57
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UPAYA PENINJAUAN KEMBALI
DALAM PERKARA PIDANA PEMBUNUHAN MUNIR
A. Konsepsi Hukum Acara Pidana Islam
Sistem hukum dalam setiap bentuk masyarakat memiliki karakteristik, sifat dan ruang lingkupnya masing-masing, begitu juga dengan hukum Islam.
Hukum Islam -atau yang disebut fiqih- merupakan hukum yang unik, dia bukan merupakan pengetahuan hukum dalam pengertiannya yang sempit dan terpisah,
tetapi merupakan satu kesatuan dengan ajaran agama, sehingga ketaatan seseorang terhadap hukum Islam dinilai sebagai sebuah ibadah,
1
dan sebagai alat ukur keimanan seseorang. Daniel Pipes,
2
dalam “The Western Mind of Radical Islam” menegaskan bahwa kunci utama yang membedakan hukum Islam dengan
Hukum barat adalah “Siapa anda dan bukan dimana anda berada” sehingga dimanapun seorang muslim berada syari’at Islam akan selalu membayanginya.
Maka dalam kerangka inilah penelusuran terhadap keberadaan hukum acara dalam sistem hukum Islam penulis lakukan sebagai seorang akademisi sekaligus
sebagai seorang muslim.
1
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung : Penerbit Pustaka, 1994, cet. II, hal. xv
2
Pengantar penerbit dalam Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Jogjakarta : Islamika, 2003
58
Dalam dunia hukum dikenal adanya hukum materiil dan hukum formil, hukum materiil merupakan aturan yang dibuat sebagai acuan untuk menentukan
nilai suatu perbuatan, apakah suatu perbuatan dinilai benar atau dinilai salah sehingga patut untuk dihukum. Sedangkan hukum formil yaitu seperangkat
peraturan yang dibuat untuk menyelenggarakan proses persidangan, untuk menguji kebenaran bukti-bukti yang ditemukan selama persidangan dan
menentukan kebenaran suatu hukum materiil, sehingga menjadi jelas apakah seseorang patut dinyatakan bersalah dan kemudian dihukum ataukah seseorang
patut untuk dibebaskan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia hukum acara adalah hukum yang
menentukan proses pengadilan dalam penyelesaian sengketa.
3
Sementara dalam kamus umum yang ditulis oleh Zainul Bahry dikatakan bahwa hukum acara
adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana caranya agar hukum materiil dapat ditegakkan dan ditaati.
4
Dalam bukunya Van Apeldoorn menyebut hukum acara sebagai hukum yang mengatur cara-cara yang harus
diperhatikan dalam mengadakan perkara di pengadilan, lebih lanjut dikatakan bahwa hukum acara digunakan sebaga alat untuk mempertahankan hukum
materiil.
5
Dengan demikian hukum acara disusun guna menyelenggarakan proses
3
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga,
Jakarta : Balai Pustaka, 2002 Cet. II, hal : 410
4
Zainul Bahry, Kamus Umum, Khususnya Bidang Politik Dan Hukum, Bandung : Angkasa, 1996, hal : 5
5
Prof. Dr. Mr. L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Alih Bahasa : Oetarid Sadino, Jakarta : Pradnya Paramita, 1996, cet. XXVI, hal. 224 dan 249
59
persidangan di pengadilan, agar kebenaran materiil dapat ditegakkan. Jadi hukum acara menghendaki adanya proses secara bertahap dan teratur mengikuti aturan
yang sudah tertulis dalam undang-undang. Kedua jenis hukum ini saling berkait dan saling memenuhi dalam upaya
menemukan titik terang suatu kasus, namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa keberadaan hukum formil adalah cara atau alat untuk menemukan
kebenaran materiil, sehingga jika dikemudian hari terdapat kasus-kasus tertentu dimana hukum formil dirasa tidak mampu mengakomodir kepentingan
pembuktian hukum atau jika aturan formal hukum acara dirasa menghambat kepentingan untuk menemukan kebenaran materiil maka hukum formil acara
harus ditafsiri secara ekstentif bahkan liberal guna memecahkan kasus-kasus yang pelik dan rumit.
6
Dalam hukum Islam terdapat aturan-aturan hukum yang mana aturan- aturan ini meliputi peraturan yang berkaitan dengan persoalan munakahat
perdata atau jinayat pidana, beberapa ketentuannya merupakan hasil ijtihad para ulama’ fiqih
dan dikembangkan secara terus menerus hingga saat ini. Tetapi perlu untuk diketahui bahwa beberapa kitab fikih hasil ijtihad ulama klasik ini
hanya merupakan rujukan hukum pendapat ahli saja, Karena Seringkali terjadi kerancuan pada masyarakat muslim di Indonesia dalam memahami dan
6
Adi Andojo Soetjipto, Prospek Penyelesaian Kasus Munir Melalui Peninjauan Kembali Putusan MA,
dalam Risalah Kasus Munir, Jakarta : KASUM, 2007, hal. 281, lihat juga Andre Ata Ujan, Ph.D, dalam Hasil Eksaminasi Publik Atas Putusan Bebas Terdakwa Muchdi Pr, Jakarta :
KASUM, 2009, hal. 53-56
60
menghayati hukum Islam, seringkali fikih diidentifikasi oleh umat Islam sebagai syari’at, bahkan kerancuan ini tidak saja terjadi pada masyarakat awam bahkan
pada lingkungan peradilan agama, sehingga terjadi disparitas antara putusan yang satu dengan putusan yang lain dalam perkara yang sama,
7
sebuah catatan sejarah berikut ini barangkali akan menegaskan posisi fikih dalam ranah sistem hukum
yang ada. Sejarah menuturkan bahwa Imam Malik pernah menolak permintaan pemerintah agar kitabnya dijadikan peraturan hukum resmi pemerintah pada
waktu itu, beliau menyatakan bahwa biarlah kitabnya hanya menjadi rujukan saja sementara pemerintah harus membuat sebuah peraturan tersendiri guna mengatur
kehidupan warga negaranya.
8
Dan sejalan dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga tidak pernah berniat membuat sebuah aliran madzhab pemikiran
hukum Islam,
9
Nampaknya Imam malik benar-benar menyadari akan beragamnya pemikiran hukum dalam Islam, sehingga beliau tidak ingin hasil pemikirannya
menegasikan pemikiran ulama lain yang bisa jadi lebih mendekati kebenaran atau lebih cocok dan memungkinkan untuk diterapkan pada suatu masyarakat dalam
waktu dan kondisi tertentu. Berbagai ketentuan hukum dalam hukum Islam dapat kita jumpai dalam
beberapa kitab fikih karya para ulama’ baik pada zaman klasik maupun kitab fikih tulisan para ulama’ fikih kontemporer saat ini yang jumlahnya sangat banyak dan
7
M. Yahya Harahap, S.H, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989
, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, Cet. III, Hal. 19
8
Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’I, Penerjemah : Abdul Syukur, Ahmad Rivai Uthman, Jakarta : Lentera, 2007, hal.
9
Philip K. Hitti, History Of The Arabs,Alih bahasa oleh R. Cecep Lukman Yasin, Dedi Slamet Riyadi, Jakarta : Serambi, 2005, hal. 498
61
tersistematisasi dengan beragam pembahasan. beragamnya pemikiran dalam fikih yang ada merupakan konsekwensi atas sifat global dari al-Qur’an dan cara
menerapkan al-Hadits sebagai sumber hukum kedua, disamping itu letak geografis yang berbeda dari tiap-tiap ulama menjadi salah satu faktornya.
Dalam bukunya Yahya Harahap Mengutip Dr. Abdul Wahab Khallaf dan Fazlur Rahman. Dikatakan bahwa fikih bukanlah hukum positif bagi umat Islam
melainkan hanya doktrin hukum semata, dan al-Qur’an juga bukan merupakan kitab undang-undang melainkan kitab yang berisi ajaran-ajaran dan petunjuk
Allah untuk kepentingan umat manusia, artinya bahwa ajaran al-Qur’an tidak berarti harus diterapkan secara harfiah pada segala jaman dan suasana.
10
Selanjutnya mengenai konsepsi hukum acara dalam dunia hukum Islam nampaknya akan menjadi tantangan tersendiri bagi penulis untuk mencari tahu,
sebab pada masa awal kehidupan umat Islam, sejarah tidak menuturkannya secara jelas bagaimana proses pembuktian kebenaran ketika ada suatu kasus hukum baik
yang menyangkut hukum perdata maupun pidana, bagaimana tata cara beracara di muka pengadilan ketika ada suatu kasus hukum yang harus diselesaikan. Sejarah
hanya mencatat bahwa setiap kasus hukum yang terjadi pada masa awal kehidupan umat Islam diselesaikan dengan cara mengembalikan setiap persoalan
pada kebijakan Nabi Muhammad Saw dengan merujuk pada wahyu Allah, karena secara praktis selama kehidupannya, nabi Muhammad menjalankan perannya
10
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama,........Hal. 20,lihat juga Prof. Dr. Emeretus John Gilissen, Prof. Dr. Emeretus Frits Gorle, Sejarah Hukum, Alih
Bahasa : Drs. Freddy Tengker, SH., CN, Bandung : Refika Aditama, 2007, cet. II, hal. 387
62
sebagai nabi, pembuat hukum, pemimpin agama, hakim, komandan pasukan dan kepala pemerintahan sipil, semua menyatu pada diri nabi,
11
Kondisi yang demikian menghadirkan semacam peradilan informal “tahkim” sebagai wadah
dan sarana tempat masyarakat kota menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan yang terjadi dalam kehidupan mereka,
12
dan dari sudut pandang hukum secara institusional, institusi ini adalah legal karena orang-orang dalam
masyarakat pada waktu itu menggunakan institusi ini untuk menyelesaikan sengketa.
13
hal inipun nampaknya masih berlangsung hingga masa kepemimpinan empat khalifah pertama khulafa al-rasyidin. Sedangkan konsepsi hukum acara
yang dikehendaki dalam konteks saat ini adalah hukum acara yang sudah terlembaga dalam institusi peradilan dan tertulis dalam satu kitab undang-undang
khusus yang membahas mengenai semua hal tentang proses beracara didepan pengadilan.
Sebagaimana keterangan diatas bahwa penyelesaian berbagai persoalan hukum pada masa kehidupan awal umat Islam diserahkan sepenuhnya kepada
Nabi Muhammad, yang mana tradisi ini dilanjutkan oleh khalifah yang dengan segala kekuasaannya menentukan siapa yang akan menjadi Qadli hakim,
11
Ibid……….hal. 174
12
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama,........Hal. 21, Gambaran ini sebenarnya penulis ambil dari gambaran masyarakat sejak kehadiran awal Islam di
Indonesia yakni abad ke XIII masehi, namun ada kesamaan dimana setelah Islam mendapatkan kedudukannya yang kukuh di nusantara segala persoalan hukum berada ditangan seorang fuqaha,
setelah sebelumnya berada di tangan para saudagar. lihat juga Prof. Dr. Emeretus John Gilissen, Prof. Dr. Emeretus Frits Gorle, Sejarah Hukum................hal. 391
13
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Social, Alih Bahasa : M Khozim, Bandung : Nusa Media, 2009, Cet. II, hal. 8
63
biasanya penunjukan seorang qadli didasarkan atas penguasaannya terhadap al- Qur’an dan hadits, serta keterampilan mereka dalam berijtihad,
14
percakapan antara Nabi dengan Muadz bin Jabal berikut ini nampaknya telah menjadi
inspirasi bagi para khalifah dalam menunjuk seorang qadli, sekaligus menjadi landasan bagi para qadli dalam berijtihad menetukan hukum. Diriwayatkan dalam
sebuah hadits yang sangat terkenal berikut ini :
15
ﻌﺷ ﹺﻦﺑ ﺓﲑﻐﻤﹾﻟﺍ ﻲﺧﹶﺃ ﹺﻦﺑﺍ ﻭﹺﺮﻤﻋ ﹺﻦﺑ ﺙﹺﺭﺎﺤﹾﻟﺍ ﻦﻋ ﻥﻮﻋ ﻲﹺﺑﹶﺃ ﻦﻋ ﹶﺔﺒﻌﺷ ﻦﻋ ﺮﻤﻋ ﻦﺑ ﺺﹾﻔﺣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﹴﺱﺎﻧﹸﺃ ﻦﻋ ﹶﺔﺒ
ﹶﺃ ﻦﻣ ﻦﻣ ﺺﻤﺣ ﹺﻞﻫ
ﹴﻞﺒﺟ ﹺﻦﺑ ﺫﺎﻌﻣ ﹺﺏﺎﺤﺻﹶﺃ ﺍﹰﺫﺎﻌﻣ ﹶﺚﻌﺒﻳ ﹾﻥﹶﺃ ﺩﺍﺭﹶﺃ ﺎﻤﹶﻟ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﱠﻥﹶﺃ
ﺗ ﻢﹶﻟ ﹾﻥﹺﺈﹶﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﺏﺎﺘﻜﹺﺑ ﻲﻀﹾﻗﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻗ ٌﺀﺎﻀﹶﻗ ﻚﹶﻟ ﺽﺮﻋ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﻲﻀﹾﻘﺗ ﻒﻴﹶﻛ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹺﻦﻤﻴﹾﻟﺍ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﺏﺎﺘﻛ ﻲﻓ ﺪﹺﺠ
ﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﻝﻮﺳﺭ ﺔﻨﺳ ﻲﻓ ﺪﹺﺠﺗ ﻢﹶﻟ ﹾﻥﹺﺈﹶﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﻝﻮﺳﺭ ﺔﻨﺴﹺﺒﹶﻓ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﺎﹶﻟﻭ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰ
ﺳﺭ ﺏﺮﻀﹶﻓ ﻮﹸﻟﺁ ﺎﹶﻟﻭ ﻲﹺﻳﹾﺃﺭ ﺪﹺﻬﺘﺟﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﺏﺎﺘﻛ ﻲﻓ ﻪﱠﻠﻟ ﺪﻤﺤﹾﻟﺍ ﹶﻝﺎﹶﻗﻭ ﻩﺭﺪﺻ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮ
ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﻲﺿﺮﻳ ﺎﻤﻟ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﻖﱠﻓﻭ ﻱﺬﱠﻟﺍ ﹴﺮﻤﻋ ﹺﻦﺑ ﺙﹺﺭﺎﺤﹾﻟﺍ ﻦﻋ ﻥﻮﻋ ﻮﺑﹶﺃ ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ ﹶﺔﺒﻌﺷ ﻦﻋ ﻰﻴﺤﻳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺩﺪﺴﻣ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ
ﺫﺎﻌﻣ ﹺﺏﺎﺤﺻﹶﺃ ﻦﻣ ﹴﺱﺎﻧ ﻦﻋ ﻭ ﻦﻋ
ﹴﻞﺒﺟ ﹺﻦﺑ ﺫﺎﻌﻣ ﻩﺎﻨﻌﻣ ﺮﹶﻛﹶﺬﹶﻓ ﹺﻦﻤﻴﹾﻟﺍ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﻪﹶﺜﻌﺑ ﺎﻤﹶﻟ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﱠﻥﹶﺃ
Artinya : Mengabarkan kepada kami Hafsha bin Umar dari Syu’bah dari Abu ‘Aun dari Harits bin ‘Amr dan dari saudaraku mughiroh bin Syu’bah
dari Unas dari keluarga Himsha dari sahabat Mu’adz bin Jabal, ketika Rasulullah. Saw hendak mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bertanya :
“Bagaimanakah engkau menguhukumi persoalan hukum yang diserahkan kepadamu?” Mu’adz menjawab : “Aku akan menguhukumi
dengan kitab Allah“, Rasul bertanya : “ Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah ?”, Mu’adz menjawab : “ Maka dengan sunnah Rasulullah
“, Rasul bertanya : “ Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah dan juga dalam sunnah Rasulullah ?’, Mu’adz menjawab : “ Aku akan
berijtihad dengan pendapatku, tidak meringkas ijtihad dan tidak meninggalkan keluasan ijtihad ”, Rasulullah pun memukul tanda
senang punggung Mu’adz sambil berkata “ Segala puji bagi Allah
14
Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan
, Jakarta : Kencana, 2007, hal. 18
15
Abu Daud, Sunan Abu Daud ,juz 6 Kairo : Dar el-Hadits, 2001, hal. 425
64
yang benar-benar menolong utusan Rasulullah yang telah diridloi oleh Rasulullah. H.R. Abu Daud.
Meskipun hadits diatas seringkali dikutip sebagai hadits yang melegitimasi penggunaan nalar untuk berijtihad,
16
namun tidaklah berlebihan kiranya jika hadits diatas juga sedikit menggambarkan bagaimana proses
penegakan hukum pada masa awal kehidupan umat Islam. Syari’at harus menjadi pedoman bagi para qodli dalam menyelesaikan
segala macam persoalan hukum karena syari’at merupakan jalan yang harus ditempuh, ia merupakan aturan yang diwahyukan. Syari’at kemudian dijelaskan
oleh fikih.
17
Karena syari’at merupakan prinsip-prinsip agama Islam yang mengandung nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an. Wahyu menetukan norma-
norma dan konsep dasar hukum Islam serta dalam banyak hal merintis dobrakan terhadap adat dan sistem hukum kesukuan arab pra Islam,
18
didalamnya terdapat aturan-aturan menyangkut peribadatan dan aktifitas sosial, untuk yang disebutkan
terakhir barangkali ulama fikih banyak berperan dalam mengaktualisasikannya dalam kehidupan umat Islam, karena memang peraturan menyangkut aktifitas
sosial umat Islam sebagian besar disebutkan dalam al-Qur’an dalam bentuk yang global sehingga membutuhkan penjelasan. Hal inilah yang menyebabkan para raja
sengaja membentuk peradilan umum dengan undang-undang yang disebut qanun, dengan qadli, hakim agama dan kaum terpandang sebagai penyelenggara
16
Lihat, Philip K. Hitti, History Of The Arabs……..hal. 497
17
Prof. Dr. Emeretus John Gilissen, Prof. Dr. Emeretus Frits Gorle, Sejarah Hukum, Alih Bahasa : Drs. Freddy Tengker, SH., CN, Bandung : Refika Aditama, 2007, cet. II, hal.387
18
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup…….hal. xv
65
hukum.
19
Namun sekali lagi bahwa tidak ada catatan mengenai prosedur beracara yang jelas mengenai hal ini.
Nampaknya prosedur beracara memang merupakan problem tersendiri bagi penegakan syari’at Islam di beberapa negara yang mencoba menerapkan
syari’at Islam katakanlah di Sudan, lebih lanjut dikatakan bahwa karena lemahnya informasi historis yang handal, maka sulit melakukan survei rinci tentang
administrasi peradilan pidana yang terjadi dalam sejarah Islam.
20
Hal inilah yang kemudian membuat sistem hukum Barat mudah untuk diakomodir oleh umat
Islam karena memang memiliki sistem hukum yang lebih tersistematisasi baik hukum materiil maupun hukum formilnya, disamping karena memang prinsip-
prinsip dalam hukum Islam -terutama hukum mengenai persoalan duniawi- memiliki sifat yang fleksibel dalam penerapannya.
21
Sehingga memungkinkan untuk berdialektika dengan baik terhadap setiap perubahan sosial.
Keberadaan hukum materiil seharusnya meniscayakan adanya hukum formil acara, karena keberadaan hukum formil adalah untuk mempertahankan
keberadaan hukum materiil. Entah sebagai sebuah kesengajaan
22
atau tidak jika pada akhirnya kita memang tidak mendapati adanya konsepsi hukum acara
19
Ibid…………391
20
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, Alih Bahasa Ahmad Suaedy, Amirudin ar-Rany, Yogyakarta : LKIS, 2004, cet. IV, hal. 165-172
21
Prof. Dr. Emeretus John Gilissen, Prof. Dr. Emeretus Frits Gorle, Sejarah Hukum........hal. 391
22
Karena apakah Islam memang dengan sengaja membentuk suatu negara atau tidak masih interpretable, yang mana keberadaan Islam menjadi negara atau tidak akan berimplikasi pada hukum
yang dihasilkannya, apakah menjadi sumber hukum saja sehingga dalam proses persidangan hukum Islam merupakan rujukan saja dan disesuaikan dengan kondisi di tiap-tiap negara. ataukah menjadi
aturan hukum yang sudah mendapat legitimasi kekuasaan negara.
66
dalam pengertiannya yang mutakhir dalam khazanah sistem hukum Islam, tapi yang pasti bahwa hukum Islam memiliki sebuah sistem hukum materiil meski
hanya tertuang dalam kitab karya ahli hukum Islam fuqaha-terlepas apapun aliran madzhabnya- adalah sebuah kebenaran sejarah, meskipun fikih hanya
merupakan sebuah yurisprudensi. Meski pula dikemudian hari kesulitan penerapan syari’ah tetap menjadi kendala karena keberadaan aturan hukum
materiil dalam sistem hukum Islam tidak dibarengi dengan keberadaan hukum formil yang sistematis pula. Mengacu pada konsepsi diatas didapat sebuah
konklusi bahwa dengan ditemukannya sistem hukum materiil dalam hukum Islam seharusnya hukum acara juga harus ada, entah dalam bentuknya yang mungkin
sangat sederhana. Kisah berikut ini barangkali menggambarkan bagaimana hukum materiil
dalam hukum Islam ditegakkan melalui persidangan yang mungkin masih dalam bentuknya yang sangat sedrhana. Dikisahkan bahwa Ubai bin Ka’ab pernah
mengajukan tuntutan kepada khalifah Umar bin Khattab atas perkara pertikaian, kasus ini kemudian disidangkan pada mahkamah syari’ah dengan Zaid bin Tsabit
bertindak sebagai hakim, sidang ini akhirnya dimenangkan oleh pihak Umar karena Ubai tidak mampu menunjukkan bukti yang cukup.
23
Kisah diatas kiranya cukup memberi informasi bahwa proses menyelesaikan suatu perkara hukum didepan hakim juga dikenal dalam hukum
23
Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan
, Jakarta : Kencana, 2007, hal. 13
67
Islam, meski kisah tersebut belumlah cukup untuk memberikan gambaran secara memuaskan tentang hukum acara dalam sistem hukum Islam.
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah, Bisa dipastikan bahwa hukum acara dalam sistem hukum Islam adalah tidak ada, manakala hukum acara kita
sepakati hanya dalam kerangka pemahaman sistem hukum modern, yang menghendaki hukum acara tersistematisasi dalam lembaga peradilan dengan
prosedur-prosedur yang lengkap dan tertuang dalam kitab undang-undang hukum acara pidana. Namun dalam pengertiannya yang sederhana, sesungguhnya hukum
acara dalam hukum Islam dapatlah dikatakan ada meskipun dalam bentuk peradilan informal. Karena bagaimanapun, dalam bentuknya yang primitif
sekalipun suatu komunitas masyarakat tentu memiliki seperangkat peraturan, dan pelanggaran terhadap aturan-aturan hidup bersama yang disepakati oleh suatu
komunitas pasti membutuhkan penyelesaian walaupun dengan cara yang paling sederhana.
Dengan demikian mengamati hukum acara dalam hukum Islam harus dalam kerangka bagaimana sebuah sistem hukum berproses menuju bentuknya
yang paling mutakhir, tanpa paradigma seperti ini maka bisa dipastikan bahwa hukum acara dalam hukum Islam tidak pernah ada, dengan demikian, maka
hukum materiil dalam hukum Islam juga tidak pernah ada. Wallahu ‘Alam bi al- shawab.
68
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Prosedur Peninjauan Kembali Kasus