Tinjauan Yuridis PK Kasus Munir Berdasarkan Pasal 263 KUHAP Dan

47

D. Tinjauan Yuridis PK Kasus Munir Berdasarkan Pasal 263 KUHAP Dan

Undang-Undang No. 042004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Terlebih dahulu Penulis ingin memaparkan kronik yang ada dalam isi pasal 263 KUHAP dimana kemudian kronik ini menjadi persoalan dalam menggunakan pasal 263 KUHAP sebagai legitimasi hukum. Keberadaan Pasal 263 memang sangat membingungkan, dimana pasal ini membatasi kewenangan mengajukan PK hanya pada terpidana atau ahli warisnya, tetapi disaat yang bersamaan memberi peluang diajukannya PK pada putusan bebas yang tertuang dalam ayat tiga, sedangkan apakah mungkin terpidana atau ahli warisnya akan mengajukan PK padahal terpidana sudah diputus bebas?. Penelusuran masalah ini dapat kita mulai terhadap penyusunan legal drafting atau rancangan undang-undang RUU pasal 263 yang dilakukan oleh DPR pada waktu itu. RUU Pasal 263 diambil pemerintah dari rumusan pasal 356 dan 357 Sv, atau PERMA. No. 1 1996 dan PERMA. No.11980, dimana pasal ini tidak mendapat tanggapan ataupun alasan mengenai penutupan ruang bagi penuntut umum untuk melakukan PK, ternyata dari sudut pandang sejarah pembentukannya, didapati bahwa aturan PK yang tertuang dalam pasal 263 lahir pada saat maraknya isu tentang penegakan HAM pada wilayah peradilan dan perundang-undangan, peraturan mengenai PK kemudian dirumuskan untuk lebih melindungi kepentingan terdakwa dari kesewenang-wenangan negara, untuk itulah akses jaksa terhadap PK ditiadakan. Lebih lanjut PK bertujuan agar 48 terpidana yang dikemudian hari mampu membuktikan ketidakbersalahannya dapat meninjau ulang putusan yang telah diputuskan oleh pengadilan. 9 Namun kebijakan terhadap penutupan ruang bagi jaksa untuk mengajukan PK ternyata tidak serta merta menuntaskan persoalan, disamping itu pasal ini juga mengindikasikan adanya asas equal before law yang dikesampingkan, yakni tidak memberikan hak yang sama kepada para pihak yang berkepentingan dalam persidangan. Persoalan akan muncul manakala terdapat kasus seperti dalam kasus pembunuhan Munir, dimana negara memiliki peran ganda yakni harus melindungi kepentingan terdakwa, namun negara juga memiliki kepentingan untuk menuntaskan kasus yang semakin menunjukkan titik terang untuk mengungkap siapa dalang dibalik pembunuhan Munir. Dimana penuntasan kasus ini juga akan memiliki akibat hukum yang baik bagi penegakan hukum dan HAM di Indonesia dimasa yang akan datang. Ada beberapa opsi yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk memahami dan menafsirkan pasal 263 KUHAP, 10 pertama-tama ada baiknya jika pembahasan ini dimulai dengan mengedepankan aspek pendekatan Legislative History. Dalam pengkajian yurisprudensi dikenal doktrin : to discover and to expund mencari dan menemukan makna suatu ketentuan undang-undang jika 9 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP.......hal : 651 10 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Hal. 648-653. 49 rumusan undang-undang yang dimaksud luas ketentuannya Broad term, ambiguitas ambiguity, dan tidak jelas rumusannya unclear outline. Pasal 263 kiranya telah mengandung ambiguitas serta mengandung makna yang luas, terutama pada ayat 3, sehingga menimbulkan kontroversi yang cukup berarti dalam proses persidangan. Metode yang dapat digunakan ketika menggunakan teori Legislative History antara lain yaitu dengan : 1. Legislative Intent atau legislative purpose, yakni mempelajari maksud pembuat undang-undang, mengkaji perdebatan yang terjadi saat pembahasan pasal tersebut serta membaca dan mempelajari laporan-laporan komisi. 2. Mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat umum atau general public purpose, pada saat dibentuknya suatu undang-undang. Dari penggabungan dua metode legislative history tersebut peradilan dibenarkan melakukan penafsiran luas bahkan pada penafsiran liberal. Mengingat bahwa kasus pembunuhan Munir merupakan kasus yang berat, rumit dan kompleks sehingga kasus ini dapat dikategorikan sebagai Hard Cases, maka dalam kondisi demikian seorang hakim kadangkala tidak bisa hanya mengikuti alur berfikir linear formal karena metode berfikir semacam ini dapat menyesatkan, karena metodenya yang sering terlalu positifistik. Dalam kasus semacam inilah tidak hanya dibutuhkan kecerdasan tetapi juga moral dari seorang hakim melakukan pertimbangan secara komprehensif apabila perlu hakim 50 melakukan terobosan hukum waras reasonable legal breaktrough sehingga sejauh mungkin keadilan dapat ditegakkan. 11 Jika kita amati secara seksama maka pasal 263 KUHAP sesungguhnya mengandung ill concider 12 mengandung ketidak jelasan dan pertentangan, ketika merumuskan pasal ini nampaknya para perumusnya tidak benar-benar matang dalam memenuhi doktrin maturity of law, artinya bahwa isi pasal ini tidak rasional dan sulit untuk diterapkan terutama pada ayat 3, 13 dalam pasal ini disebutkan bahwa “apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. maka dapat ditafsirkan bahwa pernyataan “terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan “ ini adalah pernyataan putusan bebas, jadi ayat ini mengandung pengertian bahwa putusan bebas dapat dimohonkan peninjauan kembali, dengan demikian pernyataan dalam pasal ini “melunakkan” jika tidak ingin dikatakan “bertentangan” dengan pasal 263 ayat 1, lalu siapakah yang berhak melakukan permohonan peninjauan kembali ?, tentu dalam hal ini jaksa lah yang paling rasional dan memungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali sebab terpidana tidak mungkin melakukannnya karena akan merugikan dirinya. Tetapi 11 Andre Ata Ujan Ph.D, Mengevaluasi Argumen Dalam Kasus Hukum H. Muchdi Puwopranjono, Sebuah Persepsi Filosofis, Dalam Hasil Eksaminasi Publik Atas Putusan Bebas Terdakwa Muchdi Pr, Jakarta : KASUM, 2009, hal : 53-54 12 Opcit,.......hal : 649 13 Pasal 263 ayat 3 KUHAP “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2 terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. 51 ayat 1 pasal ini secara tegas telah memberikan limitasi bagi pihak-pihak yang akan mengajukan PK yakni terpidana atau ahli warisnya. Pada wilayah inilah pasal 263 dan undang-undang kekuasaan kehakiman dapat dipertemukan. Pasal 23 UU kekuasaan kehakiman menyebutkan “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pihak-pihak yang bersangkutan dapat melakukan peninjauan kembali.........” jika ditarik dalam pasal 263 ayat 3 KUHAP, maka UU kekuasaan kehakiman ini dapat menerangkan kegelapan siapa yang akan mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam pasal 263 ayat 3 KUHAP, karena dalam proses peradilan pihak yang berkepentingan adalah terdakwa, jaksa, serta hakim yang bertugas mengadili. Dengan demikian entah kurangnya perhatian para perumus RUU pasal 263 waktu itu sehingga kerancuan pasal 263 terjadi, atau karena pemerintah juga tidak ingin menghapus begitu saja peran jaksa dalam upaya PK, karena untuk mengatisipasi kasus-kasus besar dikemudian hari. Kiranya kerja keras dari aparat pemerintah untuk menmgungkap suatu kasus kejahatan benar-benar dibutuhkan, sehingga terobosan hukum yang dilakukan menghasilkan ketentraman dalam hati masyarakat luas. 52

E. Hubungan Antara Pasal 263 KUHAP dengan Undang-undang No. 04 Tahun