Islam dan Tanggung Jawab dalam Pekerjaan

3. Moral dari individu itu tidak mempunyai kaitan langsung dengan kondisi fisikmateriil dari pekerjaan. Sebab, pekerjaan yang betapapun berat, kotor dan berbahanya, akan dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh oleh satu tim yang memiliki semangat tinggi, solidaritas kelompok yang kuat, bermoral tinggi, dan mempunyai pemimpin yang baik. 4. Insentif kerja itu banyak bentuknya, antar lain ialah: uang, jaminan social, jaminan hari tua, status social, dan lain-lain. Berkaitan dengan hal ini, pengangguran merupakan salah satu insentif negative paling besar, karena orang yang menganggur itu pasti ada dalam kondisi marjinal; selanjutnya, insentif immaterial dalam kerja kelompok adalah pemimpin yang baik. 39 Sebagai makhluk Allah yang diberikan kesempurnaan fisik, manusia dapat menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan juga keberlangsungan hidup mereka. Dalam rangka bertahan hidup, manusia perlu makan, dan makan harus diperoleh melalui suatu usaha. Kalau dulu para nenek moyang mendapatkannya makanan tersebut dari alam sekitar yang melimpah ruah, sekarang manusia harus bekerja agar mendapatkan makanan dan juga kebutuhan lainnya. Seorang pekerja dituntut untuk profesional, dalam artian, harus konsentrasi terhadap pekerjaannya tersebut. Hal ini bukan berarti manusia tidak boleh mempunyai pekerjaan sambilan atau part time. Hanya saja untuk mendapatkan hasil yang lebih memuaskan, seseorang harus mengerahkan kemampuannya dalam satu bidang yang digelutinya.

2. Islam dan Tanggung Jawab dalam Pekerjaan

39 Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin itu Abnormal?, Jakarta: RafaGrafindo Persada, 2001, h. 16-17 Al-Qur’an menjelaskan bahwa bukanlah menghadapkan wajah ke arah timur dan barat itu adalah kebaktian, tetapi kebaktian sesungguhnya adalah beriman kepada Allah dan melakukan kerja-kerja kemanusiaan yang bermanfaat, melakukan refleksi sosial yang bermashlahat terhadap lingkungan di mana dia hidup dan berkembang. Al-Qur’an mengutuk orang-orang yang kerjanya hanya shalat, tetapi tidak mempunyai keprihatinan sosial, atau enggan melibatkan diri dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam masyarakat. Orang-orang yang demikian ini, dalam perspektif Al-Qur’an, dianggap sebagai orang-orang yang menampilkan cara keberagamaan yang semu. 40 Setiap orang diharuskan bekerja. Karena dalam bekerja, manusia mensyukuri apa yang telah diberikan Allah kepadanya. Allah berfirman: ﺈذ ا ﻀ ﻴ ﱠﺼ ا ةﺎ ْﺎ ﺸ ﺮ او ْا ﻲ ﺄ ْر ض و ْﺑا ﻐ اﻮ ْ ْﻀ ﷲا و ْذا آ ﺮ ﷲا آﺜ ْﻴ ًﺮ ا ﻌﱠ ﻜ ْ ْ ﺤ ْﻮ ن . ﺔﻌ ﺠ ا : 10 Artinya: Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung . QS. Al-Jum’ah: 10 Namun, perlu digarisbawahi bahwa hal tersebut terikat dengan nilai-nilai moral masyarakat. Karenanya, setiap individu dan setiap masyarakat harus berusaha untuk menanggulangi problem-problem, baik yang bersifat kolektif maupun peorangan. 41 Ada beberapa pekerjaan yang memang didefinisikan tidak sesuai dengan moral dan etika masyarakat. Seperti sebutan Pekerja Seks Komersial, istilah yang menggantikan Wanita Tuna Susila terdapat perbedaan pendapat di kalangan 40 Umar Shihab, Kontektualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al- Qur’an, Jakarta: Penamadani, 2005, h. 42. 41 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , Bandung; Mizan, 1994, h. 304 masyarakat. Karena bagaimanapun juga, seorang wanita yang menjajakan dirinya, menurut sebagian orang tidak bisa dikatakan bekerja. Pekerjaan yang dianggap layak dan baik menurut masyarakat adalah pekerjaan yang tidak melenceng dari norma dan ajaran agama yang ada. Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa manusia harus mempergunakan semua anugerah Allah, baik berupa kesehatan maupun kelengkapan anggota badan. Bekerja adalah salah satu bentuk usaha manusia untuk menghargai anugerah Allah tersebut. Apabila bekerja diniati dengan ikhlak karena Allah SWT, maka pekerjaan tersebut adalah bernilai ibadah di sisi-Nya.

D. Kerangka Berpikir