Pada  dasarnya  kegiatan  pemberdayaan  dilakukan  secara  kolektifitas  atau kelompok  dan  biasanya  dilakukan  oleh  organisasi  dengan  serangkaian  kegiatan
seperti  pelatihan  keterampilan  tertentu,  seminar  sehari  atau workshop.  Proses
pemberdayaan  dilakukan  secara  kelompok  kepada  sekelompok  individu  yang akan  diberdayakan,  namun  tidak  menutup  kemungkinan  strategi  pemberdayaan
dilakukan secara individual yakni satu-lawan satu antara pekerja sosial dan klien, meskipun sebenarnya hal ini tetap berkaitan dengan kolektivitas. Menurut Suharto
terdapat tiga aras strategi yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan pemberdayaan yakni:
1. Aras  Mikro.  Pemberdayaan  melalui  pendekatan  secara  individu  melalui
bimbingan, konseling dan sebagainya. 2.
Aras Mezo. Pemberdayaan yang dilakukan terhadap sekelompok klien   melalui pendidikan dan pelatihan.
3. Aras Makro. Pemberdayaan dengan pendekatan pada sasaran perubahan yang
diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas seperti perumusan kebijakan, lobbying, pengorganisasian masyarakat dan kampanye
7
. Masih menurut Suharto, dalam pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan
pemberdayaan  diperlukan  pendekatan  5P,  yaitu:  1  Pemungkinan,  menciptakan kondisi  dan  suasana  sekondusif  mungkin  agar  potensi  masyarakat  berkembang
secara optimal, 2 Penguatan, memperkuat  pengetahuan dan potensi masyarakat agar  mereka  mampu  memecahkan  masalah  dan  memenuhi  kebutuhannya,  3
Perlindungan,  melindungi  masyarakat  agar  tidak  terjadi  diskriminasi  antara kelompok kuat terhadap kelompok lemah sehingga terhindar dari persaingan yang
7
Ibid., h. 66-67
tidak  sehat  antara  keduanya,  4  Penyokongan,  pemberian  dukungan  serta bimbingan pada masyarakat yang diberdayakan agar mereka mampu bangkit dari
kelemahannya  dan  tidak  terperosok  atau  terpinggirkan,  5  Pemeliharaan, perlunya pemeliharaan kondisi yang kondusif di dalam masyarakat
8
. Demikian pemaparan mengenai program dan strategi yang biasa dilakukan
dalam  kegiatan  pemberdayaan  agar  proses  dan  tujuan  dari  kegiatan  ini  bisa berjalan dengan baik dan sukses. Seperti yang dikemukakan kebanyakan para ahli,
kegiatan pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan sehingga dibutuhkan perencanaan yang kuat dan matang di dalam programnya.
C. Pengertian Politik
Pembahasan  mengenai  pengertian  politik  selalu  disandarkan  pada  kata polis  yang  dikembangkan  oleh  Filosof  Aristoteles  di  Yunani  Kuno  yang  berarti
kota. Aristoteles memandang politik sebagai penerapan kota terbaik. Berdasarkan pandangan  yang  telah  dikemukakan  oleh  Aristoteles  mengenai  “Negara-Kota”,
beberapa ahli memberikan pandangan yang beragam mengenai pengertian politik, adapun di bawah ini pendapat beberapa ahli mengenai ilmu politik:
9
1. Delia  Noer  menyatakan  ilmu  politik  memusatkan  perhatian  pada  masalah
kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. 2.
Menurut Fleichteim, ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat  dan  tujuan  dari  Negara  sebagai  organisasi  kekuasaan,  beserta  sifat  dan
tujuan  dari  gejala-gejala  kekuasaan  lain  yang  tak  resmi,  yang  dapat mempengaruhi Negara.
8
Ibid., h. 67
9
Leo  Agrustino, Perihal  Ilmu  Politik:  Sebuah  Bahasan  Mengenai  Ilmu  Politik,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007 h. 6
3. David  Easton  menyatakan  ilmu  politik  adalah  studi  mengenai  terbentuknya
kebijakan publik. 4.
Miriam  Budiarjo  mengatakan  definisi-definisi  ilmu  politik  berkaitan  dengan pembahasan  mengenai  Negara,  kekuasaan,  pengambil  keputusan,  kebijakan
publik, distribusipembagian atau alokasi nilai-nilai dalam masyarakat. Berdasarkan  pendapat  beberapa  para  ahli  di  atas  mengenai  politik,  dapat
diambil  kesimpulan  mengenai  pengertian  politik  yakni  aktivitas  yang  berakaitan dengan  kekuasaan,  kebijakan  publik,  pengambil  keputusan.  Adapun  konsep
kekuasaan  yang  dimaksud  bukan  hanya  kekuasaan  resmi  yakni  negara,  juga kekuasaan  tak  resmi  yakni  gerakan-gerakan  sosial  di  masyarakat  karena  dapat
mempengaruhi negara.
D. Politik Perempuan di Indonesia
Peran politik perempuan di Indonesia bukan merupakan hal yang baru atau asing bagi masyarakat Indonesia.  Penjelasan mengenai perjalanan cakupan ruang
politik  perempuan  di  Indonesia  pastilah  berbeda-berbeda  disetiap  zamannya,  hal ini  tidak  bisa  dilepaskan  dengan  tantangan  dan  kebutuhan  zamannya  waktu  itu.
Dalam  menjelaskan  perihal  perjalanan  peran  politik  perempuan,  penulis  yang terbagi  menjadi  tiga  zaman.
Pertama,  peran  politik  perempuan  pada  saat Indonesia  masih  bernama  Nusantara  dan  masih  terdapat  kerajaaan-kerajaan.
Kedua,  peran  politik  perempuan  pada  zaman  penjajahan  melawan  kolonial. Terakhir, peran politik perempuan pada era kemerdekaan atau saat ini.
Perjalanan  kepemimpinan  perempuan  banyak  terukir  dalam  sejarah kerajaan  dan  kesultanan  di  Nusantara.  Menurut  Firdaus,  kepemimpinan
perempuan tertua dimulai di Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1328, setelah Raja
Jayanegara  meninggal  tanpa  keturunan  dan  anak  perempuannya,  Rajapatni diangkat  sebagai  Ratu.  Pada  tahun  1350  Rajapatni  mengundurkan  diri  dan
digantikan  oleh  anaknya,  Hayam  Wuruk.  Kerajaan  Majapahit  kembali  dipimpin oleh  Ratu  Suhita,  namun  sayang  kerajaan  ini  menjelang  runtuh  sekitar  tahun
1400an.
10
Setelah  Islam  masuk  dan  menyebar  ke  Nusantara  mempengaruhi munculnya  kepemimpinan  perempuan  di  Nusantara,  maka  pemimpin-pemimpin
perempuan  pun  bermunculan.  Adapun  tahun  periode  kepemimpinan  perempuan tersebut antara lain
11
: 1.
Ratu  Jepara,  janda  Sultan  Prawata  yang  mati  dibunuh  oleh  Adipati  Jipang. Memerintah pada tahun 1546-1568.
2. Dewi  Peracu  atau  Kuning  memerintah  negeri  Patani  Melayu  pada  tahun
1602. 3.
Ratu  Sinuhun  pemegang  kekuasaan  Raja  Palembang,  hal  ini  dikarenakan pemerintahan suaminya, Pangeran Sindang Kayang sangat lemah.
4. Setelah  suaminya  meninggal,  Sultan  „Ala  al-  Din.    Sultanah  Taj  al-Alam
Safiyah  al-Din,  putri  Iskandar  Muda  ini  memerintah  Aceh  selama  34  tahun 1641-1675.
5. Ratu Nur al-„Alam Safiyah al-Din memerintah Aceh selama dua tahun 1675-
1677. 6.
Kemudian  dilanjutkan  oleh  Ratu  Inayah  Syah,  memerintah  Aceh  1677- 1688.
10
Endis Firdaus, Imam Perempuan Dekonstruktif Perspektif  Gender: Keniscayaan
Kontektualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, Jakarta:Pustaka Ceria, 2008, h 158
11
Ibid., h. 159
7. Kamalat  Syah,  memerintah  Aceh  selama  sebelas  tahun  1688-1699,  atas
perintah kaum ulama berdasarkan surat fatwa Makkah, kemudian digantikan oleh Sultan Badr al-
„Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din. 8.
Dayang Lela, menjadi Ratu Mempawa di Pantai Barat Kalimantan pada tahun 1790. Beliau adalah janda dari Panembahan Adi Jaya Kusuma.
9. Dayang Bomi, Raja Perempuan Negeri Gandis di tepi pantai Sungai Melawi,
Kalimantan Barat, memerintah pada tahun 1824. 10.
Aji  Siti,  memerintah  Negeri  Kota  Bangun-Bangun  Kutei  pada  tahun  1847. Beliau merupakan janda Sultan Kutei Muhammed Motslihu‟uddin.
11. Pada  tahun  1870,  tidak  sedikit  kaum  perempuan  memegang  tampuk
pemerintahan  di  Kerajaan-kerajaan  kecil  di  Sulawesi  Selatan.  Ratu  Daeng Pasuli  memegang  pemerintahan  Perserikatan  Aja  Tamparang  daerah  Sawito
dan daerah Alita oleh Ratu Pada. Raja Perempuan Adi Matanang memegang pemerintahan  di  daerah  Rapang  Raja  dan  daerah  Barru  dipegang  oleh  Raja
Perempuan  Siti  Aisya  dan  kemudian  diberi  nama  Basse  Barru.    I  Madina Daeng  Bau,  Raja  Perempuan  di  daerah  Tanah  Turatea  dan  tanah  perdikan
Ternate  pernah  pula  diperintah  oleh  seorang  perempuan  bernama  We  Tanri Ole.
Pada  masa  perang  melawan  kolonial,  perempuan-perempuan  tanah  air memiliki  peranan  yang  cukup  signifikan  demi  tercapainya  kemerdekaan
Indonesia.  Kesadaran  kaum  perempuan  dalam  politik  terbangun  partisipasinya dalam
berbagai bentuk
diantaranya bermunculan
organisasi-organisasi perempuan,  baik  yang  kooperatif  maupun  non  kooperatif.      Melalui  organisasi-