksi Dengan Orang Asing Di Banda Aceh).

0 0 9

DINAMIKA KOMUNIKASI WARGA NEGARA ASING DAN WARGA NEGARA LOKAL DIPUSPA AGRO.

1 11 100

Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Pribumi di Kota Medan

0 0 15

Hubungan Komunikasi Antara Warga Asing Dan Warga Setempat (Studi Deskriptif Mengenai Hubungan Komunikasi Antar Pribadi Antara Warga Amerika Dan Warga Medan Setempat Yang Tergabung Dalam Sebuah Lembaga Language And Cultural Exchange Medan)

0 0 22

Hubungan Komunikasi Antara Warga Asing Dan Warga Setempat (Studi Deskriptif Mengenai Hubungan Komunikasi Antar Pribadi Antara Warga Amerika Dan Warga Medan Setempat Yang Tergabung Dalam Sebuah Lembaga Language And Cultural Exchange Medan)

0 0 17

Hubungan Komunikasi Antara Warga Asing Dan Warga Setempat (Studi Deskriptif Mengenai Hubungan Komunikasi Antar Pribadi Antara Warga Amerika Dan Warga Medan Setempat Yang Tergabung Dalam Sebuah Lembaga Language And Cultural Exchange Medan)

0 0 6

HUBUNGAN KOMUNIKASI ANTARA WARGA ASING DAN WARGA SETEMPAT (Studi Deskriptif Mengenai Hubungan Komunikasi Antar Pribadi Antara Warga Amerika dan Warga Medan Setempat yang tergabung dalam sebuah Lembaga Language and Cultural Exchange Medan)

0 0 14