Peninjauan Kembali Dalam Pasal 263 KUHAP

16 usaha untuk menemukan kebenaran dan keadilan yang dilakukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

B. Peninjauan Kembali Dalam Pasal 263 KUHAP

Pada sub bab pengertian PK menurut Pasal 263 KUHAP ini akan dipaparkan terlebih dahulu pengertian KUHAP dan hal-hal yang terkait dengan KUHAP secara singkat agar diperoleh pemahaman PK secara komprehensif. KUHAP merupakan kependekan dari Kitab 27 Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Membahas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP tentu tidak terlepas dari pembahasan Kitab Undang-Undang Pidana KUHP itu sendiri. KUHAP biasanya disebut juga dengan hukum pidana formil, sedangkan KUHP bisanya disebut juga dengan hukum pidana materiil. Van Apeldoorn menjelaskan bahwa hukum pidana materiil itu menunjukkan peristiwa-peristiwa pidana atau peristiwa-peristiwa yang dikenai hukum beserta hukumannya. 28 Sedangkan hukum pidana formil mengatur cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana 27 Kitab berasal dari bahasa Arab yang berarti kumpulan atau buku. 28 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996, Cet. XXVI, h. 324 17 materiil. 29 Artinya pembagian hukum pidana menjadi dua bagian ini secara aplikasi tidak bisa dipisahkan. Terkait dengan Hukum Acara Pidana ini, Zainul Bahri merumuskan pengertian Hukum Acara Pidana ini dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana caranya tertib hukum pidana dapat ditegakkan dan dipertahankan jika terjadi suatu pelanggaran ataupun tindak kejahatan. 30 Secara filosofis, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP dibentuk dalam rangka untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya sejati dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 31 Penjelasan filosofis di atas menunjukkan bahwa pembentukan KUHAP itu ditetapkan bertujuan untuk mencari dan mendapatkan keadilan yang tidak sekedar hitam-putih suatu peristiwa pidana. Kebenaran selengkap-lengkapnya adalah 29 Ibid., h. 335 30 Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum Politik, Bandung: Angkasa, 1996, h. 99 31 S. Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung: CV. Armico, 1989, Cet. II, h. 13 18 kebenaran yang memenuhi aspek formil dan materiil yang didasarkan pada keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. S. Tanusubroto mengidentifikasi pokok-pokok Hukum Acara Pidana sebagai berikut: 1. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa telah terjadi suatu tindakan pidana, cara bagaimana mencari kebenaran- kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan. 2. Siapa dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik dan menyidik orang- orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, bagaimana caranya menangkap, menahan dan memeriksa orang itu. 3. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu. 4. Cara bagaimana memeriksa dalam sidang Pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dijatuhkannya pidana. 5. Siapa dan cara bagaimana putusan hakim itu harus dilaksanakan. 32 Dengan demikian kedudukan KUHAP merupakan instrument untuk mengungkap suatu peristiwa pidana dari awal kejadian sampai dengan eksekusi di pengadilan. Namun untuk mengungkap suatu peristiwa pidana tersebut tidak cukup hanya dengan petunjuk-petunjuk yang bersifat legalistic-positifistik semata melainkan juga harus bersifat subtantif, karena dalam proses persidangan kadangkala beberapa kasus pidana bisa sangat rumit dan kompleks. Berbicara PK berdasarkan KUHAP di atas, maka PK dijelaskan sebagaimana pada pasal 263 sampai dengan 269 sebagai berikut; Pasal 263 1 Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. 32 Ibid , h. 12-13 19 2 Permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar : a Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau kenyataan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 3 Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2 terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh sutau pemidanaan. Pasal 264 1 Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat 1 diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya. 2 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat 2 berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali. 3 Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu. 4 Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali. 5 Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan. Pasal 265 1 Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat 1 menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat 2. 2 Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat 1, pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. 3 Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan 20 berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera. 4 Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa. 5 Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan. Pasal 266 1 Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 ayat 2, Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya 2 Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya; b. apabila Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa: 1. putusan bebas; 2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum; 3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum; 4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 3 Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Pasal 267 1 Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali. 2 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat 2, ayat 3, ayat 4 dan ayat 5 berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali. Pasal 268 1 Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. 21 2 Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya. 3 Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. PasaI 269 Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. 33 Dari paparan pasal 263-269 KUHAP di atas ternyata tidak didapati pengertian atau definisi secara eksplisit mengenai peninjauan kembali, namun di dapat beberapa hal-hal yang terkait dengan PK, seperti unsur atau syarat yang membuat sebuah keputusan dapat dilakukan peninjauan kembali. Sehingga mengenai definisi mengenai PK kiranya penulis cukupkan pada beberapa definisi umum yang sudah penulis kemukakan di atas. Mencermati isi pasal 263 diatas secara eksplisit didapat penjelasan bahwa secara formil pihak-pihak yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, dan tidak ada keterangan secara eksplisit mengenai kewenangan jaksa untuk mengajukan PK. Sehingga PK dalam hal ini adalah milik terdakwa serta ahli warisnya dalam upaya hukum luar biasa. Penjelasan diatas juga memberikan penjelasan bahwa pada dasarnya PK digunakan sebagai perlindungan terhadap terpidana, karena dalam konteks hukum pidana, terpidana berhadapan dengan negara yang notabene memiliki kekuatan, 34 33 Andi Hamzah, KUHP KUHAP, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004, h. 339-342 34 Peninjauan undang-undang semacam ini dikenal dengan metode Legislative History. 22 sehingga dalam situasi seperti ini antisipasi terhadap penyalahgunaan kewenangan negara serta perlindungan terhadap terdakwa mutlak menjadi perhatian hukum. Kehadiran RUU pasal 263 ini bebrbarengan dengan mengemukanya wacana tentang penegakan HAM, sehingga RUU pasal ini juga mendapat perhatian dari publik agar terdakwa mendapat perlakuan yang lebih baik, untuk itulah jaksa yang dalam konteks ini mewakili negara kemudian dibatasi agar tidak diberi hak melakukan peninjauan kembali. 35 Tetapi pada ayat 3 pasal 263 terdapat kerancuan hukum Il concidere seiring dengan adanya frase “.......suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh sutau pemidanaan.” Frase ini mengandung pengertian bahwa terhadap putusan bebas dapat diajukan PK, namun dengan dibatasinya pihak yang berhak mengajukan PK pada ayat 1, serta ketidak mungkinan terdakwa untuk mengajukan PK terhadap putusan bebas yang telah diberikan pada terdakwa, memunculkan penafsiran bahwa ayat 3 memberikan peluang bagi jaksa untuk mengajukan PK. 36 Dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman pasal 23 juga disebutkan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan PK, tanpa ada limitasi bagi terdakwa atau ahli 35 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, cet. VIII, hal. 651. Menurut pemikiran penulis jika dalam kasus ini jaksa mengajukan peninjauan kembali adalah bukan dalam konteks membela kepentingan negara secara langsung, tetapi membela kepentingan warga negara atau dalam kasus ini menuntut dan memberikan keadilan bagi keluarga Munir, sehingga perlu adanya perubahan keadilan retributif manjadi keadilan sosiologis. 36 Lebih lanjut pembahasan mengenai kronik dalam pasal 263 akan dibahas pada bab IV. 23 warisnya, sementara pihak-pihak yang berkepentingan dalam peradilan adalah terdakwa, hakim, dan jaksa. Inilah beberapa “kontroversi” yang ada dalam pasal 263 KUHAP, sehingga pasal ini menurut M. Yahya Harahap dinilai sebagai pasal yang Il concider atau tidak jelas. 37 Namun dalam kondisi tertentu penafsiran secara ekstensif tetap perlu dilakukan bila ada fakta hukum baru yang dapat mengarahkan pembuktian pada kebenaran demi tercapainya kebenaran materiil. Jika kita tarik dalam kasus pembunuhan Munir, maka kejahatan terhadap Munir adalah kejahatan yang dilakukan oleh aparatur negara, 38 sehingga dalam hal ini negara harus membenahi aparaturnya melalui proses peradilan yang seadil-adilnya. Mengingat rumitnya kasus ini, maka tanpa penafsiran ulang yang progresif terhadap undang-undang yang ada, kasus ini mustahil dapat diselesaikan secara adil. Kiranya pembahasan seputar siapa yang berhak untuk mengajukan PK dalam bab ini kita cukupkan dengan merujuk pada undang-undang yang ada, karena berbagai penafsiran terhadap undang-undang ini akan penulis sajikan pada pembahsan mengenai tinjauan yuridis terhadap peninjauan kembali kasus Munir. Selanjutnya mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang berkepentingan, agar permohonan PK dapat diproses di pengadilan antara lain seperti yang dijelaskan dalam pasal 263 KUHAP. 37 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP.......hal. 649 38 Pollycarpus adalah pilot maskapai penerbangan Garuda, dimana maskapai ini adalah milik Negara yang tergabung dalam BUMN, sehingga keterlibatan pollycarpus dalam pembunuhan Munir merupakan tanggung jawab Negara, maka pembunuhan terhadap Munir dpat dikategorikan pelanggaran HAM. 24 Dari kandungan pasal 263 KUHAP dapat diidentifikasi beberapa syarat formil yang harus menyertai permohonan PK. 39 1. Putusan pengadilan harus telah memiliki kekuatan hukum tetap, karena bagi putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, cukup ditempuh dengan pengadilan biasa dan banding, karena memang PK merupakan upaya hukum luar biasa. 2. Menurut pasal 263 pihak yang boleh mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, karena pasal ini diperuntukkan untuk melindungi terdakwa dari kesalahan putusan pengadilan. Sedangkan upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh jaksa adalah upaya kasasi demi kepentingan hukum sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 260 KUHAP. 40 3. Apabila ditemukan keadaan baru novum yang dapat membebaskan terpidana dari segala tuntutan atau meringankan hukuman, jika diketemukan bukti baru yang demikian maka terpidana boleh mengajukan PK. Persoalan yang muncul adalah bagaimana jika novum yang diketemukan belakangan justru mengarah pada bersalahnya terpidana, sementara PK hanya diperuntukkan buat terdakwa. Persoalan ini akan dibahas pada bab IV mengenai proses persidangan kasus Munir. 39 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, cet. VIII, hal. 619 40 Ibid,……hal : 338 25 4. Adanya putusan yang saling bertentangan, biasanya hal ini terjadi antara peraturan yang diatur dalam KUHP dengan peraturan yang diatur dalam KUHPerdata, namun pertentangan yang dimaksud dalam kasus ini haruslah pertentangan yang nampak secara jelas sebagaimana dapat dilihat dalam putusan MA tanggal 13 Juni 1984 Reg. No. 8 PKPid1983, sehingga dibutuhkan kecermatan oleh pihak pengadilan sebelum memutuskan apakah pertentangan putusan tersebut pantas untuk dibawa pada persidangan PK. 41 5. Adanya kekhilafan dari hakim, dengan kapasitasnya sebagai manusia biasa tentu seorang hakim dapat saja khilaf atau lalai dalam memutuskan suatu perkara, sehingga terpidana dapat mengajukan PK jika diketahui dikemudian hari didapati bahwa hakim telah khilaf dalam memutuskan persoalan. Adapun batas waktu pengajuan PK tanpa dibatasi waktu, sesuai dengan ketentuan pasal 264 ayat 3 KUHAP. Demikianlah syarat-syarat formil yang harus dipenuhi agar permohonan PK dapat diterima oleh pengadilan. Selanjutnya mengenai tata cara mengajukan PK sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 264, terpidana dapat mengajukan PK dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Permohonan PK diajukan secara tertulis kepada pihak panitera, 41 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP.......hal : 621 26 2. Menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang mendasari permintaan PK, 3. Boleh diajukan secara lisan, dengan demikian sesuai ketentuan dalam pasal 264 ayat 4, panitera harus membantu pemohon dengan menuangkan dan merumuskan permohonan PK oleh terdakwa dalam bentuk surat permintaan PK yang berisi alasan-alasan yang dikemukakan pemohon. Setelah semua proses diatas dilakukan, selanjutnya untuk pertanggung jawaban yuridis akta permintaan peninjauan kembali ditandatangani oleh panitera dan pemohon, kemudian akte tersebut dilampirkan dalam berkas perkara. Demikianlah proses pengajuan PK yang diatur dalam pasal 264 ayat 2 jo. Pasal 245 ayat 2 KUHAP. 42

C. Peninjauan Kembali Dalam Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2004 Tentang