Politik Perempuan di Indonesia

organisasi, kaum perempuan memiliki peranan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa secara langsung maupun tidak langsung. Putri Mardika muncul sebagai organisasi perempuan pertama pada tahun 1912 di Jakarta, lantas disusul Kautmaan Istri di Tasikmalaya pada tahun 1913, Wanita Susilo pada tahun 1918 di Palembang. 12 Selain daripada itu organisasi- organisasi yang telah ada pun mempunyai bagian perempuan tersendiri, Muhammadiyah memiliki „Aisyiyah, Nahdatul Ulama memiliki Muslimat atau Fatayat, Persis didampingi Persistri-nya. Organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Islamitten Bond, Jong Ambon juga mendirikan seksi perempuan. 13 Semangat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 telah menginspirasikan organisasi-organisasi perempuan untuk menyelenggarkan kongres yang diselenggarakan pertama kalinya pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Hampir tiga puluh perkumpulan perempuan mengikuti kongres ini, mengangkat isu pendidikan dan perkawinan. Sebagai gerakannya, Kongres mengajukan tiga permintaan kepada pemerintah kolonial sebagai berikut: 1 bahwa sejumlah sekolah untuk anak perempuan harus ditingkatkan, 2 penjelasan resmi arti taklik diberikan kepada calon mempelai perempuan pada saat akad nikah, 3 peraturan yang menolong para janda dan anak yatim piatu dari pegawai sipil harus diangkat. 14 Pada Kongres kedua, Nyonya Emma Puradireja dari Bandung dan Nona Sri Umiati dari Cirebon dan beberapa perempuan lainnya memperjuangkan hak 12 Ibid., h. 234 13 Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Penerjemah Elvira Rosa dkk, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008, h. 134 14 Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia, h. 134 perempuan dalam politik dan menghasilkan “passiefkiesrecht”. Walhasil terjadi perubahan paradigma perempuan tidak pantas berpolitik, komisi Visman dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1941 untuk menyelidiki keinginan bangsa Indonesia merubah ketatanegaraan, dan masih dalam kesempatan tersebut, Nyonya Sunaryo menuntut Indonesia berparlemen dan Nyonya Sri Mangunsarkoro menuntut Indonesia Merdeka. 15 Ibu Soewarni Djojosepoetra pimpinan asosiasi perempuan, Istri Sedar 1930 dalam pertemuannya di Bandung 1932 menegaskan bahwa setiap perempuan perlu aktif dalam kegiatan politik dengan salah satu kegiatannya meningkatkan perempuan, terutama untuk rakyat. 16 Setelah Belanda menyerah kepada Jepang tanpa syarat pada tahun 1942, tongkat kolonialisasi diserahkan kepada Jepang. Walaupun menjajah dalam waktu singkat sekitar tiga tahun, namun waktu itu dirasakan cukup lama oleh masyarakat Indonesia, tidak terkecuali pergerakan perempuan di tanah air. Semua organisasi pergerakan Indonesia dibubarkan, kemudian Jepang membentuk organisasi baru yang dapat membantu tercapainya kemenangan Jepang melawan sekutu. 17 Organisasi-organisasi wanita melebur menjadi satu ke dalam organisasi wanita yang dibuat oleh Jepang yakni Gerakan Istri Tiga A, Barisan Pekerja Perempuan Putera, Jawa Hokokai Fujinkai. Organisasi-organisasi wanita pada masa pendudukan Jepang tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian-bagian dari organisasi umum tadi. 18 Selain berdampak negatif karena ruang gerak organisasi perempuan dibatasi misalnya tidak mendapat kedudukan wanita dalam hukum 15 Endis Firdaus, Imam Perempuan, h. 235 16 Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara: Pemikiran Tentang Kajian Perempuan, Jakarta: Kompas, 2010, h. 106 17 A. Adaby Darban ed, ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal, Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010, h. 95 18 Ibid., h. 96 perkawinan dan hak untuk memilih tidak lagi terdengar. 19 Adapula dampak positif diantaranya para perempuan dilatih militer dan Palang Merah. Harapan Jepang mengambil kekuatan para pimpinan nasional Indonesia untuk kepentingan kekuasaannya, sebaliknya pimpinan nasional memanfaatkan sarana Jepang untuk menyambut kemerdekaan Indonesia. seperti yang dilakukan oleh Ny. Sunaryo Mangunpuspito yang pada waktu itu dipercayai Jepang untuk memimpin organisasi Fujinkai. Membuat maklumat pembubaran dan diganti dengan Persatuan Wanita Indonesia dan bergerak ke kabupaten-kabupaten dan kota- kota. 20 Lantas bagaimana perjalanan peran politik perempuan di Indonesia pada masa kemerdekaan? 17 Agustus 1945 merupakan tonggak awal perjuangan bangsa Indonesia. Pada fase awal kemerdekaan ini perjuangan melawan penjajah masih bergejolak karena mereka belum menerima kemerdekaan Indonesia. lagi- lagi kaum perempuan tidak berpangku tangan, mereka juga terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali „Aisyiyah . Seperti „Aisyiyah misalnya, secara formal tidak melakukan kegiatan organisasi namun kegiatan dakwah, sosial, dan pendidikan tetap dilakukan sesuai perkembangan situasi. Kegaiatan „Aisyiyah di daerah- daerah tidak dikoordinasi dari pusat, tetapi tiap-tiap daerah dianjurkan agar menyelenggarakan kegiatan untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan .‟‟ 21 Kutipan di atas menggambarkan betapa gentingnya situasi saat itu sehingga gerakan Aisyiyah terfokus pada usaha mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. „Aisyiyah Pusat bergerak dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan mengadakan latihan-latihan kemiliteran. 19 Ibid., h. 97 20 Ibid., h 101 21 Ibid., h 106 Setelah perang kemerdekaan usai dan terbentuklah Republik Indonesia Serikat. Tak ada lagi Belanda, tak ada lagi Jepang, tak ada lagi musuh bersama. Laki-laki menguasai panggung politik sedangkan perempuan di posisikan pada tugas-tugas sosial. 22 Pada masa ini bermunculan organisasi-organisasi perempuan yang di bidang politik diantaranya Gerakan Wanita Indonesia Sedar 1950 23 yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, Wanita Demokrat Indonesia 1951 berafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia PNI, dan Wanita Nasional 1953 merupakan afliasi dari Partai Indonesia Raya PIR. 24 Pengaruh Gerwani dalam Kowani terasa begitu kuat, sehingga hal ini memiliki pengaruh terhadap „Aisyiyah yang juga menghimpun di dalamnya. „Aisyiyah yang merupakan organisasi keagamaan dan non politis, akhirnya menjaga jarak dengan Kowani berbeda dengan Gerwani yang tujuan utama pergerakannya adalah politik. 25 Pada masa kemerdekaan perkembangan peran politik perempuan di Indonesia dapat pula ditinjau berdasarkan presentase kaum perempuan dalam menduduki lembaga-lembaga politik misalnya DPR RI. Walaupun jumlah perempuan Indonesia lebih banyak yakni 101.628.816 jiwa atau 51 dari penduduk Indonesia, 26 namun kesempatan perempuan untuk terpilih menjadi anggota parlemen masih berbanding jauh dengan laki-laki. Jumlah perempuan 22 Olvi Pristiana, Zulminarti, dan Chamsiah Djamal “Wanita dan Organisasi”, Toeti Herati dan Aida Vitalaya S. Hubeis ed, Dinamika Wanita Indonesia Seri 01:Multidimensional, dalam A. Adaby Darban ed, ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjaun Awal, Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010, h. 112 23 Dalam perjalanan selanjutnya Gerwis menjadi Gerakan Wanita Indonesia Gerwani 24 Olvi Pr istiana, Zulminarti, dan Chamsiah Djamal “Wanita dan Organisasi”, Toeti Herati dan Aida Vitalaya S. Hubeis ed, Dinamika Wanita Indonesia Seri 01:Multidimensional, dalam A. Adaby Darban ed, ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjaun Awal, Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010, h. 112 25 A. Adaby Darban ed, ‘Aisyiyah dan Sejarah, h. 114 26 Badan Pusat Statistik 2001 dalam Endis Firdaus, Imam Perempuan, Dekonstruksi Perspektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, Jakarta-Bandung, Pustaka Ceria, 2008, h. 236 yang terpilih dalam parlemen selalu berkisar antara 8 sampai 10 saja. Di bawah ini jumlah anggota DPR RI berdasarkan jenis kelamin sejak era orde lama sampai reformasi. 27 Presentase Anggota DPR-RI Berdasarkan Jenis Kelamin Periode Perempuan Laki-laki 1955-1960 konstituante 17 63 272 93,7 1956-1959 25 5,1 488 94,9 1971-1977 36 7,8 460 92,2 1977-1982 29 6,3 460 93,7 1982-1987 39 8,5 460 91,5 1987-1992 65 13 500 87 1992-1997 62 12,5 500 87, 5 1997-1999 54 10,8 500 89,2 1999-2004 40 9 500 91 2004-2009 61 11,09 489 88,9 2009-2014 101 82,32 459 17,68 Menjadi suatu keniscayaan bagi kaum perempuan agar dapat terlibat lebih jauh dan aktif dalam mengisi kemerdekaan dan memperoleh hasil maksimal dari pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah apabila kaum perempuan tidak dapat berpartisipasi lebih banyak dalam menentukan kebijakan. Walaupun UU Affirmative Action yang memperjuangkan kuota perempuan sebesar 30 dalam parlemen belum juga memperoleh hasil yang maksimal, namun sejarah mencatat Megawati Soekarno Putri merupakan presiden perempuan pertama dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan dalam iklim politik yang lebih demokratis. 27 Ani Widya Sucipto, Politik Perempuan, h. 239

E. Gerakan Gender dan Feminisme di Indonesia

Kata gender jender diambil dari Bahasa Inggris karena Bahasa Indonesia belum memiliki konsep gender. Sehingga menurut Mansoer Fakih akan sulit mengarahkan wacana gender atau perbedaan laki-laki dan perempuan selain jenis kelamin di Indonesia. 28 Gender berbeda dengan jenis kelamin, gender merupakan konsep laki-laki dan perempuan yang terbentuk secara sosial sedangkan jenis kelamin merupakan konsep laki-laki dan perempuan yang terbentuk secara lahiriyah atau kodrati. Saparinah Sadli mencontohkan sifat lembut, sabar, berpenampilan rapi, dan senang melayani kebutuhan orang lain di lingkungan budaya kita merupakan karakteristik dari feminis atau sifat perempuan. Sejak masih kanak-kanak, seorang perempuan sudah ditanamkan sifat-sifat tersebut melalui cara berpakaian dan mainan yang dibelikan, namun si anak akan diberi peringatan apabila oleh lingkungannya tidak berperilaku feminis. 29 Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang sudah ditentukan secara biologis yakni laki-laki dan perempuan. Pembagian jenis kelamin laki-laki memiliki ciri-ciri: memiliki penis, memiliki jakala kala menjing, dan memproduksi sperma. Sedang perempuan memiliki ciri-ciri: memiliki rahim, memproduksi sel telur ovum, memiliki vagina, dan memiliki alat menyusui 30 . Ciri-ciri tersebut akan selamanya melekat pada perbedaan laki-laki dan perempuan. Singkatnya perbedaan gender dan jenis kelamin yakni, gender terbentuk secara nurture sedangkan jenis kelamin terbentuk secara nature. 28 Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 6 29 Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, Jakarta: Kompas, 2010, h. 23 30 Endis Firdaus, Imam Perempuan, h.163 Mencermati gerakan gender dan feminisme di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan studi wanita di Negara-negara Barat, khususnya Amerika. Hal ini senada dengan Saparinah Sadli bahwa ada tiga faktor yang saling berkaitan mengenai gerakan gender atau studi wanita di Indonesia. Pertama, perkembangan studi wanita di Barat yang berkembang dengan cepat pada tahun 1960an. Kedua, gerakan feminis dari Barat direspon dengan munculnya organisasi-organisasi yang dipelopori dan dibentuk oleh kaum perempuan di Indonesia adapun organisasi-organisasi yang dimaksud seperti yang sudah dibahas sebelumnya di sub D. Terakhir, terdapat fakta bahwa pada tahun 1980an, beberapa perempuan muda dan mereka adalah dosen-dosen di universitas menyelenggarakan Kongres Nasional dengan pembahasan mengenai status wanita. Selain itu, mereka juga menghadiri Kongres Perempuan di Meksiko pada tahun 1975, dimana para Feminis Barat menilai perlu menata kembali gerakan mereka karena perempuan dari Negara berkembang memiliki kebutuhan dan konsen yang berbeda dengan perempuan di Barat 31 . Sosok Kartini tidak dapat dilepaskan dari sebuah keterkaitan lahirnya semangat kemajuan bagi perempuan di Indonesia. Kartini merupakan seorang perempuan Jawa dari kalangan feodal yang terpaksa harus keluar sekolah pada usia 12 tahun dan terkurung di rumahnya. Pada usia tersebut, seorang perempuan yang keluar setiap hari untuk belajar ke sekolah merupakan pelanggaran besar terhadap adat. Perempuan- perempuan ketika itu “disangkar” dan menunggu seseorang laki-laki yang akan dijodohkan kepadanya setelah itu mereka bisa 31 Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, Jakarta: Kompas, 2010, h. 363-364 kembali ke dunia luar. 32 Pemikiran-pemikiran Kartini mengenai pendidikan dan isu-isu lainnya mengenai perempuan tertuang dalam surat menyuratnya kepada sahabat dekatnya di Belanda yang kemudian hari dipublikasikan sehingga menjadi inspirasi bagi perempuan di Indonesia untuk mengikuti jejaknya. Semangat Kartini untuk memajukan kaum perempuan di tanah kelahirannya terinspirasi dari tulisan-tulisan seorang Feminis India, Pandita Rambai. 33 Selain Kartini sebagai pelopor gerakan feminis, Dewi Sartika memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya dalam membangkitkan kemajuan perempuan di tanah air. Sebelum gerakan feminis mengemuka dan terorganisir, Dewi Sartika telah menyuarakan diskriminasi dalam pembagian upah buruh perempuan yang lebih rendah dari laki-laki dalam pekerjaan yang sama dan pada tahun 1904 Dewi Sartika mendirikan sekolah khusus perempuan, yang kemudian hari dikenal dengan nama Kautamaan Istri 34 . Kartini dan Dewi Sartika hanya sebagian kecil yang tercatat dalam sejarah sebagai sosok perempuan yang turut menginspirasi bagi gerakan feminisme di Indonesia. Ide-ide dan gerakan mereka dalam mempelopori kemajuan perempuan di tanah air memiliki peranan yang signifikan bagi generasi selanjutnya untuk membentuk organisasi agar gerakan mereka bergerak secara terorganisir dan berkelompok. 32 lihat surat Kartini yang pertama kepada Stella Zeehandelaar dalam Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Penerjemah Elvira Rosa dkk, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008 h 67. 33 Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, Jakarta: Kompas, 2010, h. 364 34 Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia, h. 74-73 29

BAB III ‘AISYIYAH DAN PEMBERDAYAAN

POLITIK PEREMPUAN “Urusan dapur janganlah dijadikan halangan untuk menjalankan tugas dalam menghadapi masyarakat” KH. Ahmad Dahlan

A. Mengenal Sejarah ‘Aisyiyah dan Perkembangannya

Kelahiran organisasi „Aisyiyah tidak bisa dilepaskan dari peran KH Ahmad Dahlan yang juga pendiri Muhammadiyah. Berkat keberanian dan wawasan yang dimilikinya, Kyai Dahlan mempelopori gerakan perempuan ke ruang publik dengan mendirikan „Aisyiyah, suatu hal yang dianggap tabu pada masa itu. Suatu hal yang tidak berlebihan bila beliau dijuluki Sang Pencerah dan salah satu alasan pula pemerintah Republik Indonesia mengangkat KH Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional karena kepeloporannya mendirikan „Aisyiyah. 1 Organisasi „Aisyiyah telah memperlopori kebangkitan kaum perempuan Indonesia untuk mengecap pendidikan dan memiliki peran sosial. Perkembangan „Aisyiyah yang semakin pesat hingga saat ini merupakan buah perjuangan yang tak ternilai harganya dalam memajukan masyarakat dan berdakwah amal ma’ruf nahi munkar. Hal ini sebagaimana termaktub dalam identitasnya yakni “Aisyiyah, organisasi perempuan persyarikatan Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi 1 lihat surat keputusan pemerintah mengenai ini dalam Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2010, h. 353