Latar Belakang Permasalahan Peninjauan kembali (PK) kasus Munir dalam perkara terpidana Pollycarpus menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia dan Hukum Islam

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Hukum yang ideal seharusnya mampu mengakomodir tiga faktor penting yang menentukan kelayakan sebuah aturan hukum, yakni hukum harus bernilai yudikatif, sosiologis, dan filosofis. Hanya dengan ketiga faktor tersebut sebuah hukum memungkinkan untuk diterapkan dalam sebuah komunitas masyarakat atau dalam sebuah negara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa syarat keberlangsungan sebuah tatanan masyarakat yang sehat diperlukan beberapa faktor yakni aturan hukum yang baik, aparat penegak hukum yang baik, fasilitas yang memadai, serta masyarakat yang baik pula. 1 Dalam proses penerapan hukum, para penegak hukum akan selalu menghadapi tantangan antara mengedepankan ketertiban hukum atau ketentraman umum, dimana keduanya tidaklah kemudian menghendaki pembedaan karena kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan. Ketertiban hukum atau tertib hukum sangat diperlukan oleh aparat penegak hukum sebagai alat dalam menerapkan aturan hukum dan memperoleh kepastian hukum, sedangkan ketentraman umum atau kedamaian yang menjadi cita-cita hukum, dalam beberapa kondisi kadang tidak selalu selaras dengan kepentingan ketertiban hukum. Seringkali kedua hal 1 Dr. Soerjono Soekanto SH.,MA dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta : CV. Rajawali, 1980, hal. 13-18. 2 tersebut bersinggungan karena ketertiban hukum lebih menyangkut kepetingan penguasa atau negara, sedangkan segi ketentraman dan kedamaian menyangkut kepentingan warga negara. 2 Salah satu contoh dalam diskursus ini adalah ketika proses peradilan dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dimana terjadi sebuah terobosan hukum dalam proses beracara sebagai upaya penyelesaian kasus ini, dimana hal ini telah melampaui tertib hukum acara pidana yang ada, namun hal ini dipandang perlu untuk tetap dilakukan oleh pihak kejaksaan demi menjaga tujuan hukum yakni mewujudkan ketenteraman dalam kehidupan warga negara, karena jika kasus ini tidak dituntaskan secara adil maka akan melukai rasa keadilan dalam masyarakat. Maka berangkat dari asumsi apakah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sudah memenuhi keadilan materiil atau belum 3 , maka Peninjauan kembali PK dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan termohon Pollycarpus Budihari Priyanto dilakukan oleh jaksa yang menurut peraturan dalam KUHAP pasal 263 ayat 1, PK merupakan hak bagi terpidana atau ahli warisnya sebagai upaya untuk menjaga wibawa lembaga peradilan. Karena pemenuhan keadilan atas korban tindak kejahatan merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh negara, karena peran negara adalah melindungi dan mengayomi 2 Dr. Soerjono Soekanto SH., MA dan Mustafa Abdullah........, hal. 25-27. 3 Adi Andojo Soetcipto, Prospek Penyelesaian Kasus Munir Melalui Peninjauan Kembali Putusam MA, Dalam Komite Solidaritas Aksi Untuk Munir KASUM, Risalah Kasus Munir, Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum , Jakarta: C.V. Rinam Antartika, 2007 hal.281. 3 serta mensejahterakan warga negaranya. 4 Jadi disamping jaksa mewakili kepentingan negara disatu pihak jaksa juga mewakili kepentingan korban tindak kejahatan yang notabene merupakan warga negara yang juga harus mendapatkan perlindungan di muka pengadilan. Mengutip keterangan Ibn Khaldun, bahwa negara atau penguasa seringakali memiliki kecenderungan untuk menggunakan otoritasnya untuk melakukan ketidakadilan, 5 maka negara juga membutuhkan kontrol dari warga negara itu sendiri. Perwujudan kontrol terhadap negara difasilitasi melalui undang-undang tentang jaminan perlindungan terhadap keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Yang menarik dalam proses peninjauan kembali kasus Munir adalah, bahwa peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang menjadi hak bagi terdakwa atau ahli warisnya, namun ketentuan ini diterobos oleh jaksa penuntut umum melalui berbagai argumentasi hukum yang akan penulis paparkan pada bab-bab selanjutnya. Jika dalam Pasal 263 KUHAP 6 dijelaskan bahwa : 1 Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. 2 Permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar : a Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, 4 Prof. Dr. Mr. L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1996, Cet. Ke-26, hal. 10-16. 5 Ibn Khaldun, Muqaddimah, Penerjemah: Ahmadie Toha , Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006 Cet. Ke-6, hal. 187-190. 6 Peninjauan Kembali atau PK diatur dalam KUHAP pasal 263-269, Lihat. Dr. Andi Hamzah, KUHP KUHAP, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004 Cet. Ke-11, hal.339-342. 4 hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau kenyataan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 3 Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2 terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Maka pasal ini diterobos oleh pihak kejaksaan dengan menggunakan undang- undang nomor 4 tahun 2004 pasal 23 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi : Pasal 23 1 Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. 2 Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Lebih lanjut pihak kejaksaan menambahkan bahwa pasal 23 ayat satu menjelaskan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan peninjauan kembali, sehingga pasal ini mengandung penafsiran bahwa jaksa juga memiliki hak untuk mengajukan peninjauan kembali kepada mahkamah agung. Salah satu ketentuan atau syarat dalam mengajukan PK adalah ketika ditemukan novum atau bukti baru dalam satu perkara pidana yang dapat mengarahkan pada kebenaran materiil. 5 Namun demikian aturan mengenai peninjauan kembali memang bukanlah tanpa cela sebagaimana yang akan Penulis sajikan pada bab-bab selanjutnya, Sebagai pendahuluan dalam pembahasan ini Penulis kemukakan bahwa Peninjauan Kembali merupakan aturan hukum yang diproduksi pada zaman kolonial belanda. Sejarah mencatat bahwa pada mulanya peninjauan kembali dikenal dengan istilah Herziening dimana lembaga ini tidak berlaku bagi inlander , 7 namun para ahli hukum negara kita menyadari bahwa kondisi yang demikian memberikan peluang bagi penguasa atau negara untuk melakukan pelanggaran HAM 8 tanpa dapat tersentuh oleh hukum, sehingga peninjauan kembali dirumuskan dalam rangka melindungi terpidana jika di kemudian hari diketahui telah terjadi kesalahan dalam penerapan hukuman. Perdebatan juga terjadi seputar ayat-ayat yang ada dalam pasal 263 KUHAP terutama ayat 3 yang menyatakan bahwa PK dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Ayat ini ditafsirkan oleh kalangan ahli hukum bahwa putusan bebas yang dalam ayat 1 pasal 263 sedianya tidak dapat diajukan peninjauan kembali oleh pihak penuntut umum atau jaksa menjadi dapat diajukan 7 S. Tanusubroto, Dasar-dasar hukum acra pidana, Bandung: C.V. Armico, 1989, Cet. II, hal. 161. Inlander adalah kata yang digunakan oleh Belanda untuk menyebut penduduk pribumi, yang berarti bahwa penduduk pribumi mendapatkan perlakuan yang lebih rendah daripada warga Belanda. 8 Pelanggaran HAM adalah pelanggaran terhadap hak dasar seseorang karena adanya penyelewengan atau penyalahgunaan otoritas negara. Jadi pelaku pelanggaran HAM adalah selalu aparat negara. Lihat Simon S.H dan Mugiyanto, Mengenal HAM dan Hak Korban Seri Buku Saku , Jakarta: Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia IKOHI, Kontras Aceh, Catholic Agency for Overseas Development, t.t hal. 19. 6 peninjauan kembali jika melihat teks ayat 3 pasal 263, karena dakwaan yang terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan dapat diartikan sebagai putusan bebas. 9 Inilah beberapa kerancuan yang ada dalam pasal-pasal mengenai pengaturan mekanisme PK. Jika kita menarik persoalan peninjauan kembali ke dalam sistem hukum Islam terlebih dahulu harus diketahui bahwa PK merupakan persoalan dalam rangka proses beracara di muka sidang peradilan, Kesulitan dalam penulisan skripsi ini adalah bahwa dalam perkuliahan yang sudah Penulis jalani, Penulis hanya mendapatkan KUHPnya hukum materiil hukum Islam saja, tetapi Penulis belum mendapatkan bagaimana proses beracara atau KUHAPnya hukum Islam sebagai pedoman melaksanakan proses peradilan di muka persidangan, misalnya yang berlangsung di beberapa dunia Islam, katakanlah Mesir atau Arab Saudi, , atau bagaimana proses beracara pada masa Islam generasi nabi atau era sahabat nabi, atau generasi dinasti-dinasti Islam, sehingga diperoleh preseden mengenai proses peradilan yang berlaku di dalam hukum Islam. Sehingga ini merupakan tantangan tersendiri, setidaknya sebagai usaha untuk belajar menggali khazanah hukum Islam, tanpa niat sama sekali untuk mengecilkan persyaratan ijtihad yang ditawarkan atau disyaratkan oleh ulama-ulama Islam terdahulu, 10 serta sebagai 9 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Jakarta, Sinar Grafika, 2006 Cet. 8, Hal. 649. 10 Karena penting untuk dipahami bahwa al-Qur’an secara berulang-ulang menegaskan gagasan tentang tanggung jawab dan pertanggung jawaban pribadi. Pada hari akhir tidak seorangpun akan menanggung dosa orang lain dan tidak seorangpun dapat menghapus dosa orang lain. Pada dasarnya, setiap orang harus menyelidiki dan mencari hukum Tuhan, dan kemudian menaatinya dengan penuh keimanan. Namun demikian lebih lanjut dikemukakan bahwa meskipun manusia 7 usaha untuk mewarnai dan memberi solusi dalam pergulatan wacana dalam hukum Islam. Ide dalam skripsi ini adalah, bahwa dalam rangka mencari keadilan dan kebenaran, cara-cara yang melampaui norma-norma yang bersifat positifistik perlu untuk dilakukan karena hukum yang sudah terpositifisasi kadang sudah tidak mampu lagi digunakan sebagai upaya mendapatkan keadilan, sementara bukti-bukti yang dapat mengarahkan didapatkannya kebenaran secara materiil seringkali terbentur aturan-aturan hukum yang sudah terpositifisasi. Berdasar pada ide di atas tersebut maka Penulis ingin menelusuri sejauh mana Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran, memberikan dukungan dalam usaha memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran itu, dalam rangka proses pengungkapan nilai-nilai dasar tersebut di depan pengadilan di dunia, sebelum mempertanggung jawabkan semuanya di akhirat nanti. Kronik dalam pemikiran ini menjadi sesuatu yang menarik karena Penulis meyakini bahwa nilai dan norma dalam ajaran agama Islam mampu memberikan ketenteraman dalam kehidupan, menjangkau dan melintasi batas ras, suku, dan bangsa. Namun tanpa pengkajian yang mendalam, nilai-nilai universal yang ada dalam hukum Islam menjadi sesuatu yang usang, yang pada akhirnya kita sendiri dipandang sebagai pelaksana kehendak Tuannya, mereka sebenarnya pelaksana yang tidak sepenuhnya bebas, karena terikat dengan seperangkat instruksi khusus yang dikeluarkan oleh Tuannya. Lihat Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004. Hal. 51-53. 8 sebagai umat Islam mengkerdilakan peranan Islam dan hukum Islam sebagai sumber ide dalam mewarnai kehidupan dalam rangka menuju perdamaian.

B. Rumusan dan Batasan Masalah