Pandangan ‘Aisyiyah Tentang Politik Perempuan

Mar’ah fil Islam. Berlandaskan firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 71 yang berbunyi: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh akan kebajikan dan melarang dari kejahatan; mereka mendirikan shalat, mereka mengeluarkan zakat. Dan mereka taatpatuh kepada Al-quran dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. ” Pengertian mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar, memerintahkan kebajikan dan mencegah kejahatan yang dimaksud dalam ayat di atas mencakup dalam segala hal termasuk soal politik dan ketatanegaraan, karena bisa saja suatu waktu kaum perempuan diperlukan untuk turut serta memecahkan persoalan- persoalan bangsa dalam ketatanegaraan. 27 Sedangkan kata “ba’dhuhum auliyaa uba’din” menjelaskan bahwa bukan saja laki-laki yang memimpin perempuan, namun perempuan juga memimpin laki-laki. 28 Baik perempuan maupun laki-laki memiliki tugas dan kewajibannya yang sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan sebagai warga negara memiliki kewajiban untuk turut serta membantu mensejahteraan masyarakat, baik jalur lembaga politik formal atau konsep Qoryah Thoyyibah seperti yang telah dilakukan oleh „Aisyiyah selama ini. 27 Majlis Tarjih dan Tajdid, Adabul Mar’ah fil Islam, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010, h.71 28 Dalam wawancara dengan Ibu Aisyah, kata “penolong” diartikan “pemimpin” oleh „Aisyiyah. Lihat pula Maftuchah Yusuf, Perempuan Agama dan Pembangunan, Wacana Kritik atas Peran dan Kepemimpinan Wanita, Yogyakarta: Lembaga Studi dan Inovasi, 2000, h. 21 Adapun hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, Tidak akan menang kaum perempuan yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan. Menurut Din Syamsudin pandangan ini karena dipengaruhi budaya arab yang didominasi laki-laki, sehingga mempengaruhi negara-negara muslim untuk menolak kehadiran atau tampilnya perempuan dalam wilayah kehidupan politik. 29 Hadits di atas yang terkesan menyudutkan kaum perempuan untuk menjadi pemimpin menurutnya haruslah dipahami secara jernih dan lebih mendalam dengan melihat latar belakang Asbabul Wurud dari hadits tersebut. Dikeluarkannya hadits tersebut merupakan repon nabi Muhammad terhadap Raja Persia yang akan mengangkat puterinya sebagai pengganti atau penerus kepemimpinan ayahnya Raja Persia tersebut. 30 Pernyataan Nabi tersebut karena berdasarkan pengetahuan beliau tentang ketidakmampuan Sang Puteri dalam mengurusi urusan kenegaraan yang kompleks dan berat. Keputusan Majelis Tarjih yang terhimpun dalam Adabul Mar’ah fil Islam tersebut memberikan apresiasi dan afirmasi bahwasannya perempuan boleh menjadi pemimpin. Perempuan boleh menjadi hakim, direktur sekolah, direktur perusahaan, camat lurah, menteri, walikota dan sebagainya. 31 Lantas bolehkan perempuan menjadi kepala negara? Menurut Syamsul Anwar walaupun dalam keputusan tersebut tidak secara jelas tegas menyebutkan kebolehan perempuan menjadi kepala negara semangat dari seluruh keputusan tersebut tidak melarang perempuan menjadi kepala negara. 29 Din Syamsudin dalam Wawan Gunawan dan Evie Shofia Inayati ed, Wacana Fiqh Perempuan dalam Persfektif Muhammadiyah, Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2005, h. 44 30 Wawan Gunawan dan Evie Shofia Inayati ed, h. 44 31 Ibid., h. 50 Menurut Syamsul Anwar peran politik perempuan yang dirumuskan dalam Adabul Mar’ah fil Islam, dalam menilai peranan wanita dalam politik dapat dibagi menjadi dua bagian yakni: 1. Peranan yang langsung terjun dalam politik praktis dalam lembaga-lembaga politik formal, mulai dari tingkatan legislatif yakni DPR dari pusat sampai daerah. 2. Peranan tidak langsung, yaitu kegiatan yang disalurkan dari rumah tangga dengan turut berperan aktif dalam mengisi kesempatan-kesempatan bermanfaat di dalam masyarakat. 32 Seperti yang dituturkan oleh Bu Aisyah, selaku Ketua Bidang Pengkaderan Pimpinan Pusat „Aisyiyah, bahwa definisi politik dalam pandangan „Aisyiyah tidak diartikan secara sempit yakni kekuasaan semata dalam struktur pemerintahan atau lembaga politik. 33 Pendapat senada pun diungkapkan oleh Ibu Hastuti Nur Rochima, selaku Ketua Lembaga Pengembangan dan Penelitian, bahwa „Aisyiyah membolehkan peran perempuan dalam bidang politik. Namun tidak harus dalam lembaga politik formal baca: DPR dalam cakupan yang lebih luasnya kaum perempuan dapat berperan aktif di masyarakat, misal tampil dalam rapat-rapat yang berkaitan dengan pengambilan keputusan demi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Seperti Ibu Uji panggilan akrabnya yang juga Pimpinan Daerah „Aisyiyah Kendal terlibat dalam Musrenbangdes musyawarah perencanaan pembangunan desa. 34 “Kondisi wanita di Indonesia sebagian besar belum mendukung peran sertanya dalam pembangunan. Masih jutaan yang buta atau setengah 32 Syamsul Anwar dalam Wawan Gunawan dan Evie Shofia Inayati ed, Wacana Fiqh Perempuan dalam Persfektif Muhammadiyah, Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2005,, h. 49 33 Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag 34 Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si buta huruf, sebagian dari tenaga kerja wanita adalah buruh rendah. Kesiapan fisik, mental, perlengkapan keterampilannya masih jauh dari standar yang diminta. Kelompok wanita yang duduk sebagai penentu kebijaksanaan masih sangat kecil ‟‟. 35 Kutipan di atas merupakan salah satu gambaran kondisi perempuan saat ini. Berangkat dari kondisi ketimpangan-ketimpangan dalam pembangunan saat ini, maka wacana dan gerakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik banyak bermunculan. Dalam menyikapi perkembangan ini, „Aisyiyah pun sejalan bahwa peranan perempuan dalam politik sangat diperlukan agar perempuan dapat terlibat lebih jauh dalam pengambilan kebijakan. Perempuan yang menjadi kepala daerah baca: walikota, bupati, gubernur tidak menjadi suatu hal yang harus dipersoalkan terlebih-lebih dilarang, namun bukan berarti asal perempuan artinya dilihat dari jenis kelaminnya saja. Perempuan yang duduk dalam lembaga politik, baik sebagai kepala daerah atau anggota dewan adalah mereka yang benar-benar memiliki kompetensi dan sense of gender akan kebutuhan masyarakat serta bukan karena suaminya. 36 Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas pandangan „Aisyiyah tentang politik perempuan terdapat beberapa kesimpulan diantaranya bahwasannya tidak ada larangan perempuan untuk berperan di ruang publik, termasuk dalam bidang politik. Pandangan ini berdasarkan keputusan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah karena „Aisyiyah memiliki keterkaitan dengan Muhammadiyah, merupakan organisasi otonom khusus Muhammadiyah serta 35 Maftuchah Yusuf, Perempuan Agama dan Pembangunan, Wacana Kritik atas Peran dan Kepemimpinan Wanita, Yogyakarta: Lembaga Studi dan Inovasi, 2000, h. 21 36 -Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag. -Di iklim demokrasi saat ini tidak sedikit para istri mantan kepala daerah turut mencalonkan diri sebagai bupati, walikota atau gubernur mengikuti jejak suaminya, bahkan diantaranya berhasil memenangkan pilkada contohnya, Anna Sopana sebagai Bupati Indramayu dan Haryanti Sutrisno sebagai Bupati Kediri. memiliki cita-cita dan tujuan yang sama demi menegakkan ajaran Islam yang sebenar-benarnya. Ibu Aisyah juga menuturkan bahwa “…secara budaya pun tidak ada larangan perempuan untuk menjadi pemimpin, sejak dahulu sudah banyak perempuan-perempuan yang menjadi pemimpin di dalam kerajaan, namun faktor agama sehingga mereka tidak bisa lagi menjadi pemimpin …” 37 Pandangan peran politik perempuan yang dimaksud oleh „Aisyiyah bukan sekedar kekuasaan semata, dalam cakupan yang lebih luas yakni perempuan- perempuan menjadi local leader sehingga dapat tampil di daerahnya dalam kesempatan rapat-rapat yang berkaitan dengan pengambilan keputusan masyarakat. Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Prof. Miriam Budiarjo bahwasannya politik merupakan kegiatan yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, pembagian atau alokasi nilai-nilai dalam masyarakat. 38 Seperti yang telah ditegaskan oleh KH Ahmad Dahlan bahwasannya urusan dapur jangan dijadikan penghalang untuk berkiprah di ruang publik bagi perempuan. „Aisyiyah berpandangan bahwa ajaran Islam tidak melarang bagi perempuan untuk menjadi pemimpin dan mengenai urusan rumahtangga bukan tanggungjawab seorang istri saja namun tanggungjawab bersama suami dan istri. Kiprah perempuan di ruang publik bukan berarti akan mengurangi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, seorang istri kepada suaminya. 39 Menurut Ibu Ais sapaan akrabnya menyatakan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya atau 37 Terdapat surat fatwa dari ulama Mekkah yang melarang perempuan menjadi pemimpin ratu dalam kerajaan, lihat Endis Firdaus, Imam Perempuan, h. 159 38 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, h 17 dan lihat pula Leo Agrustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, h. 6 39 Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag. kasih sayang seorang istri kepada suaminya jangan diartikan kehadiran kasih sayang tersebut secara fisik. Perempuan yang berkiprah di ruang publik, misal menjadi kepala daerah, anggota dewan secara tidak langsung perempuan tersebut memberikan tauladan yang baik di dalam keluarga sehingga menjadi contoh bagi anak-anaknya. 40 Maftuchah Yusuf juga menegaskan bahwa peran perempuan di ruang publik haruslah bertujuan untuk mengangkat derajat dan martabat keluarga. 41 Pengurus „Aisyiyah yang berpartisipasi dalam lembaga politik tidaklah sedikit, mereka tersebar menjadi anggota dewan di berbagai daerah dan tersebar pula dalam berbagai partai politik. 42 Keberadaan mereka diantaranya menjadi anggota legislatif, mulai dari DPR di tingkat daerah sampai pusat. Adapun saat ini pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang terlibat di politik sekitar 5-10 43 . Sesuai dengan instruksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 03INSI.0A2008 bahwasanya: “Kepada Pimpinan Persyarikatan, Majelis, Lembaga, Ortom, Amal Usaha, dan institusi-institusi lainnya yang berada dalam lingkungan Persyarikatan jika ada anggota pimpinanfungsionaris yang menjadi anggota Tim Sukses partai politik danatau calon-calon anggota legislatif dari partai politik tertentu maka yang bersangkutan harus dinonaktifkan dari jabatannya sampai selesainya kegiatan Pemilu ”. 44 „Aisyiyah yang merupakan organisasi otonom Muhammadiyah sudah jelas harus mematuhi instruksi tersebut. Pengurus „Aisyiyah yang telah menjadi bagian dalam lembaga politik mulai dari tingkatan legislatif, eksekutif dan partai politik. mereka 40 ibid 41 Maftuchah Yusuf, Perempuan Agama dan Pembangunan, Wacana Kritik atas Peran dan Kepemimpinan Wanita,h 183 42 Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si. 43 Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar, Yogyakarta, 14 April 2011 44 Instruksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, lihat lampiran di non- aktifkan dalam kepengurusan „Aisyiyah. 45 Seperti yang dituturkan oleh Bu Latifah Iskandar: “Pada waktu pemilu 2004 yang lalu saya di dorong oleh teman-teman untuk mencalonkan diri jadi anggota legislatif, dan hal ini wajar-wajar saja toh. masa kita melakukan gerakan affirmative action tapi tidak melaksanakannya mencalonkan diri jadi menjadi calon legislatif, pen, dan Alhamdulillah saya terpilih setelah itu saya tidak aktif lagi di „Aisyiyah dan hanya menjadi anggota biasa.” 46 Mengkaji peran politik perempuan saat ini, menurut Ibu Latifah Iskandar selaku pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang juga mantan anggota DPR-RI periode 2004-2009 lalu. Salah satu keberhasilan perempuan di bidang politik saat ini yakni terbentuknya undang-undang partai politik dan pemilihan anggota DPRD I, DPRD II, dan DPR RI sebagai bentuk aplikatif mengakomodir gerakan affirmative action; kuota 30 persen perempuan di parlemen. Selain itu, melalui peran politik perempuan pula secara tidak langsung peran perempuan di bidang sosial cukup besar dalam berkontribusi memecahkan permasalahan di masyarakat. lahirnya UU Traffiking, KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan indikator-indikator bahwa peran sosial perempuan saat ini cukup besar, belum termasuk kegiatan posyandu yang memang merupakan pekerjaan sosial perempuan. 47 Peranan perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di ruang publik adalah sebuah harapan agar lahir kebijakan yang sensitif gender sehingga nantinya hasil dari pada kebijakan tersebut benar-benar dapat dirasakan secara adil kepada masyarakat. Laki-laki dan perempuan bukan lawan namun adalah patner dalam mengatur kehidupan. Layaknya suami dan istri dalam rumah tangga. 45 Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si. 46 Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar 47 Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag.

C. Strategi dan Kegiatan Pimpinan Pus at ‘Aisyiyah dalam Pemberdayaan

Politik Perempuan 1. Strategi –strategi pemberdayaan Semenjak reformasi bergulir pada tahun 1998, membawa angin segar pada perubahan sosial dan politik di Indonesia. Keran kebebasan masyarakat di ruang publik dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah, hal ini tentu sangat kontradikitif dengan era orde baru. Seluruh elemen masyarakat merasakan demokrasi yang sesungguhnya; mahasiswa, buruh, agamawan, tidak terkecuali organisasi perempuan, kebebasan mereka untuk menyuarakan isu-isu gender dalam pembangunan pada era orde baru merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan secara bebas. Organisasi PKK dan Dharma Wanita dibentuk oleh pemerintah sebagai ruang aktualisasi perempuan-perempuan tanah air, sehingga ruang gerak dan ide-ide gerakannya secara mudah dikontrol. Kini, keran berdemokrasi telah dibuka oleh pemerintah yang salah satunya melalui undang-undang. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik secara struktural sudah tidak ada batu sandungan lagi. Undang-undang Affirmative Action merupakan salah satu jalur kekuatan bagi perempuan agar mereka dapat berperan lebih untuk masuk dan terlibat dalam pengambilan keputusan dan kebijakan dalam pembangunan. Sistem demokrasi langsung saat ini, tidak disia- siakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan perempuan di bidang politik. Sejumlah kebijakan pun dikeluarkan dalam rangka pemberdayaan politik perempuan yang kemudian tertuang di dalam program-programnya. Misalnya pemilu legislatif lalu Pimpinan Pusat „Aisyiyah mendorong kader-kadernya yang berbakat dan berminat di politik untuk berkiprah di lembaga legislatif, melakukan program pendidikan calon pemilih perempuan dan pemilih pemula, menyelenggarakan seminar-seminar dan diskusi politik, bekerjasama dengan berbagai pihak dalam rangka menyukseskan pemilu legislatif. Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dari berbagai bentuk kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Strategi-strategi yang digunakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan perempuan agar mereka memiliki kesadaran kritis akan perannya di ruang publik, sepenuhnya mengunakan tiga aras strategi dalam pemberdayaan yang dikemukakan oleh Soeharto yakni aras mikro, aras mezzo dan aras makro. 1 Aras Mikro Merupakan strategi pemberdayaam dengan pendekatan secara individu melalui konsultasi dan bimbingan konseling 48 . Strategi ini sudah sejak lama telah digunakan oleh „Aisyiyah. Sejak „Aisyiyah didirikan justru pendekatan secara individual ini telah berhasil menyadarkan kaum perempuan akan fungsi dan perannya baik sebagai istri bagi suami dan ibu bagi anak-anaknya serta individu sebagai warga negara. Kepe ngurusan „Aisyiyah yang telah tersebar kepelosok tanah air melalui kegiatan pengajian memberikan pendidikan agama yang seluas- luasnya kepada kaum perempuan. Metode pengajian seperti ini telah berhasil dan tidak tergerus oleh perkembangan sosial, selama masa penjajahan kegiatan- kegiatan dakwah tetap berlangsung. 49 Pendekatan-pendekatan individual berlangsung pada momentum tanya jawab antara guru dan murid. Pimpinan Pusat „Aisyiyah turut pula „…mendirikan dan mengaktifkan kembali Biro 48 Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, Bandung: PT Refika Aditama, 2005, h. 66 49 Maftuchah Yusuf, Perempuan Agama dan Pembangunan, h. 127 Konsultasi Keluarga Sakinah disemua jenjang dengan cara pelayanan langsung ke kantor maupun melalui telepon…” 50 2 Aras Mezo Merupakan strategi pemberdayaan melalui melalui metode pelatihan, pendidikan 51 . Strategi ini turut pula digunakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah dan stategi ini sering dilakukan dalam rangka memberikan pendidikan politik perempuan. Seperti menyelenggarakan pelatihan Manajemen Ruhaniyah bagi mahasiswa yang tinggal di asrama STIKES „Aisyiyah Yogyakarta, 52 pelatihan pemantau pemilu 2009. 53 3 Aras Makro Pemberdayaan politik perempuan melalui strategi ini juga dilakukan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah. Misalnya Pimpinan Pusat „Aisyiyah menyelenggarakan program pendidikan pemilih di Yogyakarta dengan cara penyusunan dan pengisian daftar pertanyaaan untuk calon kandidat calon kepala daerah, pen, pembuatan dan penyebarluasan poster pendidikan pemilih, debat calon, kampanye untuk meningkatkan pengetahuan publik tentang pilkada yang berkualitas. 54 Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Suharto bahwa aras mikro merupakan strategi pemberdayaan dengan pendekatan yang dilakukan 50 Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Divisi Pembinaan Keluarga dan Masyarakat Periode 2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010 51 Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, h. 67 52 Laporan Kegiatan Majelis Pembinaan Kader Pimpinan Pusat „Aisyiyah periode 2005- 2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010 53 Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Bidang Pendidikan Politik dan Pengembangan Masyarakat periode 2005- 2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010 54 ibid., kepada sistem yang lebih luas seperti perumusan kebijakan, lobbying, pengorganisasian masyarakat dan kampanye. 55 Kiprah „Aisyiyah yang telah menjelang satu abad telah mampu bertahan dalam memberdayakan perempuan di tanah air agar mereka sadar akan perannya di ruang publik. Ketiga strategi pemberdayaan yang digunakan oleh „Aisyiyah tersebut menjadi salah satu faktor keberhasilan organisasi peempuan Muhammadiyah ini hingga bisa diterima dalam masyarakat dan terus bereksistensi hingga saat ini. „Aisyiyah telah mengambil peran dalam pemberdayaan politik perempuan baik secara struktural maupun kultural. 56 Organisasi „Aisyiyah bukan organisasi politik sehingga kegiatan pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh „Aisyiyah. semenjak orde baru sampai era reformasi tidak secara langsung bertujuan ke arah itu misalnya pengurus, anggota, dan masyarakat diberikan pelatihan secara khusus agar menjadi anggota dewan atau kepala negara, namun dalam rangka memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Sebagaimana yang termaktub dalam keputusan Muktamar „Aisyiyah ke 45 bahwa: “„Aisyiyah bukan organisasi partai politik ataupun organisasi sosial politik, namun tanggap terhadap perkembangan politik dengan berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.” 57 berlandaskan keputusan tersebut Pimpinan Pusat „Aisyiyah mengeluarkan SK no 144SK- PPAVI2008 tentang sikap „Aisyiyah dalam berpolitik. Adapun maksud 55 Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, h. 67 56 Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si. 57 Kebijaksanaan Pimpinan dalam Laporan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Periode 2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010