Pengertian Komedi Satire Pesan moral tentang berbuat baik pada sesama (analisis isi skenario sinetron religi komedi satire mengintip surga di RCTI)

Para satiris memanfaatkan berbagai alat untuk menjalankan tulisan satire-nya. Karikatur adalah presentasi kesusastraan yang menyindir berbagai masalah dalam bentuk komik. Karikatur mempunyai keunikan tersendiri dalam menyikapi persoalan-persoalan politik yang terjadi dengan kombinasi gambar dan kata. Karikatur adalah gambar bermuatan humor atau satire dalam berbagai media massa dengan mengambil tokoh-tokoh terkenal. Untuk menampilkan secara humoristis, tokoh-tokoh itu digambarkan dengan perubahan bentuk tubuh dan wajah. Hiperbola adalah alat lain yang digunakan untuk melebih-lebihkan keadaan menimbulkan efek komik dalam bentuk kalimat. Ironi adalah mengkontraskan sesuatu yang “kelihatan” dengan apa yang “sesungguhnya terjadi”. Sarkasme adalah menciptakan kepahitan yang bertujuan untuk mengolok- olok orang atau sesuatu. Ironi bisa berarti sarkasme; tapi pernyataan yang ironis tidak selalu sarkastik. Parodi ditulis untuk mengopi atau mengimitasi hasil karya lain untuk mengejek dengan efek tawa dan kelucuan. Juktaposisi adalah penggunaan dua ide, deskripsi, atau definisi yang sangat berbeda bahkan bertolak belakang sebagai pembandingan dan pengontrasan yang menggelikan. Aristotle benar, manusia adalah satu-satunya mahkluk yang bisa diajak tertawa. Melalui komedi kita seperti mendapatkan saluran untuk dorongan- dorongan dari dalam jiwa yang niscaya tersumbat oleh norma, oleh dogma, dan hipokrisi. Dalam komedi ketidakpatutan sosial justru menjadi norma, yang tidak masuk akal bisa diterima, budak bisa menjadi tuan atau sebaliknya, yang vulgar menjadi bagian dari tatakrama, dan penyimpangan sosial dan estetik merupakan keharusan inheren, sehingga sadar atau tidak kita selalu berada dalam posisi berguncang tanpa ikatan-ikatan standar kultural yang lazim. Karena itu, mereka yang merasa berasal dari kelas “terhormat” cenderung melihat komedi sebagai representasi dari kehidupan orang-orang kelas menengah ke bawah. Komedi dianggap bisa menghadirkan segala jenis ketidakpatutan sikap dan prilaku kelas sosial semacam itu. Jika demikian maka komedi juga merupakan fungsi dari perbedaan kelas sosial. Hegel memuja karya-karya komedi yang ditulis oleh Aristophanes sebagai representasi yang sangat gemilang tentang kesenangan dan kebebasan sejati umat manusia. Dalam Lectures on the History of Philosophy, ia bahkan menyebut Aristophanes menyajikan “a freedom we would not dream of were it not historically authenticated.” Bagi Hegel komedi memiliki signifikansi spiritual yang sama dengan kenegarawanan statemenship, filsafat dan tragedi. Karya Aristophanes dianggap penting karena tema-temanya, yakni tentang negara, filsafat, perang dan perdamaian, gender, dan relasi antara dewa-dewa dengan manusia, itu benar-benar substansial, sehingga komedinya bukan sekedar dan melampaui batas kelucuan dan hiburan belaka Freydberg, 2008: 3. Komedi bagi sebagian dari kita adalah hiburan yang harus mudah dinikmati dan, yang pasti, harus bisa memancing tawa penonton. Singkatnya, ia terlanjur secara serampangan diidentikan dengan lawak. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, pelawak disamakan dengan badut atau alan-alan. Asal-usul kata komedi umumnya disepakati berasal dari gabungan dua kata Yunani “kômos” atau “kômaî”, dan “oda”. Dalam bahasa Indonesia padanan untuk kata“kômos” mungkin bisa menunjuk baik pada pestapora maupun orang- orang yang berpestapora. Sementara ‘kômaî’ berasal dari kata yang merujuk pada kampung di pedesaan. Kata “oda” disepakati dapat diterjemahkan menjadi “lagu”. Maka komedi adalah sebuah himne selebrasi atau, dalam bahasa Dante, “sebuah lagu kampungan” a rustic song Stott, 2005: 3-4. Dengan demikian, secara etimologis, komedi memang berurusan—atau seharusnya berurusan— dengan karakter, kelas, dan kehidupan yang inferior. Sejak Aristotle, komedi selama berabad-abad adalah genre yang paling pas atau tepat merepresentasikan kehidupan mereka yang memiliki kuasa ekstensif tapi berada pada tatanan “tengah” atau “bawah” masyarakat, bukan kelas yang berkuasa. Mereka yang kuasanya terbatas dan lokal, dan yang adat, prilaku dan nilai-nilainya dianggap trivial atau vulgar atau kedua-duanya oleh tatanan kelas di atasnya Neale dan Krutnik, 1990: 11-12 28 . Tulisan satire bermunculan dalam berbagai wajah. Dia bisa tampak dalam bentuk naskah teater, drama, televisi, maupun layar lebar; bisa juga berbentuk lirik lagu, puisi, syair, cerita pendek, novel, sampai esai non-fiksi. Sebagai pembaca kita akan tertawa terbahak-bahak karena merasa lucu atau bahkan tidak tertawa sama sekali; meringis masam dan tertampar telak. Itulah efek yang ditimbulkan oleh tulisan satire.

F. Moral Tentang Berbuat Baik Pada Sesama

28 http:www.interseksi.orgpublicationsessaysarticleskomedi.html Manusia adalah makhluk ciptaan Allah, Tuhan Yang Maha Esa dengan struktur dan fungsi yang sangat sempurna bila dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya. Manusia juga diciptakan sebagi makhluk multidimensional -anima intelektiva-memiliki akal pikiran dan kemampuan berinteraksi secara personal maupun sosial. Karena itu manusia disebut makhluk yang unik, yang memiliki kemampuan sosial sebagai makhluk individu dan makhluk sosial 29 . Karena manusia adalah makhluk social, maka manusia pada dasarnya tidak mampu hidup sendiri di dalam dunia ini baik sendiri dalam konteks fisik maupun dalam konteks sosial-budaya. Terutama dalam konteks sosial-budaya, manusia membutuhkan manusia lain untuk saling berkolaborasi dalam pemenuhan kebutuhan fungsi- fungsi sosial satu dengan yang lainnya. Karena pada dasarnya suatu fungsi yang dimiliki oleh manusia satu akan berguna atau bermanfaat bagi manusia lainnya. Karena fungsi-fungsi sosial yang diciptakan oleh manusia ditujukan untuk saling berkolaborasi dengan sesama fungsi sosial manusia lainnya. Dengan kata lain, manusia menjadi sangat bermartabat apabila bermanfaat bagi manusia lainnya. Allah SWT telah menghubungkan kewajiban iman pada diri seseorang masyarakat, dengan dasar-dasar yang sesuai dengan tabiat manusia. Yaitu bahwa manusia itu mempunyai dua macam kepribadian. Pertama, kepribadian individual yang dengannya diberi perintah, beban, ia melaksanakan urusan pribadinya dalam batas-batas hukum Allah dan petunjuk-Nya dan dengannya pula ia ditanya bertanggung jawab tentang dirinya sendiri, di mana ia menempatkannya?, 29 Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat . Jakarta: Kencana. h. 25