Kebijakan Pemerintah dalam Industri Minyak Goreng

Tabel 4.1. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Minyak Sawit Indonesia Tahun Luas Areal Ha Produksi Ton CPO Minyak sawit PKO Minyak inti sawit Total 1998 2.768.600 5.640.154 912.100 6.552.254 1999 3.436.100 5.949.183 1.012.400 6.961.583 2000 3.642.600 6.217.425 1.652.648 7.870.073 2001 3.848.900 6.945.166 1.787.334 8.732.500 2002 4.397.973 8.069.462 1.930.538 10.000.000 2003 4.804.181 8.512.760 2.302.547 10.815.307 2004 5.002.799 9.098.220 2.583.728 11.681.948 Sumber : BPS 2003. Data diolah

4.3. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Minyak Goreng

1. Kebijakan Investasi Industri minyak goreng berbahan baku kelapa sawit, minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainnya terbuka untuk investasi karena tidak pernah tercantum dalam Daftar Negatif Investasi DNI, baik itu dalam Keppres No. 23 tahun 1991, Keppres no. 23 tahun 1992, Keppres no 54 tahun 1993 maupun Keppres no. 31 tahun 1995 tentang DNI. 2. Kebijakan dalam Bidang Ekspor Impor Paket Juni 1994 mengatur tarif bea masuk BM minyak goreng yang berkisar antara 5 - 20 persen tergantung jenisnya. Sedangkan bea masuk tambahan BMT telah ditiadakan sejak tahun 1991. di dalam Paket Deregulasi MEI 1995 terjadi penurunan bea masuk beberapa jenis minyak goreng selain minyak goreng kelapa sawit, kelapa dan kedelai. Bea masuk minyak goreng jagung dan biji bunga matahari bahkan diturunkan sampai 0 persen. Adanya penurunan ini menyebabkan bea masuk minyak goreng berkisar antara 0 - 5 persen tergantung jenisnya. Pada Juli 1997 kembali terjadi penurunan bea masuk beberapa jenis minyak goreng selain minyak goreng kelapa dan kelapa sawit. Bea masuk minyak goreng kedelai, kacang tanah dan biji kapas diturunkan menjadi 0 persen. Dengan adanya penurunan ini bea masuk minyak goreng berkisar antara 0 - 10 persen tergantung jenisnya. Perkembangan kebijakan produk kelapa sawit berikutnya, pemerintah menerapkan kebijakan pelarangan ekspor minyak sawit dan produk turunannya. Namun kebijakan tersebut hanya berlangsung beberapa bulan yaitu pada bulan Januari – Maret 1998. Kebijakan ini diambil dalam rangka mengamankan pasokan bahan baku minyak sawit untuk memenuhi permintaan pabrik minyak goreng AIMMI, 2005. Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 pasokan minyak sawit dalam negeri mengalami kelangkaan sehingga harga minyak goreng melambung tinggi akibat pesatnya ekspor minyak sawit. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan kebijakan pemerintah melalui paket deregulasi Juli 1997 yang menurunkan pajak ekspor minyak sawit dari 10 – 20 persen menjadi 2 -5 persen. Akhirnya produsen minyak sawit semakin gencar melakukan kegiatan ekspor. Dengan kondisi tersebut, akhirnya pemerintah mengambil langkah pengamanan pasokan minyak sawit dalam negeri dengan memberlakukan pelarangan ekspor. Kran ekspor minyak sawit dan produk turunannya kembali dibuka setelah pemerintah Indonesia dan IMF sepakat. Melalui SK Menperindag No. 181MPPKep41998, sejak 22 April 1998 produsen bebas melakukan ekspor. Namu, kebijakan tersebut diikuti oleh SK Menkeu No.242KMK.011998 tertanggal 22 April 1998 yang salah satunya menetapkan pajak ekspor minyak sawit sebesar 40 persen. Pada bulan Juli 1998 pemerintah menaikkan pajak ekspor minyak sawit menjadi 60 persen melalui SK Menkeu 334KMK.0171998. Pemerintah mulai menurunkan pajak ekspor minyak sawit melalui SK Menkeu 30KMK.011999 tertanggal 29 Januari 1999 dan melalui SK Menkeu No.181KMK.0171999 tertanggal 3 Juni 1999 pemerintah kembali menurunkan pajak ekspor menjadi 30 persen. Hanya dalam waktu beberapa bulan, pajak ekspor minyak sawit dan produk turunannya mengalami penurunan. Pemerintah dan IMF memang bersepakat untuk menrunkan pajak ekspor sampai 10 persen pada akhir Desember 1999. Pemerintah menggunakan pajak ekspor minyak sawit sebagai alat menstabilkan harga di dalam negeri dan untuk membatasi ekspor. Namun, kebijakan tersebut tidak efektif. Hal tersebut terlihat dari harga minyak goreng di dalam negeri yang tetap tinggi. Namun, pada saat pajak ekspor diturunkan menjadi 10 persen, harga minyak sawit di di pasar dunia cenderung menurun. Salah satu penyebab tidak efektifnya pajak ekspor disebabkan banyaknya beredar minyak sawit ilegal di pasar dunia yang sebagian besar diduga selundupan dari Indonesia sendiri. Pemerintah kembali menurunkan pajak ekspor minyak sawit menjadi 5 persen pada bulan September 2000. Pada tahun 2001 pajak ekspor kembali diturunkan menjadi 3 persen. Penurunan pajak ekspor tersebut antara lain dimaksudkan untuk menghadapi ketatnya persaingan ekspor minyak sawit terutama Malaysia. Pemerintah Malaysia bahkan melakukan terobosan besar dengan mengijinkan ekspor 500.000 ton minyak sawit tanpa dikenakan pajak dan memberikan kredit sebesar US 400 juta kepada negara pembeli. 3. Kebijakan Bidang Produksi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 329Menteri KesehatanPerXII76 tentang Produksi dan Peredaran Makanan menyatakan bahwa izin dari Menteri Kesehatan dan sebelum diedarkan harus didaftarkan lebih dahulu untuk mendapat persetujuan dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 4. Kebijakan Pengembangan Minyak Goreng Kelapa dan Kelapa Sawit Dilihat dari sisi pengembangan usaha perkebunan rakyat, minyak goreng berbasis kelapa jauh lebih baik daripada yang berbasis kelapa sawit. Hal ini terjadi karena perkebunan kelapa didominasi oleh usaha perkebunan rakyat, sedangkan perkebunan kelapa sawit didominasi oleh usaha perkebunan besar PTP dan Swasta. Industri minyak goreng berbasis kelapa jauh lebih tepat untuk mendorong pengembangan industri kecil dibandingkan dengan industri minyak goreng kelapa sawit. Industri minyak goreng sawit cenderung berskala besar dan terintegrasi secara vertikal dengan usaha perkebunan. Industri ini muncul karena adanya skala ekonomi yang sangat besar. Di sisi lain, industri minyak goreng kelapa berskala kecil atau bahkan diusahakan oleh rumah tangga pedesaan. Skala usaha kecil dan penggunaan teknologi yang sederhana membuat industri minyak goreng kelapa lebih intensif menggunakan tenaga kerja dibandingkan dengan minyak goreng sawit. Akibatnya dalam hal distribusi oendapatan lebih baik jika dibanding dengan yang berbasis kelapa sawit. Dilihat dari sisi efisiensi ekonomi , industri minyak goreng berbasis kelapa kurang efisien dibandingkan industri minyak goreng berbasis kelapa sawit. Hal ini terjadi karena industri minyak goreng berbasis kelapa sawit umumnya berskala besar dan terintegrasi vertikal. Oleh karena itu, industri ini dapat menangkap skala ekonomi usaha economies of scale maupun ekonomi cakupan usaha economies of scope. Selain itu, industri minyak goreng berbasis kelapa sawit pada umumnya menggunakan teknologi moderen yang jelas jauh lebih efisien dibandingkan teknologi tradisonal yang umum digunakan oleh industri minyak goreng kelapa. Oleh karena itu industri minyak goreng berbasis kelapa sawit lebih sesuai untuk pengembangan industri yang bersifat promosi ekspor. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, pemerintah dihadapkan pada beberapa dilema yang sulit diputuskan. Pertama, pilihan antara pengembangan industri minyak goreng berbasis kelapa atau industri minyak goreng yang berbasis kelapa sawit. Kedua pilihan ini sama-sama mempunyai keunggulan dan kelemahan. Apabila dilihat dari segi pengembangan usaha perkebunan rakyat, industri minyak goreng berbasis kelapa jauh lebih baik daripada yang berbasis kelapa sawit. Hal ini terjadi karena perkebunan kelapa didominasi oleh usaha perkebunan rakyat, sedangkan perkebunan kelapa sawit didominasi oleh usaha perkebunan besar PTP dan Swasta. Kedua, pilihan yang sulit antara pengembangan industri minyak goreng berbasis kelapa dengan berbasis kelapa sawit dilihat dari segi pengembangan perekonomian nasional. Apabila dipilih perekonomian berbasis kerakyatan maka industri minyak goreng berbasis kelapa lebih tepat tetapi dilihat dari segi pengembangan industri berdaya saing tinggi, maka industri minyak goreng berbasis kelapa sawit lebih sesuai. Keputusan yang lebih sesuai dalam menghadapi dilema ini adalah kebijakan netral sehingga kekuatan pasarlah yang akan menentukan arah pengembangan industri minyak goreng. Dilema ketiga adalah pilhan instrumen kebijakan untuk pengelolaan stabilisasi harga minyak goreng domestik yaitu antara operasi pasar menggunakan stok penyangga minyak goreng melalui impor minyak goreng atau dengan menggunakan pengaturan produksi minyak goreng.

4.4. Produsen Minyak