Analisis pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri minyak goreng sawit di Indonesia
ANALISIS PENGARUH STRUKTUR PASAR TERHADAP KINERJA
INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT
DI INDONESIA
OLEH
RUTH BONGGASAU’
H14102007
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
(2)
Salah satu industri pengolahan yang berkembang di Indonesia yaitu industri minyak goreng, salah satunya adalah minyak goreng sawit yang merupakan produk hilir dari minyak kelapa sawit. Kebutuhan minyak goreng terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk sehingga mendorong bertambahnya produsen-produsen yang bergerak dalam bisnis ini untuk terus memasuki pasar. Minyak goreng juga merupakan salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok masyarakat indonesia. Oleh karena itu, peningkatan kebutuhan minyak goreng dalam negeri mengharuskan pemerintah untuk menjaga kesediaan pasokan dalam negeri salah satunya dengan meningkatkan produksi.
Perkembangan industri minyak goreng sawit pada dasawarsa terakhir mengalami peningkatan sejalan dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng kelapa sawit. Ini tercermin dari pertumbuhan volume produksi CPO dan minyak gorengnya. Indonesia saat ini merupakan produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, setelah negeri jiran, Malaysia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis bagaimana pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri minyak goreng sawit di Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri minyak goreng sawit di Indonesia. Kemudian penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh krisis ekonomi terhadap keuntungan total industri, pada industri minyak goreng sawit di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk deret waktu (time series) dari tahun 1990-2003.
Data yang digunakan meliputi biaya input, nilai output industri, data produksi minyak sawit nasional, data konsumsi minyak sawit nasional, nilai tambah, data penjualan masing-masing perusahaan minyak sawit nasional dan sebagainya. Data diperoleh dari Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI), Biro Pusat Statistik (BPS), media elektronik yakni internet dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian.
Analisis yang dilakukan untuk menguji pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri minyak goreng sawit yaitu dengan menggunakan model persamaan regresi. Ordinary Least Square (OLS) adalah metode yang digunakan dalam menganalisis kuantitatif dalam penelitian yang dilakukan, metode ini diestimasi dengan menggunakan Microsoft Excel, dan kemudian diolah menggunakan program e-Views 4.1. Hal yang mungkin terjadi dan perlu diperhatikan dalam menganalisis model persamaan regresi adalah masalah pelanggaran asumsi pada model. Pelanggaran asumsi yang harus dihindari dalam analisis ini ialah kemungkinan terjadinya multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Tetapi setelah melakukan pengujian pelanggaran asumsi yang ada diatas dapat dihindari atau model ini tidak mengandung multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Hasil uji-F didapatkan bahwa variabel-variabel eksogen mampu menerangkan variabel-variabel endogen yang ditunjukkan oleh
(3)
nilai P-value = 0.002943 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar sepuluh persen (α = 10%). Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah mendukung keabsahan model atau dengan kata lain bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh keseluruhan variabel penjelas terhadap variabel dependennya adalah baik. Dari uji-t menunjukkan ada empat variabel eksogen yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya, pada taraf nyata sepuluh persen. Variabel-variabel tersebut adalah GROWTH, CR4, XEFF dan Dummy krisis ekonomi. Sedangkan variabel lainnya yakni MES tidak signifikan mempengaruhi variabel tak bebasnya (PCM) pada taraf nyata sepuluh persen (α = 10%).
Variabel respon model ini adalah Price Cost Margin (PCM) sebagai proksi keuntungan. Variabel bebas yang digunakan antara lain Concentration Ratio untuk empat perusahaan terbesar (CR4), Efisiensi internal (XEFF), Pertumbuhan nilai barang yang dihasilkan (GROWTH), Skala Ekonomis Minimum (MES), serta Dummy krisis ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rasio konsentrasi (CR4) industri minyak goreng sawit secara signifikan mempengaruhi total keuntungan industri (PCM). Efisiensi internal berhubungan positif dengan total keuntungan industri (PCM) karena adanya biaya produksi yang ditekan oleh perusahaan. Tingkat pertumbuhan nilai barang yang dihasilkan (GROWTH) yang turut menggambarkan kondisi permintaan dan kondisi perekonomian memiliki hubungan positif dengan total keuntungan industri (PCM). MES berpengaruh negatif terhadap tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit tetapi secara statistik tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen (α = 10%) . Pengaruh krisis akan menurunkan keuntungan total industri karena adanya peningkatan biaya produksi yang mengakibatkan peningkatan harga minyak goreng sawit hingga mengakibatkan turunnya konsumsi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka saran yang dapat diberikan penulis yaitu dalam penelitian selanjutnya, perlu ditambahkan variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi kinerja pada industri minyak goreng sawit, yang belum dijelaskan pada penelitian ini seperti strategi promosi misalnya iklan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan minyak goreng sawit dan utilitas kapasitas yang menggambarkan kondisi produksi minyak goreng sawit di Indonesia.
(4)
BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2006
Ruth Bonggasau’ H14102007
(5)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ruth Bonggasau’ lahir pada tanggal 07 November 1983 di Mamasa, sebuah kota kecil yang berada di provinsi Sulawesi Barat. Penulis anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Markus Bonggasau’ dan Hermina Daniel. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa suatu hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN II Mamasa Kabupaten Mamasa. Kemudian melanjutkan ke SLTP Frater Mamasa dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN I Mamasa dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2002 penulis meninggalkan Kabupaten Mamasa untuk melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan terbaik. Penulis masuk IPB melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah mengikuti organisasi Komkes PMK IPB dan Organisasi IKAMI SULSEL.
(6)
OLEH
RUTH BONGGASAU’
H14102007
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
(7)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat kasih karunia dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Pengaruh Struktur Pasar Terhadap Kinerja Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia”. Topik penelitian ini dipilih karena perkembangan industri minyak goreng sawit pada dasawarsa terakhir mengalami peningkatan sejalan dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng kelapa sawit. Ini tercermin dari pertumbuhan volume produksi CPO dan minyak gorengnya. Indonesia saat ini merupakan produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, setelah negeri jiran, Malaysia. Berdasarkan fenomena tersebut, muncul keinginan penulis untuk meneliti bagaimana pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri minyak goreng sawit di Indonesia. Disamping itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini, antara lain:
1. Ibu Henny Reinhardt, S.P., M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang telah membimbing dan membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini 2. Bapak Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku dosen penguji skripsi yang telah
memberi banyak saran yang membangun demi kebaikan karya ini
3. Muhammad Findi A, S.E, M.Si selaku komosi pendidikan yang telah memberi saran mengenai tata cara penulisan yang baik
4. Kedua orang tua penulis Markus Bonggasau dan Hermina Daniel serta Adik penulis Janawati Bonggasau, Welyem Bonggasau dan Mega Sriani Bonggasau yang selalu setia memberikan doa, dukungan dan moril kepada penulis.
5. Teman-teman satu bimbingan dan sahabat penulis Novryanto RS, Granson TL Reinhard dan Sri Bahaduri yang selalu setia mendukung penulis dan tempat bertukar pikiran
(8)
Akhir kata, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan pada kata-kata yang penulis gunakan. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2006
Ruth Bonggasau’ H14102007
(9)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di era globalisasi perdagangan dunia, industri dituntut untuk
meningkatkan kemampuan dan keunggulan sesuai standar dan persyaratan
internasional. Maka dalam hal ini unsur-unsur pokok dari keunggulan kompetitif,
struktur, perilaku dan kinerja suatu industri harus diperhatikan.
Struktur perekonomian yang sudah maju ditandai dengan peranan sektor
industri pengolahan dan jasa yang semakin besar dalam menopang suatu sistem
perekonomian. Sektor ini berangsur-angsur menggantikan peranan sektor
tradisional (sektor pertanian) dalam menyerap tenaga kerja dan sumber
pendapatan negara. Sektor perekonomian yang tercakup dalam kategori sektor ini
antara lain industri pengolahan, restoran dan hotel, lembaga keuangan, dan jasa.
Di Indonesia industri pengolahan merupakan penggerak utama dalam
pembangunan perekonomian. Ini terbukti sejak pemerintahan orde baru sampai
sekarang telah membawa perubahan yang fundamental dalam struktur
perekonomian nasional dan sekaligus memberikan sumbangan yang besar
terhadap perekonomian.
Namun ketika krisis pada tahun 1997, sumbangan industri pengolahan
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan, akan tetapi
sumbangan industri pengolahan masih merupakan yang tertinggi dibanding sektor
lainnya. Terbukti pada tahun 2000 sumbangan industri terhadap PDB sebesar
(10)
2001 dari total PDB sebesar 411.691 dan 26.62 persen pada tahun 2002 dari total
PDB sebesar 426.740,5 (BPS, 2002).
Salah satu industri pengolahan yang berkembang di Indonesia yaitu
industri minyak goreng, salah satunya adalah minyak goreng sawit yang
merupakan produk hilir dari minyak kelapa sawit. Kebutuhan minyak goreng
terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk sehingga mendorong
bertambahnya produsen-produsen yang bergerak dalam bisnis ini untuk terus
memasuki pasar. Minyak goreng juga merupakan salah satu dari sembilan bahan
kebutuhan pokok masyarakat indonesia. Oleh karena itu, peningkatan kebutuhan
minyak goreng dalam negeri mengharuskan pemerintah untuk menjaga kesediaan
pasokan dalam negeri salah satunya dengan meningkatkan produksi. Secara
keseluruhan, volume produksi minyak goreng di Indonesia pada 1998 mencapai
2.18 juta ton. Lima tahun kemudian, volume produksinya sudah meningkat
menjadi 6.43 juta ton. Peningkatan produksi minyak goreng dapat dilihat pada
Gambar 1.1.
Sumber : AIMMI, 2005
Gambar 1.1. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Indonesia (juta ton) 6.43
5.76 5.17 4.43 4.11 3.73 2.5 2.18
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Produksi Minyak Goreng
(11)
3
Perkembangan industri minyak goreng sawit pada dasawarsa terakhir
mengalami peningkatan sejalan dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat dari
minyak goreng kelapa ke minyak goreng kelapa sawit. Ini tercermin dari
pertumbuhan volume produksi CPO dan minyak gorengnya. Jika pada tahun
1998 volume produksi CPO baru mencapai 5.640.154 juta ton, tahun 2004
meningkat signifikan menjadi 9.098.220 juta ton. Indonesia saat ini merupakan
produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, setelah negeri jiran, Malaysia.
Tingkat konsumsi minyak goreng di Indonesia sejak tahun 1998 hingga
tahun 2005 terus mengalami peningkatan. Ini tercermin dari tingkat konsumsi per
kapita yang meningkat dari 10.7 kilogram per kapita pada tahun 1998 menjadi
16.5 kilogram pada tahun 2005. Peningkatan konsumsi per kapita minyak goreng
Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Sumber : AIMMI, 2005
Gambar 1.2. Peningkatan Konsumsi per Kapita Minyak Goreng Indonesia (Kilogram)
10.7 12.1
14.2 14.9 15 15.4
16 16.5
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Konsumsi per Kapita Minyak Goreng
(12)
Volume produksi minyak goreng di Indonesia boleh dikatakan hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ini tampak dari tingkat
konsumsinya. Pada tahun 1998 konsumsi minyak goreng di Indonesia mencapai
3.22 juta ton (produksinya cuma 2.18 juta ton), sementara pada tahun 2005
menjadi 6.04 juta ton (produksi 6.43 juta ton). Volume produksi yang terus
meningkat menyebabkan Indonesia mampu mengekspor sebagian minyak goreng
sawitnya. Maka, tak heran jika sejak tahun 1998 hingga tahun 2005 volume
ekspornya terus meningkat dari 0.37 juta ton ke 1.58 juta ton. Semasa krisis
ekonomi 1998, volume produksi minyak goreng sawit mencapai 2.07 juta ton.
Namun, dalam waktu tujuh tahun kemudian, volume produksinya sudah
meningkat cukup signifikan menjadi 5.39 juta ton. Pertumbuhan semacam ini
tidak terjadi pada minyak goreng kelapa, yang pada 1998 volume produksinya
baru mencapai 0.11 juta ton, tetapi lima tahun kemudian hanya menjadi 1.04 juta
ton. Perkembangan produksi minyak goreng sawit dan kelapa dapat dilihat pada
Gambar 1.3.
Sumber : AIMMI, 2005.
Gambar 1.3. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Sawit dan Kelapa Indonesia (juta ton)
2.07 0.11 2.4 0.1 3.53 0.2 3.89 0.22 4.2 0.23 4.22 0.95 4.77 0.99 5.39 1.04
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
(13)
5
1.2. Perumusan Masalah
Masyarakat Indonesia secara umum mengkonsumsi dua jenis minyak
goreng, yaitu minyak goreng nabati dan minyak goreng hewani. Angka-angka
statistik menunjukkan bahwa tingkat konsumsi minyak goreng hewani sangat
kecil dibanding minyak goreng nabati. Minyak goreng nabati dikelompokkan
menjadi dua yakni minyak goreng kelapa dan minyak goreng sawit.
Sebelum orde baru sampai pada awal pembangunan jangka panjang tahap
I, minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat didominasi oleh minyak kelapa.
Namun sejak tahun 1970-an bersamaan dengan meningkatnya produksi kelapa
sawit, minyak goreng kelapa mulai tergeser oleh minyak goreng sawit. Mulai
akhir tahun 1970-an, konsumsi minyak goreng sawit pun terus mengalami
peningkatan.
Indonesia saat ini merupakan produsen dan eksportir CPO terbesar di
dunia, setelah negeri jiran, Malaysia, dan ini memberikan sumbangan yang cukup
besar terhadap perekonomian disamping sumbangannya terhadap penyerapan
tenaga kerja. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis bagaimana
pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri minyak goreng sawit di
Indonesia.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri minyak sawit
di Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh krisis ekonomi terhadap keuntungan total industri
(14)
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri minyak
goreng sawit di Indonesia.
2. Menganalisis pengaruh krisis ekonomi terhadap keuntungan total industri,
pada industri minyak goreng sawit di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak,
antara lain:
1. Dapat meningkatkan pengetahuan penulis tentang analisis pengaruh
struktur pasar terhadap kinerja industri minyak goreng sawit di Indonesia.
2. Dapat digunakan sebagai data dasar bagi peneliti lebih lanjut yang tertarik
dalam masalah yang sama, yaitu terkait dalam industri minyak goreng
sawit di Indonesia.
3. Dapat menjadi dasar pertimbangan dan bahan masukan bagi perusahaan
dan pemerintah dalam pengambilan kebijakan sebagai upaya
(15)
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Konsep Ekonomi Industri
Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi.
Ilmu ekonomi ini membantu menjelaskan mengapa pasar perlu diorganisir dan
bagaimana pengorganisasiannya mempengaruhi cara kerja pasar industri. Definisi
ekonomi industri adalah bahwa pada dasarnya teori-teori yang terdapat dalam
ekonomi industri menekankan pada ilmu ekonomi studi empiris dan faktor-faktor
yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku dan kinerja sehingga tercapai tingkat
efisiensi bagi perusahaan, industri serta perekonomian secara keseluruhan
(Jaya, 2001).
2.2. Pengertian Industri Pengolahan
Usaha industri pengolahan adalah usaha yang melakukan kegiatan
mengubah barang dasar (bahan mentah) menjadi barang jadi/setengah jadi dan
atau barang yang lebih tinggi nilainya sehingga lebih dekat kepada pemakai akhir
untuk tujuan komersial, termasuk dalam sektor ini adalah perusahaan yang
melakukan jasa industri, rancang bangun, perekayasaan serta pekerjaan perakitan
(assembling) dari suatu barang. Suatu usaha yang melakukan sebagian proses
industri demi suatu usaha industri atas dasar kontrak atau balas jasa juga
(16)
2.3. Struktur Pasar
Struktur pasar dapat dijelaskan sebagai lingkungan dimana perusahaan
berada untuk melakukan operasinya dalam pasar tertentu (Jaya, 2001). Secara
umum struktur pasar memiliki beberapa elemen yang menggambarkan ukuran
perusahaan-perusahaan yang bersaing dalam pangsa pasar diantaranya adalah :
1. Pangsa Pasar
Pangsa pasar sering digunakan sebagai indikator proksi untuk melihat
adanya kekuatan pasar dan menjadi indikator tentang seberapa pentingnya suatu
perusahaan di dalam pasar. Derajat kekuatan pasar umumnya akan muncul ketika
pangsa pasar mencapai 15 persen, pada tingkat yang lebih tinggi yaitu 25-30
persen derajat monopoli menjadi signifikan pada tingkat 40-50 persen biasanya
perusahaan mempunyai kekuatan pasar yang kuat. Kesuksesan suatu perusahaan
biasanya selain digambarkan oleh profit dan harga saham juga ditentukan oleh
besarnya pangsa pasar.
2. Konsentrasi
Konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari
perusahaan-perusahaan oligopolis dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan.
Kombinasi pangsa pasar membentuk suatu tingkat pemusatan dalam pasar.
Penerimaan (return) rata-rata industri terkonsentrasi akan lebih tinggi daripada
penghasilan dari jenis industri yang kurang terkonsentrasi.
Pemusatan merupakan tingkat oligopoli. Para oligopolis dapat melakukan
kordinasi secara ketat seakan-akan mereka merupakan monopolis sejati,
(17)
9
lebih lanjut. Kombinsi kekuatan pasar mereka perlahan-lahan mengurangi
pengaruh perusahaan yang mempunyai pangsa pasar utama. Pemusatan dapat
menghasilkan suatu bentuk industri yang secara rasio dapat diterima.
Alat yang digunakan untuk mengukur konsentrasi perusahaan adalah
Concentration Ratio (CR4), yaitu alat ukur paling sederhana untuk mengukur
tingkat konsentrasi dari perusahaan-perusahaan yang memiliki pangsa pasar
terbesar. CR4 dirumuskan :
industri penjualan
Total
terbesar perusahaan
4 penjualan Jumlah
4
CR =
Nilai CR4 yang dihasilkan antara nol sampai satu. Semakin besar nilai CR4 yang
dihasilkan maka struktur pasar semakin monopoli, sebaliknya jika nilainya
semakin kecil (mendekati nol) maka persaingannya semakin sempurna.
Hubungan antara konsentrasi rasio dengan pertumbuhan pasar itu sendiri
mempunyai hubungan yang positif, yang berarti bahwa pada saat konsentrasi rasio
turun pertumbuhan pendapatan cenderung turun. Peningkatan konsentrasi bisa
disebabkan karena perluasan yang terjadi pada establishment dan berkurangnya
jumlah perusahaan. Keuntungan dan tingkat konsentrasi berhubungan positif ini
merupakan halangan masuk yang besar bagi perusahaan baru. Karena dengan
keuntungan yang mereka dapatkan perusahaan-perusahaan yang ada pada industri
itu berusaha untuk meningkatkan lagi konsentrasinya. Semakin meningkatnya
konsentrasi rasio tetapi jumlah perusahaan naik, berarti skala establishment yang
masuk lebih banyak berskala sedang dan kecil (Jaya, 2001).
(18)
3. Kondisi entry
Hambatan masuk ke dalam pasar merupakan unsur yang sangat penting
dalam struktur pasar. Kondisi ini akan dihadapi pesaing potensial jika ingin
berpartisipasi dalam pasar. Pesaing potensial adalah perusahaan-perusahaan di
luar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing
yang sebenarnya (Jaya, 2001). Segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya
penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru merupakan
hambatan untuk masuk.
Penghambat untuk masuk ke dalam industri dapat bersifat alami seperti
biaya investasi yang tinggi, penguasaan teknologi baru, tingkat produksi minimal
yang tinggi dan adanya peningkatan sunk cost. Hambatan masuk juga dapat
bersifat legal berupa perangkat-perangkat peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Hal lain yang dapat dijadikan faktor hambatan masuk adalah dengan pengukuran
Minimum Efficiency Scale (MES). Pesaing baru tidak akan masuk, kecuali yakin
akan memperoleh keuntungan setelah masuk ke dalam pasar. Jika MES relatif
besar terhadap pasar, perusahaan baru tidak akan dapat membuka pabrik yang
beroperasi secara efisien tanpa meningkatkan output industri. Perusahaan yang
memasuki pasar dengan kondisi di bawah MES tidak akan sanggup bersaing
dengan perusahaan yang ada di pasar.
Beberapa ukuran yang dapat dijadikan proksi bagi MES yaitu output dari
pabrik terbesar, ukuran rata-rata dari seluruh pabrik yang berada pada kelas
distribusi tinggi dan ukuran rata-rata dari beberapa pabrik yang terbesar yang
(19)
11
keuntungan dan tingkat konsentrasi merupakan halangan masuk yang besar bagi
perusahaan baru. Karena dengan keuntungan yang mereka dapatkan,
perusahaan-perusahaan yang ada pada industri itu berusaha untuk meningkatkan lagi
konsentrasinya.
2.4. Kinerja Industri
Kinerja pasar atau industri adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh
struktur dan perilaku industri (Hasibuan, 1993). Kinerja dalam kaitannya dengan
ekonomi memiliki banyak aspek, namun dipusatkan pada tiga aspek pokok yaitu
efisiensi, kemajuan teknologi, dan keseimbangan dalam distribusi (Jaya, 2001).
Kinerja pasar dapat diartikan sebagai sebuah usaha yang disesuaikan dengan
struktur dan perilaku pasar untuk tujuan akhir memperoleh keuntungan. Selain itu
tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan dalam hal kinerja adalah efisiensi,
inovasi atau kualitas produk yang lebih baik karena perkembangan teknologi,
serta distribusi yang merata.
Dalam hubungan dengan ekonomi organisasi industri istilah efisiensi
berhubungan dengan cara yang paling efektif untuk memanfaatkan sumberdaya
yang langkah. Efisiensi secara sederhana adalah nilai maksimum output yang
dihasilkan dari input yang minimal. Efisiensi biasanya dibedakan menjadi dua
macam, yaitu efisiensi teknologi (teknik) dan efisiensi ekonomi (alokatif).
Sebuah perusahaan mungkin secara teknologi lebih efisien dari yang lain kalau
(20)
sedikit input fisik. Adanya proses produksi yang berbeda menyebabkan tingkat
semua perusahaan dapat efisien secara teknologi.
Efisiensi ekonomi timbul apabila input dimanfaatkan sedemikian rupa
sehingga suatu tingkat output diproduksi dengan biaya serendah mungkin.
Kemampuan perusahaan dalam menekan biaya produksi, dapat menciptakan
kontribusi terhadap nilai tambah yang diperoleh. Peningkatan dalam efisiensi
terjadi bila output yang ada atau tingkat suatu output dihasilkan dengan biaya
yang lebih rendah.
Elemen-elemen yang terdapat di dalam kinerja pasar adalah sebagai
berikut (Legowo, 1996) :
1. Efisiensi dalam produksi, artinya kemampuan berproduksi secara efisien
dengan menggunakan sejumlah input tertentu untuk menghasilkan nilai
output yang maksimum.
2. Efisiensi dalam penyaluran, artinya kemampuan mendistribusikan hasil
produksi dengan biaya rendah.
3. Efisiensi dalam mengalokasikan sumberdaya sehingga harga yang
dikenakan kepada pembeli bisa rendah sesuai dengan rendahnya biaya
produksi termasuk keuntungan yang normal bagi produsen.
4. Kemampuan dalam memanfaatkan kemajuan teknologi, sehingga dapat
diperoleh biaya produksi yang rendah dan teknik distribusi yang lebih
tepat.
5. Kinerja berupa mutu, harga dan jumlah (variasi produk) yang sesuai dan
(21)
13
Konsumen atau masyarakat mengharapkan adanya kinerja yang bisa
memberikan kesejahteraan kepada mereka antara lain dapat memperoleh harga
yang murah, bermutu tinggi, jumlah yang cukup kesediaannya, serta mudah dan
cepat diperoleh. Hal tersebut bisa diperoleh jika alokasi sumberdaya produksi
(bahan input), distribusi hasil produksi, dan kemampuan kemajuan teknologi
semuanya dilakukan secara efisien. Semua ini dapat diperoleh jika struktur dan
perilaku pasar mendukung kinerja untuk memberikan kontribusi yang baik demi
kesejahteraan masyarakat (Legowo, 1996).
Pendekatan operasional yang sering dilakukan untuk menilai kinerja suatu
industri adalah menggunakan tingkat keuntungan. Pada dasarnya tidak
memungkinkan untuk mengukur besarnya pendapatan atau keuntungan
perusahaan secara akurat. Banyak kendala yang dihadapi untuk mendapatkan
ketepatan dalam pengukuran, karena data perusahaan tidak semuanya
diduplikasikan, sehingga digunakanlah Price Cost Marginal (PCM) sebagai
proksi dari tingkat keuntungan, maka tingkat PCM yang tinggi hanya akan
tercipta apabila terdapat kekuatan monopoli atau rasio konsentrasi perusahaan
yang tinggi. PCM didefinisikan sebagai suatu indikator kinerja yang merupakan
perkiraan kasar dari keuntungan perusahaan. PCM dapat diperoleh dengan
membagi selisih antara nilai tambah dikurangi upah yang harus dibayarkan
terhadap nilai pengiriman (Jaya, 2001). Nilai tambah adalah nilai total output
dikurangi dengan nilai total input. Upah yang dibayarkan merupakan total
(22)
yang dihasilkan adalah bagian dari nilai output perusahaan yang menunjukkan
jumlah total dari hasil produksi.
Pertumbuhan nilai produksi atau GROWTH diduga dapat mempengaruhi
kinerja industri variabel ini dapat mempengaruhi kinerja industri karena variabel
ini dapat menunjukkan permintaan pasar (market demand). Jika permintaan pasar
terhadap suatu barang meningkat, maka perusahaan maka akan meningkatkan
produksinya untuk memenuhi permintaan yang ada. Adanya peningkatan dalam
jumlah produksi akan berdampak terhadap meningkatnya keuntungan yang
dialami perusahaan. % 100 1 t tahun dihasilkan Barang Nilai 1 t tahun dihasilkan Barang Nilai t tahun dihasilkan Barang Nilai Growth x − − − =
2.5. Dummy
Variabel Dummy menurut Gujarati (1997) merupakan variabel penjelas
dalam analisis regresi yang digunakan untuk mewakili variabel kualitatif.
Variabel ini sering disebut variabel binary atau variabel dikotomi (variabel yang
membagi dua). Dalam penelitian ini, variabel dummy yang digunakan adalah
variabel Dummy untuk kondisi perekonomian Indonesia, yaitu sebelum dan
sesudah krisis. Biasanya variabel Dummy ini bernilai satu jika variabel
kualitatifnya berpengaruh dan bernilai nol jika tidak berpengaruh.
(23)
15
2.6. Kerangka Hubungan Struktur- Perilaku-Kinerja
Pada ilmu ekonomi industri merupakan ilmu ekonomi yang membantu
menjelaskan pengorganisasian pasar yang mempengaruhi cara kerja pasar industri.
Ilmu ini menelaah struktur pasar perusahaan yang secara relatif lebih menekankan
pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi pasar, perilaku, dan
kinerja pasar (Jaya, 2001).
Pada gambar 2.4. terlihat bahwa terdapat saling keterkaitan antara
masing-masing unsur yaitu struktur, perilaku, dan kinerja pasar. Ketiga unsur tersebut
saling berinteraksi yang mempengaruhi proses alokasi hasil produksi kepada
masyarakat dengan efektif dan efisien. Keterkaitan itu dapat terlihat dari garis
panah dan garis putus-putus yang menghubungkan antara unsur satu dengan unsur
lainnya. Hubungan ini tidak hanya bersifat satu arah, tetapi dapat berhubungan
(24)
Sumber : Hasibuan, 1993
Gambar 2.4. Kerangka Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja
Sisi Permintaan
Elastisitas
Tingkat pertumbuhan Strategi perusahaan Cara pembelian
Sifat-sifat siklis dan musiman Substitusi
Sisi Penawaran
Bahan baku Teknologi
Ketahanan produk Nilai atau berat Sikap bisnis Organisasi buruh KONDISI DASAR Jumlah pembeli Skala pembeli Diferensiasi produk Kondisi entry Konglomerasi Jumlah penjual Kondisi ongkos Integrasi vertikal Integrasi horizontal Organisasi buruh STRUKTUR PASAR Strategi harga Strategi produk Strategi promosi Paksaan Taktik legal Advertensi
Penelitian dan inovasi PERILAKU Efisiensi alokatif Efisiensi teknis Efek inflasi Pemerataan Kemajuan teknologi Kualitas produk Kesempatan kerja Laba KINERJA
(25)
17
2.7. Hasil Penelitian Terdahulu
Busriawaty (2004), menganalisis hubungan struktur pasar dan kinerja
industri pupuk di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif antara variabel utama struktur pasar, yaitu CR2 dengan PCM
sebagai variabel kinerja. Tingginya rasio konsentrasi yang ada pada industri
pupuk telah mampu menciptakan kekuatan pasar sehingga berdampak terhadap
perolehan keuntungan. Begitu pula dengan variabel struktur pasar yang lain.
XEFF dan GROWTH juga memiliki hubungan positif dengan PCM. Perusahaan
pada industri pupuk telah mampu menciptakan efisiensi internal dengan menekan
biaya input dalam berproduksi. Keadaan ini membuat nilai tambah yang diperoleh
menjadi besar sehingga keuntungan yang diperoleh pun akan meningkat. Dengan
kata lain analisis yang dilakukan berhasil menyimpulkan bahwa pada industri
pupuk telah terjadi hubungan positif antara struktur pasar dengan kinerja yang
tinggi, efisiensi internal dalam berproduksi, dan peningkatan pertumbuhan
produksi pupuk, telah berpengaruh terhadap pencapaian keuntungan bagi industri
pupuk.
Penelitian lain mengenai analisis SCP dilakukan Putri (2004) mengenai
bagaimana kondisi dasar, struktur dan kinerja, hubungan struktur dan kinerja, dan
perilaku industri rokok kretek di Indonesia. Hasil penelitian mengenai kondisi
dasar dari permintaan menunjukkan bahwa harga rokok kretek, harga rokok putih,
jumlah penduduk dan permintaan tahun sebelumnya memberikan pengaruh nyata
terhadap jumlah permintaan rokok kretek, sedangkan pendapatan masyarakat
(26)
yang berdasarkan peraturan yang berlaku tidak memiliki hambatan masuk bagi
perusahaan baru untuk masuk ke pasar.
Hasil analisis hubungan struktur dan kinerja, variabel bebas yang memiliki
pengaruh terhadap tingkat keuntungan (PCM) adalah tingkat konsentrasi (CR4),
efisiensi internal (X-eff), dan skala ekonomis (MES). Variabel utilitas kapasitas
produksi (CU) tidak berpengaruh terhadap PCM. Variabel yang memiliki
hubungan yang positif adalah CR4 dan X-eff, sedangkan variabel MES memiliki
hubungan negatif dengan tingkat keuntungan. Untuk analisis perilaku
perusahaan-perusahaan dalam industri rokok kretek dilihat dari strategi harga dan produksi,
strategi promosi, dan kemungkinan adanya kolusi. Dalam menentukan harga jual
perusahaan-perusahaan rokok kretek dipengaruhi oleh Keputusan Menteri
Keuangan No.449/KMK.04/2002 yang mengatur tentang harga jual eceran (HEJ)
minimum dan tarif cukai berdasarkan skala produksi setiap perusahaan. Sama
halnya dalam bidang promosi, masih dipengaruhi oleh Peraturan Pemerintah (PP)
No. 19 Tahun 2003. Untuk dapat mempertahankan pangsa pasarnya perusahaan
besar lebih sensitif dan efisiensi dalam berproduksi. Adanya tingkat diferensiasi
produk yang tinggi dari peruusahaan besar untuk mempertahankan pangsa
pasarnya melemahkan adanya dugaan kolusi terselubung diantara perusahaan
besar dalam industri rokok kretek.
Ratri (2004), dalam penelitiannya tentang analisis permintaan dan
penawaran industri minyak goreng kelapa di Indonesia melakukan pendugaan
fungsi penawaran, permintaan dan ekspor dengan menggunakan persamaan
(27)
persamaan-19
persamaan tersebut saling terkait satu sama lain. Penelitian ini juga menggunakan
persamaan identitas dimana penawaran merupakan hasil penjumlahan dan
permintaan, ekspor dan stok. Selain itu dihitung elastisitas masing-masing
variabel dari setiap persamaan sehingga dapat diketahui respon variabel tersebut
terhadap suatu persamaan. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data yang sudah diriilkan dengan menggunakan indeks harga perdagangan besar
dengan tahun dasar 1993. Hasil estimasi persamaan penawaran menunjukkan
bahwa harga minyak goreng kelapa, harga minyak kelapa kasar dan stok tahun
sebelumnya tidak berpengaruh nyata pada penawaran sedangkan upah dan trend
berpengaruh nyata terhadap penawaran. Semua variabel tidak responsif dalam
jangka pendek. Hasil estimasi persamaan permintaan dan persamaan ekspor
menunjukkan bahwa semua variabel berpengaruh nyata namun tidak responsif
dalam jangka pendek.
Juwita (2004) melakukan analisis ekonomi industri semen dan
Undang-Undang Persaingan Usaha. Penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh industri
semen nasional yang pada waktu itu dalam pengawasan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) karena adanya indikasi melanggar undang-undang
persaingan usaha. Dalam penelitian ini struktur pasar dinilai dengan menghitung
konsentrasi 4 perusahaan terbesar (CR4) dan Indeks Herfindahl. Hasil yang
diperoleh bahwa industri semen memiliki konsentrasi tinggi dengan nilai CR4
pada tahun 2001 sebesar 76.44 persen dan Indeks Herfindahl sebesar 2123.5 yang
menunjukkan tidak terjadi persaingan tidak sehat karena dikatakan persaingan
(28)
persen. Struktur pasar industri semen merupakan oligopoli ketat dengan produk
homogen serta hambatan masuk yang tinggi.
Perilaku industri dianalisis melalui strategi harga, strategi produksi serta
hal-hal yang diawasi KPPU. Hubungan antara struktur dengan kinerja industri
semen nasional dianalisis dengan menggunakan model regresi berganda. Variabel
tidak bebas yang digunakan adalah Price Cost Margin yang merupakan proksi
tingkat keuntungan perusahaan. Variabel bebas yang digunakan adalah indeks
Herfindahl, extra efisiensi, utilitas kapasitas produksi, dan tingkat pertumbuhan
nilai barang yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks
Herfindahl, ekstra efisiensi dan pertumbuhan nilai barang yang dihasilkan secara
signifikan mempengaruhi tingkat keuntungan dan hubungannya positif.
2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian
Industri minyak goreng sawit merupakan industri yang akhir-akhir ini
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perekonomian negara ditambah
lagi sebagai salah satu komoditi ekspor andalan dan merupakan juga salah satu
dari sembilan bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Peningkatan kebutuhan minyak goreng dalam negeri mengharuskan
pemerintah untuk menjaga kesediaan pasokan dalam negeri, salah satunya dengan
meningkatkan produksi, terbukti pada tahun 1998 produksi minyak goreng dari
2.18 juta ton menjadi 6.43 juta ton pada tahun 2005. Hal ini dapat terbukti juga
dengan tingkat konsumsi minyak goreng di Indonesia sejak tahun 1998 hingga
(29)
21
meningkat dari 10.7 kilogram per kapita (tahun 1998) menjadi 16.5 kilogram
(tahun 2005). Berdasarkan perkembangan berbagai variabel terkait seperti
peningkatan konsumsi minyak goreng untuk keperluan rumah tangga maupun
industri diperkirakan total konsumsi minyak goreng dalam negeri tahun 2005
mencapai 6 juta ton dimana 83.3 persen terdiri dari minyak sawit.
Penelitian akan diawali dengan menganalisis bagaimana pengaruh
struktur pasar terhadap kinerja industri minyak goreng sawit Indonesia. Dalam
konteks ini, akan dilihat bagaimana pengaruh struktur pasar (dengan variabel
tingkat konsentrasi (CR4) dan skala ekonomis (MES)) dapat mempengaruhi
kinerja dari industri (yang diproksi dengan tingkat manfaat-biaya atau PCM).
Selain itu, PCM digunakan sebagai proksi yang mencerminkan tingkat
keuntungan dari suatu industri, maka variabel Efisiensi internal (XEFF),
GROWTH dan Dummy dimasukkan ke dalam fungsi untuk menganalisis
bagaimana pengaruh Efisiensi, GROWTH dan Dummy terhadap PCM atau tingkat
keuntungan industri. Hasil kajian pengaruh struktur pasar terhadap kinerja
tersebut akan memberikan hasil keterkaitan dari masing-masing variabel serta
(30)
Keterangan :
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian
2.9. Hipotesis Penelitian
Rumusan jawaban sementara mengenai permasalahan dari tulisan ini adalah :
1. CR4, XEFF, GROWTH dan MES diduga berpengaruh positif terhadap
PCM.
2. Dummy krisis diduga berpengaruh negatif terhadap PCM. Variabel independent
Variabel dependet
Hubungan satu arah
Industri minyak goreng sawit di Indonesia
- CR4 - MES - XEFF - GROWTH
- Dummy
( Variabel indipenden)
Analisis kuantitatif
Ordinary Least Square (OLS). pengaruh struktur pasar terhadap kinerja
industri minyak goreng sawit nasional PCM
(Variabel
dependen)
Interpretasi :
- Pengaruh struktur pasar terhadap kinerja
(31)
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk deret waktu (time series) dari tahun 1990-2003. Data yang digunakan meliputi biaya input, nilai output industri, data produksi minyak sawit nasional, data konsumsi minyak sawit nasional, nilai tambah, data penjualan masing-masing perusahaan minyak sawit nasional dan sebagainya. Data diperoleh dari Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI), Biro Pusat Statistik (BPS), media elektronik (internet) dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian.
3.2. Metode Analisis
Ordinary Least Square (OLS) adalah metode yang digunakan dalam
menganalisis kuantitatif dalam penelitian yang dilakukan, metode ini diestimasi dengan menggunakan Microsoft Excel, dan kemudian diolah menggunakan program e-Views 4.1.
3.3. Analisis Pengaruh Struktur Pasar Terhadap Kinerja Industri Minyak Goreng Sawit
3.3.1. Struktur Pasar Industri Minyak Goreng Sawit
Concentration Ratio (CR4) adalah suatu alat ukur untuk mengetahui
besarnya tingkat konsentrasi dari empat perusahaan terbesar dari suatu pangsa pasar atau industri tertentu. Rasio konsentrasi adalah perhitungan konsentrasi
(32)
yang menggambarkan jumlah perusahaan dan ketidakseimbangan dalam pangsa pasarnya. Pangsa pasar tersebut biasanya diambil dari jumlah penjualan, jumlah aset, jumlah tenaga kerja, dan nilai tambah yang dihitung dari jumlah absolut perusahaan terbesar di dalam struktur pasar atau industri.
industri penjualan Total terbesar perusahaan 4 penjualan Jumlah 4 CR =
Nilai rasio konsentrasi CR4 100 persen mengindikasikan terjadinya monopoli sedangkan nilai CR4 lebih besar dari 60 persen, perusahaan tersebut adalah pasar oligopoli (Jaya, 2001). Selain melihat tingkat konsentrasi dan pangsa pasar dalam menganalisis struktur pasar industri minyak goreng sawit juga akan melihat bagaimana tingkat hambatan masuk bagi perusahaan-perusahaan baru. Untuk menganalisis hambatan masuk akan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan variabel Minimum Efficiency (MES). Semakin tinggi rasio konsentrasi pada suatu industri maka menunjukkan adanya potensi kekuatan pasar yang dimiliki oleh perusahaan untuk memperoleh keuntungan. Rumus yang digunakan dalam memperoleh nilai MES adalah sebagai berikut:
industri output Total terbesar perusahaan dari ouput Nilai MES =
3.3.2. Analisis Kinerja Industri Minyak Goreng Sawit
Penjelasan kinerja suatu industri akan dilakukan secara valuatif dan deskriptif. Variabel yang digunakan untuk mengikuti kinerja industri minyak goreng sawit Indonesia meliputi efisiensi internal digunakan dalam model
X 100% (3.3)
(33)
25
persamaan karena kemampuan perusahaan dalam menekan biaya produksi, dapat menciptakan kontribusi terhadap nilai tambah yang diperoleh. Rumus yang digunakan dalam mencari nilai efisiensi internal adalah sebagai berikut:
Input Biaya Industri Tambah Nilai Efisiensi -X =
Variabel Price Cost Margin (PCM) diperoleh dengan membagi selisih antara nilai tambah yang dikurangi pengeluaran upah dibagi nilai barang jadi (output) yang dihasilkan atau dengan rumus sebagai berikut:
ouput nilai Total kerja tenaga untuk n Pengeluara tambah Nilai
PCM= −
Varabel GROWTH diduga dapat mempengaruhi kinerja industri karena variabel ini dapat mempengaruhi kinerja industri karena variabel ini dapat menunjukkan permintaan pasar (market demand). Jika permintaan pasar terhadap suatu barang meningkat, maka perusahaan maka akan meningkatkan produksinya untuk memenuhi permintaan yang ada. Adanya peningkatan dalam jumlah produksi akan berdampak terhadap meningkatnya keuntungan yang dialami perusahaan. Variabel Dummy menurut Gujarati (1997) variabel Dummy
merupakan variabel penjelas dalam analisis regresi yang digunakan untuk mewakili variabel kualitatif. Variabel ini sering disebut varabel binary atau variabel dikotomi (variabel yang membagi dua). Biasanya variabel Dummy ini bernilai satu jika variabel kualitatifnya berpengaruh dan bernilai nol jika tidak berpengaruh.
(3.6) (3.5)
(34)
3.3.3. Analisis Pengaruh Struktur Pasar terhadap Kinerja
Analisis hubungan struktur dan kinerja dari industri minyak goreng sawit dilakukan analisis secara kuantitatif dengan menggunakan metode analisis Regresi Berganda (Ordinary Least Square). Dalam menganalisis model persamaan PCM, digunakan program Eviews 4.1 dan Microsoft Excel. Estimasi tanda dari koefisien variabel bebas adalah a1>0, a2>0,a3>0, a4>0, a5<0, yang artinya masing-masing
variabel bebas memiliki hubungan positif terhadap PCM. Persamaan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebegai berikut :
PCMt = a0 + a1CR4t-1 + a2MESt-1 + a3LOUt + a4XEFFt +a5DKt + εt (3.7) dimana :
PCMt : Proksi keuntungan total industri tahun t (persen)
CRt-1 : Konsentrasi 4 perusahaan terbesar dalam industri minyak
goreng sawit Indonesia tahun t-1 (persen)
MESt-1 : Skala ekonomis minimum tahun t-1 (persen)
LOU (GROWTH) : Log pertumbuhan nilai barang yang dihasilkan tahun t
XEFFt : Efisiensi internal dalam suatu industri tahun t (persen)
DKt (Dummy) : Variabel Dummy krisis ekonomi tahun 1997, sebelum
krisis = 0 dan sesudah krisis = 1
a0 : intersep
a1,a2,a3,a4,a5 : Nilai koefisien pada masing-masing variabel bebas
(35)
27
3.3.4. Pengujian Ekonometrik
Pengujian ekonometrik digunakan untuk melihat ada atau tidaknya pelanggaran terhadap asumsi klasik pada penggunaan metode OLS. Pengujian ekonometrik meliputi uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas. Apabila terjadi pelanggaran maka diperoleh hasil estimasi yang tidak valid.
3.3.4.1. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah istilah yang mula-mula ditemukan oleh Ragnar Frish. Pada mulanya multikolinearitas berarti adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti diantara beberapa variabel atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Tetapi saat ini istilah multikolinearitas digunakan dalam pengertian yang lebih luas (Gujarati, 1997).
Multikolinearitas didefinisikan sebagai adanya korelasi yang kuat antara variabel bebas pada model persamaan. Jika terjadi multikolinearitas dapat mempengaruhi tanda koefisien, sehingga tanda koefisien tidak sesuai dengan yang diharapkan. Multikolinearitas dapat menyebabkan hasil kesimpulan variabel bebas cenderung tidak signifikan terhadap variabel respon. Ada beberapa cara untuk mengetahui multikolinearitas dalam model, salah satunya adalah uji Manquardt, yaitu dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada masing-masing variabel eksogen. Jika nilai VIF kurang dari delapan maka dapat disimpulkan bahwa dalam persamaan tidak terdapat mulkolinearitas. Sebaliknya, jika nilai VIF lebih besar dari sepuluh maka terdapat multikolinearitas dalam persamaan tersebut.
(36)
3.3.4.2. Uji Autokorelasi
Autokorelasi didefenisikan sebagai korelasi yang terjadi antara unsur gangguan (galat) pada tahun sekarang dengan galat pada tahun sebelumnya. Autokorelasi bisa terjadi pada deret waktu (time series). Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah hasil estimasi model tidak mengandung korelasi serial di antara disturbance term. Pengujian autokorelasi dapat diketahui dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test, yang hasil kesimpulannya dapat diketahui dari nilai probability Obs*R-squared.
Hipotesis :
H0 : ρ = 0
H1 : ρ≠ 0
Kriteria uji :
Probability Obs*R-squared < α, maka tolak H0
Probability Obs*R-squared > α, maka terima H0
Jika H0 ditolak maka terjadi autokorelasi (positif atau negatif) dalam model.
Sebaliknya jika H0 diterima maka tidak ada autokorelasi dalam model.
3.3.4.3. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas merupakan pelanggaran asumsi yang terjadi jika penyebaran varians tiap unsur galat tidak konstan atau berbeda-beda. Model persamaan regresi linear klasik harus memiliki varians yang sama untuk semua unsur galat. Heteroskedastisitas biasa terjadi pada pemakaian data Cross section.
(37)
29
Pengujian masalah heteroskedasitas dilakukan dengan menggunakan uji
White Heteroscedasticity Test. Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat
probabilitas Obs*R-squared-nya. Hipotesis :
H0 : ρ = 0
H1 : ρ≠ 0
Kriteria uji
Probability Obs*-Square < taraf nyata (α), maka tolak Ho
Probability Obs*- Square > taraf nyata (α), maka terima Ho
Jika H0 ditolak, maka terdapat gejala heteroskedastisitas pada model. Sebaliknya
jika H0 diterima, maka pada model tidak terdapat gejala heteroskedastisitas.
3.3.4.4. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan karena jumlah data yang digunakan kurang dari 30. Uji ini digunakan untuk melihat apakah error telah mendekati distribusi normal. Pada Software Eviews uji normalitas dilakukan dengan menggunakan
Descriptive Statictic Test. Jika nilai Prababilitas Jarque Bera lebih besar dari
taraf nyata yang digunakan, maka model persamaan OLS yang digunakan tidak mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi secara normal.
3.3.5. Uji Kriteria Ekonomi dan Uji Statistik
Uji ekonomi adalah uji kesesuaian tanda pada setiap koefisien variabel-variabel eksogen, apakah tandanya sudah sesuai dengan asumsi dasar. Sedangkan uji statistik seperti uji F , uji t, dan uji koefisien determinasi (R2).
(38)
3.3.5.1. Uji Koefisien Determinasi (R2)
R2 digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Diketahui R2 akan bertambah tinggi dengan bertambahnya variabel bebas. R2 memilki dua sifat (Gujarati, 1995), diantaranya, pertama R2 merupakan besaran non negatif, dan kedua, besarnya adalah 0≤R2≤1. Jika R2 sebesar 1 berarti variabel bebas memiliki kecocokan sempurna dengan variabel endogen, sedangkan jika R2 bernilai nol berarti tidak terdapat kesesuaian.
3.3.5.2. Uji F
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi.
Hipotesis :
H0: b1 = b2 = ....= bi = 0
H1: minimal ada salah satu bi≠ 0
Kriteria uji:
Probability F-Statistik < taraf nyata (α), maka tolak H0
Probability F-Statistik > taraf nyata (α), maka terima H0
Jika H0 ditolak berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata
terhadap variabel terikat dan model layak digunakan. Sebaliknya jika H0 diterima
(39)
31
3.3.5.3. Uji t
Uji ini ditujukan untuk mengetahui tingkat signifikan variabel bebas.
H0: b1 = b2 = ....= bi = 0
H1: bi≠ 0
Kriteria uji:
Probability t-Statistik < taraf nyata (α), maka tolak H0
Probability t-Statistik > taraf nyata (α), maka terima H0
Jika H0 ditolak, berarti variabel bebas berpengaruh nyata pada taraf α terhadap
variabel tak bebasnya. Sebaliknya jika H0 diterima berarti variabel bebas tidak
berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas.
...
(40)
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack), berasal dari Nigeria, Afrika
Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari
Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit
di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa
sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand,
dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang
lebih tinggi.
Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah
kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit
yang dibawa Mauritus dan Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor.
Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial
pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah
Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di
Afrika. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai
lahirnya perkembangan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan
kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas
areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak
sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara eropa, kemudian tahun
(41)
33
Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit mengalami
perkembangan yang cukup pesat . Indonesia menggeser dominasi ekspor negara
Afrika pada waktu itu. Namun, kemajuan pesat yang dialami oleh Indonesia tidak
diikuti dengan peningkatan perekonomian nasional. Hasil perolehan ekspor
minyak sawit hanya meningkatkan perekonomian negara asing termasuk Belanda
( Fauzi, et al., 2006).
Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit
mengalami kemunduran. Secara keseluruhan produksi perkebunan kelapa sawit
terhenti. Lahan perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16 persen dari total
luas lahan yang ada sehingga produksi minyak sawit Indonesia pun hanya
mencapai 56.000 ton pada tahun 1948/1949. Padahal pada tahun 1940 Indonesia
mengekspor 250.000 ton minyak sawit.
Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia pada tahun 1957,
pemerintah mengambil alih perkebunan dengan alasan politik dan keamanan.
Pemerintah menempatkan perwira-perwira militer di setiap jenjang manajemen
perkebunan yang bertujuan mengamankan jalannya produksi. Pemerintah juga
membentuk BUMIL (buruh militer) yang merupakan wadah kerjasama antara
buruh perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang
tidak kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit mengalami penurunan. Pada
periode tersebut posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar
tergeser oleh Malaysia.
Memasuki pemerintahan orde baru, pembangunan perkebunan diarahkan
(42)
masyarakat, dan sebagai sektor penghasil devisa negara. Pemerintah terus
mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai dengan tahun 1980
luas lahan mencapai 294.560 ha dengan produksi CPO sebesar 721.172 ton.
Sejak saat itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat
terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang
melaksanakan program perkebunan inti rakyat perkebunan (PIR-bun). Dalam
pelaksanannya, perkebunan besar sebagai inti membina dan menampung hasil
perkebunan rakyat di sekitarnya yang menjadi plasma. Perkembangan
perkebunan semakin pesat lagi setelah pemerintah mengembangkan program
lanjutan yaitu PIR-Transmigrasi sejak tahun 1986. Program tersebut berhasil
menambah luas lahan dan produksi kelapa sawit. Pada tahun 1990-an, luas
perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari 1.6 juta hektar yang terbesar di
berbagai sentra produksi, seperti Sumatera dan Kalimantan ( Fauzi, et al., 2006).
4.2. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit
Kelapa sawit termasuk produk yang banyak diminati oleh investor karena
nilai ekonominya cukup tinggi. Para investor menginvestasikan modalnya untuk
membangun perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Selama tahun
1998-2004, luas areal perkebunan kelapa sawit terus mengalami peningkatan,
pada tahun 1998 luas areal sebesar 2.768.600 meningkat sebesar 5.002.799 pada
tahun 2004. Potensi areal perkebunan Indonesia masih terbuka luas untuk
tanaman kelapa sawit. Pengembangan perkebunan tidak hanya diarahkan pada
(43)
35
pengembangan seperti Sulawesi dan Irian jaya terus dilakukan. Data di lapangan
menunjukkan kecenderungan peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit
khususnya perkebunan rakyat. Pertumbuhan perkebunan rakyat pada periode tiga
puluh tahun terakhir mencapai 45.1 persen per tahun, sementara areal perkebunan
negara tumbuh 6.8 persen per tahun, dan areal perkebunan swasta tumbuh 12.8
persen per tahun. Pada tahun 2000 luas areal perkebunan rakyat terluas dimiliki
oleh Riau dengan luas areal 205.361 ha disusul Jambi dengan luas areal 159.012
ha dan Sumatera Selatan dengan luas areal 154.012 ha. Untuk perkebunan negara
terluas dimilki Sumatera Utara dengan luas areal 257.434 ha, Riau dengan luas
areal 63.088 ha dan Kalimantan Barat dengan luas areal 42.960 ha. Untuk
perkebunan swasta terluas dimiliki Riau dengan luas areal 386.690 ha, Sumatera
Utara dengan luas areal 264.128 dan Sumatera Selatan dengan luas areal 157.541
ha.
Produksi minyak goreng sawit terus mengalami peningkatan pada tahun
1998 total produksi sebesar 6.552.254 ton hingga 11.681.948 ton pada tahun
2004. Pada tahun 2000 produksi minyak sawit untuk perkebunan rakyat dimiliki
oleh Riau sebesar 361.962 ton, Sumatera Utara sebesar 256.968 ton dan Jambi
sebesar 185.367 ton. Untuk perkebunan negara Sumatera Utara sebesar 1.259.615
ton, Riau sebesar 303.307 ton dan Kalimantan Barat 113.923 ton. Untuk
perkebunan swasta dimiliki oleh Sumatera Utara sebesar 918.372 ton, Riau
(44)
Tabel 4.1. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Minyak Sawit Indonesia
Tahun Luas Areal (Ha)
Produksi (Ton) CPO (Minyak
sawit)
PKO (Minyak inti sawit)
Total
1998 2.768.600 5.640.154 912.100 6.552.254
1999 3.436.100 5.949.183 1.012.400 6.961.583
2000 3.642.600 6.217.425 1.652.648 7.870.073
2001 3.848.900 6.945.166 1.787.334 8.732.500
2002 4.397.973 8.069.462 1.930.538 10.000.000
2003 4.804.181 8.512.760 2.302.547 10.815.307
2004 5.002.799 9.098.220 2.583.728 11.681.948
Sumber : BPS (2003). Data diolah
4.3. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Minyak Goreng
1. Kebijakan Investasi
Industri minyak goreng berbahan baku kelapa sawit, minyak goreng
kelapa dan minyak goreng lainnya terbuka untuk investasi karena tidak pernah
tercantum dalam Daftar Negatif Investasi (DNI), baik itu dalam Keppres No. 23
tahun 1991, Keppres no. 23 tahun 1992, Keppres no 54 tahun 1993 maupun
Keppres no. 31 tahun 1995 tentang DNI.
2. Kebijakan dalam Bidang Ekspor Impor
Paket Juni 1994 mengatur tarif bea masuk (BM) minyak goreng yang
berkisar antara 5 - 20 persen tergantung jenisnya. Sedangkan bea masuk
tambahan (BMT) telah ditiadakan sejak tahun 1991. di dalam Paket Deregulasi
MEI 1995 terjadi penurunan bea masuk beberapa jenis minyak goreng selain
minyak goreng kelapa sawit, kelapa dan kedelai. Bea masuk minyak goreng
(45)
37
penurunan ini menyebabkan bea masuk minyak goreng berkisar antara 0 - 5
persen tergantung jenisnya.
Pada Juli 1997 kembali terjadi penurunan bea masuk beberapa jenis
minyak goreng selain minyak goreng kelapa dan kelapa sawit. Bea masuk
minyak goreng kedelai, kacang tanah dan biji kapas diturunkan menjadi 0 persen.
Dengan adanya penurunan ini bea masuk minyak goreng berkisar antara 0 - 10
persen tergantung jenisnya.
Perkembangan kebijakan produk kelapa sawit berikutnya, pemerintah
menerapkan kebijakan pelarangan ekspor minyak sawit dan produk turunannya.
Namun kebijakan tersebut hanya berlangsung beberapa bulan yaitu pada bulan
Januari – Maret 1998. Kebijakan ini diambil dalam rangka mengamankan
pasokan bahan baku minyak sawit untuk memenuhi permintaan pabrik minyak
goreng (AIMMI, 2005). Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 pasokan
minyak sawit dalam negeri mengalami kelangkaan sehingga harga minyak
goreng melambung tinggi akibat pesatnya ekspor minyak sawit. Kondisi
tersebut diperparah lagi dengan kebijakan pemerintah melalui paket deregulasi
Juli 1997 yang menurunkan pajak ekspor minyak sawit dari 10 – 20 persen
menjadi 2 -5 persen. Akhirnya produsen minyak sawit semakin gencar
melakukan kegiatan ekspor. Dengan kondisi tersebut, akhirnya pemerintah
mengambil langkah pengamanan pasokan minyak sawit dalam negeri dengan
memberlakukan pelarangan ekspor.
Kran ekspor minyak sawit dan produk turunannya kembali dibuka setelah
(46)
181/MPP/Kep/4/1998, sejak 22 April 1998 produsen bebas melakukan ekspor.
Namu, kebijakan tersebut diikuti oleh SK Menkeu No.242/KMK.01/1998
tertanggal 22 April 1998 yang salah satunya menetapkan pajak ekspor minyak
sawit sebesar 40 persen. Pada bulan Juli 1998 pemerintah menaikkan pajak
ekspor minyak sawit menjadi 60 persen melalui SK Menkeu 334/KMK.017/1998.
Pemerintah mulai menurunkan pajak ekspor minyak sawit melalui SK
Menkeu 30/KMK.01/1999 tertanggal 29 Januari 1999 dan melalui SK Menkeu
No.181/KMK.017/1999 tertanggal 3 Juni 1999 pemerintah kembali menurunkan
pajak ekspor menjadi 30 persen. Hanya dalam waktu beberapa bulan, pajak
ekspor minyak sawit dan produk turunannya mengalami penurunan. Pemerintah
dan IMF memang bersepakat untuk menrunkan pajak ekspor sampai 10 persen
pada akhir Desember 1999.
Pemerintah menggunakan pajak ekspor minyak sawit sebagai alat
menstabilkan harga di dalam negeri dan untuk membatasi ekspor. Namun,
kebijakan tersebut tidak efektif. Hal tersebut terlihat dari harga minyak goreng di
dalam negeri yang tetap tinggi. Namun, pada saat pajak ekspor diturunkan
menjadi 10 persen, harga minyak sawit di di pasar dunia cenderung menurun.
Salah satu penyebab tidak efektifnya pajak ekspor disebabkan banyaknya beredar
minyak sawit ilegal di pasar dunia yang sebagian besar diduga selundupan dari
Indonesia sendiri.
Pemerintah kembali menurunkan pajak ekspor minyak sawit menjadi 5
persen pada bulan September 2000. Pada tahun 2001 pajak ekspor kembali
(47)
39
dimaksudkan untuk menghadapi ketatnya persaingan ekspor minyak sawit
terutama Malaysia. Pemerintah Malaysia bahkan melakukan terobosan besar
dengan mengijinkan ekspor 500.000 ton minyak sawit tanpa dikenakan pajak dan
memberikan kredit sebesar US$ 400 juta kepada negara pembeli.
3. Kebijakan Bidang Produksi
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 329/Menteri
Kesehatan/Per/XII/76 tentang Produksi dan Peredaran Makanan menyatakan
bahwa izin dari Menteri Kesehatan dan sebelum diedarkan harus didaftarkan
lebih dahulu untuk mendapat persetujuan dari Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
4. Kebijakan Pengembangan Minyak Goreng Kelapa dan Kelapa Sawit
Dilihat dari sisi pengembangan usaha perkebunan rakyat, minyak goreng
berbasis kelapa jauh lebih baik daripada yang berbasis kelapa sawit. Hal ini
terjadi karena perkebunan kelapa didominasi oleh usaha perkebunan rakyat,
sedangkan perkebunan kelapa sawit didominasi oleh usaha perkebunan besar
(PTP dan Swasta). Industri minyak goreng berbasis kelapa jauh lebih tepat untuk
mendorong pengembangan industri kecil dibandingkan dengan industri minyak
goreng kelapa sawit. Industri minyak goreng sawit cenderung berskala besar dan
terintegrasi secara vertikal dengan usaha perkebunan. Industri ini muncul karena
adanya skala ekonomi yang sangat besar. Di sisi lain, industri minyak goreng
kelapa berskala kecil atau bahkan diusahakan oleh rumah tangga pedesaan.
Skala usaha kecil dan penggunaan teknologi yang sederhana membuat
(48)
dibandingkan dengan minyak goreng sawit. Akibatnya dalam hal distribusi
oendapatan lebih baik jika dibanding dengan yang berbasis kelapa sawit.
Dilihat dari sisi efisiensi ekonomi , industri minyak goreng berbasis kelapa
kurang efisien dibandingkan industri minyak goreng berbasis kelapa sawit. Hal
ini terjadi karena industri minyak goreng berbasis kelapa sawit umumnya
berskala besar dan terintegrasi vertikal. Oleh karena itu, industri ini dapat
menangkap skala ekonomi usaha (economies of scale) maupun ekonomi cakupan
usaha (economies of scope). Selain itu, industri minyak goreng berbasis kelapa
sawit pada umumnya menggunakan teknologi moderen yang jelas jauh lebih
efisien dibandingkan teknologi tradisonal yang umum digunakan oleh industri
minyak goreng kelapa. Oleh karena itu industri minyak goreng berbasis kelapa
sawit lebih sesuai untuk pengembangan industri yang bersifat promosi ekspor.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, pemerintah
dihadapkan pada beberapa dilema yang sulit diputuskan. Pertama, pilihan antara
pengembangan industri minyak goreng berbasis kelapa atau industri minyak
goreng yang berbasis kelapa sawit. Kedua pilihan ini sama-sama mempunyai
keunggulan dan kelemahan. Apabila dilihat dari segi pengembangan usaha
perkebunan rakyat, industri minyak goreng berbasis kelapa jauh lebih baik
daripada yang berbasis kelapa sawit. Hal ini terjadi karena perkebunan kelapa
didominasi oleh usaha perkebunan rakyat, sedangkan perkebunan kelapa sawit
didominasi oleh usaha perkebunan besar (PTP dan Swasta).
Kedua, pilihan yang sulit antara pengembangan industri minyak goreng berbasis
(49)
41
perekonomian nasional. Apabila dipilih perekonomian berbasis kerakyatan maka
industri minyak goreng berbasis kelapa lebih tepat tetapi dilihat dari segi
pengembangan industri berdaya saing tinggi, maka industri minyak goreng
berbasis kelapa sawit lebih sesuai. Keputusan yang lebih sesuai dalam
menghadapi dilema ini adalah kebijakan netral sehingga kekuatan pasarlah yang
akan menentukan arah pengembangan industri minyak goreng.
Dilema ketiga adalah pilhan instrumen kebijakan untuk pengelolaan
(stabilisasi) harga minyak goreng domestik yaitu antara operasi pasar
menggunakan stok penyangga minyak goreng melalui impor minyak goreng atau
dengan menggunakan pengaturan produksi minyak goreng.
4.4. Produsen Minyak Goreng
Lokasi produsen minyak goreng kelapa sawit tersebar di delapan propinsi
yaitu Sumatera Utara dengan, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Lampung,
DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Produsen minyak goreng sawit di
Indonesia tidak hanya memproduksi satu jenis merek atau produk. Hal ini terlihat
pada PT Intiboga Sejahtera yang memproduksi minyak goreng sawit merek
Bimoli, Sunrise, dan Delima, PT Sinar Mas Agro Resources & Technology Tbk.
(SMART) dengan merek Filma dan Kunci Mas, PT Bina Karya Prima yang
mengeluarkan merek Tropical. Selain itu, ada merek-merek lain yang beredar di
pasar, seperti Sania, ABC, dan Vetcomas. Pada tabel di bawah ini akan terlihat
beberapa daftar perusahaan dengan produk minyak goreng sawit yang
(50)
Tabel 4.2. Perusahaan dengan Produk yang dihasilkan
Perusahaan Nama Produk
PT Intiboga Sejahtera
PT Smart Tbk
PT Musim Mas
PT Mikie Oleo Nabati Industri PT Bina Karya Prima
PT Astra Agro Lestari Tbk PT Multimas Nabati Asahan Dll
Bimoli, Bimoli Spesial, Delima, Sunrise
Filma, Filma gold, Kunci mas, Palmvita dan Sawit mas.
Palm Crude Olein RBD Palm Oil Tropical dan forVita Cap Sendok
Sania -
Sumber : AIMMI, 2005
Pada tingkat masyarakat, yang banyak berpengaruh adalah penggunaan
CPO sebagai minyak goreng. Sampai saat itu ada sepuluh produk yang sangat
akrab dimasyarakat. Tingkat kompetisi diantara mereka juga sangat ketat, tetapi
meskipun begitu produk dari Bimoli tetap mendominasi dengan market share
sebesar 37.4 persen. Tingkat kompetisi ini bergantung pada kualitas, harga dan
kemampuan penggunaanya. Berikut ini adalah data dari lima kota besar di
(51)
43
Tabel 4.3. Pangsa Pasar Tiga Besar Merek Minyak Goreng Sawit pada tahun 2000
Minyak Goreng Pangsa Pasar (%)
Merek Minyak Goreng : Bimoli
Filma Sunrise Dll
37.4 18.9 6.3 37.4
Sumber : AIMMI, 2005
4.5. Gambaran Singkat Proses Produksi Minyak Goreng Sawit
Minyak goreng sawit terutama dikenal sebagai bahan mentah minyak dan
lemak pangan yang dugunakan untuk menghasilkan minyak dan lemak pangan
yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, Shortening, margarin dan
minyak makan lainnya. Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam
lemak tidak jenuh yang ikatan molekulnya mudah dipisahkan dengan álkali,
sehingga mudah dibentuk menjadi produk untuk berbagai keperluan, seperti untuk
pelumas cold rolled dalam berbagai proses industri, dan flexing agent dalam
industri textil. Dengan kandungan kadar karoten yang tinggi, minyak sawit
merupakan sumber provitamin A yang murah dibanding dengan bahan baku
lainnya. Minyak sawit paling banyak digunakan sebagai bahan baku industri
pangan yang meliputi sekitar 12 macam bahan dari kelapa sawit, seperti karoten,
tocopherol, fatty acid, olein, coconut butter, sabun, glyserin dan sebagainya.
Proses produksi minyak goreng sawit dapat dibedakan menjadi 2 cara,
yaitu proses produksi cara kering dan cara basah. Sebagian pabrik minyak goreng
di Indonesia menggunakan cara kering yaitu dengan pemanasan atau proses non
(52)
bau. Dari proses ini didapatkan free fatty acid (FFA) (4-5 persen) dan refined,
bleached, dan deodorized palm oil (RBDPO) (94 persen), sedangkan 1-2 persen
lainnya merupakan losses.
Disamping cara kering diatas maka terdapat juga cara basah, dimana
dalam proses ini minyak sawit ditambah suatu campuran wetting agent yang
terdiri dari 30 persen MgSO4 dan 4.4 persen Na (NH4) SO4. Dengan proses ini
CPO langsung dirafinasi untuk memperoleh crude olein dan crude stearine yaitu
melalui proses pencucian, bleaching dan kemudian disaring. Proses secara basah
tersebut dapat diperoleh sekitar 65 – 70 persen Olein (minyak makan/goreng) dan
30 persen stearin.
Jika ditelaah lebih lanjut tentang Neraca Bahan dalam proses pembuatan
minyak goreng asal kelapa terlihat bahwa untuk 100 ton tandan buah segar (TBS)
yang diolah pabrik sawit akan menghasilkan sekitar 4.50 ton PKO dan 21.67 ton
CPO. Kemudian dari pengolahan CPO sejumlah tersebut di atas apabila diproses
secara basah (chemical system) akan dihasilkan crude olein sebanyak 16.10 ton,
Crude olein lebih lanjut akan diperoleh RBD olein sebanyak 14,65 ton dan FFA
0.80 ton dan losses sekitar 0.65 ton . sedangkan apabila CPO tersebut diolah
secara kering (physical system) akan diperoleh RBD Palm Oil sebanyak 14.65
ton, FFA 1.08 ton dan losses 0.86 ton. Pengolahan RBD Palm Oil akan
dihasilkan RBD olein sebanyak 12.68 ton dan RBD stearin 6.83 ton ( Amang, et
(53)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Pengaruh Struktur Pasar terhadap Kinerja Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia.
5.1.1. Hasil Pengujian Ekonometrik
Variabel yang digunakan dalam model ini adalah rasio konsentrasi (CR4), Efisiensi internal (XEFF), Pertumbuhan nilai barang yang dihasilkan (LOU), skala efisiensi minimum (MES) dan dummy krisis (DK). Langkah pertama dalam menganalisis model persamaan regresi adalah dengan memperhatikan masalah pelanggaran asumsi yang mungkin terjadi pada model. Pelanggaran asumsi yang harus dihindari dalam analisis ini kemungkinan terjadinya multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas.
Asumsi normalitas diuji dengan Descriptive Statictic Test. Hasil uji menunjukkan probabilitas sebesar 0.846762 yang lebih besar dari tingkat signifikansi 10 persen, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah ketidaknormalan dalam data (Lampiran 7). Dari hasil uji multikolinearitas pada tabel 5.4 dapat disimpulkan bahwa di antara variabel-variabel yang digunakan tidak mengandung multikolinearitas karena besarnya koefisien multikolinearitas tersebut lebih kecil dari |0,8|.
(54)
Tabel 5.4. Hasil Uji Multikolinearitas
MES LOU CR4 XEFF DK MES 1.000000 -0.517245 0.382832 -0.352328 -0.796905 LOU -0.517245 1.000000 -0.075824 0.097199 0.497799 CR4 0.382832 -0.075824 1.000000 0.052028 -0.128468 XEFF -0.352328 0.097199 0.052028 1.000000 0.466536 DK -0.796905 0.497799 -0.128468 0.466536 1.000000 Sumber : Lampiran 4.
Berdasarkan White Heteroskedasticity Test pada tabel 5.5 persamaan yang digunakan dalam model persamaan PCM tidak mengalami masalah heteroskedastisitas karena nilai Probability Obs*R-Squaed yang diperoleh lebih besar dari taraf nyata yang digunakan dalam persamaan ini yakni 10 persen (α=10%).
Tabel 5.5. Hasil Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test:
F-statistic 2.409768 Probability 0.253529
Obs*R-squared 11.42028 Probability 0.247997 Sumber : Lampiran 5.
Dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Correlation LM Test pada tabel 5.6 persamaan ini juga tidak mengalami masalah autokorelasi karena nilai probability Obs*R-Squared yang diperoleh sebesar 0,821140 yang lebih besar dari 10 persen.
Tabel 5.6. Hasil Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.023683 Probability 0.882739
Obs*R-squared 0.051112 Probability 0.821140 Sumber : Lampiran 6.
(55)
47
5.1.2. Hasil Pengujian Statistik dan Ekonomi
Analisis pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri minyak goreng sawit di Indonesia berdasarkan pengujian statistik dan ekonomi dapat dijelaskan pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7. Hasil Estimasi Model Persamaan PCM pada Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia
Variabel Koefisien Probabilitas
C 2.913528 0.8715
LOU* 3.156461 0.0945
CR4(-1)* 1.305935 0.0230
MES(-1) -2.208663 0.3272
XEFF* 0.102032 0.0629
DK* -33.56003 0.0330
R-squared 0.890588 Adj R-squared 0.812436 S.E. of regression 8.860221 F-statistic 11.39565 Prob(F-statistic) 0.002943 Sumber : Lampiran 3.
Keterangan: * nyata pada taraf nyata 10% (α=10%)
Berdasarkan hasil estimasi model persamaan PCM pada industri minyak goreng sawit di Indonesia seperti pada tabel 5.7. maka dapat diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:
PCM = 2.913528 + 3.156461 LOU + 1.305935 CR4(-1) - 2.208663 MES (-1) + 0.102032 XEFF – 33.56003 DK
Dari hasil regresi, didapatkan koefisien determinasi (R-squared) sebesar 89.05 persen yang berarti bahwa model mampu dijelaskan oleh variabel-variabel eksogen sebesar 89.05 persen sedangkan sisanya sebesar 10.95 persen dijelaskan oleh variabel diluar model. Secara uji parsial menunjukkan bahwa variabel
(56)
eksogen kecuali variabel MES, berpengaruh signifikan terhadap PCM pada taraf nyata 10 persen.
Dari hasil uji-F didapatkan bahwa variabel-variabel eksogen mampu menerangkan variabel endogen yang ditunjukkan oleh nilai P-value = 0.002943 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar sepuluh persen (α = 10%). Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah mendukung keabsahan model atau dengan kata lain bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh keseluruhan variabel penjelas terhadap variabel dependennya adalah baik dan berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata 10 persen.
Dari uji-t menunjukkan ada empat variabel eksogen yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependentnya, karena nilai probabilitas masing-masing variabel bebasnya lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yakni 10 persen, variabel-variabel tersebut adalah GROWTH, CR4, XEFF dan Dummy krisis ekonomi. Sedangkan variabel lainnya yakni MES tidak signifikan mempengaruhi variabel tak bebasnya (PCM) pada taraf nyata sepuluh persen (α = 10%).
Uji ekonomi adalah uji kesesuaian tanda pada setiap koefisien variabel-variabel eksogen, apakah tandanya sudah sesuai dengan asumsi dasar. Variabel GROWTH berpengaruh positif yang signifikan pada taraf nyata 10 persen (α = 10%) terhadap tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit dengan koefisien sebesar 3.156461, yang artinya adalah peningkatan GROWTH sebesar satu persen akan meningkatkan keuntungan industri minyak goreng sawit sebesar 3.156461 persen, dan sebaliknya jika GROWTH turun sebesar satu persen maka tingkat
(57)
49
keuntungan industri minyak goreng sawit akan menurun sebesar 3.156461 persen, asumsi ceteris paribus. Tingkat GROWTH yang meningkat bisa diartikan kondisi perekonomian yang membaik. Jadi semakin baik kondisi perekonomian akan semakin tinggi keuntungan industri minyak goreng sawit.
Dengan melihat perkembangan produksi minyak goreng sawit ternyata dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Terbukti pada tahun 1998 produksi minyak goreng sawit sebesar 2.07 juta ton meningkat secara signifikan pada tahun 2005 sebesar 5.39 juta ton. Menurut AIMMI 2005, bahwa persentase produksi terbesar untuk minyak goreng sawit masih dipulau Jawa, yakni mencapai 51.4 persen. Berikutnya di Sumatera yang mencapai 47.5 persen, sementara di Kalimantan Barat hanya 1.1 persen hal ini diakibatkan karena pabrik pengolahan CPO masih sangat terbatas. Produksi minyak goreng sawit yang meningkat adalah dampak dari permintaan minyak goreng sawit. Produsen meningkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan mampu mengekspor sebagian minyak goreng sawitnya. Hal ini sesuai dengan teori yang ada pada tinjauan pustaka bahwa Pertumbuhan nilai produksi atau GROWTH diduga dapat mempengaruhi kinerja industri variabel ini dapat mempengaruhi kinerja industri karena variabel ini dapat menunjukkan permintaan pasar (market demand). Jika permintaan pasar terhadap suatu barang meningkat, maka perusahaan akan meningkatkan produksinya untuk memenuhi permintaan yang ada. Adanya peningkatan dalam jumlah produksi akan berdampak terhadap meningkatnya keuntungan yang dialami perusahaan.
(58)
Variabel CR4 berpengaruh positif yang signifikan pada taraf nyata 10 persen (α = 10%) terhadap tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit dengan koefisien sebesar 1.305935 yang artinya adalah peningkatan CR4 sebesar satu persen akan meningkatkan keuntungan industri minyak goreng sawit sebesar 1.305935 persen, dan sebaliknya jika CR4 turun sebesar satu persen maka tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit akan menurun sebesar 1.305935 persen, asumsi ceteris paribus. Hasil ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya yang menyatakan bahwa tingkat konsentrasi (CR) memiliki hubungan positif dalam memperoleh keuntungan. Semakin tinggi tingkat konsentrasi yang ada didalam pasar, maka semakin besar pula keuntungan yang dapat diperoleh. Hal ini sesuai dengan teori yang digunakan dan sesuai dengan hipotesis awal bahwa rasio konsentrasi dan keuntungan berhubungan positif dan hal ini merupakan halangan masuk bagi perusahaan-perusahaan yang baru karena perusahaan-perusahaan yang ada terus berusaha menigkatkan konsentrasinya.
Variabel MES berpengaruh negatif terhadap tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit dengan koefisien sebesar -2.208663 tetapi secara statistik tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen (α = 10%) yang artinya adalah peningkatan MES sebesar satu persen akan meningkatkan keuntungan industri minyak goreng sawit sebesar -2.208663 persen, dan sebaliknya jika MES turun sebesar satu persen maka tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit akan menaikkan sebesar 2.208663 persen, asumsi ceteris paribus. Koefisien MES yang dihasilkan dari analisis memiliki nilai negatif artinya bahwa hambatan masuk yang diproksi dengan MES tidak mempengaruhi tingkat keuntungan total industri.
(1)
Variabel CR4 berpengaruh positif yang signifikan pada taraf nyata 10 persen (α = 10%) terhadap tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit dengan koefisien sebesar 1.305935 yang artinya adalah peningkatan CR4 sebesar satu persen akan meningkatkan keuntungan industri minyak goreng sawit sebesar 1.305935 persen, dan sebaliknya jika CR4 turun sebesar satu persen maka tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit akan menurun sebesar 1.305935 persen, asumsi ceteris paribus. Hasil ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya yang menyatakan bahwa tingkat konsentrasi (CR) memiliki hubungan positif dalam memperoleh keuntungan. Semakin tinggi tingkat konsentrasi yang ada didalam pasar, maka semakin besar pula keuntungan yang dapat diperoleh. Hal ini sesuai dengan teori yang digunakan dan sesuai dengan hipotesis awal bahwa rasio konsentrasi dan keuntungan berhubungan positif dan hal ini merupakan halangan masuk bagi perusahaan-perusahaan yang baru karena perusahaan-perusahaan yang ada terus berusaha menigkatkan konsentrasinya.
Variabel MES berpengaruh negatif terhadap tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit dengan koefisien sebesar -2.208663 tetapi secara statistik tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen (α = 10%) yang artinya adalah peningkatan MES sebesar satu persen akan meningkatkan keuntungan industri minyak goreng sawit sebesar -2.208663 persen, dan sebaliknya jika MES turun sebesar satu persen maka tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit akan menaikkan sebesar 2.208663 persen, asumsi ceteris paribus. Koefisien MES yang dihasilkan dari analisis memiliki nilai negatif artinya bahwa hambatan masuk yang diproksi dengan MES tidak mempengaruhi tingkat keuntungan total industri.
(2)
Pesaing potensial adalah perusahaan-perusahaan di luar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesain sebenarnya. Segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan masuknya pesaing baru merupakan hambatan untuk masuk. Keberadaan perusahaan terbesar yang ada sebelumnya merupakan salah satu hal yang dapat menjadi hambatan bagi pesaing potensial untuk masuk ke dalam industri minyak goreng. Berdasarkan teori yang ada diketahui bahwa untuk dapat mempertahankan eksistensi dalam industri minyak goreng di Indonesia maka para pesaing potensial harus memiliki skala minimum efisiensi (MES) yang setara dengan yang dimiliki oleh perusahaan terbesar.
Besarnya MES didapatkan dari perbandingan nilai output perusahaan terbesar dengan nilai output total. Berdasarkan teori yang ada maka dapat diketahui bahwa jika pelaku baru ingin bersaing dalam industri minyak goreng Indonesia maka setidak-tidaknya output perusahaan yang ingin dihasilkan adalah rata-rata sebesar 26. 45 persen dari total output minyak goreng sawit di Indonesia. Semakin besar nilai MES suatu industri maka semakin tinggi pula hambatan masuk pada suatu industri. Namun pada industri minyak goreng sawit hal ini ternyata tidak berlaku karena mulai tahun 1970-an sejak bergesernya pola konsumsi minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit bersamaan dengan meningkatnya konsumsi minyak goreng sawit seiring dengan pertumbuhan penduduk tercatat beberapa perusahaan baru yang memasuki industri minyak goreng sawit. Hubungan negatif antara PCM dengan MES menggambarkan bahwa hambatan masuk ternyata tidak berasal dari nilai MES saja namun juga
(3)
berasal dari hambatan yang bersifat legal termasuk didalamnya berupa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan investasi bahwa pada industri minyak goreng berbahan baku kelapa sawit, minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainnya terbuka untuk investasi karena tidak pernah tercantum dalam Daftar Negatif Investasi (DNI), baik itu dalam Keppres No. 23 tahun 1991, Keppres no. 23 tahun 1992, Keppres no. 54 tahun 1993 maupun Keppres no. 31 tahun 1995 tentang DNI. Kemudian pemerintah juga tidak mengeluarkan peraturan yang membatasi investasi pada industri minyak goreng sawit. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masuknya perusahaan-perusahaan baru ke dalam industri minyak goreng sawit. Apalagi industri minyak goreng sawit dinilai memiliki prospek yang cukup cerah, ditambah lagi sebagai produsen CPO kedua dibawah Malaysia.
Variabel XEFF berpengaruh positif yang signifikan pada taraf nyata 10 persen (α = 10%) terhadap tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit dengan koefisien sebesar 0.102032, yang artinya adalah peningkatan XEFF sebesar satu persen akan meningkatkan keuntungan industri minyak goreng sawit sebesar 0.102032 persen, dan sebaliknya jika XEFF turun sebesar satu persen maka tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit akan menurun sebesar 0.102032 persen, asumsi ceteris paribus. Dalam industri minyak goreng sawit komponen biaya yang terbesar adalah untuk utility ( uap, listrik, air dsb) kemudian bahan kimia, tenaga kerja, perbaikan dan perawatan, depresiasi, dan biaya lain-lain. Kemampuan perusahaan minyak goreng sawit dalam menekan biaya
(4)
produksi terbukti mampu memperbesar nilai tambah yang dihasilkan sekaligus peningkatan keuntungan.
Dalam industri minyak goreng sawit pengolahan minyak goreng banyak dilakukan oleh pabrik yang berskala besar di Jakarta dan pabrik dari anggota AIMMI (Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia). Pada pabrik yang berskala besar mereka langsung mengolah CPO menjadi produk turunan minyak sawit misalnya minyak goreng, margarine dsb. Perbandingan struktur biaya pengolahan dalam industri minyak goreng sawit bila dibandingkan antara pabrik minyak goreng berskala besar di Jakarta dan rata-rata pabrik anggota AIMMI ternyata biaya pengolahan CPO menjadi minyak goreng dari pabrik yang berskala besar ternyata lebih murah. Begitupun dengan komponen biaya bahan kimia dari pabrik-pabrik anggota AIMMI ternyata lebih besar daripada pabrik skala besar, hal ini diperkirakan kondisi pabrik skala besar lebih baru dan modern sehingga penggunaan bahan kimia dalam proses produksi akan lebih efisien. Namun dilain pihak biaya depresiasi dari pabrik skala besar lebih mahal karena pabrik tersebut membutuhkan investasi awal yang lebih besar sehingga relative depresiasi-nya juga lebih besar. Untuk biaya lain-lain pabrik anggota AIMMI nampak jauh lebih besar karena termasuk komponen biaya bunga bank, administrasi bank dan provisi bank sedangkan pada pabrik berskala besar biaya tersebut sudah dimasukkan dalam masing-masing komponen biaya.
Krisis ekonomi berdampak negatif yang signifikan terhadap keuntungan industri minyak goreng sawit pada taraf nyata 10 persen (α = 10%) dengan koefisien sebesar -33.56003 yang artinya adalah krisis ekonomi yang terjadi di
(5)
Indonesia menurunkan tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit sebesar 33.56003 asumsi ceteris paribus. Perkembangan harga minyak goreng tergantung pada ketersediaan minyak goreng dipasar, dengan kata lain, ketersediaan minyak goreng ini akan ditentukan oleh besarnya penawaran dan konsumsi oleh masyarakat, dan harga pasar internasional. Selain itu juga harga minyak goreng sawit ini akan ditentukan oleh harga-harga input yang digunakan dalam proses produksi minyak goreng, dan kebijakan pemerintah.
Krisis ekonomi berdampak terhadap ketidakstabilan makroekonomi seperti meningkatnya laju inflasi yang mengakibatkan biaya produksi (faktor-faktor produksi) sehingga perusahaan akan mengurangi jumlah produksi akibatnya skala ekonomi tidak tercapai yang pada akhirnya akan menurunkan keuntungan atau dengan kata lain perusahaan tersebut akan sangat merugi. Krisis ekonomi yang mengakibatkan harga-harga produksi meningkat merupakan suatu pukulan yang hebat bagi industri minyak goreng sawit karena akan menurunkan daya beli masyarakat yang secara langsung mempengaruhi konsumsi menurun. Inflasi akan mendorong tingkat harga dalam negeri relatif lebih mahal daripada harga diluar negeri hal ini akan mengakibatkan meningkatnya impor minyak goreng dari luar negeri karena harganya lebih murah sehingga daya saing perusahaan minyak goreng dalam negeri menurun akibatnya keuntungan total industri akan menurun.
(6)