4.2.2 Moderate Nationality Loyalty Terhadap Sikap dan Perilaku
Moderate nationality loyalty merupakan suatu gejala terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya dalam diri informan. Walaupun informan masih
mempertahankan nilai-nilai budaya ingroupnya, namun mereka juga berusaha menyesuaikan sikap dan perilaku mereka dengan budaya dari budaya dari luar
suku atau bangsanya yang ada di lingkungan mereka. Kesetiaan dasar informan tidak hanya pada budaya, namun bisa merupakan kombinasi antara budaya dengan
agama atau antara budaya dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua hal ini berkaitan dalam pembentukan sikap dan perilaku baik di lingkungan ingroup maupun
outgroup. Informan-informan yang termasuk dalam kategori ini merasa nyaman
diposisi mereka. Mereka senang mempelajari dan menerima aspek-aspek positif perbandingan kedua budaya diantara mereka. Mereka adalah orang-orang yang
terlibaat dalam suatu cultural electicism, yaitu suatu strategi penyesuaian diri yang sangat kuat dan luwes tanpa merasa mengalami kehilangan identitas diri atau
merasa terancam akan kehilangan identitas budayanya Hoffman, 1990, dalam Mulyana, 2001. Masing-masing informan dari kelompok ini menguasai bahasa
dari ingroupnya dengan baik. Namun, untuk berinteraksi dengan outgroupnya mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa universal.
Dari tabel di bawah ini, ada 10 informan wisatawan mancanegara dan 4 informan masyarakat setempat. Serangkaian jawaban dan pernyataan sangat
bervariasi diantara mereka. Seperti yang dikemukakan beberapa wisatawan mancanegara yang hampir sependapat tergolong positif dan terbuka Irish,
Universitas Sumatera Utara
Steward, Inivo, Carla, Holland “Commonly, everybody have their own’s culture in countries they live in. We are as foreigner have to understand about such as
Asian cultures or specificly in Medan-Indonesia. Most people here are Moeslims, while many of us are still haven’t any religion. So, we honour each other even
different religion” Umumnya, setiap orang memiliki masing-masing budaya di negara tempat mereka tinggal. Kami di sini sebagai orang asing harus mengerti
setidaknya budaya-budaya Asia itu seperti apa atau khususnya seperti di Medan- Indonesia. Kebanyakan masyarakat di sini beragama Islam, sementara banyak
diantara kami tidak punya agama. Jadi, kita saling menghormati meski berbeda agama wawancara tanggal 15 Agustus 2009.
Kemudian, salah satu diantara wisatawan mancanegara menandasakan tentang masyarakat dan lingkungan Kota Medan “There are some people careless
with their environment around them, I don’t know whether this is their behaviour throwing trash everywhere. You know, if in my town, it will get a punishment.
Well, its still bad behaviour.” Ada beberapa masyarakat tidak peduli dengan lingkungan sekitar mereka, saya tidak tahu apakah ini perilaku mereka dengan
membuang sampah sembarangan. Anda tahu, jika hal itu terjadi di negara saya, maka akan dapat hukuman. Tina wawancara tanggal 16 Agustus 2009.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.5. Moderate Nationality Loyalty Terhadap
Tingkatan Sikap dan Perilaku
No. Nama
Informan Arah
Stereotip terhadap
Outgroup Signifikansi
Stereotip terhadap
Tindakan Diskriminasi
Kesukuan Kewarganegaraan
Tingkatan Sikap dan Perilaku Menerima
Merespon Menghargai Tanggung Jawab
Keterbukaan dalam Interaksi
Kesediaan dalam Bekerja
Sama
1 Naomi
Positif Signifikan
Minang Baik
Baik Baik
Baik Terbuka
Bersedia
2 Suprianto
Positif Signifikan
Jawa Baik
Baik Baik
Baik Terbuka
Bersedia
3
Ronald Negatif
Tidak Signifikan
Batak Baik
Baik Baik
Baik Terbuka
Bersedia
4
Ahmad Positif
Signifikan Aceh
Baik Baik
Baik Baik
Terbuka Bersedia
5 Tina
Positif Signifikan
Jerman Baik
Baik Baik
Baik Terbuka
Bersedia
6
Duncan Positif
Tidak Signifikan
Jerman Baik
Baik Baik
Baik Terbuka
Bersedia
7
Ulli Positif
Signifikan Jerman
Baik Baik
Baik Baik
Terbuka Bersedia
8 Yulia
Positif Signifikan
Austria Baik
Baik Baik
Baik Terbuka
Bersedia
9
Angie Negatif
Tidak Signifikan
Austria Baik
Baik Baik
Baik Kurang terbuka
Tidak bersedia
10 Irish
Positif Signifikan
Jerman Baik
Baik Baik
Baik Terbuka
Bersedia
11
Steward Positif
Signifikan Inggris
Baik Baik
Baik Baik
Terbuka Bersedia
12 Inivo
Positif Signifikan
Spanyol Baik
Baik Baik
Baik Terbuka
Bersedia
13 Carla
Positif Signifikan
Spanyol Baik
Baik Baik
Baik Terbuka
Bersedia
14 Holland
Positif Signifikan
Belanda Baik
Baik Baik
Baik Terbuka
Bersedia
Universitas Sumatera Utara
Di waktu dan situasi yang berbeda dari mereka, peneliti juga mendapatkan informasi ketika bersamaan dalam suatu pertemuan di kafe kecil di sekitar pusat
perbelanjaan Sun Plaza dengan Carla dan Inivo, informan asal Belanda dan Spanyol. Meskipun ini adalah pertama kalinya mereka datang ke Kota Medan,
akan tetapi tidak ada rasa kekhawatiran ataupun keraguan mereka untuk mengujunginya. Gejolak budaya yang berbeda dari negeri asal mereka tidak
mempengaruhi niat kunjungan mereka hingga keliling dunia. “The first time I ate Indonesian food, I have troubles in my stomach but only few times” Pertama kali
saya makan masakan Indonesia, saya sakit perut tapi hanya beberapa saat saja Inivo. Disela-sela perbincangan, lalu Carla informan asal Belanda justru
mengemukakan pendapatnya tentang perbedaan hubungan budaya kekeluargaan orang Indonesia yang termasuk kolektif. “I proud with family relationship in this
country, children are very precious and lovely. I have seen in some places, that children must close with their parents or families. Divorcing are rarely here. I
think the men have faithful character, hahaha...maybe.” Saya suka dengan jalinan kekeluargaan di negara ini, anak-anak bagi keluarga sangat berharga dan
dicintai. Saya pernah lihat di beberapa tempat, anak-anak mereka itu harus dekat dengan orang tua atau sanak keluarga mereka. Perceraian jaranglah terjadi,
menurut saya kaum lelakinya orang yang setia, hahaha...mungkin saja. Peneliti membiarkan perccakapan ini mengalir meskipun rangkaian pertanyaan tidak
berurut namun masih membahas tentang konteks. Mereka juga menceritakan beberapa hal kecil yang pernah mereka alami di tempat mereka menginap, seperti
suasana yang berbeda, makanan yang sangat beragam rasa, dan orang-orang yang
Universitas Sumatera Utara
berbeda karakter. Namun, apabila mereka bermasalah tentang cita rasa, mereka masih bisa mencari makanan-makanan Western Food di outlet-outlet pusat
perbelanjaan. Seiring waktu yang mereka miliki untuk berkunjung, mereka berusaha tidak menyia-nyiakan waktu hanya sekedar lewat saja. Mereka
menerima respon-respon yang berbeda dari orang-orang sekitar meski terkadang sulit mereka pahami.
Informan lain adalah Naomi dan Ahmad, informan yang beinisial Naomi asli orang Minang bermukim di Kota Medan yang sehari-harinya berprofesi
sebagai pegawai swasta di salah satu perusahaan asuransi di Medan dan Ahmad berprofesi sebagai wiraswasta anyaman rotan. Sebelumnya Naomi pernah
berkomunikasi dengan wisatawan asing, lalu memberikan penjelasan singkat bahwa sebahagian dari mereka masih membawa kebiasaan-kebiasaan mereka,
namun tetap saja mereka berusaha sopan untuk berinteraksi dengan masyarakat di sekitar Maimoon. “Kalau mereka benar-benar tidak tahu bahasa Indonesia,
mereka sering membawa Guide sebagai perantara komunikasi mereka. Itu sih..tidak jadi masalah bagi kita”. Peneliti juga sependapat dengan Naomi.
Memang terlihat tidak jarang para wisatawan membawa Guide pribadi ataupun dari biro-biro perjalanan mereka. Pendapat Ahmad juga sama dengan Naomi
dengan menambahkan bahwa mereka wisatawan mancanegara sedapat mungkin bisa berinteraksi dan memahami kultur masyrakat yang bermukim di sekitar
lingkungan mereka. Di lingkungan sekitar Maimoon, terdapat banyak sekali penginapan mulai
dari kelas-kelas bawah hingga kelas berbintang cap Internasional Hotel, ditambah
Universitas Sumatera Utara
lagi aksesoris-aksesoris perkotaan seperti pusat perbelanjaan Yuki Simpang Raya, bangunan bersejarah Mesjid Raya dan Istana Maimoon menambah eksotika
wilayah ini. Angkutan-angkutan umum dari berbagai arah ikut meramaikan jalan raya menuju lokasi ini, sehingga memudahkan pengunjung manapun keliling-
keliling di seputaran daerah ini. Di waktu yang berbeda namun masih di lokasi yang sama, informan
bernama Suprianto Jawa dan Ronald Batak. Ketika diwawancarai mereka memberikan pandangan yang berbeda satu sama lain. “Bagaimana tidak mungkin,
kadang-kadang image kesan mereka sebagai penjajah bangsa masih lengket dalam diri mereka. Mereka berlalu-lalang di daerah sekitar sini, sering juga
mereka cuek-cuek saja, mereka pikir ini seperti di negara mereka saja. Kalau di luar negeri kan orang bule-bule ini nggak gitu akrab di jalanan, nah kalau di
negara kita kan nggak kayak gitu. Sering terlihat seperti itu beberapa dari mereka”. Ronal menanggapinya dengan nada khas etniknya dan cenderung
memberikan label negatif terhadap outgroupnya. “Kalau menurut saya, sekilas mata tak nampak ada jarak sosial. Tapi, kalau ditanya-tanyai sama mereka tentang
perbandingan kehidupan mereka dengan kita-kita ini, wah... beda sekali itu Lihatlah, yang pengangguran, kerjanya nggak menetap atau istilah lainnya buruh
pun bisa keliling dunia, sedangkan kita-kita ini, yang kerjanya di kantoran pemerintahan pun belum tentu bisa menginjak luar negeri”. Kemudian,
tanggapannya tentang bagaimana dengan pengaruh positif masuknya budaya asing menurut dirinya sendiri, Ronal bergumam, “Kalau budaya yang positif tidak jadi
masalah, misalnya berpikir bagaimana memajukan negaranya, orang-orang asing
Universitas Sumatera Utara
sangat cepat menanggapinya. Itu bagus sekali Mereka pintar-pintar dibidang itu”. Di sisi lain, meskipun Ronal beretnis asli Batak Indonesia yang sudah 25 tahun
tinggal di Medan memberikan pandangan seperti itu, ternyata tidak dipungkiri dan menurut pengakuannya masalah cita rasa makanan western fast food yang
biasanya ada di berbagai sudut kota Medan ini tidak menjadi masalah bagi dirinya apabila makanannnya cocok di lidah. Kendati demikian, Ronald lebih sering
mencicipi masakan-masakan Indonesia daripada masakan-masakan lainnya. Berbeda dengan tanggapan Suprianto, pria kelahiran Jawa Barat ini yang telah
menetap di Medan selama 40 tahun memberikan jawaban yang justru memberikan pandangan positif terhadap outgroupnya. “Mereka itu baik dan ramah, sejauh
yang pernah saya lihat mereka di sini”. Katanya dengan nada optimis. Suprianto yang sehari-harinya sebagai pedagang sate dan es kelling di sekitar Mesjid Raya
dan Istana Maimoon bersama istrinya. Ia menambahkan, “Mereka itu kan istilahnya tamu kita di sini, jadi apa pun yang mereka lakukan ya...sah-sah saja
selama itu tidak melanggar aturan norma-norma kita di sini. Kita pun nggak mau budaya kita dilecehkan mereka dengan kebiasaan mereka yang sebagian masih
bebas sebebasnya liberal” wawancara 05 September 2009. Dari laporan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa informan-informan
ini mengalami “erosi” terhadap identitas kultur mereka. Kelompok informan ini lebih menyukai identitas mereka sebagai etnik atau kewarganegaraan dari ingroup
dan outgroupnya masing-masing. Namun demikian, bukan berarti terjadi pengingkaran atas kesukuan atau kewarganegaraan mereka terhadap perubahan
sikap dan perilaku mereka di lingkungan mereka masing-masing baik pada
Universitas Sumatera Utara
ingroup maupun outgroup. Stereotip negatif dan terjadinya tidak signifikan diskriminasi terhadap pola hidup yang berbeda dari masing-masing negara asal
wisatawan mancanegara di Kota Medan tidak menimbulkan adanya kekerasan fisik, hanya saja menimbulkan persepsi yang berbeda yang mengarah pada
kecemburuan dan jarak sosial. Hal ini dimungkinkan karena informan kurang memahami sisi kehidupan sosial di luar negeri. Dinamika ramahtamah masyarakat
umumnya di Kota Medan menjadi nilai plus sebagai kota yang berbudaya majemuk. Hal ini dapat dilihat dari keberagaman etnis di Kota Medan banyak
sekali namun dapat bersatu dalam satu wadah kota. Perbedaan sikap dan perilaku setiap individu masih ditolerir dengan adanya rasa saling memahami dan masih
kekeluargaan. Inilah perbedaan yang konkret antara wisatawan mancanegara yang dijuluki sebagai orang yang Individualis, sedangkan masyarakat kita tergolong
kolektif.
IV.2.3 Light Nationality Loyalty Terhadap Sikap dan Perilaku