Bentuk Perjanjian Gala Gadai yang Objeknya Tidak Ada Tidak Jelas

67 pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai di panen dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran. Ketentuan Pasal 7 ayat 1 di atas, secara yuridis formal telah membatalkan sistem gadai tanah yang telah berjalan di daerah-daerah yang memakai hukum adat. Namun kenyataannya, pelaksanaan gadai menurut sistem hukum adat tetap saja berlaku. 82 Termasuk di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara. Menurut hasil wawancara dengan 15 orang anggota masyarakat yang mewakili seluruh masyarakat di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara dan ditambah dengan 3 tiga orang kepala desa dan seorang kepala Mukim yang sekaligus sebagai pengetua adat di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengatakan baik karena mengetahui, merasakan, atau karena menGalami sendiri, bahwa dalam perjanjian Gala gadai tanah ada unsur yang bersifat pemerasan. Berdasarkan hal tersebut sangat sulit untuk membenarkan aturan yang dirumuskan oleh UUPA, sehingga dinyatakan bahwa hak gadai adalah bersifat sementara dan diupayakan untuk di hapus dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.

3. Bentuk Perjanjian Gala Gadai yang Objeknya Tidak Ada Tidak Jelas

Ada suatu bentuk perjanjian Gala gadai tanah yang di lakukan oleh anggota masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia adalah apa yang disebut dengan “Gala Ateung” gadai pematang. Yang dimaksud dengan “Gala Ateung” 82 Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Garifka, 2007, hal. 215. Universitas Sumatera Utara 68 adalah apabila seseorang meminta kepada orang lain sejumlah uang yang dibutuhkan dan menyatakan menggalakan sepetak tanah sawah yang objeknya tidak ditunjuk atau tidak dijelaskan tanah sawah yang mana yang dipergalakan. Namun si pemberi gala berjanji untuk membayar sewa tanah tersebut kepada si pemberi uang penerima gala yang tidak jelas objek tersebut. Dalam perjanjian gala gadai tanah dalam bentuk ini, biasanya sipemberi gala gadai tidak memiliki persediaan tanah sawah yang cukup untuk diserahkan kepada penerima gala gadai, misalnya ia hanya memiliki 1 satu petak tanah saja atau tidak memiliki tanah sawah sama sekali sehingga tidak ada yang akan disebutkan. Bagi pihak yang mengeluarkan uang lebih bersifat membantu karena kasihan dan tidak begitu berharap keuntungan yang akan di peroleh dan pihak yang menerima uang biasanya adalah kerabat dekat atau kawan dekat yang sangat membutuhkan pertolongan. Bapak Abdul Halim, Kepala Desa Paya Itek Kecamatan Meurah Mulia menjelaskan : perjanjian gala dalam bentuk seperti ini tidak banyak terjadi dilakukan oleh anggota masyarakat karena dianggap sangat beresiko, karena apabila sewa tidak dibayar maka si pemberi uang tidak dapat menuntut tanah objek gala karena tidak ditunjuk atau tidak jelas yang mana tanahnya”. 83 83 Wawancara dengan Bapak Abdul Halim, Kesyik Kepala Desa Paya Itek Kecamatan Meurah Muliah, pada tanggal 13 Februari 2013. Universitas Sumatera Utara 69 Perjanjian “Gala Ateung” seperti ini biasanya hanya dicantumkan jumlah uang tunai saja dalam kwitansi sebagai bukti adanya utangpiutang, sedangkan hal-hal lain tidak dicantumkan karena dianggap cukup dengan perjanjian lisan saja dan diketahui oleh anggota keluarga masing-masing. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa perjanjian “Gala Ateung” ini ternyata berasal dari perjanjian utang piutang dengan kewajiban membayar hasil bunga. Apabila seseorang membutuhkan uang, ia meminta kepada orang lain dengan status utang, akan tetapi pada setiap kali panen sipenerima uang wajib pembayar hasil bunga kepada sipemilik uang sebesar yang telah disepakati, pembayaran hasil bunga ini terus berlangsung sampai dilakukan pelunasan atas utang tersebut. Dalam perkembangannya perjanjian utang piutang seperti itu semakin lama semakin risih untuk dilakukan oleh anggota masyarakat di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara, karena para pemuka agama yang ada di sana melarang transaksi utang piutang dengan kewajiban membayar hasil, karena praktek seperti itu digolongkan kepada riba dalam perdagangan agama Islam. Untuk menetralisir hal tersebut atau untuk menghilangkan unsur riba, maka bentuk utang tersebut dikembalikan kepada perjanjian “Gala Boh Siwa” gadai dengan membayar sewa karena objek tidak ada atau tidak jelas. Melalui transaksi Gala yang di modifikasi tersebut, menurut pemahaman masyarakat disana dapat terhindar dari unsur riba. Universitas Sumatera Utara 70 Menyangkung dengan transaksi gala gadai yang tidak adatidak jelas objeknya tersebut apabila dikaitkan dengan keabsahan suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Apabila dikaitkan dengan perjanjian gala gadai yang tidak adatidak jelas objeknya, maka tidak terpenuhi unsur “suatu hal tertentu”, karena yang menjadi syarat “suatu hal tertentu” pada perjanjian tersebut adalah tanah. Oleh karena tanah yang dimaksud tidak ada, maka perjanjian menjadi batal demi hukum atau dianggab tidak pernah ada. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka seharusnya perjanjian gala gadai yang objeknya tidak adatidak jelas tersebut tidak perlu dilestarikan lagi oleh masyarakat di kecamatan Meurah Mulia kabupaten Aceh Utara, dan sudah sepantasnya ditinggalkan saja, karena disamping bertentangan dengan hukum yang berlaku juga bertentangan dengan ajaran agama Islam. Universitas Sumatera Utara 71

4. Bentuk Perjanjian Gala Kontrak Gadai Kontrak