Analisis Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Minyak Goreng, Margarin, Sabun, dan Fatty Acid

(1)

ANALISIS PERMINTAAN MINYAK SAWIT INDONESIA

OLEH INDUSTRI MINYAK GORENG, MARGARIN, SABUN,

DAN

FATTY ACID

CITRA IRENE PRATIWI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Minyak Goreng, Margarin, Sabun dan Fatty Acid adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014

Citra Irene Pratiwi Manurung


(4)

(5)

ABSTRAK

CITRA IRENE PRATIWI. Analisis Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Minyak Goreng, Margarin, Sabun, dan Fatty Acid. Dibimbing oleh NOVINDRA.

Crude Palm Oil (CPO) adalah minyak nabati yang berasal dari kelapa sawit. Produksi minyak sawit Indonesia yang tinggi tidak disertai dengan pengolahan di dalam negeri melainkan banyak dijadikan sebagai komoditas ekspor. Akan tetapi berdasarkan data Kementerian Perindustrian pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 secara bertahap jumlah ekspor Indonesia mengalami penurunan. Penurunan ekspor CPO Indonesia dalam periode 2009-2011 disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal dikarenakan krisis ekonomi global dan kejenuhan produksi minyak sawit di pasar dunia. Faktor internal dikarenakan industri hilir minyak sawit domestik mengalami perkembangan. Penelitian ini dibatasi hanya meneliti faktor internal penyebab turunnya ekspor CPO Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis produksi minyak sawit dan produksi produk hilir kelapa sawit, serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan industri hilir kelapa sawit terhadap minyak sawit di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data time series tahun 1991-2011. Model permintaan minyak sawit Indonesia oleh industri hilir minyak sawit diestimasi dengan model regresi linear berganda dan metode estimasi Ordinary Least Squares (OLS). Permintaan minyak sawit Indonesia oleh industri hilir merupakan permintaan turunan (derived demand) dari keuntungan perusahaan sehingga diduga dipengaruhi oleh harga input (harga riil minyak sawit domestik), harga ouput (harga riil produk hilir) dan jumlah output (produksi produk hilir). Hasil penelitian menunjukkan penurunan ekspor CPO mengindikasikan bahwa industri hilir domestik mulai berkembang. Permintaan minyak sawit pada industri hilir di Indonesia signifikan dipengaruhi oleh harga riil input dan produksi produk hilir. Dalam rangka meningkatkan produksi industri minyak goreng, margarin, sabun, dan fatty acid serta konsumsi minyak sawit oleh industri hilir tersebut maka pemerintah perlu memfasilitasi dengan subsidi suku bunga kredit dan penerapan

tax holiday. Pemerintah sebaiknya memberlakukan non pajak atau bea keluar yang rendah terhadap ekspor produk hilir minyak sawit.

Kata kunci: derived demand, minyak sawit, minyak goreng, margarin, sabun, dan


(6)

ABSTRACT

CITRA IRENE PRATIWI. Analysis of Demand for Indonesia Palm Oil by Edible Oil Industry, Margarine, Soap, and Fatty Acid. Supervised by NOVINDRA.

Crude Palm Oil (CPO) is a vegetable oil derived from palm oil . Indonesian palm oil production are not accompanied by high domestic processing but many serve as export commodities. However, based on data from the Ministry of Industry in 2009 to 2011 the number of Indonesian exports gradually decreased. The decline in Indonesia palm oil exports in the period 2009-2011 due to external and internal factors. External factors due to the global economic crisis, and the saturation of the production of palm oil in the world market. Internal factors due to domestic palm oil downstream industry developing. This study was restricted to examining the internal factors causing the decline in Indonesia palm oil exports. The purpose of this study is to analyze the production of palm oil and palm oil production of downstream products, as well as to analyze the factors that affect the demand for downstream palm oil industry in Indonesia for palm oil. This study uses time series data from 1991 to 2011 year. Indonesian palm oil demand model by palm oil downstream industry estimated by multiple linear regression models and estimation methods Ordinary Least Squares (OLS). Indonesian palm oil demand by downstream industries is derived demand (derived demand) of the company's profits that allegedly affected by input prices (real prices of domestic palm oil), output prices (real prices of downstream products) and total output (production of downstream products). The results showed a decrease in palm oil exports indicates that the domestic downstream industry began to flourish. Demand for palm oil in Indonesia's downstream industries significantly affected by the real price of inputs and the production of downstream products. In order to increase the production of cooking oil, margarine, soaps, and fatty acid and palm oil consumption by the downstream industry, the government should facilitate the loan interest rate subsidies and implementing tax holiday. The government should impose a tax or non-low duty on exports of palm oil downstream products.


(7)

ANALISIS PERMINTAAN MINYAK SAWIT INDONESIA

OLEH INDUSTRI MINYAK GORENG, MARGARIN, SABUN,

DAN

FATTY ACID

CITRA IRENE PRATIWI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

(9)

Judul Skripsi : Analisis Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Minyak Goreng, Margarin, Sabun, dan Fatty Acid

Nama : Citra Irene Pratiwi

NIM : H44090059

Disetujui oleh

Novindra, SP, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr.Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan


(10)

(11)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberi hikmat dan perlindungan-Nya pada penulis sehingga karya ilmiah ini selesai. Pengalaman dan pelajaran banyak penulis dapatkan selama penyelesaian skripsi ini. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan karya ini tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ayahanda (J. Edwin Manurung, SH., MH., MM), Ibunda (Berlyana Manungkalit, SFarm., MSi), dan kakakku (Patricia Dian Ferissa., SH., MH) atas segala doa, dukungan, cinta, dan kasih sayangnya kepada penulis;

2. Novindra, SP., MSi sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah membagikan ilmunya kepada penulis, memberi bimbingan dan pengarahan sehingga penulis tidak hanya dapat menyelesaikan skripsi ini tetapi juga menjadi pribadi yang dewasa dan lebih tabah.

3. Adi Hadianto, SP., M.Si sebagai penguji utama yang telah memberi banyak saran dan Hastuty, SP., M.Si sebagai dosen perwakilan departemen ESL yang telah memberikan arahan dan masukan.

4. Ir. Sutara Hendrakusumaatmadja, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan perhatiannya selama penulis menjalani kuliah.

5. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan telah membantu penulis dalam persiapan seminar dan sidang. 6. PT. Union Sampoerna Triputra Persada, Bapak Binsar Manurung, Prof. Dr. Ir.

Armansyah Tambunan, M.Si atas kesempatan dan pengalaman yang berharga sehingga penulis bisa turut serta dalam kegiatan internship sehubungan dengan penulisan karya ilmiah ini dan PT. Capricorn Indonesia Consult serta PT. Corinthian Indopharma Corpora, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pusat Statistik atas kerjasamanya dalam penyediaan data yang dibutuhkan oleh penulis.

7. Teman-teman sebimbingan: Fitri, Yuni, Astari, Naelis, Iyey, Alfi, Diena, Intan atas segala semangat dan perhatiannya; serta kepada teman-teman ESL 46 atas kebersamaannya selama ini.

8. Sahabat-sahabat terbaikku: Kristina, Faithy, Iin, Chatrina, Tari, Qiqi, Nando, Isti, Vera 44, Anggi ESL 47 yang telah menemani dan hadir dalam seminar, sidang dan selama menyelesaikan karya ilmiah ini.

9. Semua pihak yang telah mendukung dan memotivasi penulis. Banyak hikmah dan pelajaran yang penulis dapatkan selama menulis skripsi, bahwa ketika kuliah mahasiswa hanya belajar menjawab soal tetapi dalam mengerjakan skripsi mahasiswa belajar untuk menjawab tantangan.

Bogor, April 2014


(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala hikmat dan penyertaan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah permintaan industri, dengan judul Analisis Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Minyak Goreng, Margarin, Sabun, dan Fatty Acid.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Novindra, S.P., M.Si selaku dosen pembimbing telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Haryanto dan Bapak Murdyan PT. CIC dan Bapak Syafrizal PT. Corinthian Indopharma Corpora yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2014


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUANPUSTAKA ... 10

2.1. Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia ... 10

2.2. Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia ... 10

2.2.1. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Minyak Sawit di Indonesia ... 11

2.3. Industri Pemakai Minyak Sawit... 14

2.3.1. Industri Minyak Goreng ... 14

2.3.2. Industri Margarin ... 16

2.3.3. Industri Sabun Mandi dan Sabun Cuci ... 18

2.3.4. Industri Oleokimia ... 20

2.4. Kebijakan Pemerintah Mengenai Minyak Sawit ... 23

2.5. Penelitian Terdahulu ... 27

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 37

3.1. Kerangka Teoritis ... 37

3.1.1. Fungsi Derived Demand ... 37

3.1.2. Model Regresi Linear Berganda ... 38

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 42

IV. METODE PENELITIAN ... 45


(14)

4.2. Metode Analisis Data ... 45

4.2.1. Analisis Konsumsi Minyak Sawit dan Produksi Produk Industri Hilir Minyak Sawit ... 48

4.2.2. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Hilir Minyak Sawit Domestik .... 48

4.2.2.1. Spesifikasi Model ... 48

4.2.2.2. Tahapan Pengujian Model ... 51

V. ANALISIS PRODUKSI MINYAK SAWIT DAN PRODUK BERBAHAN DASAR MINYAK SAWIT ... 54

5.1. Analisis Produksi Minyak Sawit dan Produk Berbahan Dasar Minyak Sawit ... 54

5.2.Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Hilir Kelapa Sawit ... 55

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERMINTAAN INDUSTRI HILIR SAWIT TERHADAP MINYAK SAWIT ... 58

6.1. Hasil dan Pembahasan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ... 58

6.2..Hasil dan Pembahasan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 60

6.3..Hasil dan Pembahasan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Sabun ... 62

6.4. Hasil dan Pembahasan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid ... 64

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 70

7.1. Simpulan ... 70

7.2. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

LAMPIRAN ... 78


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pendapatan Domestik Bruto atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut

Lapangan Usaha Tahun 2008-2012 (Miliar Rupiah) ... 1

2. Kontribusi Indonesia dengan Negara-Negara Produsen Minyak Sawit... 4

3. Produksi, Impor, Ekspor, dan Konsumsi Domestik Minyak Sawit Indonesia . 4 4. Ekpor Minyak Sawit Menurut Negara Tujuannya ... 6

5. Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia (Juta Ton) ... 6

6. Nilai Tambah Industri Turunan Minyak Sawit ... 9

7. Jumlah Industri Pengolah Minyak Sawit dan Kapasitas Produksi Per Provinsi Tahun 2011 ... 15

8. Jumlah Industri dan Kapasitas Produksi Industri Minyak Goreng Tahun 2011 ... 17

9. Produksi Minyak Goreng Berbahan Baku Minyak Sawit Tahun 2007-2011 17 10. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng Tahun 2007-2011 .. 18

11. Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Margarin Tahun 2011 ... 19

12. Produksi Margarin Berbahan Baku Minyak Sawit ... 19

13. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Margarin 2007-2011 ... 20

14. Perbandingan Kapasitas Produksi Industri Sabun Tahun 2011 ... 21

15. Produksi Sabun Mandi dan Deterjen Berbahan Baku Minyak Sawit ... 22

16. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Sabun Mandi dan Sabun Cuci ... 22

17. Perusahaan dan Kapasitas Produksi Oleokimia Tahun 2011 ... 23

18. Perkembangan Produksi Oleokimia Berdasarkan Jenis ... 24

19. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid ... 25

20. Persamaan dan Perbedaan antara Penelitian Penulis dengan Penelitian Terdahulu ... 38

21. Matriks Kesesuaian Tujuan, Jenis Data dan Metode Analisis Data ... 47

22. Perbandingan Produksi, Konsumsi Domestik, Produksi Industri Hilir dan Ekspor Minyak Sawit (ton) ... 57

23. Perubahan Produksi Industri Hilir Kelapa Sawit (ton) ... 58

24. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ... 62

25. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 64

26. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Sabun ... 66


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Luas lahan dan produksi minyak sawit Indonesia Tahun 2007-2011 ... 2

2. Perkembangan Produksi, Impor, dan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Pada Tahun 2007-2011 ... 5

3. Pohon Industri Kelapa Sawit ... 14

4. Kerangka Pemikiran Operasional ... 46

5. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri-Industri Hilir Minyak Sawit ... 59

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1

.

Hasil Uji Statistik: uji t, uji F, uji koefisien determinasi dan uji Autokolerasi untuk Permintaan Minyak Sawit Domestik oleh Industri Minyak Goreng ... 79

2. Uji Multikolinearitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ... 79

3. Uji Heteroskedastisitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng terhadap minyak Sawit Domestik ... 79

4. Uji Normalitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ... 80

5. Hasil Uji Statistik: uji t, uji F, uji koefisien determinasi untuk Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 80

6. Uji Autokolerasi untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 81

7. Uji Multikolinearitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 81

8. Uji Heteroskedastisitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 81

9. Uji Normalitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 82

10. Hasil Uji Statistik: uji t, uji F, uji koefisien determinasi dan uji Autokolerasi untuk Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Sabun ... 82

11. Uji Multikolinearitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Sabun ... 83

12. Uji Heteroskedastisitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Sabun ... 83


(17)

13. Uji Normalitas untuk Model Permintaan Industri Sabun terhadap Minyak Sawit Domestik ... 83 14. Hasil Uji Statistik: uji t, uji F, uji koefisien determinasi dan uji

Autokolerasi untuk Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid ... 84 15. Uji Multikolinearitas untuk Permintaan Minyak Sawit oleh Industri

Fatty Acid ... 84 16. Uji Heteroskedastisitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh

Industri Fatty Acid ... 84 17. Uji Normalitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri

Fatty Acid ... 85 18. Perubahan Harga Rill Minyak Sawit, Produksi Minyak Goreng,

Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng Tahun Sebelumnya dan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ... 86 19. Perubahan Selisih Harga Rill Minyak Goreng dan Permintaan Minyak

Sawit Oleh Industri Minyak Goreng ... 87 20. Perubahan Harga Rill Minyak Sawit Domestik Produksi Margarin

Domestik dan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 88 21. Perubahan Harga Riil Margarin Domestik Tahun Sebelumnya dan

Permintaan Minyak Sawit Oleh Industri Margarin……… ... 89 22. Perubahan Harga Riil Minyak Sawit Domestik, Produksi Sabun

Domestik, Permintaan Minyak Sawit Oleh Industri Sabun Tahun Sebelumnya, dan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Sabun ... 90 23. Perubahan Harga Riil Sabun Domestik Tahun Sebelumnya dan

Permintaan Minyak Sawit Oleh Industri Sabun ... 91 24. Perubahan Produksi Fatty Acid dan permintaan Minyak sawit Oleh

Industri Fatty Acid Sebelumnya dan Permintaan Minyak Sawit Oleh Industri Fatty Acid ... 92 25. Perubahan Laju Harga Riil Minyak Sawit Domestik, Selisih Harga Riil

Fatty Acid dan Permintaan Minyak Sawit Oleh Industri Fatty Acid ... 93 26. Data Penelitian ... 94


(18)

(19)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) merupakan komoditas unggulan pada sub sektor perkebunan di Indonesia. Berdasarkan aspek komoditas, komoditi binaan Direktorat Jenderal Perkebunan terdiri atas 127 jenis tanaman, berupa tanaman tahunan dan tanaman semusim dengan areal sebaran mulai dataran rendah sampai dataran tinggi, hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang jenis komoditi tanaman binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura serta Keputusan Menteri Pertanian nomor 3399/Kpts/PD.310/10/2009 tentang perubahan lampiran I dari Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006. Terdapat 127 jenis komoditi perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan membuat prioritas pengembangan komoditi perkebunan tahun 2010-2014 yang akan difokuskan pada 15 komoditas unggulan nasinal yaitu karet, kelapa sawit, kakao, kelapa, jarak pagar, teh, kopi, jambu mete, lada, cengkeh, kapas, tembakau, tebu, nilam, dan kemiri sunan (Direktorat Jenderal Perkebunan 2014).

Industri pengolahan termasuk didalamnya industri pengolahan minyak sawit, telah lama berperan dalam perekonomian nasional melalui kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) (Tabel 1).

Tabel 1. Pendapatan Domestik Bruto atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2012

Lapangan Usaha 2008 (Miliar Rupiah) 2009 (Miliar Rupiah) 2010 (Miliar Rupiah) 2011 (Miliar Rupiah) 2012 (Miliar Rupiah)

Rata - Rata Laju (%/Tahun) 1. Pertanian,

Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan

284 600 295 800 304 700 315 000 327 600 3.58 2. Pertambangan dan

Penggalian 172 400 180 200 187 100 189 700 192 600 2.81 3. Industri Pengolahan 557 700 570 100 597 100 633 700 670 100 4.71 4. Listrik, Gas, dan Air

Bersih 14 900 17 100 18 000 18 900 20 100 7.84 5. Konstruksi 131 000 140 200 150 000 159 900 172 000 7.04 6. Perdagangan, Hotel,

dan Restoran 363 800 368 400 400 400 437 100 472 600 6.81 7. Pengangkutan dan

Komunikasi 165 900 192 100 217 900 241 200 265 400 12.49 8. Keuangan, Real

Estate, dan Jasa 198 700 209 100 221 000 236 100 253 000 6.23 9. Jasa-jasa 193 000 205 400 217 800 232 500 244 700 6.11 Sumber: Badan Pusat Statistik (2012)


(20)

2

Kontribusi industri minyak sawit yang sangat strategis dalam perkembangan perekonomian ini dapat terus ditingkatkan, mengingat penggunaan minyak sawit dunia yang sangat prospektif serta potensi yang dimiliki oleh industri minyak sawit nasional seperti antara lain ketersediaan lahan dan tenaga kerja (Apolin News 2006 dalam Soekopitojo 2011). Peranan kelapa sawit dalam menghasilkan minyak sawit sangat penting antar lain sebagai bahan baku industri.

Menurut Lubis (1992), minyak yang berasal dari kelapa sawit ada dua jenis yaitu daging buah (mesocarp) yang dikeluarkan melalui perebusan dan pemerasan (pressan) dan dikenal sebagai minyak inti sawit atau Palm Kernel Oil

(PKO). Kedua jenis minyak sawit ini dapat diolah menjadi berbagai jenis produk lain, baik produk yang siap pakai maupun diproses kembali. Minyak sawit dipergunakan sebagai bahan baku dalam memproduksi produk turunan non pangan setelah melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Minyak sawit kasar atau CPO dibagi menjadi dua fraksi fase, yaitu fraksi fase padat (RBD Stearin) dan cair (RBD Olein). Produk RBD Olein digunakan sebagai bahan baku pembuatan margarin dan shortening, bahan baku industri sabun dan deterjen. Pemisahan CPO dan PKO dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri dari asam lemak dan gliserol. Asam lemak dan gliserol dimanfaatkan sebagai bahan

19000000 20000000 21000000 22000000 23000000 24000000 25000000 26000000

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 8000000 9000000 10000000

2007 2008 2009 2010 2011

Luas Lahan Produksi

Ha

tahun Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2012)

Gambar 1. Luas Lahan Perkebunan Sawit dan Produksi Minyak Sawit Indonesia Tahun 2007-2011

T


(21)

3 baku pembuatan pasta gigi, kosmetik dan produk-produk farmasi (Suprihatini 2001).

Luas lahan perkebunan sawit Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan hal ini mengakibatkan produksi minyak sawit Indonesia dalam kurun waktu 2007-2011 mengalami peningkatan tiap tahun. Berdasarkan Gambar 1, dapat disimpulkan bahwa produktivitas minyak sawit domestik pada tahun 2007-2011 mencapai 3 ton/ha/tahun. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Direktorat Jenderal Perkebunan (2012), produksi minyak sawit Indonesia yang tinggi merupakan hasil dari peningkatan luas wilayah (ekstensifikasi) bukan dari pengembangan teknologi (intensifikasi).

Perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia sangat pesat dikarenakan beberapa hal. Pertama adalah kebutuhan minyak nabati dunia cukup besar dan terus meningkat sebagai akibat penambahan jumlah penduduk maupun tingkat konsumsi per kapita. Kedua, diantara berbagai jenis tanaman penghasil minyak nabati, kelapa sawit merupakan tanaman dengan produksi minyak tertinggi. Ketiga, berkembangnya jenis-jenis industri berbasis kelapa sawit baik oleokimia maupun biodiesel (Barlow et al 2003 dalam Hadiguna 2010).

Permintaan dunia terhadap minyak nabati terus meningkat seiring dengan banyaknya negara maju yang beralih dari penggunaan lemak-trans ke alternatif yang lebih sehat (World Growth 2011). Minyak sawit sering digunakan sebagai pengganti lemak-trans karena merupakan salah satu lemak nabati yang berbentuk semi-padat pada suhu kamar. Dari sisi biaya produksi minyak nabati yang berasal dari kelapa sawit dan produk turunannya memiliki nilai yang lebih kompetitif. Jika dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya biaya produksi pengolahan kelapa sawit menjadi minyak sawit lebih rendah dan ramah lingkungan (Buana et al 2007).

Kontribusi minyak sawit Indonesia pada tahun 2011 merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan negara-negara produsen lainnya dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia yaitu sebesar 48 persen (Tabel 2). Negara berikutnya yang turut berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia adalah Malaysia dan Thailand. Pada tahun 2011 kontribusi minyak sawit Malaysia terhadap kebutuhan minyak nabati dunia sebesar 36 persen kemudian


(22)

4

diikuti oleh negara Thailand yaitu sebesar 2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peranan yang paling besar diantara negara-negara lainnya sebagai negara produsen dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia.

Tabel 2. Kontribusi Indonesia dan Negara-Negara Produsen Minyak Sawit dalam Memenuhi Permintaan Minyak Sawit oleh Dunia Tahun 2009-2011

Negara 2009

(juta ton) Share (%) 2010 (juta ton) Share (%) 2011 (juta ton) Share (%)

Indonesia 21 46.4 22.2 48.38 23.9 48.78

Malaysia 17.56 38.8 16.9 36.83 18 36.73

Thailand 1.31 2.89 1.34 2.92 1.45 2.96

Nigeria 0.87 1.92 0.89 1.94 0.9 1.84

Colombia 0.8 1.77 0.75 1.63 0.85 1.73

Papua Nugini 0.48 1.06 0.5 1.09 0.53 1.08

Ecuador 0.43 0.95 0.36 0.78 0.4 0.82

Cote d'Ivore 0.35 0.77 0.3 0.65 0.32 0.65

Cameroon 0.34 0.75 0.35 0.76 0.35 0.71

Honduras 0.28 0.62 0.28 0.61 0.29 0.59

Costa Rica 0.22 0.49 0.24 0.52 0.25 0.51

Brazil 0.24 0.53 0.25 0.54 0.27 0.55

Lainnya 1.39 3.07 1.44 3.14 1.49 3.04

Total 45.27 100.00 45.89 100.00 49 100.00

Sumber: CIC (2012b)

Perkembangan minyak sawit nasional menunjukkan bahwa minyak sawit Indonesia lebih banyak untuk diekspor daripada diolah di dalam negeri. Hal ini terlihat dari proporsi total ekspor minyak sawit yang mencapai 73 persen sedangkan konsumsi domestik hanya sebesar 37 persen (Tabel 3). Konsumsi minyak sawit domestik dalam bidang pangan banyak digunakan sebagai bahan baku minyak goreng, shortening, margarin, vanaspati, Cocoa Butter Substitute

(CBS), dan lainnya. Penggunaan minyak sawit dalam bidang non pangan juga terus berkembang terutama dalam produksi oleokimia, biodiesel, farmasi, dan kosmetik.

Tabel 3. Produksi, Impor, Ekspor, dan Konsumsi Domestik Minyak Sawit Indonesia Tahun 2007-2011

Tahun Produksi (ton) Impor (ton) Ekspor (ton) Konsumsi Domestik (ton)a

Laju Perubahan Konsumsi (%)

2007 21 197 670 4 250 13 210 740 7 991 170

2008 21 047 740 10 990 15 647 650 5 411 080 -32.29 2009 23 189 150 21 190 18 532 470 4 677 860 -13.55 2010 23 712 010 48 080 17 864 140 5 895 950 36.04 2011 25 137 300 1 850 15 560 080 9 579 060 62.47 Total 114 283 870 86 360 80 815 080 33 555 120

Rata-rata peningkatan 13.17

Keterangan : aAsumsi Stok = 0


(23)

5 Ekspor minyak sawit yang tinggi menjadi permasalahan yang diduga mengakibatkan kelangkaan bahan baku bagi industri hilir domestik (Hansen 2008). Konsistensi peningkatan ekspor ini menurut kajian INDEF (2007) menunjukkan bahwa: (1) serapan minyak sawit oleh industri domestik masih rendah karena industri hilir kelapa sawit yang tidak berkembang, (2) nilai tambah tertinggi diperoleh dari produksi minyak sawit, bukan dari produk turunannya. Pengusaha masih lebih tertarik pada industri primer (CPO) yang cenderung padat tenaga kerja, bukan padat modal karena untuk memproduksi produk turunan diperlukan dana investasi yang tinggi, dan (3) tersedianya pangsa pasar dunia atas minyak sawit dengan pengembangan industri hilir dan sumber energi alternatif (biodiesel). Berdasarkan Gambar 2, terlihat meskipun total produksi meningkat realisasi volume ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan dimulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 total penurunan ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 15 persen.

Sumber: Kementerian Perindustrian (2013)

Gambar 2. Perkembangan Produksi, Impor, dan Ekspor Minyak Sawit di Indonesia Pada Tahun 2007-2011

Terdapat beberapa spekulasi yang menjelaskan fenomena penurunan ekspor minyak sawit pada periode tahun 2009 sampai dengan 2011. Ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang turut memengaruhi turunnya ekspor minyak sawit Indonesia adalah dikarenakan krisis ekonomi global yang melanda negara-negara importir mengingat selama ini produksi minyak sawit Indonesia lebih banyak dijadikan komoditas ekspor, kemudian kejenuhan suplai minyak sawit di

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000

2007 2008 2009 2010 2011

Produksi Impor Ekspor

ton


(24)

6

pasar minyak nabati dunia. Faktor internal yang turut berkontribusi menyebabkan ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan adalah berkembangnya industri hilir minyak sawit domestik.

Tabel 4.Ekspor Minyak Sawit Indonesia Menurut Negara Tujuannya Pada Tahun 2007-2011

No Negara 2007 (ton) 2008 (ton) 2009 (ton) 2010 (ton) 2011 (ton) Rata-rata Kontribusi (%) Rata-rata Laju (%) 1 India 2 742 757 3 871 491 4 402 353 4 449 537 4 257 408 29.86 0.13 2 Belanda 569 871 968 205 1 057 227 948 461 602 825 6.28 0.08 3 Cina 237 206 306 205 335 769 108 827 28 302 1.54 -0.26 4 Malaysia 265 180 574 530 1 053 516 1 318 387 1 244 232 6.75 0.55 5 Pakistan 226 277 224 906 58 909 15 000 37 644 0.85 0.01 6 Inggris 34 202 8 700 11 025 10 000 15 000 0.12 -0.02 7 Amerika 6 210 8 607 7 000 3 000 1 500 0.04 -0.22 8 Yunani 6 150 14 492 20 135 10 463 6 067 0.09 0.21 9 Lainnya 9 122 887 9 670 514 11 586 536 11 000 465 9 367 102 76.83 0.01

Total 13 210 740 15 647 650 18 532 470 17 864 140 15 560 080

Sumber: UN COMTRADE (2012)

Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab turunnya ekspor minyak sawit Indonesia adalah dikarenakan krisis ekonomi global yang terjadi terutama pada negara Amerika dan Yunani sebagai salah satu negara yang mengalami krisis ekonomi terbesar sehingga berdampak terhadap kumpulan negara-negara di Eropa (Uni Eropa). Jika diteliti kembali hal tersebut sebenarnya tidak memberi dampak yang besar, karena berdasarkan data yang dipublikasikan oleh UN Comtrade sebagai lembaga statistik perdagangan yang diakui di dunia, menunjukkan bahwa lima negara terbesar yang berkontribusi sebagai negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia adalah India (29 persen), Belanda (6 persen), Cina (1 persen), Malaysia (6 persen), dan Pakistan (0.8 persen). Adapun kontribusi negara Amerika dan Yunani sebagai negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia adalah sangat kecil yaitu sebesar 0.04 persen dan 0.09 persen.

Tabel 5. Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia Pada Tahun 2007-2011 (Juta Ton)

Tahun Produksi Konsumsi

2007 37.30 38.00

2008 38.80 40.90

2009 43.10 44.80

2010 45.89 46.56

2011 50.18 40.15

Sumber: Oil World (2012)

Berdasarkan data pada Tabel 5, konsumsi minyak sawit dunia dalam periode 2007-2010 lebih besar daripada produksi minyak sawit dunia sehingga indikasi bahwa telah terjadi kejenuhan produksi minyak sawit pada pasar dunia bukan


(25)

7 penyebab penurunan ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2009 sampai dengan 2011. Adapun jumlah produksi minyak sawit dunia lebih besar daripada konsumsi minyak sawit dunia sehingga mengindikasikan bahwa telah terjadi kejenuhan pada suplai minyak sawit dunia, hanya pada tahun 2011. Berdasarkan pemaparan diatas diduga bahwa faktor internal merupakan faktor terbesar yang menyebabkan ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan. Artinya minyak sawit Indonesia lebih banyak dijual ke dalam negeri sebagai bahan baku produk industri hilir minyak sawit.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional merupakan petunjuk nasional dalam pembangunan industri termasuk di dalamnya industri hilir kelapa sawit. Tujuan pembangunan industri jangka panjang adalah membangun industri dengan konsep pembangunan berkelanjutan, didasarkan pada tiga aspek yang tidak terpisahkan yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan lingkungan hidup. Sedangkan tujuan pembangunan sektor industri jangka menengah ditetapkan bahwa industri harus tumbuh dan berkembang sehingga mampu menguasai pasar dalam negeri dan meningkatkan ekspor, mampu mendukung perkembangan infrastruktur, mampu memberikan sumbangan terhadap penguasaan teknologi nasional dan harus mampu meningkatkan pendalaman struktur industri dan mendiversifikasi jenis-jenis produksinya untuk memperluas pangsa ekspor minyak sawit agar Indonesia tidak hanya mengekspor minyak sawit mentah tetapi juga produk hilirnya. Oleh karena itu, untuk mengkaji rencana pemerintah tersebut perlu diketahui keterkaitan produksi minyak sawit sebagai bahan baku industri produk hilir minyak sawit dan konsumsi oleh industri-industri hilir minyak sawit. Kemudian perlu diketahui faktor-faktor yang memengaruhi permintaan industri hilir kelapa sawit terhadap minyak sawit.

1.2. Perumusan Masalah

Penurunan ekspor minyak sawit Indonesia disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mengakibatkan ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan adalah melimpahnya stok minyak nabati di dunia (GAPKI


(26)

8

2014)1. Suplai minyak nabati yang melimpah memengaruhi permintaan dari negara-negara importir yaitu Uni Eropa, Cina, dan India. Faktor eksternal lainnya yang mengakibatkan ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan adalah krisis ekonomi yang dialami oleh negara-negara Uni Eropa. Krisis ekonomi yang melanda mengakibatkan negara-negara Uni Eropa mengurangi anggaran belanja produk-produk impor. Faktor internal yang menyebabkan ekspor minyak sawit Indonesia turun adalah terdapat kontribusi industri hilir dalam menyerap produksi minyak sawit.

Industri minyak goreng, margarin, sabun, dan fatty acid merupakan beberapa industri hilir yang paling banyak menggunakan minyak sawit maka kegiatan ekonomi pada industri tersebut dipengaruhi oleh kebijakan terhadap komoditas minyak sawit. Berbagai kebijakan pemerintah terhadap komoditas minyak sawit antara lain antara lain adalah diterapkannya PE (Pajak Ekspor), operasi pasar dan DMO (Domestic Market Obligation) sesuai dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 mengenai perkebunan yang mengamanatkan keamanan penawaran dalam negeri. Kebijakan-kebijakan tersebut turut memengaruhi keseimbangan pasar minyak sawit domestik. Adanya kebijakan perdagangan berupa pajak ekspor minyak sawit akan berdampak negatif pada industri hulu yaitu berupa penurunan harga tingkat petani, produksi, dan pendapatan petani. Sebaliknya, industri hilir memeroleh manfaat seperti ketersediaan bahan baku yang lebih banyak dengan harga lebih rendah (Kusumawardhana 2008). Pengembangan industri hilir minyak sawit membutuhkan kontinuitas ketersediaan bahan baku.

Perkembangan industri hilir diduga sebagai alasan penurunan ekspor minyak sawit Indonesia. Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa rata-rata peningkatan suplai minyak sawit lokal adalah sebesar 10.67 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir persediaan minyak sawit di Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan ini diduga sebagai faktor yang mengakibatkan turunnya ekspor minyak sawit Indonesia.

1

http://www.tempo.co/read/news/2014/02/24/092556912/Awal-2014-Ekspor-CPO-Turun-22-Persen


(27)

9 Industri hilir domestik yang meningkat berdampak positif terhadap peningkatan nilai tambah minyak sawit. Pengolahan yang dilakukan terhadap minyak sawit menjadi produk hilir lainnya menjadikan minyak sawit memiliki nilai tambah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor minyak sawit (Tabel 6). Dari segi nilai tambah, semakin jauh diversifikasi produk dilakukan akan memberikan nilai tambah yang signifikan (Didu 2003).

Tabel 6. Nilai Tambah Industri Turunan Minyak Sawit

Produk Nilai Tambah (%)

Minyak sawit mentah (CPO) 0

Minyak goreng 60

RBD stearin 90

Margarin/shortening 180

Confectionaries 200

Fatty acid 300

Fatty alcohol 400

Surfaktan 800

Kosmetik 1 200

Sumber : Kementerian Perindustrian dalam Kurniadi (2013)

Kebijakan pemerintah yang turut serta dalam mendukung perbaikan industri hilir terdapat dalam naskah kebijakan kelapa sawit oleh Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada tahun 2010 (Kurniadi 2013). Adapun kebijakan dalam naskah tersebut membahas mengenai pengembangan produk (hilir dan sampingan) dan peningkatan nilai tambah melalui: (1) pengembangan jaringan infrastruktur yang terintegrasi, (2) insentif fiskal untuk pengadaan peralatan dan pengolahan mesin-mesin produk hilir, (3) prioritas alokasi kredit dan subsidi bunga untuk investasi dan modal kerja dalam rangka pengembangan industri hilir kelapa sawit, (4) insentif bea keluar untuk ekspor produk hilir dan samping; serta disinsentif bea keluar untuk ekspor bahan mentah dengan tetap memerhatikan keberadaaan industri hulu, dan (5) penguatan penelitian dan pengembangan (Litbang) kelapa sawit melalui peningkatan anggaran dan investasi Litbang serta kerjasama Litbang dengan pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi.

Berkaitan dengan insentif bea keluar untuk ekspor produk hilir pemerintah telah diatur melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar serta PMK No. 128/PMK.011/2011 tentang perubahan atas PMK


(28)

10

No.67/PMK.011/2010. Kebijakan tersebut menyebutkan bahwa bea keluar minyak sawit berkisar 0-22.5 persen, sedangkan bea keluar biodiesel sebagai produk hilir dari minyak sawit hanya berkisar 0-7.5 persen (Kemenkeu 2011).

Oleh karena itu, dilakukan analisis terhadap penurunan ekspor minyak sawit yang ditinjau dari sisi ekonomi terhadap pengembangan minyak sawit dan industri hilirnya kemudian mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi permintaan industri minyak goreng, margarin, sabun dan fatty acid terhadap minyak sawit melalui variabel harga input, harga output dan total produksi output.

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat diringkas beberapa pertanyaan penelitian:

1. Bagaimana perkembangan produksi minyak sawit, produksi produk industri hilir minyak sawit, dan konsumsi minyak sawit oleh industri minyak goreng, margarin, sabun, dan fatty acid di Indonesia?

2. Bagaimana faktor-faktor yang memengaruhi permintaan industri minyak goreng, margarin, sabun, dan fatty acid terhadap minyak sawit di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini dapat dituliskan sebagai berkut:

1. Menganalisis perkembangan produksi minyak sawit, produksi produk industri hilir, dan konsumsi minyak sawit oleh industri minyak goreng, margarin, sabun, dan fatty acid di Indonesia.

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan minyak sawit Indonesia oleh industri minyak goreng, margarin, sabun dan fatty acid.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait, bagi penulis peneltian ini dapat menambah pengetahuan dan menjadi sarana penerapan ilmu-ilmu yang diperoleh selama kuliah. Pelaku usaha dalam industri minyak sawit, menjadi informasi dalam mengembangkan produk hilir kelapa sawit. Akademisi, penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan industri turunan kelapa sawit. Pemerintah


(29)

11 sebagai bahan pertimbangan dalam menerapkan peraturan terhadap industri hilir kelapa sawit.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan minyak sawit Indonesia oleh industri minyak goreng, margarin, sabun, dan fatty acid dalam periode tahun 1991-2011. Fokus penelitian ini terbatas pada faktor internal yang mengakibatkan turunnya ekspor minyak sawit Indonesia. Produk hilir minyak sawit yang menjadi obyek dalam penelitian ini terbatas pada minyak goreng, margarin, sabun, dan fatty acid dengan pertimbagan produk-produk tersebut merupakan kebutuhan masyarakat yang paling dominan dari produk hilir minyak sawit. Keterbatasan dalam penelitian ini tidak dibedakan bentuk dan kualitas, baik pada komoditas minyak sawit maupun komoditas industri berbahan baku minyak sawit. Selain itu, keterbatasan penelitian ini adalah tidak meneliti minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak lobak, minyak kelapa yang dipertimbangkan sebagai barang substitusi bagi minyak sawit. Komoditas ekspor dan impor industri sawit tidak disertakan dalam penelitian ini.


(30)

12

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Kelapa Sawit Indonesia

Tanaman kelapa sawit (Elais guinensiss Jack) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada pula yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit di dunia (Fauzi et al 2002).

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusinya yang cukup besar dalam menghasilkan devisa dan penyerapan tenaga kerja (GAPKI 2010). Perkembangan pengolahan industri minyak sawit dan turunannya di Indonesia selaras dengan pertumbuhan areal perkebunan dan produksi kelapa sawit sebagai sumber bahan baku. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan buah kelapa sawit/tandan buah segar (hulu) kemudian diolah menjadi minyak sawit mentah (hilir perkebunan sawit dan hulu bagi industri yang berbasiskan minyak sawit) (Basdabella 2001).

2.2. Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia

Pengolahan kelapa sawit merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha perkebunan kelapa sawit. Hasil utama yang dapat diperoleh ialah minyak sawit, minyak inti sawit, sabut, cangkang dan tandan kosong. Pabrik kelapa sawit (PKS) dalam konteks industri kelapa sawit di Indonesia dipahami sebagai unit ekstraksi Crude Palm Oil (CPO) dan inti sawit dari tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. PKS merupakan unit pengolahan hulu dalam industri pengolahan kelapa sawit dan merupakan titik kritis dalam alur ekonomi buah


(31)

13 kelapa sawit khususnya dan industri kelapa sawit umumnya. Sifat yang krusial ini disebabkan beberapa faktor penting diantaranya:

1. Sifat buah kelapa sawit yang segera mengalami penurunan kualitas dan rendemen bila tidak segera diolah;

2. Minyak sawit dan inti sawit merupakan bahan antara industri olahan kelapa sawit dimana kualitasnya menentukan daya gunanya untuk diolah menjadi pupuk akhir industri dan konsumen rumah tangga seperti olein, stearin,

minyak goreng, margarin, shortening, minyak inti sawit, kosmetik, sabun dan deterjen, shampo, dll.

Pabrik kelapa sawit merupakan salah satu kunci sukses pembangunan industri perkebunan kelapa sawit. PKS tersusun atas unit-unit proses yang memanfaatkan kombinasi perlakuan mekanis, fisik, dan kimia. Parameter penting produksi seperti efisien ekstraksi, rendemen, kualitas produk sangat penting peranannya dalam menjamin daya saing industri perkebunan kelapa sawit dibanding industri minyak nabati lainnya.

Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 107/Kpts/2000, sebuah PKS hanya dapat didirikan jika perusahaan tersebut memiliki kebun yang mampu memasok 50 persen dari kapasitas PKS yang akan didirikan. Implikasi dari peraturan tersebut adalah kemampuan PKS mengolahkan buah milik pihak luar jadi sangat terbatas. Oleh sebab itu, kebun-kebun yang luas akan lebih aman apabila memiliki PKS sendiri (Buana et al 2007).

2.2.1. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Minyak Sawit di Indonesia

Perkembangan industri pengolahan minyak sawit di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan prospek yang baik bagi industri pengolahan minyak sawit. Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat penyebaran industri pengolahan minyak sawit per provinsi. Kapasitas produksi minyak sawit terbesar dan jumlah industri pengolahan minyak sawit terbanyak berada di Provinsi Riau dengan total kapasitas produksi sebesar 6 600 ton/tbs/jam dan jumlah industri sebanyak 140 unit.


(32)

2

Sumber : Kementerian Perindustrian (2010)

Gambar 3. Pohon Industri Kelapa Sawit

14

Stearin Minyak Inti Sawit (PKO)

Endocarp

Lipase Protein Sel

Tunggal Soap Chip

Asam Lemak Es

Krim Trigliserida, Digliserida,

Monogliserida Karoten

Vit. A,E

Asam Amino PFAD

Olein

Minyak Sawit Kasar (CPO) Mesocarp

Tandan Buah Segar

Oxygenated Fatty Acid/Ester : Epoxy Stearic/ Octanol Ester Epthio Stearin Mono & Polyhydric Alcohol Ester

Fatty Acid Amides : Stearamide Alkanolamides

Sulphated Alcanolamide of Palmitat, Stearic &

Oleic Acids Oleamide

Gliserol Food Elmusifier Fatty Alcohol C16&C18 Alcohol/ Sulphated C16&C18 Alcohol/ Esterified with Higher Saturated Fatty Acid C16&C19 Alcohol/ Ethoxylation Monogliserida Ethoxylation Oleat/Zn, Pb Metalic Salt Oleat/Ba Palmitat Stearat/ Ca, Zn

Stearat/ Al, Li Betanin

Secondary C16 & C18/ Ethoxylated

C16 & C18/ Ethoxylated Polyethoxylated Derivates : Palmitat/Ethylene Propylene Oxide Stearat/Ethylene Propylene Oxide Oleic Acid Dimer

Ethylene Propylene Oxide

Fatty Amines Ester Asam Lemak :

Palmitat/Propand Metil Ester Sulfonat

Olet/Glycol Propylene Glycol

Keterangan Warna :

= sudah diproduksi di Indonesia = belum diproduksi di Indonesia = dalam persiapan untuk diproduksi Metil Ester Minyak Salad Minyak Goreng

Shortening Cocoa Butter

Substitute (CBS) Fat Powder Metil Ester Sabun Cuci Biodiesel Confectioneries n Sabun Shortening Vegetable Ghee Cocoa Butter Substitute (CBS)

Margarin Kosmetika


(33)

15

Tabel 7. Jumlah Industri Pengolah Minyak Sawit dan Kapasitas Produksi Per Provinsi Tahun 2011

No. Provinsi

Jumlah Industri Pengolahan Minyak Sawit

(Unit)

Kapasitas Produksi (ton/tbs/jam)

1. NAD 25 980

2. Sumatera Selatan 92 3 815

3. Sumatera Barat 26 1 645

4. Riau 140 6 660

5. Kepulauan Riau 1 40

6. Jambi 42 2 245

7. Sumatera Timur 58 3 555

8. Bangka Belitung 16 1 235

9. Bengkulu 19 990

10. Lampung 10 375

11. Jawa Barat 1 30

12. Banten 1 60

13. Kalimantan Barat 65 5 475

14. Kalimantan Tengah 43 3 100

15. Kalimantan Selatan 15 770

16. Kalimantan Timur 29 1 545

17. Sulawesi Tengah 7 590

18. Sulawesi Selatan 2 150

19. Sulawesi Barat 6 260

20. Sulawesi Tenggara 3 260

21. Papua 3 140

22. Papua Barat 4 360

Total 608 34 280

Sumber : Kementerian Perindustrian (2012)

Buah kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak yaitu, Crude Palm Oil

(CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) yang digunakan sebagai bahan baku oleh industri produk hilir kelapa sawit. Minyak sawit yang diproduksi sebagian besar digunakan sebagai produk ekspor dan hampir 90 persen konsumsi domestik digunakan sebagai bahan baku minyak goreng (Siahaan 2006). Industri lain yang menggunakan minyak kelapa sawit adalah industri margarin, sabun, dan industri kimia lainnya.

Produk hilir berbasis minyak sawit dan PKO berdasarkan kegunaannya dibedakan atas dua jenis kelompok produk yaitu edible product dan non-edible product. Edible product merupakan produk turunan minyak sawit yang dapat dikonsumsi seperti minyak goreng, minyak salad dan berbagai minyak serta lemak khusus seperti cocoa butter substitute, coffee whitener, dll. Non-edible product

merupakan produk yang bukan digunakan seperti produk teknis non pangan seperti sabun, deterjen, plasticizer, produk kimia dll (Siahaan 2006).

Produk Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Oil (RBDPO) dan RBD


(34)

16

digunakan dalam industri makanan sebagai minyak goreng. RBDPO juga digunakan untuk memproduksi margarin, shortening, es krim, condensed milk, vanaspati, sabun, dan lainnya. RBD palm stearin digunakan sebagai bahan baku margarin dan shortening juga bahan untuk pembuatan lemak untuk pelapis pada industri permen dan coklat. RBD palm stearin digunakan juga dalam menghasilkan sabun dan industri oleokimia (Siahaan 2006).

2.3. Industri Pemakai Minyak Sawit di Indonesia

Pemanfaatan minyak sawit di Indonesia sebagian besar digunakan sebagai bahan dasar produksi minyak goreng yang awalnya menggunakan minyak kelapa. Namun karena sifat minyak goreng yang berbahan dasar minyak kelapa sawit tidak mudah berbau jika disimpan dalam waktu yang lama maka penggunaan minyak sawit sebagai bahan dasar minyak goreng lebih banyak dipilih oleh produsen.

2.3.1. Industri Minyak Goreng

Kebutuhan masyarakat akan minyak goreng sangat tinggi hal ini disebabkan oleh tingginya konsumsi masyarakat terhadap makanan yang digoreng. Pengusaha industri minyak goreng menjadikan hal ini sebagai peluang untuk memperluas usaha dan meningkatkan kapasitas produksi.

a. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Minyak Goreng

Minyak goreng sawit merupakan komoditas bernilai strategis karena peranan sebagai salah satu bahan pangan pokok. Kebutuhan minyak goreng mengalami peningkatan sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri makanan.

Industri pengolahan minyak sawit Indonesia tersebar di 13 provinsi. Berdasarkan tabulasi data terlihat bahwa penguasaan pangsa terbesar berada di Provinsi Sumatera Utara dibandingkan dengan provinsi lain. Hal tersebut ditunjukkan oleh persentase share market minyak goreng sawit di Provinsi Sumatera Utara sebesar 34 persen kemudian diikuti oleh Jawa Timur 19 persen dan DKI Jakarta 17 persen.


(35)

17

Tabel 8. Jumlah Industri dan Kapasitas Produksi Industri Minyak Goreng Tahun 2011

No Propinsi Jumlah Industri

(Unit)

Kapasitas

(ton/tahun) Share (%)

1 Sumatera Utara 15 2 480 297 34.42

2 Sumatera Barat 1 35 000 0.4

3 Riau 2 504 000 7

4 Jambi 1 1 030 0.02

5 Lampung 5 462 000 6.4

6 Sumatera Selatan 1 220 000 3

7 DKI Jakarta 10 1 276 655 17.7

8 Jawa Barat 7 686 160 9.5

9 Banten 1 143 640 2

10 Jawa Tengah 1 1 800 0.06

11 Jawa Timur 8 1 377 300 19.1

12 Kalimantan Barat 1 3 000 0.4

Jumlah 53 7 190 882 100

Sumber : CIC (2012a)

b. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Berbahan Baku Minyak Sawit

Produksi minyak goreng berbahan dasar minyak sawit mengalami penurunan dalam produksinya pada tahun 2007 dan 2008. Berdasarkan hasil penelitian hal ini terjadi antara lain dikarenakan tingginya jumlah ekspor bahan baku minyak sawit atau tingginya persaingan antara industri yang memproduksi minyak goreng.

Tabel 9. Produksi Minyak Goreng Berbahan Dasar Minyak Sawit Tahun 2007-2011

Tahun Minyak Goreng (ton) Perubahan (%)

2007 8 808 063

2008 8 228 000 -6.59

2009 6 545 000 -20.45

2010 8 654 900 32.23

2011 10 459 694 18.43

Sumber : CIC (2012a)

c. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng

Jumlah konsumsi didapatkan dengan menjumlahkan produksi dengan impor kemudian dikurangi dengan ekspor dengan demikian nilai konsumsi industri sama dengan jumlah suplai minyak sawit domestik. Suplai dianggap sebagai konsumsi dengan asumsi stok nasional sama dengan nol dan seluruh bahan baku habis dikonsumsi dalam tahun tersebut. Asumsi ini digunakan karena komoditas minyak sawit merupakan produk yang mudah rusak jika tidak segera diolah. Pendugaan konsumsi minyak sawit yang dibutuhan untuk memproduksi minyak goreng menggunakan asumsi perbandingan 1 ton minyak sawit sama dengan 0.6-0.7 ton minyak goreng.


(36)

18

Tabel 10. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng Tahun 2007-2011 (ton)

Tahun Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng

2007 5 319 848

2008 2 905 175

2009 2 174 965

2010 3 020 113

2011 5 371 458

Sumber:CIC (2012a)

Peningkatan konsumsi minyak goreng antara lain disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk, semakin berkembangnya pabrik pengolahan minyak goreng dan meningkatnya unit usaha makanan yang memanfaatkan minyak goreng sebagai komposisi bahan bakunya.

2.3.2. Industri Margarin

Sejalan dengan perkembangan teknologi produksi, bahan baku yang digunakan oleh industri margarin tidak lagi memanfaatkan minyak kelapa melainkan minyak sawit. Tingginya permintaan dalam negeri maupun luar negeri memicu industri meningkatkan kapasitas produksi.

a. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Margarin

Komoditas margarin merupakan produk olahan makanan yang memanfaatkan minyak sawit sebagai bahan bakunya. Berdasarkan prosesnya margarin terbentuk dari minyak sawit pada fraksi padat yang disebut dengan

stearin (Suprihatini 2001). Saat ini terdapat 32 perusahaan yang turut serta dalam bisnis margarin dan shortening. Tujuh belas perusahaan diantaranya adalah produsen pemegang merek yang memiliki kapasitas dan memproduksi sendiri produk margarin ataupun shortening. Lima belas perusahaan lainnya adalah sebagai perusahaan impor yang mendatangkan produknya dari luar. Selain itu, ada pula perusahaan impor yang melakukan makloon (sewa produksi) ke perusahaan lokal (PT. CIC 2011).

Perkembangan produksi margarin sejalan dengan meningkatnya jumlah unit usaha roti dan kue di Indonesia. Berdasarkan Tabel 11, terdapat 17 industri margarin yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia dengan total kapasitas produksi 357 900 ton/tahun.


(37)

19

Tabel 11. Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Margarin Tahun 2011

No. Provinsi Industri

Margarin Share %

Kapasitas Produksi (ton/tahun)

Share %

1 DKI Jakarta 6 35.29 230 700 64.46

2 Jawa Barat 3 17.65 31 700 8.86

3 Jawa Timur 3 17.65 85 500 23.89

4 Jawa Tengah 1 5.88 900 0.25

5 Sumatera Utara 3 17.65 8 440 2.36

6 Sumatera Barat 1 5.88 660 0.18

Total 17 357 900

Sumber: Kementerian Perindustrian (2012)

Industri margarin tersebar di 6 provinsi yakni, DKI Jakarta 6 perusahaan industri margarin dengan kapasitas produksi sebesar 230 700 ton/tahun dengan kontribusi produksi margarin terbesar yaitu 64 persen (Tabel 11). Provinsi Jawa Timur terdapat 3 perusahaan industri margarin dengan kapasitas produksi sebesar 8 500 ton/tahun atau share industri turunan minyak sawit sebesar 17.65 persen dan share kapasitas kilang sebesar 2.36 persen.

b. Perkembangan Produksi Margarin Berbahan Dasar Minyak Sawit

Berdasarkan Tabel 12, produksi margarin berbahan baku minyak sawit selama lima tahun mengalami peningkatan tiap tahun sebesar 8 persen. Peningkatan ini antara lain dikarenakan meningkatnya jumlah permintaan industri boga yang memanfaatkan margarin sebagai bahan baku pembuatan roti dan kue (Anita 2011).

Tabel 12. Produksi Margarin Berbahan Dasar Minyak Sawit Tahun 2007-2011

Tahun Produksi Margarin (ton) Laju (%)

2007 458 481

2008 459 646 0.25

2009 420 450 -8.53

2010 567 300 34.93

2011 610 459 7.58

Rata-rata Pertumbuhan 8.56

Sumber : CIC (2012b)

Fluktuasi terhadap jumlah produksi margarin terjadi antara lain dikarenakan tingginya persaingan antar perusahaan kemudian ketersediaan bahan baku dalam negeri yang terbatas menjadi pertimbangan bagi perusahaan dalam menghasilkan produknya (CIC 2011).


(38)

20

c. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Margarin

Jumlah konsumsi didapatkan dengan menjumlahkan produksi dengan impor kemudian dikurangi dengan ekspor dengan demikian nilai konsumsi industri sama dengan jumlah suplai minyak sawit domestik. Suplai dianggap sebagai konsumsi dengan asumsi stok nasional sama dengan nol dan seluruh bahan baku habis dikonsumsi dalam tahun tersebut. Dalam` menduga konsumsi minyak sawit oleh industri margarin digunakan suatu asumsi yaitu untuk memproduksi 1 ton margarin membutuhkan 0.8 ton minyak sawit dan 0.2 ton bahan tambahan lainnya (CIC 2012).

Berdasarkan Tabel 13, diketahui bahwa konsumsi bahan baku oleh industri margarin digunakan pendekatan dengan jumlah konsumsi bahan baku dibagi dengan suplai minyak sawit domestik.

Tabel 13. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Margarin Tahun 2007-2011 Tahun Konsumsi Bahan Baku Industri Margarin (ton)

2007 285 260

2008 425 881

2009 434 563

2010 534 155

2011 487 957

Sumber : CIC (2012b)

Menurut penelitian INDOCOMMERCIAL, No.417-16 Mei 2010 industri-industri yang turut berkontribusi dalam pemakaian margarin antara lain industri-industri roti, industri biskuit serta snack, margarin juga dikonsumsi oleh sektor industri lainnya seperti industri cokelat, perhotelan, jasa catering restoran, rumah tangga, industri makanan jajanan seperti martabak dan lain-lain. Konsumsi minyak sawit oleh industri margarin pada tahun 2007 hingga 2011 mengalami peningkatan (Tabel 13). Peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh berkembangnya industri roti/bakery, biskuit, snack dan lainnya karena industri-industri tersebut mendominasi pemanfaatan margarin.

2.3.3. Industri Sabun Mandi dan Sabun Cuci

Pemanfaatan minyak sawit pada industri non pangan didominasi oleh industri sabun domestik. Dengan asumsi sabun mandi dan sabun cuci merupakan jenis sabun yang paling banyak dikonsumsi masyarakat.


(39)

21

a. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Sabun

Sabun sebagai produk turunan minyak sawit serta sebagai produk yang banyak dikonsumsi masyarakat. Sejalan dengan meningkatnya pendapatan dan gaya hidup masyarakat maka selera masyarakat dalam menggunakan sabun pun meningkat. Hal ini dimanfaatkan industri untuk meningkatkan inovasinya mengikuti selera konsumen. Dalam Tabel 14, diperlihatkan informasi mengenai perkembangan industri sabun mandi dan sabun cuci pada beberapa provinsi di Indonesia tahun 2011. Industri sabun sebagian besar berada di Pulau Jawa yaitu terdapat 33 industri dengan kapasitas industri total sebesar 335 848 ton terdiri dari 21 industri sabun mandi berkapasitas 278 230 ton dan 12 industri sabun cuci dengan kapasitas total 57 618 ton.

Tabel 14. Perbandingan Kapasitas Produksi Industri Sabun Tahun 2011 No Propinsi Sabun Mandi (ton/tahun) Sabun Cuci (ton/tahun)

Perusahaan Kapasitas Perusahaan Kapasitas

1 Sumut 2 11 400 6

39 200

2 Sumbar 1 600 3 7 250

3 Riau - - 2 14 200

4 Lampung 1 14 400 1 7 200

5 DKI Jakarta 6 72 100 2 21 000

6 Jawa Barat 5 58 500 4 41 268

7 Jawa Tengah 3 9 250 1 3 000

8 Jawa Timur 7 110 980 5 18 750

9 Kalimantan Barat - - 1 350

10 Sulawesi - - 1 900

Total 25 277 230 26 153 118

Sumber: CIC (2012a)

Berdasarkan penelitian Affudin (2007), pangsa pasar sabun merupakan yang terbesar ke-3 setelah minyak goreng dan margarin. Hal ini mengindikasikan penguasaan pasar oleh produk sabun cukup tinggi sehingga meningkatkan peluang pengembangan produk sabun berbahan baku minyak sawit.

b. Perkembangan Produksi Sabun Mandi dan Sabun Cuci di Indonesia

Penelitian ini menggabungkan dua jenis sabun yang paling banyak digunakan oleh masyarakat yaitu sabun mandi dan sabun cuci (deterjen). Produksi sabun domestik sangat fluktuatif cenderung meningkat hal ini terlihat pada jumlah produksi tiap tahun. Berdasarkan Tabel 15, rata-rata laju produksi sabun berbahan baku minyak sawit adalah 46.63 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa peluang pengembangan sabun berbahan baku minyak sawit memiliki prospek yang baik. Peningkatan produksi sabun sejalan dengan peningkatan jumlah


(40)

22

penduduk dan gaya hidup konsumen sehingga meningkatkan permintaan terhadap sabun mandi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa faktor-faktor yang memengaruhi permintaan diantaranya adalah harga barang yang dimaksud, harga barang lain atau substitusi tingkat pendapatan, jumlah penduduk, selera, dan estimasi di masa yang akan datang (Putong 2002).

Tabel 15. Produksi Sabun Mandi dan Deterjen Berbahan Dasar Minyak Sawit Tahun 2007-2011

Tahun Produksi Sabun dan Deterjen (ton)

2007 455 727

2008 567 090

2009 500 000

2010 754 050

2011 873 215

Sumber : CIC (2012a)

c. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Sabun Mandi dan Sabun Cuci

Jumlah konsumsi didapatkan dengan menjumlahkan produksi dengan impor kemudian dikurangi dengan ekspor dengan demikian nilai konsumsi industri sama dengan jumlah suplai minyak sawit domestik. Suplai dianggap sebagai konsumsi dengan asumsi stok nasional sama dengan nol dan seluruh bahan baku habis dikonsumsi dalam tahun tersebut. Dalam menduga konsumsi minyak sawit oleh industri deterjen digunakan asumsi untuk menghasilkan 1 ton deterjen membutuhkan 1.82-2 ton minyak sawit.

Konsumsi minyak sawit dalam penelitian ini merupakan total konsumsi oleh industri sabun mandi dan deterjen yang dihitung dalam satuan ton. Tujuan dalam penelitian ini adalah menghitung total minyak sawit yang digunakan industri sabun dan deterjen oleh karena itu satuan yang digunakan bukan berupa batang atau kemasan melainkan ton.

Tabel 16. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Sabun Mandi dan Sabun Cuci Tahun 2007-2011

Tahun Konsumsi industri sabun dan deterjen (ton)

2007 878 675

2008 683 439

2009 665 904

2010 717 101

2011 932 419

Sumber: Kementerian Perindustrian (2012) 2.3.4. Industri Oleokimia

Industri oleokimia merupakan industri antara yang berbasis minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Dari kedua jenis produk ini dapat


(41)

23 dihasilkan berbagai jenis produk antara sawit yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri hilirnya baik untuk kategori pangan maupun non pangan. Diantara kelompok industri antara sawit tersebut salah satunya adalah oleokimia dasar (fatty acid, fatty alcohol, fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk tersebut menjadi bahan baku bagi beberapa industri seperti farmasi, toiletries, dan kosmetik (Said 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Affudin (2010), proporsi produk hilir minyak sawit dibagi menjadi 90 persen untuk produk pangan seperti minyak goreng, margarin atau shortening dan 10 persen untuk produk non pangan seperti sabun, deterjen, fatty acid, fatty alcohol, surfaktan, stearin, dan lainnya.

a. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Oleokimia

Oleokimia dihasilkan dari lemak nabati minyak sawit. Sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan industri domestik akan oleokimia turut memengaruhi peningkatan jumlah perusahaan dan kapasitas produksi pada setiap perusahaan (Tabel 17).

Tabel 17. Perusahaan dan Kapasitas Produksi Oleokimia di Indonesia Tahun 2011

No. Nama Perusahaan Lokasi Jenis

Produk

Kapasitas Produksi (ton/thn)

1. PT. Sinar Oleochemical

Int'l Medan Fatty Acid 120 000

Glycerin 12 250

2.

PT. Prima Inti Perkasa Medan

Fatty

Alcohol 30 000

Fatty Acid 8 000

3.

PT. Flora Sawita

Tanjung

Morawa Fatty acid 47 000

Glycerin 5 400

4.

PT. Batamas Megah Batam

Fatty

alcohol 90 000

5. PT. Cisadane Raya

Chemical Tangerang Fatty acid 182 000

Fatty

alcohol 20 000

Glycerin 5 500

6. PT. Asianagro

Agungjaya Jakarta Utara Fatty acid 14 800

7. PT. Sumi Asih Bekasi Fatty acid 100 000

Glycerin 3 500

8. PT. Bukit Perak Semarang Glycerin 1 440

9. PT. Unilever Indonesia Surabaya Glycerin 8 950

10. PT. Wings Surya Surabaya Glycerin 3 000

11. PT. Musim Mas Deli Fatty acid 90 000


(42)

24

Produk hilir minyak sawit menjadi fokus pengembangan pemerintah Indonesia. Produk fatty acid hanya salah satu dari banyak jenis oleokimia yang dikembangkan di Indonesia. Pemanfaatan fatty acid banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri sabun dan deterjen.

b.Perkembangan Produksi Oleokima Berdasarkan Jenis Produk

Produk fatty acid merupakan salah satu intermediate product (produk antara) yang dimanfaatkan sebagai bahan baku dari berbagai industri yaitu industri sabun, karet, dan paralon PVC. Perkembangan produksi fatty acid secara signifikan mengalami peningkatan (Tabel 18). Hal ini terjadi dikarenakan peningkatan pada produksi industri non pangan seperti sabun, kosmetik, dan lainnya sehingga bahan baku yang dibutuhkan pun mengalami peningkatan.

Tabel 18. Perkembangan Produksi Oleokimia Berdasarkan Jenis Tahun 2007-2011 (ton)

Tahun Fatty Acid Glycerin Fatty Alcohol Total

2007 567 050 57 680 380 110 1 004 840

2008 605 060 69 040 331 780 1 005 880

2009 722 540 70 960 344 840 1 138 340

2010 632 870 35 810 336 410 1 005 100

2011 763 910 61 230 351 840 1 176 990

Sumber: CIC (2012c)

Berdasarkan Tabel 18, didapatkan informasi produksi fatty acid dalam jangka waktu lima tahun cenderung meningkat. Komoditas fatty acid, glycerin,

dan fatty alcohol merupakan jenis oleokimia yang telah diproduksi di Indonesia dalam jumlah besar. Hal ini akan terus terjadi dengan syarat kontinuitas suplai bahan baku minyak sawit untuk industri dapat dipertahankan.

c. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid

Jumlah konsumsi didapatkan dengan menjumlahkan produksi dengan impor kemudian dikurangi dengan ekspor dengan demikian nilai konsumsi industri sama dengan jumlah suplai minyak sawit domestik. Suplai dianggap sebagai konsumsi dengan asumsi stok nasional sama dengan nol dan seluruh bahan baku habis dikonsumsi dalam tahun tersebut. Dalam menduga konsumsi minyak sawit oleh industri oleokimia digunakan asumsi bahwa untuk menghasilkan 1 ton fatty acid


(43)

25

Tabel 19. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid Tahun 2007-2011 (ton)

Tahun Bahan Baku Fatty Acid Produksi Fatty Acid

2007 820.978 567 050

2008 936.974 605 060

2009 975.052 722 540

2010 1 155.103 632 871

2011 1 376.991 763 912

Sumber: CIC (2012c)

2.4. Kebijakan Pemerintah Mengenai Minyak Sawit

Pemerintah bersama industri terkait selalu mengupayakan kemajuan industri hilir dari produk turunan kelapa sawit melalui berbagai kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan devisa negara dan menciptaan lapangan kerja baru.

Pemerintah memiliki alternatif kebijakan untuk mengurangi ekspor minyak sawit dan memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik, yaitu

Domestic Market Obligation (DMO). Sesuai dengan Undang-Undang No.18

tentang perkebunan yang mengamanatkan keamanan penawaran minyak sawit dalam negeri (Novindra 2011). Sejalan dengan alternatif kebijakan pemerintah, dimana minyak sawit sebagai salah satu hasil perkebunan kelapa sawit perlu dibatasi ekspornya dalam bentuk mentah untuk menciptakan daya saing yang lebih tinggi, untuk itu selanjutnya diperlukan pengembangan industri hilirnya dan keamanan pasokan minyak sawit dalam negeri.

Intervensi pemerintah dengan instrumen pajak (fiskal) merupakan komponen penting untuk pengembangan industri hilir. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor memberikan dasar hukum yang kuat bagi upaya pembatasan ekspor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Peraturan ini memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk menetapkan besaran tarif bea keluar untuk barang ekspor setelah mendapatkan masukan dari kementerian/instansi terkait.

Pengenaan bea keluar bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumberdaya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional dan menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri (Permenkeu 2008). Berdasarkan Permenkeu tersebut, Kementerian Perdagangan pada tanggal 13 September 2011 mengeluarkan Permendag Nomor 25/M-DAG/PER/9/2011


(44)

26

tentang Perubahan atas Tata Cara Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar yang berlaku sejak tanggal dikeluarkannya dan Permendag Nomor 32 Tahun 2011 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor atas Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar. Adapun isi Permendag Nomor 32 Tahun 2011 adalah:

1. Penetapan harga patokan ekspor (HPE) ditetapkan dengan berpedoman pada harga rata-rata internasional atau harga rata-rata FOB dalam satu bulan terakhir sebelum HPE;

2. Tarif bea keluar untuk komoditi kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya berpedoman pada harga referensi yang didasarkan pada harga rata-rata minyak sawit CIF Rotterdam, harga rata-rata CPO bursa Malaysia dan atau harga rata-rata bursa Jakarta;

3. Harga referensi CPO sebesar USD 1 009.51/MT.

Dalam Lampiran I Permendag Nomor 32 Tahun 2011 harga patokan ekspor (HPE) minyak sawit (HS 1511.10.00.00) adalah sebesar 938 USD/MT, Palm Fatty Acid Distilate (3823.19.10.00) adalah sebesar 808 USD/MT, dan biodiesel (3824.90.90.00) adalah sebesar 1 065 USD/MT.

Dalam rangka peningkatan daya saing dan nilai tambah dari komoditas minyak sawit pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam tahun berjalan. Peraturan ini menjadi dasar hukum untuk Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 mengenai Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan atau yang sering disebut Tax Holiday untuk industri-industri khusus (pionir) termasuk diantaranya industri-industri minyak sawit.

Permasalahan dengan pengolahan produk hilir, produk perkebunan masih didominasi oleh komoditas olahan primer, padahal nilai tambah yang tinggi berada pada produk olahan dalam bentuk produk setengah jadi dan produk jadi, baik barang untuk keperluan industri maupun rumah tangga. Terbatasnya pengembangan pengolahan hasil perkebunan disebabkan oleh rendahnya konsistensi kualitas komoditas perkebunan dan terbatasnya pengembangan agroindustri di Indonesia. Upaya dalam mengatasi permasalahan pengembangan


(45)

27 kualitas komoditas berkaitan erat dengan insentif ekonomi untuk meningkatkan kualitas komoditas.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia mengakibatkan ketersediaan dana menjadi kendala utama untuk melanjutkan percepatan pembangunan perkebunan. Pada awal krisis, tidak sedikit perusahaan perkebunan menghadapi masalah keuangan sehingga terpaksa menghentikan kegiatannya. Pembangunan perkebunan sempat mengalami stagnasi bahkan pada beberapa kasus perkebunan besar mengalami kerusakan karena dijarah dan dirusak masyarakat. Permodalan untuk perkebunan baik yang berasal dari masyarakat maupun lembaga keuangan, merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan perkebunan. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan LoI antara Pemerintah Indonesia dan IMF, kredit lunak menjadi sangat terbatas. Sejak saat itu, ketersediaan modal mengandalkan lembaga keuangan perbankan dan non perbankan dari dalam dan luar negeri dengan pola pengadaan dan penyaluran sistem komersial.

Tahun 2006 pemerintah mulai memberi perhatian terhadap permodalan usaha perkebunan terkait dengan pengembangan industri hilir dalam meningkatkan nilai tambah pada komoditas sawit. Pemerintah mencanangkan subsidi kredit investasi untuk sektor perkebunan kelapa sawit. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 117/PMK.06/2006 yang selanjutnya ditanggapi oleh Kementerian Pertanian melalui dikeluarkannya Peraturan Menteri Petanian Nomor 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang subsidi kredit untuk pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit melalui revitalisasi perkebunan. Selanjutnya kebijakan ini untuk penyalurannya bekerjasama dengan pihak perbankan melalui perjanjian Kerjasama Pendanaan antara Menteri Keuangan/Dirjen Perbendaharaan dengan 16 Bank Pelaksana (PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri, PT BUKOPIN, PT BNI, PT BPD Sumatera Utara, BPD Sumatera Selatan, BPD Sumatera Barat/Bank Nagari, BPD Riau, BPD NAD, BPD Papua, PT Bank Niaga, PT Bank Agro, Bank Mega, Bank Artha Graha, PT BII, dan BPD Kalimantan Timur) .

Revitalisasi perkebunan yang dimaksudkan dalam upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi


(46)

28

tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah. Selanjutnya pemerintah bekerjasama dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra dalam pengembangan perkebunan, pengolahan produk hilir hasil perkebunan yang bernilai tambah dan pemasaran hasil. Pendanaan pembiayaan 100 persen berasal dari dana perbankan dengan subsidi bunga dari pemerintah.

Secara umum, pembiayaan investasi tergantung kepada adanya kredit dan iklim usaha yang berlaku. Keperluan kredit pun tidak hanya terbatas kepada kredit/pembiayaan investasi di on farm tetapi juga kepada investasi pada pengolahan, perdagangan dan asuransi. Kebutuhan akan dana investasi dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan untuk meningkatkan kapasitas produksi suatu sektor dalam perekonomian. Dana investasi yang dibutuhkan berjumlah besar jika ingin menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan catatan tidak ada masalah efisiensi dari suatu perekonomian dalam menggunakan barang modal. Kebijakan percepatan pembangunan perkebunan tidak terlepas dari keberadaan sumber dana investasi, ketersediaan dana investasi dan tingkat bunga pinjaman untuk dana investasi.

Mencermati kondisi pembiayaan hulu sampai hilir perkebunan di atas, pembiayaan perkebunan untuk keperluan investasi dan modal kerja pembangunan perkebunan dapat dikatakan masih lemah. Kelangkaan modal, sistem penyaluran biaya secara komersial, dan kurangnya perhatian dari lembaga keuangan terhadap perkebunan merupakan kelemahan pembangunan perkebunan di Indonesia. Pembiayaan perkebunan juga masih dihadapkan pada permasalahan klasik pembiayaan melalui kredit, yaitu masalah sumber dan akses kredit terutama untuk petani. Selain itu, daya saing investasi juga lebih lemah dibandingkan negara-negara produsen komoditas perkebunan lainnya.

Demi meningkatkan masuknya investasi di bidang industri pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2008 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu atau di daerah-daerah tertentu. Bentuk fasilitas yang diberikan berupa :


(1)

7

Lampiran 24. Perubahan Produksi Fatty Acid dan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid Tahun Sebelumnya dan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid

Tahun PFAD

(ton) Laju (%)

DMSIFAt-1

(ton) Laju (%)

DMSIFA

(ton) Laju (%)

1991 385403 346863

1992 418540 8.598013 346863 376686 8.5979191

1993 340081 -18.745879 376686 8.5979191 306073 -18.745852

1994 324538 -4.5703818 306073 -18.745852 292084 -4.5704783

1995 294685 -9.1986146 292084 -4.5704783 435166 48.986593

1996 297316 0.8928178 435166 48.986593 516622 18.718374

1997 320571 7.8216443 516622 18.718374 483814 -6.3504845

1998 399652 24.668794 483814 -6.3504845 564777 16.734324

1999 393499 -1.5395894 564777 16.734324 512582 -9.2417007

2000 406016 3.1809484 512582 -9.2417007 776902 51.566384

2001 415288 2.2836538 776902 51.566384 935728 20.443505

2002 378547 -8.8471133 935728 20.443505 858960 -8.2040935

2003 407317 7.6001131 858960 -8.2040935 1173277 36.59274

2004 437865 7.4998097 1173277 36.59274 1183546 0.8752409

2005 457321 4.4433787 1183546 0.8752409 1126755 -4.7983771

2006 460125 0.6131361 1126755 -4.7983771 809459 -28.160159

2007 567050 23.23825 809459 -28.160159 820978 1.4230492

2008 605060 6.7031126 820978 1.4230492 936974 14.129002

2009 722540 19.416256 936974 14.129002 975052 4.0639335

2010 632871 -12.410247 975052 4.0639335 1155103 18.465784

2011 763912 20.705799 1155103 18.465784 1376991 19.209369

Rata-rata 4.1176951 8.4487212 8.9867536


(2)

8

Lampiran 25. Perubahan Laju Harga Riil Minyak Sawit Domestik, Selisih Harga Riil Fatty Acid dan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid

Tahun THRMSD

(000 Rp/ton) Laju (%)

SHRFAD

(000 Rp/ton) Laju (%) PFAD (ton) Laju (%) DMSIFA (ton) Laju (%)

1991 37.23 385403 346863

1992 -12.67267267 4.94 -86.731131 418540 8.598013 376686 8.5979191

1993 39.92434663 -415.04283 4.62 -6.4777328 340081 -18.745879 306073 -18.745852 1994 28.92602605 -27.547904 5.73 24.025974 324538 -4.5703818 292084 -4.5704783 1995 23.71330538 -18.020867 -2.11 -136.82373 294685 -9.1986146 435166 48.986593 1996 -18.05855162 -176.15367 -1.51 -28.436019 297316 0.8928178 516622 18.718374 1997 2.482136141 -113.74493 9.33 -717.88079 320571 7.8216443 483814 -6.3504845 1998 24.42201835 883.91131 -26.27 -381.56484 399652 24.668794 564777 16.734324 1999 -35.34876862 -244.74139 -8.24 -68.633422 393499 -1.5395894 512582 -9.2417007 2000 -29.19708029 -17.402836 -1.46 -82.281553 406016 3.1809484 776902 51.566384 2001 -11.17912371 -61.711501 -2.11 44.520548 415288 2.2836538 935728 20.443505 2002 41.09539354 -467.60836 -2.14 1.4218009 378547 -8.8471133 858960 -8.2040935 2003 15.06426735 -63.343173 40.15 -1976.1682 407317 7.6001131 1173277 36.59274 2004 7.685433423 -48.982362 -17.4 -143.33748 437865 7.4998097 1183546 0.8752409 2005 -12.86307054 -267.36949 -1.98 -88.62069 457321 4.4433787 1126755 -4.7983771 2006 12.76190476 -199.21352 0.42 -121.21212 460125 0.6131361 809459 -28.160159

2007 63.85135135 400.32775 8.37 1892.8571 567050 23.23825 820978 1.4230492

2008 46.68814433 -26.879943 1.54 -81.600956 605060 6.7031126 936974 14.129002 2009 -36.30853026 -177.7682 -5.37 -448.7013 722540 19.416256 975052 4.0639335 2010 45.02068966 -223.9948 -1.7 -68.342644 632871 -12.410247 1155103 18.465784

2011 12.23131063 -72.831801 -1.02 -40 763912 20.705799 1376991 19.209369

Rata-rata -70.42729 -125.69936 4.1176951 8.9867536


(3)

Tahun

DMSIMG (ton)

(A)

HRMSD (000 Rp/ton)

(B)

HRMGD (000 Rp/ton)

(C)

PMGD (ton) (D)

DMSIMR (ton)

(E)

HRMRD (000 Rp/ton)

(F)

PMRD (ton) (G)

1991 1302308 333.00 602 846500 51000 683.6 66700

1992 1498554 290.80 664.2 974060 57000 738.1 74900

1993 1508462 406.90 730.4 980500 61500 511.2 80800

1994 1788369 524.60 722.1 1162440 65900 994.6 86200

1995 2014062 649.00 1222.3 1309140 71900 1289.4 93400

1996 2382712 531.80 2200.5 1548763 79000 1050.2 102000

1997 2860862 545.00 2100.1 1859560 85000 1325.4 109400

1998 2924945 678.10 2320.2 1901214 90000 6813.2 115400

1999 3071193 438.40 3421.8 1996275 94500 3214.4 120700

2000 2509335 310.40 2651.2 2459148 262378 3611.2 225645

2001 2744476 275.70 3212.1 2689586 420006 4155.3 361205

2002 3867333 389.00 3101.2 3789986 419113 3011.4 360437

2003 4548905 447.60 3221.3 4457927 356043 2768.1 306197

2004 5319141 482.00 4120.1 5212758 372792 4731.1 320601

2005 5847663 420.00 4421.2 5780545 377088 4813.3 324296

2006 5182468 473.60 4200.1 7480545 612940 4312.3 353116

2007 5319848 776.00 4112.2 8808063 285260 7300.2 458481

2008 2905175 1138.30 6123.7 8228000 425881 8200.1 459646

2009 2174965 725.00 6022.4 6545000 434563 7488.2 420450

2010 3020113 1051.40 7030.2 8654900 534155 6477.2 567300

2011 5371458 1180.00 7933.1 10459694 487957 8260.2 610459 93


(4)

2

DMSISB (ton) (H)

HRSBD (000 Rp/ton)

(I)

PSBD (ton) (J)

DMSIFA (ton) (K)

HRFAD (000 Rp/ton)

(L)

PFAD (ton) (M)

IHK (2001=100) (N)

107939 540.2 220718 346863 37.23 385403 52.47

113402 666.1 231175 376686 42.17 418540 56.41

118970 738.1 242113 306073 46.79 340081 61.91

124433 700.2 253829 292084 52.52 324538 67.14

140686 1001 285072 435166 50.41 294685 73.48

144549 1280.4 294162 516622 48.90 297316 79.30

148327 1198 301852 483814 58.23 320571 84.54

152859 1489.2 310684 564777 31.96 399652 67.76

160653 4124.6 326246 512582 23.72 393499 86.49

382220 3050.4 214043 776902 22.26 406016 89.68

432189 2614.2 242026 935728 20.15 415288 100.00

406855 2060.2 227839 858960 18.01 378547 111.88

404420 2900.1 226475 1173277 58.16 407317 119.25

629109 3330.8 352301 1183546 40.76 437865 48.30

511180 3888.4 286261 1126755 38.78 457321 53.35

835645 3697.5 355411 809459 39.20 460125 60.34

878675 4234.4 455727 820978 47.57 567050 64.21

683439 7460.3 567090 936974 49.11 605060 56.61

665904 6890.5 500000 975052 43.74 722540 49.07

717101 6430.1 754050 1155103 42.04 632871 51.60

932419 7712.6 873215 1376991 41.02 763912 54.36


(5)

Sumber :

A,E,H,K = Studi dan Direktori Industri Minyak Sawit Indonesia, PT. CIC B = Kantor Pemasaran Bersama

C,F,I,L = Studi tentang Industri dan Pemasaran, PT. CIC

D,G,J,M = Studi tentang Potensi Produksi dan Prospek Ekspor CPO Indonesia 2012-2017, PT. CIC

N = Indikator Ekonomi, Badan Pusat Statistik


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Citra Irene Pratiwi Manurung, lahir pada tanggal 07 Januari 1992 di Jakarta. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, pasangan Bapak Edwin Manurung dan Ibu Berlyana Manungkalit. Penulis menamatkan pendidikan sekolah menengah atas pada tahun 2009 di SMA N 103 Jakarta Timur. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, penulis memenuhi amanat sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor dengan minor arsitektur lanskap.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi BEM TPB, Radio Komunitas Kampus IPB AgriFM, staf divisi Public Relation dalam HIMPRO Kemahasiswaan REESA. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitian seperti Makrab ESL, TFGV, FEM Art Day sebagai staf divisi acara, sebagai bendahara pada acara Masa Perkenalan Departemen (MPD) ESL. Penulis pernah menjabat sebagai Kadiv. Sponsorship GreenBase. Penulis juga aktif mengikuti berbagai seminar nasional dan internasional. Penulis juga aktif mengikuti karya tulis ilmiah tingkat mahasiswa seperti PKMP dan PKM-GT. Penulis merupakan anggota Komisi Pelayanan Anak di UKM PMK IPB.