Bentuk Perjanjian Gala Gadai yang Objeknya Tidak Berpindah ke Dalam

63 melelang objek gadai yang tidak ditebus berdasarkan perjanjian, maka pemilik tanah dapat mengugat dipengadilan.

2. Bentuk Perjanjian Gala Gadai yang Objeknya Tidak Berpindah ke Dalam

Penguasaan Penerima Gala Gadai Seseorang warga masyarakat yang membutuhkan uang dalam jumlah tertentu menawarkan tanah sawahnya kepada orang lain yang memiliki uang dan mereka sepakat untuk mengikatkan diri mereka dengan suatu perjanjian Gala gadai, akan tetapi bentuk kontruksinya, bahwa tanah sawah yang ditentukan sebagai objek Gala gadai disepakati tidak diserahkan kedalam penguasaan penerima Gala gadai, akan tetapi tetap berada dalam kekuasaan pemberi Gala gadai atau tetap pada pemiliknya. Dalam bentuk perjanjian Gala gadai seperti ini, pemilik tanah merangkap perannya yaitu sebagai pemberi Gala gadai dan sebagai penyewa tanah dari si penerima Gala gadai atau bertindak sebagai penyewa atas tanahnya sendiri. Pada waktu setiap kali panen, sipemberi Gala wajib membayar sewa tanah yang telah menjadi objek Gala gadai kepada sipenerima Gala gadai sebesar harga pasaran yang berlaku di daerah tersebut. Pembayaran sewa ini akan berakhir setelah pemberi Gala gadai menembus tanahnya. Apabila sipemberi Gala gadai yang merangkap sebagai penyewa tidak membayar sewa kepada penerima Gala gadai, maka dalam keadaan seperti itu penerima Gala gadai dapat meminta kembali uang Gala gadai untuk Universitas Sumatera Utara 64 diserahkan kepadanya. Hal ini merupakan pengecualian yang pada dasarnya dalam perjanjian Gala gadai tanah tidak mengenal hal seperti itu. Uang gadai hanya dapat ditagih oleh pembeli gadai, dalam hal transaksi jual gadai itu disusul dengan penyewaan tanah tersebut, oleh sipenjual gadai sendiri, dengan janji, jika si penjual merangkap penyewa tidak membayar uang sewanya, maka uang gadai dapat ditagih kembali oleh sipembeli merangkap penguasa atas tanah yang kini berfungsi rangkap menjadi objek gadai dan sekaligus objek sewa pula. 79 Bentuk perjanjian Gala gadai tanah yang seperti ini sudah biasa terjadi pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara. Adapun alasan-alasan dilakukannya perjanjian seperti itu dapat dikemukakan sebagai berikut : Bapak H. Abdur Rasyid menjelaskan: “Adakalanya seseorang menggalakan tanahnya karena begitu terdesaknya atau sangat butuh akan uang dengan jumlah yang relatif besar, misalnya Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah padahal tanah sawahnya hanya ada 2 dua petak saja dan yang satu petak digalakan, sisanya satu petak sangatlah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Oleh karenanya kepada sipenerima Gala gadai di mohon supaya tanah tersebut tetap berada dalam kekuasaan sipemilik untuk diusahakan sendiri dengan kewajiban membayar sewa kepada sipenerima Gala. 80 Pada kasus seperti ini biasanya penerima Gala gadai tidak keberatan untuk memenuhi permintaan sipemberi Gala gadai karena kasihan dan kesediaannya untuk bertindak sebagai penerima Gala gadai karena adanya 79 Iman Sudiyat, Op.Cit, hal. 34. 80 Wawancara Dengan Bapak H. Abdur Rasyid, selaku Kepala Mukim Teungoh Pengetua Adat Di Kecamatan Meurah Mulia, pada tanggal 14 Februari 2013. Universitas Sumatera Utara 65 prinsip ingin menolong saja dan tidak semata-mata karena untuk mencari keuntungan dari sana. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan, bahwa tentang ketentuan atau janji tidak diserahkannya objek Gala gadai kepada sipenerima Gala gadai tidak dicantumkan atau tidak terdapat dalam perjanjian Gala gadai tanah yang dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, hal ini dianggap tidak perlu dan secara kebiasaan para pihak telah mengetahui secara benar apa yang menjadi hak dan kewajiban di antara mereka. Bahkah masih banyak ditemukan perjanjian Gala dalam bentuk seperti ini tidak dibuat surat apapun oleh kedua belah pihak, karena dianggap tidak begitu penting. Karena kebanyakan perjanjian Gala gadai yang objeknya tidak diserahkan kepada penerima Gala gadai sering terjadi dikalangan keluarga dekat, misalnya antara mertua dengan menantu, antara abang dengan adik kandung yang telah sama-sama berkelurga dan antara kemenakan dengan paman dan sebagainya. Dalam kasus seperti ini saksinya cukup di ketahui oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Dengan adanya bentuk konstruksi perjanjian Gala gadai tanah dalam bentuk kedua ini yang berlangsung pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia, adalah merupakan bukti nyata ketidakbenaran aturan yang dirumuskan dalam perundangan yang berlaku, baik dalam UUPA maupun Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Pengaturan tentang gadai tanah pertanian dalam UUPA dan Undang- Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Universitas Sumatera Utara 66 adalah sangat kaku sehingga tidak mendapat tanggapan positif di tengah-tengah masyarakat dan khususnya di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara menjadi tidak digubris sama sekali keberadaannya. Pasal 53 UUPA menyebutkan : 1 Hak-hak yang bersifat sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian di atur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak- hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat. “Ayat 1 pasal ini memberi arti bahwa ada sejumlah lembaga- lembaga hukum adat yang oleh pemerintah sendiri masih meragukan untuk memberikan suatu landasan hukum, tetapi atas perintah undang- undang akan menghapuskan lembaga-lembaga hukum adat tersebut seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian, namun masih dijumpai adanya hak-hak tersebut tetap dilaksanakan seperti hak gadai dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp. 1960, hak menumpang sudah diatur didalam ketentuan hak pakai, hak sewa untuk tanah pertanian diatur didalam undang-undang bagi hasil. 81 Pengaturan gadai tanah secara khusus telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam Pasal 7 ayat 1 dinyatakan bahwa: Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tujuh tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada 81 Affan Mukti, Pembahasan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, USU, Medan, 2010, hal. 39. Universitas Sumatera Utara 67 pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai di panen dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran. Ketentuan Pasal 7 ayat 1 di atas, secara yuridis formal telah membatalkan sistem gadai tanah yang telah berjalan di daerah-daerah yang memakai hukum adat. Namun kenyataannya, pelaksanaan gadai menurut sistem hukum adat tetap saja berlaku. 82 Termasuk di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara. Menurut hasil wawancara dengan 15 orang anggota masyarakat yang mewakili seluruh masyarakat di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara dan ditambah dengan 3 tiga orang kepala desa dan seorang kepala Mukim yang sekaligus sebagai pengetua adat di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengatakan baik karena mengetahui, merasakan, atau karena menGalami sendiri, bahwa dalam perjanjian Gala gadai tanah ada unsur yang bersifat pemerasan. Berdasarkan hal tersebut sangat sulit untuk membenarkan aturan yang dirumuskan oleh UUPA, sehingga dinyatakan bahwa hak gadai adalah bersifat sementara dan diupayakan untuk di hapus dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.

3. Bentuk Perjanjian Gala Gadai yang Objeknya Tidak Ada Tidak Jelas