PEMBERITAAN DUGAAN KORUPSI DANA HAJI (Analisis framing pada majalah TEMPO dan GATRA edisi November- Desember 2010)

(1)

S K R I P S I

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Disusun Oleh :

ANNISA NAHDYA SAFITRI 06220324

KONSENTRASI JURNALISTIK DAN STUDI MEDIA

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


(2)

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Judul Skripsi : Pemberitaan Dugaan Korupsi Dana Haji

(Analisis Framing Pada Majalah Tempo dan Gatra edisi November – Desember 2010 )

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Nurudin, S. Sos, M. Si Joko Susilo, S. Sos, M. Si

Mengetahui,

Dekan FISIP UMM Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi


(3)

Judul : Pemberitaan Dugaan Korupsi Dana Haji

(Analisis Framing Pada Majalah Tempo dan Gatra edisi November – Desember 2010 )

Telah dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang Dan dinyatakan LULUS

Pada Hari : Senin

Tanggal : 31 Januari 2011 Tempat : Ruang 605

Mengesahkan, Dekan FISIP UMM

Dr. Wahyudi, M.Si

Dewan Penguji :

1. Drs. Farid Rusman, M.Si ( )

2. Himawan Susanto, M.Si ( )

3. Nurudin, S. Sos, M. Si ( )


(4)

Korupsi Dana Haji ( Analisis Framing Pada Majalah Tempo dan Gatra edisi November – Desember 2010)” dapat diselesaikan.

Maraknya kasus dugaan korupsi dana haji di lembaga Negara yang dimuat dalam media massa, tentunya mengundang pertanyaan tentang apa yang sebenarnya menjadi pokok pembahasan dalam dugaan korupsi dana haji. Sebagai majalah berita mingguan, Tempo dan Gatra tentu tidak melewatkan kasus tersebut dalam pemberitaannya. Bahkan kejadian ini dijadikan headline utama pada majalah Tempo 6-12 Desember 2010 dengan judul “Main-main duit haji “. Berbeda dengan majalah Gatra yang terbit pada tanggal 18-24 November 2010. Gatra juga mengulas berita tentang kasus dugaan korupsi dana haji ini dengan mengambil judul “Melipat ongkos ke rumah Allah”.

Melihat hal itu, media massa yang mempunyai pesan sebagai control social ataupun agent of change, terutama Tempo dan Gatra, dimana keduanya adalah media nasional yang sudah mapan dan punya karateristik yang berbeda. Juga melihat bobot peristiwa, yang memungkinkan tiap minggunya memunculkan fenomena baru. Ataupun juga kemampuan atau keistimewaan media yang sanggup membingkai suatu peristiwa hingga sedemikian rupa, dan dapat membengkokkan makna atau nilai suatu peristiwa agar sesuai dengan pandangan atau kepentingan media tersebut. Maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana kedua itu menyikapi hal tersebut selama akhir tahun 2010, tepatnya edisi November dan Desember 2010.

Penelitian ini menggunakan analisis framing sebagai “pisau” untuk melihat bagaimana media Tempo dan Gatra membingkai kasus dugaan korupsi dana haji tersebut, Selama penelitian berlangsung hingga terselesaikannya penyusunan skripsi, penulis banyak menerima bimbingan, arahan, kerja sama, dan sumbangan pikiran dari


(5)

2. Dr. Wahyudi, M.Si selaku Dekan fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

3. Frida Kusumastuti, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi 4. Nurudin, S. Sos, M. Si selaku dosen pembimbing I atas bimbingan,

arahan, dukungan moril serta kesabarannya sehingga skripsi ini selesai.

5. Joko Susilo, S. Sos, M. Si selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, arahan, dukungan moril serta kesabarannya sehingga skripsi ini selesai.

6. Sugeng Winarno, S.Sos selaku dosen wali Ilmu Komunikasi 2006, atas arahan dan dukungan morilnya selama ini.

7. Segenap dosen Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari skripsi ini adalah sebuah pembelajaran untuk menjadikan sempurna di masa depan. Saran yang membangun senantiasa diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.

Malang,15 Januari 2011


(6)

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... iii

BERITA ACARA BIMBINGAN ... iv

ABSTRAK ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

1.5 Tinjauan Pustaka ... 11

1.5.1 Konsep dan Teori ... 11

1.5.1.1 Komunikasi Massa ... 12

1.5.1.2 Media dan fungsinya dalam Masyarakat ... 13

1.5.1.3 Paradigma Konstruksionis ... 17

1.5.1.4 Konstruksi Media Atas Realitas ... 19

1.5.1.5 Teori Agenda Setting ... 28

1.5.1.6 Makna Konstruksi Ideologi ... 30

1.5.1.7 Analisis Framing ... 31

1.5.2 Kerangka Berpikir ... 40


(7)

1.6.5 Teknik Analisis Data ... 45

BAB II : GAMBARAN OBYEK PENELITIAN 2.1 Gambaran Umum Penelitian ... 48

2.1.1.1 Sejarah Perkembangan Majalah Tempo ... 48

2.1.1.2 Visi dan Misi Majalah Tempo ... 56

2.1.1.3 Profil Pembaca Majalah Tempo ... 57

2.1.2 Majalah Gatra ... 58

2.1.2.1 Sejarah Perkembangan Majalah Gatra ... 58

2.1.2.2 Visi dan Misi Majalah Gatra ... 63

2.1.2.3 Profil Pembaca Majalah Gatra ... 63

BAB III : PEMBAHASAN 3.1Gambaran Umum Kasus Dugaan Korupsi Dana Haji ... 65

3.2Frame Majalah Tempo ... 67

3.2.1 Teks Berita Main-main Duit Haji ... 72

3.2.2 Teks Berita Rajawali Menukik di Rumah Kontrakan ... 78

3.3 Frame Majalah Gatra... 89

3.3.1 Teks Berita Melipat Ongkos Ke Rumah Allah ... 91

3.4 Perbandingan Frame Majalah Tempo dan Gatra ... 97

3.5 Hasil Analisis Framing ... 101

BAB IV : PENUTUP 1. KESIMPULAN ... 114

2. SARAN ... 117 DAFTAR PUSTAKA


(8)

(9)

Blake, Reed dan Edwin. 2003. Taksonomi Konsep Komunikasi. Surabaya: Papyrus.

Briggs, Asa dan Burke Peter. 2006. Sejarah Sosial Media. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Burton, Grame. 2008. Yang Tersembunyi Dibalik Media. Yogyakarta: Jalasutra. Djuraid, Husnun. 2007. Panduan Menulis Berita. Malang: UMM Press.

Duroto, Totok. 2002. Memahami Pers. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Eriyanto. 2005. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit.

Harsono. 2008. Jurnalisme Sastrawi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Husain, Coen Pontoh. 2008. Konflik nan Tak Kunjung Padam Dalam Jurnalisme

Sastrawi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kovach, Bill dan Resenstiel Tom. 2006. Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Yayasan Pantau.

Meleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Populer: Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Muhammad, Agus. 2005. Penyesuaian Opini Suatu Rekayasa Mengubah Citra. Jakarta: Gema Insan Press.

Nimno, Dan. 2006. Komunikasi Publik Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


(10)

Sardar, Zianuddin. 2008. Membongkar Kuasa Media. Yogyakarta: Resist Book. Severin, Wanner J dan Tankard, James. 2005. Sejarah, Metode, dan Terapan

Didalam Media Massa. Jakarta: Kencana.

Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sudibyo, Agus. 2006. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKIS.

Sularto, St. 2007. Dari “Sang Pemula” Ke “Sang Pengibar Bendera” Dalam Kompas: Menulis Dari Dalam. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Sumandiria, AS Haris. 2006. Jurnalistik Indonesia: Menulis Media dan Feature, Paduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Usman, Husaini dan Punomo. 2003. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Winarso, Heru Puji. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Prestasi Pustaka. ________, 2007. Kompas Dari Belakang Kedepan Menulis Dari Dalam. Jakarta:

Gramedian.

Non Buku :

Majalah Mingguan Tempo edisi 6 – 12 Desember 2010 Majalah Mingguan Gatra edisi 18 – 24 November 2010

http://harmonihitam.wordpress.com/2008/10/24/sekilas-sejarah-majalah/ (diakses pada tanggal 12 April 2010)

http ://eka wenats.blogspot.com/2006/12/Priming-Framing-Agenda Setting.htm. (diakses pada tanggal 7 Desember 2010)


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Sebelum percetakan ditemukan, masyarakat mengandalkan komunikasi dengan menggunakan pendengaran. Secara emosional dan interpersonal, hubungan yang terjalin diantara mereka juga akrab. Akan tetapi, kehadiran media cetak mengubah kondisi ini. Semenjak ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg, indera penglihatan menjadi dominan dalam komunikasi. Awalnya adalah kata yang dicetak pada halaman kertas. Inilah peristiwa yang mengubah Eropa dari abad ke- 15 dan melahirkan komunikasi massa melalui penyebaran informasi atau apa yang kini disebut sebagai berita.

Apabila menengok sejarah sosial1, perkembangan media massa dari masa ke masa mengalami transformasi yang dinamis. Kehadiran media yang berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi mengalami pergeseran fungsi sesuai dengan dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi ditengah masyarakat pada waktu itu. Tahun 15342 misalnya, kaum protestan di Perancis telah memanfaatkan pers untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan mereka yang beraroma agama. Lembaran kertas

1

Asa Briggs dan Peter Burke, Sejarah Sosial Media, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) untuk lebih memahami bagaimana sejarah perkembangan media dari waktu ke waktu. 2


(12)

dan plakat yang menyerang massa Katolik dicetak di Swiss dan diselundupkan di Perancis untuk disebarkan ditempat umum sebagai wadah misionaris kaum Protestan melawan otoritas kaum Katolik.

Perkembangan selanjutnya, pers yang semula menjadi alat misionaris dan perang agama kaum Protestan, beralih menjadi media perjuangan. Media kembali terlibat dalam terjadinya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Hal serupa juga terlihat dalam Revolusi Amerika yang terjadi pada tahun 1776. Sebab, kemerdekaan Amerika diberitakan tidak saja oleh pamflet, tetapi juga oleh surat kabar. Tanpa surat kabar, Revolusi Amerika tidak akan pernah berhasil.3

Selanjutnya, komunikasi mengalami masa yang disebut sebagai revolusi percetakan. Salah satu akibat penting lain dari penemuan percetakan adalah terlibatnya para pengusaha secara lebih intens dalam proses penyebarluasan ilmu pengetahuan. Penggunaan media ini mendorong bertambahnya kesadaran tentang kepentingan publisitas, baik yang bersifat ekonomi maupun politik. Media cetak menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari pada abad ke- 18. Mulai dari surat kabar harian, mingguan, dua mingguan, diperkuat lagi bulanan/berkala dan majalah. Dampaknya, kehadiran media cetak tersebut telah memperluas wawasan para pembaca dan menjadikan orang sadar akan apa yang tidak mereka ketahui. Media cetak ini juga sekaligus menyumbang pada timbulnya opini publik.

3


(13)

Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan media massa semakin dinamis. Apalagi ditunjang dengan pesatnya kemajuan teknologi. Kehadiran media massa semakin tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia modern. Sebab, media massa mampu menjawab kebutuhan informasi manusia modern. Kebutuhan ini yang dinilai kalangan tertentu (entah itu pemerintah, pemilik media, ataupun pemegang kebijakan) berpotensi ganda. Pers memang menggoda.

Harus diakui, netralitas pers masih menyisakan problem pelik yang hingga kini belum mendapat sebuah jawaban yang memuaskan. Banyak kalangan menilai media massa bukan sebuah lembaga yang independen jika dilihat dari pemberitaannya. Semua berita akan berpengaruh oleh banyak hal di dalam dan di luar media massa itu sendiri. Apalagi jika ditambah dengan level yang lain, yakni kemalasan reporter untuk melakukan investigasi ke lapangan (individual level). Pers seharusnya tidak lagi menyajikan laporan-laporan (berita) yang sekedar berdasarkan realitas psikologis, akan tetapi berdasarkan realitas sosiologis.4 Shoemaker dan Reese (1996) pernah melihat mengapa media massa bisa mempunyai perbedaan dan persamaan dalam liputannya. Ada beberapa tahap yang mempengaruhinya; (1)

4

Deddy Mulyana, Komunikasi Populer: Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,2004), hlm. 172 menjelaskan realitas psikologis merupakan pendapat dan pandangan orang-orang. Sedangkan realitas sosiologis melakukan investigasi langsung di lapangan dan mencari informasi dari nara sumber yang terlibat langsung disana.


(14)

individual level, (2) media routine level, (3) organizational level, (4) extramedia level, dan (5) ideological level.5

Peristiwa sama digambarkan berbeda memang jamak ditemukan dalam pemberitaan media. Hal ini tergantung dari politik media, seperti keberpihakan terhadap kelompok tertentu dalam membingkai (framing) berita. Framing disini berbicara tentang seleksi isu yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wacana. Menurut teori framing, dalam wacana berlangsung proses pemilihan fakta mana yang mau diangkat, fakta mana yang mau disembunyikan, atau fakta mana yang dihilangkan sama sekali. Wacana menurut framing terdiri dari sejumlah komponen yang diisi dengan fakta-fakta yang sudah melalui tahapan pilihan itu.

Konsep framing inilah yang bisa digunakan oleh media massa dalam melakukan konstruksi pemberitaannya. Tak terkecuali yang dilakukan oleh berbagai media cetak yang beredar di tanah air. Mulai dari surat kabar, tabloid, hingga majalah. Surat kabar adalah media yang paling konvensional sekaligus paling tua dibandingkan jenis media cetak harian yang selalu menghadirkan berita-berita aktual. Oleh karena itu sifatnya harian, menyebabkan isi pemberitaannya terbatas hanya berupa pemaparan fakta. Berbeda dengan tabloid dan majalah. Periode terbit keduanya relatif lebih lama dibandingkan dengan surat kabar. Sehingga media tersebut memiliki cukup waktu untuk mengulas dan menganalisis berita lebih

5

“Hierarrchy of Influence” Shoemaker & Reese dalam Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2002) hlm. 138.


(15)

mendalam (in depth coverage). Hal ini yang menjadikan pemberitaan yang tersaji di tabloid dan majalah memiliki kekuatan pada framingnya dan menjadi selling point

yang dimiliki oleh keduanya. Sebab, kehadiran kedua media tersebut mampu melengkapi apa yang tidak ada di surat kabar.

Apabila dibandingkan antara tabloid dengan majalah, pemberitaan yang diulas dalam tabloid mayoritas berita-berita ringan yang sensasional. Tengok saja tabloid-tabloid yang beredar di Indonesia. Kebanyakan target segmennya dikhususkan untuk kaum hawa, seperti: tabloid Nyata, Nova, Mamamia, Realita, dan sebagainya. Berbeda dengan majalah. Majalah sangat memperhatikan gaya bahasanya. Tema-tema yang dipilih berita majalah dilaporkan secara mendalam dan tuntas pun diseleksi dengan seksama. Tampilannya juga lebih eksklusif dibandingkan dengan tabloid. Inilah nilai lebih yang ditawarkan oleh majalah.

Mendesain majalah membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan mendesain surat kabar. Lamanya persiapan dan kualitas cetak yang lebih membuat para pembacanya harus membayar sedikit mahal atas nilai lebih yang dihadirkan oleh sebuah majalah dan harus menunggu lama kehadirannya. Hal ini dikarenakan periode terbit majalah biasanya mingguan, dwimingguan, atau bulanan.

Di Indonesia sendiri terdapat beragam majalah, salah satunya adalah majalah berita. Rating tertinggi untuk majalah berita di Indonesia saat ini masih dipegang oleh


(16)

majalah Tempo.6 Sedangkan pada urutan kedua terdapat majalah Gatra. Kedua

majalah ini sukses mengaet khalayak di karenakan memiliki karakter yang kuat dan khas dalam menyajikan setiap laporannya. Antara Tempo dan Gatra tentunya memiliki perbedaan gaya bahasa dan peliputan sesuai dengan target segmennya masing-masing serta bagaimana keduanya membingkai (framing) sebuah peristiwa. Perbedaan framing di masing-masing majalah inilah yang membuat keduanya memiliki pandangan tersendiri dalam menyikapi sebuah realitas. Bahkan untuk realitas yang sama sekalipun.

Peneliti memilih kedua media tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa kedua majalah ini merupakan dua media massa besar di Indonesia yang terbitnya sama-sama mingguan dan memuat berita berkaitan tentang korupsi dana haji, sehingga memungkinkan bila konstruksi yang dibangun oleh kedua media massa tersebut akan mempengaruhi konstruksi yang dibangun dalam pikiran besar pembacanya.

Maraknya kasus dugaan korupsi dana haji di lembaga Negara yang dimuat dalam media massa, tentunya mengundang pertanyaan tentang apa yang sebenarnya menjadi pokok pembahasan dalam dugaan korupsi dana haji. Sebagai majalah berita mingguan, Tempo dan Gatra tentu tidak melewatkan kasus tersebut dalam

6

Menurut riset Survey Research Indonesia, Media Index 1999, Tempo merupakan majalah berita mingguan dengan sirkulasi terbesar (lebih dari 65 ribu exemplar/minggu) dibandingkan 4 majalah lainnya, yaitu: Gatra, Forum, Panji Masyarakat, dan Gamma. Lihat ulasan Coen Husain Pontoh dengan judul Konflik Nan Tak Kunjung Padam dalam Jurnalisme Sastrawi, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 131


(17)

pemberitaannya. Bahkan kejadian ini dijadikan headline utama pada majalah Tempo 6-12 Desember 2010 dengan judul “Main-main duit haji “. Berbeda dengan majalah Gatra yang terbit pada tanggal 18-24 November 2010. Gatra juga mengulas berita

tentang kasus dugaan korupsi dana haji ini dengan mengambil judul “Melipat ongkos ke rumah Allah”. Hanya saja, Gatra tidak menjadikan kasus tersebut sebagai headline

berita.7 Porsi pemberitaan yang diberikan oleh kedua majalah tersebut juga berbeda.

Tempo mengulasnya sebagai laporan utama hingga mencapai 8 halaman.8 Sedangkan

Gatra memasukkannya dalam rubrik Nasional dengan jumlah halaman berita sebanyak 2 halaman saja.

Tentu saja pembingkaian yang dilakukan oleh media, termasuk juga majalah Tempo dan Gatra, tentang dugaan korupsi dana haji bisa mempunyai dampak pada cara anggota audiensi akhirnya menafsirkan sebuah isu.9 Ekspos berlebihan yang

dilakukan oleh media terhadap peristiwa yang bernuansa Korupsi dan penyelewengan dana ini akan memberikan dampak yang berlebihan juga di kalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan media menyikapi keberadaan kasus tersebut dengan beragam bingkai dalam pemberitaannya. Semuanya tergantung dari sudut pandang media terhadap realitas tersebut dan bagaimana mereka membingkainya. Sebab, media bukanlah

7

Headline majalah Gatra pada edisi 18-24 November 2010 adalah “memainkan kasus gayus”, bukan tentang kasus korupsi dana haji. Sedangkan pembahasan kasus korupsi dana haji masuk dalam rubrik Nasional dan terletak di halaman agak akhir, yakni halaman 94-95.

8

Mulai dari editorial Tempo, gambar karikatur, hingga surat pembaca yang dimuat juga membahas masalah kasus korupsi dana haji. Sedangkan berita tentang kasus korupsi dana haji ini dibahas dalam rubrik Laporan Utama mulai dari halaman 26-32.

9

Wanner J. Severin dan James W. Tankard, Jr dalam Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan


(18)

saluran yang bebas. Media bukanlah seperti yang digambarkan, memberitakan apa adanya, cermin dari realitas. Media seperti yang kita lihat justru mengkonstruksi sedemikian rupa realitas. Semua kenyataan ini menyadarkan kita betapa subjektifnya media.10 Perbedaan cara pandang kedua majalah ini muncul tergantung dari Frame.11

Berpijak pada fenomena tersebut, perlu dianalisis bagaimanakah framing majalah Tempo dan Gatra dalam kontruksinya terhadap pemberitaan kasus dugaan korupsi dana haji. Tempo dan Gatra merupakan dua majalah mingguan yang sengaja dipilih dalam penelitian ini karena kedua majalah tersebut sama-sama memberitakan kasus dugaan korupsi dana haji pada edisi bulan November 2010. Meskipun sama-sama memberitakan kasus dugaan korupsi dana haji, namun keduanya memiliki bingkai yang berbeda dalam melihat kasus dugaan korupsi dana haji. Disamping itu, periode terbit keduanya juga sama-sama mingguan, sehingga apabila ke dalam isi pemberitaannya dibandingkan akan setara.

Penggunaan analisis framing dalam penelitian ini sangat dinilai peneliti sangat sesuai untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Atau dengan kata lain, dengan cara dan teknik peristiwa (kasus dugaan korupsi dana haji) ditekankan

10

Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKiS, 2005) hlm. 2

11

Frame (bingkai) didefinisikan sebagai gagasan pengaturan pusat untuk isi berita yang

memberitakn konteks dan mengajukan isu melalui penggunaan pilihan, penekanan,

pengecualian, dan pemerincian. Lihat Wanner J. Severin dan James W. Tankard, Jr., op.cit,. hlm. 332. Sedangkan Goffman (1974) mengembangkan konsep frame sebagai kepingan- kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas. Lihat Alex Sobur, op. cit, hlm 162.


(19)

dan ditonjolkan dalam pemberitaan di majalah Tempo dan Gatra.12 Apakah kasus

dugaan korupsi dana haji ini ditulis secara panjang atau pendek dan apakah ditempatkan di halaman pertama atau tidak.13 Disamping itu, analisis framing secara

sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau siapa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi.14

Dibandingkan teknik analisis teks media yang lainnya, framing memiliki kelebihan dalam menganalisis bagaimana media mengemas sebuah berita. Hal ini dikarenakan tiga alasan, yaitu: pertama, framing yang dilakukan media akan menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek yang lain. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, ada aspek lain yang tidak mendapat perhatian yang memadai. Kedua, framing yang dilakukan oleh media akan menampilkan sisi tertentu dan melupakan sisi yang lain. Dengan menampilkan sisi tertentu dalam berita, ada sisi lain yang terlupakan, menyebabkan aspek lain yang penting dalam memahami realitas tidak mendapat liputan dalam berita. Ketiga, framing yang dilakukan media akan menampilkan aktor tertentu dan menyembunyikan aktor yang lain. Efek yang segera terlihat dalam pemberitaan yang

12

Eriyanto, op. cit., hlm 3. 13

Eriyanto, op. cit., hlm 24. 14


(20)

memfokuskan pada satu pihak, menyebabkan pihak lain yang mungkin relevan dalam pemberitaan menjadi tersembunyi.15

Berdasarkan efek framing tersebut dengan tetap pada koridor kualitatif sebagai metode penelitian, peneliti tidak bermaksud membuktikan teori framing secara deduktif, melainkan ingin melakukan sebuah penggalian (eksplorasi) terhadap cara pandang media dalam melihat sebuah peristiwa dan bagaimana cara pandang itu tertuang dalam berita. Sementara metode lainnya, seperti analisis wacana dan analisis isi kurang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Analisis wacana walaupun juga menganalisis bahasa sebagai bagian dari teks, namun bukan merupakan studi komparasi dimana hal ini menjadi ciri khas analisis framing untuk melihat perbedaan bingkai. Sedangkan metode analisis isi tidak dapat menjawab bagaimana realitas itu dikonstruksi media karena analisis isi menekankan makna adalah hasil transmisi. Analisis isi justru menekankan pada negosiasi yang berarti memisahkan teks dan peneliti. Dengan demikian, tipe riset yang hendak dilakukan adalah melihat bagaimana pesan dibentuk (analisis frame media), tidak mengungkapkan bagaimana pesan diterima (analisis frame khalayak).

Disamping itu, dengan menggunakan analisis framing akan semakin memperlihatkan bingkai suatu media apabila bingkai tersebut telah dibandingkan dengan bingkai media lain sehingga perbedaan-perbedaannya dapat terlihat dengan

15

AG. Eka Wenats Wuryanta yang dikutip dalam blog pribadinya,

http://ekawenats.blogspot.com/2006/12/priming-framing-agenda-setting.htm. Diakses tanggal 7


(21)

jelas nantinya. Pada penelitian ini peneliti juga ingin mengetahui perbandingan bingkai media pada pemberitaan tentang kasus dugaan korupsi dana haji pada majalah Tempo dan Gatra.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan masalah yang dikaji dalam penelitian sebagai berikut: Bagaimana majalah Tempo dan Gatra membingkai pemberitaan tentang kasus dugaan korupsi dana haji yang dilakukan oleh majalah Tempo dan Gatra?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah ingin menganalisis serta membandingkan bingkai media pemberitaan kasus dugaan korupsi dana haji yang dilakukan oleh majalah Tempo dan Gatra.

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis

a. Memberikan gambaran mengenai konteks media framing di Indonesia, khususnya pada pemberitaan kasus dugaan korupsi dana haji.


(22)

b. Memperkaya Khazanah ilmu komunikasi, khususnya bidang jurnalistik untuk memperlihatkan karakter pemberitaan media massa, dalam hal ini media cetak.

1.4.2. Manfaat Praktis

a. Bagi media massa sebagai bahan masukan untuk lebih memperbaiki kualitas pemberitaannya agar lebih berimbang (cover all sides), khususnya redaksi majalah Tempo dan Gatra.

b. Bagi pembaca pada umumnya dapat mengetahui bagaimana media

mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangannya, subyektifnya, biasnya, dan pemihakannya maupun penolakannya terhadap kasus dugaan korupsi dana haji , terutama pemberitaan di majalah Tempo dan Gatra.

c. Bagi kalangan civitas akademika, diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi mereka yang meneliti analisis framing dan politik media.

1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Konsep dan Teori 1.5.1.1. Komunikasi Massa

Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi massa sering dipahami sebagai komunikasi berhadapan dengan massa atau komunikasi berhadapan dengan orang


(23)

banyak atau berpidato di hadapan banyak orang. Secara konseptual pemahaman ini kurang pas. Dalam bahasa inggris untuk menyebut komunikasi berhadapan dengan massa atau yang sedang berpidato di hadapan massa pendukungnya di sebuah lapangan terbuka. Dalam studi komunikasi, komunikasi massa selalu dimengerti sebagai komunikasi dengan menggunakan media massa (baik itu cetak maupun elektronik). Frasa komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa inggris mass communication atau komunikasi media massa yang berarti komunikasi dengan menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated (komunikator tidak dapat bertatap langsung dengan khalayak).

Menurut Scheidel (1976), manusia melakukan komunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri serta untuk mempengaruhi orang lain sehingga ia merasa, berfikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan.16 Tidak

heran apabila di era globalisasi seperti sekarang, komunikasi memiliki peranan penting. Komunikasi yang terbentuk pun kini melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa (baik cetak maupun elektronik). Cakupan bidang komunikasi ini dinamakan komunikasi massa.

Penjabaran tentang komunikasi masssa ini menjadi penting karena penelitian ini masuk dalam ranah komunikasi massa. Dengan penjelasan yang terperinci tentang komunikasi massa akan semakin memperjelas bidang kajian dalam penelitian ini.

16

Thomas M. Scheifel (1976) dalam Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005) hlm. 4


(24)

1.5.1.2. Media dan Fungsinya dalam Masyarakat

Secara harfiah, media berada diantara kita, audiens, dan materi orisinal yang mereka gunakan. Hal ini adalah truism kebenaran yang membuktikan dirinya sendiri. Apa yang tampil di layar atau halaman bukan hal yang sebenarnya, tetapi merupakan salah satu versinya.17

Fakta bahwa terdapat banyak kebenaran dalam sebuah artikel berita tentang beberapa negosiasi diplomatis, sebagai contoh, tidak berarti bahwa artikel tersebut mengisahkan keseluruhan kebenaran. Membaca artikel tidak sama dengan berada di tempat kejadian.18 Pada dasarnya, laporan berita itu dimediasi. Seperti semua komunikasi manusia, laporan berita harus dituangkan dalam bentuk material seperti: kata-kata, gesture, lagu, gambar, tulisan.19 Sehingga semua materi media sebenarnya merupakan semacam representasi atau konstruksi yang bukanlah ide orisinal (the real thing). Materi media bersifat artificial (dibuat-buat). Hal tersebut merupakan sesuatu yang dikonstruksi dari seperangkat tanda. Citra mobil di televisi, dalam sebuah

thriller atau program tentang pameran mobil, bukanlah mobil itu sendiri. Citra tersebut merupakan representasi mobil melalui kode gambar. Demikian pula artkel

17

Grame Burton, Yang Tersembunyi Dibalik Media (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 73 18

Ibid., hlm. 73

19


(25)

seorang wartawan tentang mobil-mobil di pameran mobil tersebut adalah sekadar representasi mobil-mobil tersebut dalam verbal tulisan.20

Tujuan dari mediasi itu adalah untuk mengkomunikasikan sesuatu melalui ruang dan waktu yang menjangkau sebanyak mungkin orang. Jadi, hal pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa media dapat menjangkau sejumlah besar orang.

Kedua, pesan-pesan yang dimediasikan pada saat ini menggunakan teknologi yang sangat canggih. Ketiga, sementara kita mempunyai pilihan untuk membuat musik kita sendiri atau menggambar kartun kita sendiri, kebanyakan dari kita lebih memilih menjadi konsumen dari produksi korporasi profesional yang jumlahnya relatif sedikit.

Keempat, secara virtual tidak ada komunikasi antar sumber dengan penerima.21

Media massa adalah “kependekan” dari media komunikasi massa. Media massa lahir untuk menjembatani komunikasi antarmassa. Massa adalah masyarakat luas yang heterogen, tetapi saling bergantung satu sama lain. Ketergantungan antarmassa menjadi penyebab lahirnya media yang mampu menyalurkan hasrat, gagasan dan kepentingan masing-masing agar diketahui dan dipahami oleh yang lain.

Penyaluran hasrat, gagasan dan kepentingan tersebut dinamai “pesan” (message). Dengan demikian, pada hakikatnya media massa adalah media saling-silang pesan antarmassa.22

20

Grame Burton, op.cit., hlm 74 21

Zianuddin Sardar, loc.cit., hlm. 8 22

Sam Abede Pareno, Media Massa: Antara Realitas dan Mimpi (Surabaya: Papyrus, 2005), hlm. 27


(26)

Pada dasarnya media massa merupakan suatu pranata sosial (social intitution). Media massa berinteraksi dengan pranata sosial lainnya yang ada didalam masyarakat, seperti lembaga pemerintah, partai politik, keluarga, dan berbagai organisasi sosial. Dalam kajian ini, sudah tentu istilah media massa dimaknai bukan sekedar alat-alat teknologis, melainkan sebagai pranata sosial. Oleh karena itu, menurut McQuail media massa menjalankan tugas sebagai silent characteristic, yakni meliputi: (a) penggunaan teknologi pembuatan dan penyebarluasan pesan-pesan secara masif, (b) organisasi dan regulasi yang bersifat sistematis, serta (c) arah pesan bagi khalayak yang besar atau luas, anonim, dan bebas dalam mengakses. Dalam kaitannya dengan politik secara luas, media massa dapat berperan secara meyakinkan, seperti: (a) newsmaking, (b) analisis, penfsiran, dan pemberian makna terhadap peristiwa-peristiwa, (c) socialization, (d) persuasion, (e) agenda setting.23

Dalam perkembangannya pembicaraan tentang fungsi media massa, Burton (2008)24 membaginya menjadi lima fungsi, yakni: fungsi hiburan, fungsi informasi, fungsi kultural, fungsi sosial, dan fungsi politik. Media dikatakan berfungsi sebagai hiburan dikarenakan menghasilkan kesenangan dan mampu mengalihkan perhatian audiens dari berbagai isu sosial yang serius. Sedangkan media memiliki fungsi informasi lantaran media menghasilkan beragam informasi yang dibutuhkan bagi audiensnya. Disamping itu, media juga memiliki fungsi kultural karena dianggap

23

McQuail (1996) dalam Pawito, Ph. D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 258-259

24


(27)

mampu menghasilkan materi yang mencerminkan budaya khalayak yang menjadi bagian dari budaya tersebut. Media juga menampilkan berbagai contoh dari masyarakat, dari interaksi majalah, dan dari kelompok-kelompok sosial sehingga layak disebut memiliki fungsi sosial. Sementara dengan fungsi politiknya, media diharapkan menghasilkan bukti (evidence) dari berbagai aktivitas, isu, dan peristiwa politik.

Dalam konteks, di Indonesia, berakhirnya Orde Baru membawa dampak positif terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Dapat tersebut antara lain ditandai oleh kebebasan berserikat (berorganisasi), dan kebebasan menyatakan pendapat (kebebasaan berekspresi), termasuk kebebasan pers dan media massa. Kebebasan ini ditandai dengan pencabutan SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers). Bahkan, pada massa pemerintahan Habibie, kran kebebasan pers semakin terbuka. Bagi setiap usaha memperoleh SIUPP semakin mempermudah, yakni cukup mengisi permohonan, akte pendirian perusahaan pers, dan lampiran pengasuh penerbitan pers tanpa keharusan menyertakan rekomendasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dengan pelonggaran ini melahirkan banyak penerbitan baru.

Khusus dalam kaitannya dengan demokrasi, seperti dikatakan oleh Curran (1996)25, media massa dapat berperan dalam penyebarluasan informasi yang beragam perspektif, mewakili khalayak (representation) dalam arti memberikan tempat bagi

25


(28)

dapat dinyatakan pendapat-pendapat dari berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda sehingga ada debat publik yang signifikan, serta mendorong supaya dapat dicapai pemecahan dari berbagai persoalan penting yang ada di dalam masyarakat dan membantu mencapai titik tertentu diantara kelompok-kelompok yang saling berbeda pandangan.

Dengan adanya pemaparan media dan fungsinya dalam masyarakat akan memberikan konstribusi pemahaman yang positif sebagai pijakan peneliti dalam memahami arti penting media dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan penelitian ini berkaitan dengan pemberitaan di media cetak sehingga peneliti memiliki pijakan awal dalam memahami kaitan antara media dan masyarakat. Terlebih lagi, peranan media setelah Orde Baru, yakni era demokrasi.

1.5.1.3. Paradigma Konstruksionis

Konsep konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Berger yang bersama Thomas Luckman menulis banyak karya, termasuk tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas. Dalam tesis Berger, manusia dan masyarakat adalah produk dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali tehadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat.


(29)

Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya.26

Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, akan tetapi dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman ini, realitas dalam kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural. Akan tetapi, berwajah ganda dan bersifat dinamis. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas yang dipegaruhi oleh pengalaman, preferensi, pendidikan, dan lingkungan sosial tertentu.27 Konsentrasi analisis pada paradigma kontruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering kali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna yang sering dilawankan dengan paradigma transmisi.28

Terdapat dua karakteristik penting dalam pendekatan konstruksionis.

Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses

bagaimana sesorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukan sesuatu yang absolut dan statis, namun proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan.

Kedua, pendekatan konstruksionis memandang bagaimana pembentukan pesan dari

26

Eriyanto, op.cit, hlm. 13-14 27

Ibid., hlm. 15-16

28


(30)

sisi komunikator dan sisi penerima. Dalam hal ini, penerima akan memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan.29

Dengan pendekatan konstruksionis, berita buka refleksi dari realitas dan hanyalah konstruksi dari realitas. Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan standar yang rigid karena ia merupakan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain yang tentunya menghasilkan realitas yang berbeda pula.30

Adapun tujuan dalam penelitian dengan paradigma kontruksionis adalah untuk mengkonstruksi realitas sosial karena tidak ada realitas yang dalam riil yang seolah-olah ada sebelum peneliti mendekatinya. Realitas sosial tergantung pada bagaimana seseorang memahami dunia dan menafsirkannya. Dalam pandangan ini peneliti berperan sebagai fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas sosial.31 Oleh karena itu, penjabaran tentang paradigma dalam penelitian ini menjadi penting karena berfungsi untuk memahami paradigma dasar sebagai acuan berfikir bagi peneliti.

1.5.1.4. Konstruksi Media Atas Realitas

29

Ibid., hlm. 41

30

Ibid., hlm. 19-27

31


(31)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan konstruksi adalah susupan (model, tata letak) suatu bangunan (jembatan, rumah, dan sebagainya). Apabila digunakan dalam kalimat, konstruksi bermakna lingkaran susunan dan hubungan kata dalam kalimat atau kelompok kata.32 Dengan demikian, konstruksi merupakan upaya penyusunan beberapa peristiwa, keadaan, atau benda secara sistematis menjadi sesuatu yang bermakna. Sedangkan realitas adalah peristiwa, keadaan, benda.33

Berger sendiri membedakan tiga jenis realitas, yaitu: realitas objektif, realitas simbolis sosial, dan realitas sujektif sosial. Realitas objektif merupakan realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu dan dianggap sebagai kenyataan. Lain halnya dengan realitas simbolis sosial yang diartikannya sebagai ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk termasuk isu media. Sedangkan realitas subjektif sosial adalah realitas yang terbentuk akibat proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi. Berpijak pada pembagian makna realitas tersebut, apabila dikaitkan dengan media, tentu saja pers berperan dalam membentuk realitas subjektif dengan memproduksi realitas simbolik atas berbagai fakta peristiwa atau realitas dengan menggunakan bahasa.

32

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3, op.cit 33


(32)

Apabila digabungkan keduanya, maka konstruksi realitas bermakna sebagai pengaturan kata-kata membentuk frase, klausa, atau kalimat yang bermakna untuk menjelaskan atau menggambarkan suatu kualitas atau keadaan aktual, benar, atau nyata. Dengan kata lain, konstruksi realitas yang terjadi pada media cetak merupakan pengaturan kata-kata membentuk frase, klausa, kalimat yang bermakna untuk menjelaskan atau menggambarkan suatu kualitas atau keadaan aktual, benar, atau nyata dan dipublikasikan di media cetak. Mengenai realitas, makna yang dimaksud disini adalah fakta peristiwa.

Tentang proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya “menceritakan”

(konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda adalah usaha mengkonstruksi realitas. Hal ini dikarenakan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstrusi berbagai realitas yang akan disiarkan. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian, seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksi dalam bentuk wacana yang bermakna.34

Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Sebab, bahasa merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah

34


(33)

konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi dan makna tertentu, entah itu dalam bentuk verbal maupun non-verbal.35

Sesuatu yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Ada lima faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan.36 Pertama, faktor individual (individual media workers). Faktor ini berhubungan dengan latar belakang personal dan profesional dari para pekerja dan pengelola media, yang sanggup mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Kedua, level rutinitas media (media routine). Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Termasuk kegiatan penyeleksian, tenggat (deadline), keterbatasan tempat (space), piramida terbalik dalam penulisan berita maupun kepercayaan terhadap sumber resmi dalam berita yang dihasilkan. Ketiga, level organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media, wartawan, redaksional dan siapa saja yang ada dalam organisasional media, masing-masing komponen itu bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Sehingga punya peran dalam mempengaruhi hasil berita yang disiarkan.

35

Ibid., hlm. 12

36


(34)

Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak mempengaruhi pemberitaan media. Faktor ini meliputi lobi dari kelompok kepentingan terhadap isi media, seperti masyarakat (norma sosial), praktisi media, pemerintah dan lain sebagainya. Kelima, level ideologi. Ideologi diartikan sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level ideologi abstrak, ini berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Dan lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 1

Model Hierarchy of Influence

Tingkat Ideologi Tingkat Ekstramedia Tingkat Organisasi Tingkat Rutinitas Media Tingkat Individu

Sumber : Shoemaker dan Reese. 1996: 64

Dalam menentukan sebuah isi pemberitaan, redaksi sebuah media massa akan dipengaruhi oleh level-level tertentu, seperti level-level yang telah diuraikan diatas. Yaitu pertama, level pada lingkup yang paling mikro, adalah level individual


(35)

kebijakan redaksi dipengaruhi latar belakang individual dari para awak redaksi. Level ini beranggapan bahwa kebijakan isi media dipengaruhi background dan karakteristik penulis berita, seperti etnik, gender, orientasi seksual, pendidikan dan termasuk diantaranya juga adalah tingkat pemahaman penulis terhadap suatu permasalahan yang dijadikan berita dan tingkat emosi pada saat berita itu diterbitkan atau disiarkan. Lalu sikap personal, nilai-nilai dan kepercayaan, seperti sikap politik, orientasi agama dan sebagainya.

Kedua, yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi

pemberitaan adalah level rutinitas media. Level ini menguraikan isi pemberitaan dipengaruhi regulasi internal mengenai batasan-batasan peristiwa yang dijadikan berita dan termasuk juga adalah karakter media dalam menulis berita.

Ketiga, level organisasi. Faktor organisasi juga mempengaruhi isi

pemberitaan, seperti struktur organisasi, independent- ownership atau cross- ownership, dan juga budaya kerja. Budaya kerja yang berkembang dalam sebuah organisasi akan mempengaruhi semua hasil yang dicapai organisasi tersebut. Begitu-pun dalam media massa, isi pemberitaan media akan dipengaruhi oleh rutinitas organisasi media itu sendiri.

Keempat, level ekstramedia. Selain faktor internal media, kondisi di luar juga mempengaruhi isi media. Misalnya, keadaan sosial, nilai-nilai sosial masyarakatnya, politik dan budaya yang berkembang dimana media itu ada, sumber berita, organisasi media yang lain, audiens, kebijakan pemerintah. Semua itu akan mempengaruhi isi


(36)

media saat akan disampaikan. Selain itu, pada level ini, media juga akan mempertimbangkan sumber penghasilannya (orientasi pasar). Apakah dengan isi berita seperti itu akan meningkatkan pendapatan media.

Kelima, level ideologi. Level dipandang dari level yang makro yaitu ideologi, seperti pemetaan ideologi (sphere of deviance, sphere of legitimate controversy and sphere of consensus), visi misi organisasi. Ideologi disini diartikan mekanisme simbolik yang menyediakan kekuatan kohesif yang mempersatukan didalam masyarakat. Level ini menjadi salah satu penentu isi pemberitaan media massa. Karena level ini berangkat dari kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Meski nilai abstrak, level ini bisa dikatakan penentu dari level-level sebelumnya. Karena ideologi sebuah media atau pimpinan tertinggi dalam media itu akan mempengaruhi seluruh level-level lainnya. Misalnya level rutinitas media, rutinitas dalam media akan dipengaruhi oleh level individual, dalam level individu ini yang paling berpengaruh adalah ideologi dari individu itu sendiri.37

Lebih jauh lagi, terutama dalam media massa, keberadaan bahasa tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas media yang akan muncul di benak khalayak. Terdapat berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa dan makna ini: mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya,

37


(37)

memperluas makna dari istilah-istilah yang ada, mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru, memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa.38

Penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya, pilihan kata cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini bahkan bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi sealigus dapat menciptakan realitas.39

Menurut Giles dan Wielmann, bahasa (teks) mampu menentukan konteks, bukan sebaliknya, teks menyesuaikan diri dengan konteks. Dengan begitu, lewat bahasa yang dipakainya (melalui pilihan kata dan cara penyajian) sesorang bisa mempengaruhi orang lain (menunjukkan kekuasaannya). Melalui teks yang dibuatnya, ia dapat memanipulasi konteks. Dalam banyak kasus, kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan umumnya sangat berkepentingan dengan pengendalian makna di tengah pergaulan sosial dimana media massa merupakan alat Bantu yang ampuh. Untuk kasus Indonesia misalnya, betapa kita telah menyaksikan pengendalian bahasa secara sistematis oleh penguasa Orde Baru.40

Oleh karena elemen dasar seluruh isi media massa adalah bahasa, dengan demikian, bahasa adalah nyawa kehidupan media massa. Hanya melalui bahasa para

38

Ibnu Hamad, loc.cit., hlm 11 39

Ibid, hlm. 13

40


(38)

pekerja media bisa menghadirkan hasil reportasenya kepada khalayak. Setiap hari, para pekerja media memanfaatkan dalam menyajikan berbagai realitas (peristiwa, keadaan, benda) kepada publik. Dengan bahasa secara massif, mereka menentukan gambaran beragam realitas ke dalam benak masyarakat.41

Namun, dikarenakan adanya tuntunan teknis seperti keterbatasan kolom dan halaman pada media cetak, jarang ada media yang membuat berita sebuah peristiwa secara utuh mulai dari menit pertama hingga ke menit terakhir. Atas nama kaidah

jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar, dan rumit, dicoba “disederhanakan” melalui

mekanisme pembingkaian (framing) fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak terbit atau layak tayang.

Untuk kepentingan pemberitaan tersebut, komunikator massa seringkali hanya menyoroti hal-hal yang “penting” dari sebuah peristiwa. Dari segi ini saja, mulai dapat ditebak kearah mana pembentukan (farmasi) sebuah berita. Ditambah pula dengan berbagai kepentingan, maka konstruksi realitas politik sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan dengan suatu berita. Kepentingan itu bisa dimiliki oleh media atau pihak yang memiliki relasi khusus dengan media tersebut.42

Pembuatan frame itu sendiri didasarkan atas berbagai kepentingan internal maupun eksternal media, baik teknis, ekonomis, politis, ataupun ideologis. Sehingga pembuatan sebuah wacana tidak saja mengindikasikan adanya

41

Ibid., hlm. 15

42


(39)

kepentingan itu, tetapi juga bisa mengarahkan hendak dibawa kemana isu yang diangkat dalam wacana tersebut. Adapun cara membentuk wacana di media massa adalah dengan mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur sehingga sebuah isu mempunyai makna. Di dalamnya terhimpun sejumlah fakta pilihan yang diperlakukan sedemikian rupa atas dasar frame tertentu sehingga ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk satu urutan cerita yang mempunyai makna. Setiap kemasan wacana itu memiliki struktur internalnya sendiri dengan sebuah gagasan inti atau frame di dalamnya.43

Pada dasarnya terdapat banyak faktor yang turut mempengaruhi pembentukan realitas media, baik itu eksternal maupun internal. Ketika faktor kapital telah menjadi unsur yang esensial, proses kontruksi realitas pun diselaraskan dengan pertimbangan-pertimbangan modal. Inilah yang menyebabkan konstruksi realitas lazim dilakukan sedemikian rupa bila menyangkut kasus yang akan merugikan usaha atau relasi mereka. Wujud lain dari faktor ekonomi yang berpengaruh atas penampilan isi media adalah khalayak dan pengiklan. Pelaporan sebuah peristiwa jelas harus memperhitungkan pasar. Semakin baik pelaporan (reportase) akan semakin banyak khalayak yang mengkonsumsi dan secara otomatis pengiklan pun cenderung akan bertambah.

Sebagai makhluk sosial, seorang wartawan juga mempunyai sikap, nilai, kepercayaan, dan orientasi tertentu dalam politik, agama, ideologi, dan aliran dimana

43


(40)

semua komponen itu berpengaruh terhadap hasil kerjanya (media content), sehingga kerapkali media tersebut terlibat dalam sebuah hegemoni (politik, budaya, atau ideologi). Selain itu, latar belakang pendidikan, jenis kelamin, etnisitas, turut pula mempengaruhi wartawan dalam mengkonstruksi realitas.44

Pembahasan konstruksi media terhadap realitas ini untuk memahami bagaimana media massa dalam melakukan konstruksi dalam pemberitaannya senantiasa berbeda-beda. Hal ini berkaitan erat untuk memahami mengapa media melakukan pembingkaian sedemikian rupa dalam realitas kasus korupsi dana haji yang menjadi fokus pembahasan.

1.5.1.5. Teori Agenda Setting

Menurut asumsi teori ini media mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Dengan kata lain, agenda media akan menjadi agenda masyarakatnya. Agenda setting ini beroperasi dalam tiga bagian45, sebagai berikut:

a. Agenda media itu harus diformat sendiri.

b. Agenda media dalam banyak hal mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik.

44

Ibid., hlm. 27-28

45

Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 196- 198


(41)

c. Agenda publik mempengaruhi atau berinteraksi ke dalam agenda kebijakan. Rogers dan Dearing dalam Anderson menyatakan fungsi agenda setting merupakan proses linear yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: pertama, agenda media itu sendiri dalam memunculkan isu-isu mengenai bagaimana agenda media ditempatkan pada tempat yang pertama. Kedua, agenda media dalam beberapa hal mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik sehingga media mampu mempengaruhi agenda publik dan bagaimana media melakukannya. Ketiga, agenda media mempengaruhi agenda publik dan pada gilirannya agenda publik mempengaruhi agenda kebijakan.46

Para peneliti sebelum Mc Combs dan Shaw mempunyai beberapa gagasan yang sangat mirip dengan hipotesis penentuan agenda. Penyataan yang lebih langsung tentang gagasan penentuan agenda terbit pada tahun 1958 dalam artikel yang ditulis Long yang menyatakan bahwa dalam beberapa hal, surat kabar adalah penggerak utama dalam menentukan agenda daerah. Surat kabar memiliki andil besar dalam menentukan apa yang akan dibahas oleh sebagian besar orang, apa pendapat sebagian orang tentang fakta yang ada, dan apa yang dianggap sebagian besar orang sebagai cara untuk menangani masalah.47

46

Heru Puji Winarso, Sosiologi Komunikasi Massa (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), hlm. 103 47

Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, edisi kelima (Jakarta: Kencana, 2001), hlm. 264


(42)

Lang dan Lang (1959) juga menghasilkan pernyataan awal tentang gagasan penentuan agenda bahwa media media massa seringkali memaksakan perhatian pada isu-isu tertentu dan secara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukkan apa yang hendaknya dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam masyarakat.48

Pemahaman akan fungsi agenda setting menjadi penting untuk kepentingan analisis dalam penelitian ini. Sebab, bagaimanapun, fungsi agenda setting merupakan salah satu rangkaian kegiatan yang dilakukan media dalam membingkai peristiwa dalam konstruksi tertentu. Terlebih, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah fenomena dalam kasus korupsi dana haji yang didekati dari perspektif komunikasi massa. Semakin jelaslah korelasi positif diantara agenda setting function

dan framing analysis dalam penelitian ini. Akan tetapi, penelitian ini tidak mengarah ada agenda setting function secara terperinci, mengingat fokus dalam penelitian ini ditekankan pada sikap Tempo dan Gatra melalui pembentukan frame dalam upaya mengkonstruksi kasus korupsi dana haji. Teori ini ditempatkan sebagai dasar pandangan bahwa media massa menentukan isu-isu yang penting bagi khalayak.

1.5.1.6. Makna Kontruksi Ideologi

48


(43)

Ketika menulis berita tentang suatu peristiwa, wartawan bukan hanya mengkonstruksi bagaimana peristiwa harus dipahami. Ketika menulis pun juga memperhitungkan khalayak yang akan membaca teks berita tersebut. Sehingga ketika berita itu di konstruksi, bukan hanya peristiwa yang dijelaskan dalam peta ideologi tertentu, melainkan halayak sebagai pembaca teks berita juga di tempatkan dalam peta ideologi tertentu. 49

Seperti dikatakan Matthew Kieran (dalam Eriyanto, 2005) berita tidak dibentuk dalam ruang hampa. Berita diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu wilayah kompetensi tertentu. Ideologi disini tidaklah harus selalu dikaitkan dengan ide-ide besar. Ideologi juga bisa bermakna politik, penandaan atau pemaknaan. Bagaimana melihat peristiwa dari kaca mata dan pandangan tertentu, dalam arti luas sebuah ideologi karena menggunakan titik melihat tertentu.50

Oleh karena itu, ketika mengkonstruksi sebuah realitas, media tidak hanya menggambarkan realitas tersebut, tetapi khalayak juga diajak setuju atau tidak setuju. Pada sisi ini, khalayak ditempatkan dalam sisi ideologi tertentu tentang pemaknaan atas realitas.51 Asumsi ini menyediakan konstruksi dari sebuah citra bagaimana wartawan dan jurnalis menempatkan dan ditempatkan dirinya dalam peta ideologis tertentu. Asumsi ini juga yang dijadikan dasar bagaimana peristiwa tiap hari

49

Eriyanto, op.cit., hlm. 134 50

Ibid., hlm. 130-131 51


(44)

dimaknai. Bingkai yang diterapkan media menyediakan alat bagaimana bisa melihat posisi tersebut.52

1.5.1.7. Analisis Framing

Framing (bingkai) tidaklah sepenuhnya lahir di ilmu komunikasi, melainkan diadopsi dari ilmu kognitif (psikologi). Yang mengasumsi semua yang hadir di masyarakat tidak datang begitu saja, tapi karena tercipta setelah melalui berbagai proses. Budaya, adat, norma masyarakat atau manusia itu sendiri adalah produk yang dengan sengaja dibentuk. Hal itu sangat jelas dalam teori kognitif Peter L. Berger (1984) yang menyatakan bahwa “ manusia adalah produk dari masyarakat dan

sebaliknya masyarakat adalah produk dari manusia”.

Analisis framing adalah alternatif baru dalam pendekatan analisis wacana, yang juga merupakan alternatif lain dari teknik penelitian terhadap teks berita atau secara luas media. Berbeda dengan analisis isi kuantitatif, framing analisis lebih

menganalisa “bagaimana” realitas dibingkai oleh media. Sedang analisis isi kuantitatif adalah menganalisa realita “apa” yang ada dalam berita. Yang kedua juga

tidak dapat dipakai untuk mengeneralisasi hasil penelitian, berbeda dengan analisis isi kuantitatif yang sanggup melakukan generalisasi hasil penelitian pada permasalahan yang sama.

52


(45)

Ada beberapa definisi mengenai framing. Menurut Entman (dalam Eriyanto, 2005), framing merupakan proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas, sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih daripada sisi yang lain.

Gamson (dalam Eriyanto, 2005) menyatakan bahwa framing bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisasi sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.

Sedangkan menurut Pan dan Kosicki (dalam Eriyanto, 2005), framing merupakan strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.

Dari pemaparan ketiga ahli tersebut meski memiliki perbedaan dalam penekanan dan pengertiannya, namun ketiganya masih memiliki benang merah yang sama dari definisi tersebut. Intinya, framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Sebab, framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Penyajian tersebut dilakukan dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu, dan membesarkan


(46)

cara bercerita tertentu dari suatu realitas/peristiwa. Disini media menyeleksi, menghubungkan, dan menonjolkan peristiwa sehingga makna dari peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak.53

Adapun menurut Sudibyo (2001), framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus dengan memberikan penonjolan terhadap aspek-aspek tertentu dengan menggunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto , karikatur, dan alat ilustrasi lainnya. Analisis bingkai (frame analysis) berusaha untuk menentukan kunci-kunci tema dalam sebuah teks dan menentukan bahwa latar belakang budaya membentuk pemahaman kita terhadap sebuah peristiwa.

Disiplin ilmu ini bekerja dengan didasarkan pada fakta bahwa konsep ini bisa ditemui di berbagai literatur lintas ilmu sosial dan ilmu perilaku. Secara sederhana, analisis bingkai mencoba untuk membangun sebuah komunikasi secara bahas, visual, dan perilaku serta menyampaikannya kepada pihak lain atau menginterpretasikan dan mengklasifikasikan informasi baru. Melalui analisa bingkai, kita mengetahui bagaimanakah pesan diartikan sehingga dapat di interpretasikan secara efisien dalam hubungannya dengan ide peneliti.

53


(47)

Ada dua aspek dalam framing: Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memlih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang diberitakan dan bagian mana yang tidak diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih sudut tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek yang lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memiliki fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.

Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, dan sebagainya. Elemen menulis


(48)

fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstrusi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.54

Terdapat beberapa varian analisis framing. Cara menganalisis analisis wacana dengan framing adalah memenuhi setiap komponen framing dengan fakta (bagian naskah) yang terdapat dalam suatu naskah. Pertama, komponen framing Gamson dan Modigliani yang membagi unit-unit analisis dalam metaphors, exemplars, catchprases, depictions, visual images, roots, consequences, dan appeals to principals. Kedua, komponen framing Pan&Kosicki yang membagi unit analisis diantaranya: sintaksis (skema berita), skrip (kelengkapan berita), tematik (detail, koherensi, bentuk kalimat, kata ganti), dan retoris (leksikon, grafis, metafora). Ketiga, komponen framing Van Dijk dengan komponen penelitian yang terdiri dari summary (headline; lead); story (situation and comments), situation (episode and background); comments (verbal reactions and conclusions), episode (main events and consequences), background (context and history), history (circumstances and previous events), conclusion (expectations and evaluations). Terakhir, komponen framing Robert N. Entman yang melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari sebuah isu.

54


(49)

Adapun unit analisis dalam framing Entman dibagi dalam empat bagian, yakni:

problem identification, causal interpretation, moral evaluation, dan treatment recommendation.55

Penjabaran tentang analisis framing berikut konsep dan model tersebut berkorelasi positif dengan permasalahan yang diangkat, mengingat penelitian ini berkepentingan untuk menganalisis bagaimana bingkai (framing) majalah Tempo dan Gatra dalam memberitakan kasus korupsi dana haji.

1.5.1.8. Objektivitas versus Subjektivitas Berita dalam Media

Dalam menyajikan suatu berita, media diharapkan objektif dan tidak memihak. Objektif yang dimaksud disini adalah laporan fakta secara apa adanya, dan bukan laporan tentang fakta yang seharusnya. Karena fakta-fakta yang disajikan media kepada khalayak sesungguhnya merupakan realitas kedua (second hand reality). Realitas tangan pertama adalah fakta atau peristiwa itu sendiri.56

Objektivitas jurnalistik adalah suatu pola pikir dari wartawan dan redaktur yang meliputi upaya sadar untuk tidak menghakimi terlebih dahulu apa yang ia lihat, tidak dipengaruhi oleh prasangka pribadinya sendiri, selera, keyakinan, serta prasangka, tidak dicampuri oleh retorika kelompok, selalu beanggapan “kelompok

55 Loc.cit

56


(50)

lain” dan berupaya untuk memperhatikan bahwa orang lain memiliki kesempatan

untuk di dengar.57

Michael Bugeja yang mengajar jurnalisme di Iowa State menyatakan bahwa objektivitas adalah melihat bagaimana yang diharapkan semestinya.58 Objektifitas dalam produksi berita secara umum digambarkan selagi tidak dicampuradukkan antara fakta dan opini. Bahkan kini peliputan yang dilakukan oleh seorang wartawan tidak bisa dianggap sebagai taken for granted, tidak lagi sekedar cover both sides, tetapi perlu cover all sides.59 Ungkapan dua sisi (both side) dalam jurnalisme menjebak wartawan pada pemikiran bahwa hanya ada dua pihak dalam suatu isu, padahal terkadang terlibat tiga, empat, atau lebih pihak. Sedapatnya wartawan harus menghubungi berbagai pihak (all sides). Berbagai sumber perlu dihubungi untuk melindungi tulisan dari prasangka atau distorsi. Pendekatan multi-sumber ini juga memberikan kredibilitas pada tulisan.60

Konsep objektivitas menjadi salah satu sebab kebingungan terbesar dalam jurnalisme. Makna asli dari pemikiran ini sering disalah pahami oleh sebagian kalangan pers, bahkan hilang. Saat konsep tersebut pertama kali berkembang, objektivitas tidak dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa wartawan bebas dari bias.

57

Reed H. Blake dan Edwin O. Holdsen, Taksonomi Konsep Komunikasi, (Surabaya: Papyrus, 2003), hlm. 61-62

58

Luwi Ishwara, Catatan- catatan Dasar Jurnalisme Dasar (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), hlm. 43-44

59

Kompas dari Belakang ke Depan Menulis Dari Dalam, (Jakarta: Gramediam 2007), hlm. 85-86 60


(51)

Justru sebaliknya. Istilah ini mulai muncul sebagai bagian dari jurnalisme pada awal abad lalu, terutama pada abad 1920-an ketika ia tumbuh dalam suasana dimana wartawan penuh dengan bias seringkali tanpa sadar.61

Disamping itu, adanya pelibatan interpretasi dalam berita membuat berita menjadi kehilangan objektivitasnya. Objektivitas di sini mulai melihat unsur keadilan (fairness) dengan tidak sekedar membawa berita, namun berkembang kearah menjelaskan berita. Sehingga pegangan objektif dengan tidak menampilkan opini wartawan mulai tergeser. Nilai lebih dalam sebuah pemberitaan terletak pada interpretasi atau pemberian makna atas kejadian, maka seorang wartawan harus memiliki kemampuan menilai (judgement). Di sinilah berlaku “objektivitas yang subjektif” sebagaimana dirumuskan De Volder.62

Penggeseran konsep objektivitas dalam pandagan tersebut memunculkan pertanyaan baru. Ketika judgement wartawan dilibatkan dalam sebuah pemberitaan, batasan objektif dan netral tersebut menjadi kabur. Terlebih lagi, jika mengacu pada pandangan bahwa fakta-fakta yang disajikan media kepada khalayak sesungguhnya merupakan realitas tangan kedua (second hand reality), sedangkan realitas pertama (first reality) adalah fakta atau peristiwa itu sendiri, sehingga berita sangat rentan

61

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme diterjemahkan oleh Yusi A., (Jakarta: Yayasan Pantau, 2006), hlm. 88

62

St Sularto, Dari “Sang Pemula” ke “Sang Pengibar Bendera” dalam Kompas: Manulis Dari Dalam (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2007), hlm. 50


(52)

terhadap kemungkinan adanya intervensi maupun manipulasi, meskipun pada tingkatan diksi atau simbolis.63

Apabila dikaitkan dengan pandangan konstrutivisme, media sebagai agen konstruksi, berperan dalam mendefinisikan realitas. Ia mengkonstruksi realitas tersebut berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak. Sehingga media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang.64

Proses pembentukan berita itu sendiri tidak dipandang sebagai ruang yang hampa, netral, dan hanya sebatas menyalurkan informasi. Sebelum menjadi teks berita, terjadi berbagai interaksi yang saling mempengaruhi. Dalam konteks ini, Shoemaker dan Reese menyatakan terdapat lima level yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan, level tersebut meliputi level individu, rutinitas media, intra media, ekstra media, dan ideologi.65 Masing-masing faktor tersebut berpengaruh terhadap presentasi media yang mengakibatkan media massa tidak dapat dikatakan netral.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sejauh manapun media massa mencoba untuk objektif, ia tidak akan mampu mencapainya secara mutlak

63

AS Haris, loc.cit., hlm. 74 64

Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm. 55 65


(53)

karena banyak faktor maupun tekanan yang mengintervensinya. Demikian halnya ketika melihat kasus dugaan korupsi dana haji. Berbagai kepentingan maupun tekanan yang datang pada media massa menjadikannya tidak mampu bersikap netral sepenuhnya.

1.5.2 Kerangka Berpikir

Penelitian ini memilih untuk melakukan penelitian dengan membandingkan dua majalah. Hal ini dilakukan untuk melihat perbedaan cara pandang masing-masing media (majalah) dalam membingkai sebuah realitas yang sama. Seperti telah dibahas dalam tinjauan pustaka bahwa majalah merupakan media cetak dengan karakteristik yang berbeda dengan media harian. Majalah memiliki keunggulan dalam teknis kedalaman analisis beritanya (in depth reporting). Hal ini dikarenakan wartawan majalah memiliki waktu lebih lama dalam menggali fakta di lapangan. Kelebihan tersebut menjadikan nilai lebih yang dimiliki oleh majalah, yang tidak dimiliki media cetak lainnya dalam memberikan laporan pemberitaan mengenai suatu realitas.

Di Indonesia sendiri terdapat beragam majalah. Diantaranya Tempo dan Gatra. Keduanya merupakan majalah berita mingguan ternama di Indonesia. Sebagai

majalah berita, Tempo dan Gatra senantiasa ’peka’ dalam menyajikan peristiwa yang

memiliki news value yang tinggi. Salah satu fenomena yang menarik perhatian media massa adalah kasus dugaan korupsi dana haji. Hangatnya kasus tersebut di ulas antara bulan November – Desember 2010. Tentu saja, Tempo dan Gatra juga mengulas


(54)

fenomena tersebut. Meskipun fenomena yang mereka angkat dalam pemberitaannya sama, namun kedua majalah tersebut membingkai (framing) peristiwa tersebut secara berbeda.

Perbedaan frame pada keduanya terjadi karena masing-masing media memiliki konstruksi pemberitaan tersendiri. Dari perbedaan framing di kedua majalah tersebut, maka akan terlihat secara implisit bagaimana keberpihakan majalah tersebut dan sejauh mana subjektifitas media tersebut dalam melakukan pemberitaannya.

Untuk mengetahui perbedaan frame dalam menyikapi kasus dugaan korupsi dana haji di kedua majalah tersebut, maka peneliti membandingkan pemberitaan yang dilakukan oleh Tempo dan Gatra. Berita-berita yang dimuat dalam majalah tersebut tentang kasus Korupsi dana haji menjadi data kuantitatif yang melandasi peneliti untuk melakukan penelitian dengan menggunakan analisis framing.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini mengamati suatu fakta atau data untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berada dibalik data dan fakta tersebut serta mengamati kecenderungannya. Fakta yang menjadi sasaran penelitian ini adalah teks berita kasus dugaan korupsi dana haji. Teks berita merupakan hasil konstruksi pers atas fakta peristiwa tersebut. Setiap individu termasuk pekerja pers dalam mengkonstruksi


(55)

realitas selalu dipengaruhi pengalaman, preferensi, pendidikan, persepsi, dan lingkungan pergaulan atau relasi sosial tertentu. Dengan demikian, faktor subjektifitas jurnalis dapat mempengaruhi perspektif pers tentang peristiwa konstruktivisme.66

Sedangkan penelitian ini menggunakan framing yang bersifat komparatif kualitatif, bertujuan untuk mengetahui perbandingan bingkai media dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi dana haji yang ada pada majalah Tempo dan Gatra. Peneliti akan mengintrepretasikan data yang dikumpulkan.

1.6.2. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah analisis framing pada pemberitaan kasus korupsi dana haji. Kasus ini merupakan peristiwa yang menyangkut kesejahteraan rakyat, sehingga pemberitaan tentang kasus korupsi dana haji tersebut marak diliput oleh media massa di Indonesia. Namun, berita yang dianalisis dalam penelitian ini hanya difokuskan pada pemberitaan yang terdapat dalam majalah berita mingguan Tempo edisi 6-12 Desember 2010 dan Gatra edisi 18-24 November 2010. Alasan peneliti mengapa memilih edisi tersebut karena pada edisi minggu terakhir pada bulan November 2010 dan awal Desember 2010, kedua majalah tersebut sama-sama menurunkan laporan yang membahas kasus dugaan korupsi dana haji namun dengan pembingkaian yang berbeda.

66


(56)

Untuk Tempo, pemberitaan yang menjadi analisis utama dalam penelitian ini adalah dalam rubrik Laporan Utama dengan judul “Main-main duit haji”. Sedangkan pada majalah Gatra, rubrik yang dianalisis hanya satu berita saja. Berita tersebut

berada dalam rubrik Nasional dengan judul “Melipat ongkos ke rumah Allah”.

1.6.3. Teknik Pengumpulan Data

Metode ilmiah pada hakikatnya ialah penggabungan antara berfikir secara deduktif dengan induktif (Husaini dan Purnomo, 2003: 53). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga teknik untuk mengumpulkan data, yaitu:

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti (Husaini dan Purnomo, 2003: 54). Untuk memperoleh data primer penelitian, observasi dilakukan terhadap berita-berita yang berkaitan dengan kasus korupsi dana haji di majalah Tempo dan Gatra pada periode minggu akhir pada bulan November 2009. Berita-berita mengenai isu terkait yang dimuat sebelum dan sesudah periode tersebut dijadikan data sekunder sebagai tambahan wawasan mengenai isu tersebut.


(57)

Data yang berkaitan dengan landasan teoritis penelitian ini diperoleh dari sumber referensi berupa: buku, diktat, dan catatan lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

1.6.4. Teknik Keabsahan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana data primernya berupa dokumentasi. Dalam bukunya Moleong, teknik keabsahan data yang tepat untuk penelitian dengan data primer dokumentasi, yaitu:

1. Perpanjangan Keikutsertaan

Perpanjangan keikutsertaan dilakukan dengan cara menggunakan waktu yang tersisa dari penelitian secara maksimal. Sisa waktu tersebut diisi dengan melakukan kegiatan membaca, menyeleksi dan menelaah semua data yang telah terkumpul yang bersumber dari berita Korupsi dana haji, ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam penelitian.

2. Ketekunan Pengamatan

Kegiatan yang dilakukan peneliti dengan cara membaca secara intensif dalam mencermati adanya pengaruh kognisi sosial terhadap konstruksi berita dugaan korupsi dana haji di majalah Tempo dan Gatra.67

67


(1)

realitas selalu dipengaruhi pengalaman, preferensi, pendidikan, persepsi, dan lingkungan pergaulan atau relasi sosial tertentu. Dengan demikian, faktor subjektifitas jurnalis dapat mempengaruhi perspektif pers tentang peristiwa konstruktivisme.66

Sedangkan penelitian ini menggunakan framing yang bersifat komparatif kualitatif, bertujuan untuk mengetahui perbandingan bingkai media dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi dana haji yang ada pada majalah Tempo dan Gatra. Peneliti akan mengintrepretasikan data yang dikumpulkan.

1.6.2. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah analisis framing pada pemberitaan kasus korupsi dana haji. Kasus ini merupakan peristiwa yang menyangkut kesejahteraan rakyat, sehingga pemberitaan tentang kasus korupsi dana haji tersebut marak diliput oleh media massa di Indonesia. Namun, berita yang dianalisis dalam penelitian ini hanya difokuskan pada pemberitaan yang terdapat dalam majalah berita mingguan Tempo edisi 6-12 Desember 2010 dan Gatra edisi 18-24 November 2010. Alasan peneliti mengapa memilih edisi tersebut karena pada edisi minggu terakhir pada bulan November 2010 dan awal Desember 2010, kedua majalah tersebut sama-sama menurunkan laporan yang membahas kasus dugaan korupsi dana haji namun dengan pembingkaian yang berbeda.

66


(2)

Untuk Tempo, pemberitaan yang menjadi analisis utama dalam penelitian ini adalah dalam rubrik Laporan Utama dengan judul “Main-main duit haji”. Sedangkan pada majalah Gatra, rubrik yang dianalisis hanya satu berita saja. Berita tersebut

berada dalam rubrik Nasional dengan judul “Melipat ongkos ke rumah Allah”.

1.6.3. Teknik Pengumpulan Data

Metode ilmiah pada hakikatnya ialah penggabungan antara berfikir secara deduktif dengan induktif (Husaini dan Purnomo, 2003: 53). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga teknik untuk mengumpulkan data, yaitu:

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti (Husaini dan Purnomo, 2003: 54). Untuk memperoleh data primer penelitian, observasi dilakukan terhadap berita-berita yang berkaitan dengan kasus korupsi dana haji di majalah Tempo dan Gatra pada periode minggu akhir pada bulan November 2009. Berita-berita mengenai isu terkait yang dimuat sebelum dan sesudah periode tersebut dijadikan data sekunder sebagai tambahan wawasan mengenai isu tersebut.


(3)

Data yang berkaitan dengan landasan teoritis penelitian ini diperoleh dari sumber referensi berupa: buku, diktat, dan catatan lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

1.6.4. Teknik Keabsahan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana data primernya berupa dokumentasi. Dalam bukunya Moleong, teknik keabsahan data yang tepat untuk penelitian dengan data primer dokumentasi, yaitu:

1. Perpanjangan Keikutsertaan

Perpanjangan keikutsertaan dilakukan dengan cara menggunakan waktu yang tersisa dari penelitian secara maksimal. Sisa waktu tersebut diisi dengan melakukan kegiatan membaca, menyeleksi dan menelaah semua data yang telah terkumpul yang bersumber dari berita Korupsi dana haji, ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam penelitian.

2. Ketekunan Pengamatan

Kegiatan yang dilakukan peneliti dengan cara membaca secara intensif dalam mencermati adanya pengaruh kognisi sosial terhadap konstruksi berita dugaan korupsi dana haji di majalah Tempo dan Gatra.67

67


(4)

Dalam penelitian ini, yang menjadi sumber data primer adalah dokumentasi teks, yakni teks-teks berita tentang kasus korupsi dana haji yang terdapat pada majalah Tempo dan Gatra yang terlibat dalam penelitian laporan kasus korupsi dana haji. Sedangkan yang menjadi data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku acuan yang relevan dan informasi-informasi yang ada melalui browsing internet.

1.6.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian komparatif kualitatif, dengan bertujuan untuk mengetahui bingkai media dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi dana haji yang ada pada media Tempo dan Gatra, lalu memberi gambaran akan bingkai media pada media kedua tersebut, serta pada akhirnya membandingkannya antara satu dengan yang lain. Dan terperinci lagi, penelitian ini juga menggunakan analisis framing Robert N. Entman. Alasan peneliti memilih model framing tersebut dikarenakan konsep framing ini mampu menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas yang dilakukan oleh media. Framing Entman mampu memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan/dianggap penting oleh pembuat teks. Disamping itu, framing Entman dinilai peneliti sesuai untuk menganalisis teks berita pada majalah mingguan dengan kategori penelitian features news.68

68

Menurut Santana (2005) features news adalah jenis tulisan dengan cara penggambaran yang hidup. Pembaca diajak mengenali persoalan dengan enteng, mengalir, dan tidak ruwet. Tiap soal dijelaskan melalui peristiwa. Peristiwa demi peristiwa yang menjalin kisah membingkai tema besar kemanusiaan.


(5)

Perangkat framing yang digunakan dalam analisis framing Entman dibagi dalam dua dimensi besar, yakni seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu.69 Dalam pendekatan framing ini, peneliti akan membantu struktur analisis penelitian menjadi empat bagian sesuai dengan model analisis framing yang dikemukakan oleh Entman70, yaitu:

1. Define problems (pendefinisian masalah),

2. Diagnose causes/causal identification (memperkirakan masalah atau sumber masalah),

3. Make moral judgement (membuat keputusan moral), 4. Treatment recommendation (menekankan penyelesaian)

Untuk lebih memahami bagian-bagian dalam analisis framing Entman, dapat dilihat penjelasannya melalui table 3.1.

Tabel 3.1.

Struktur Analisis Framing Entman

Struktur Unit yang Diamati

Define problems - Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat? - Sebagai apa?

69

Eriyanto, op.cit., hlm.186 70


(6)

- Atau sebagai masalah apa? Diagnose

causes/causal identification

- Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa?

- Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah?

- Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah?

make moral

judgement

- Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelskan masalah?

- Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan?

Treatment recommendation

- Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu?

- Jalan apa yang ditawarkan dan harus

ditempuh untuk mengatasi masalah? Sumber: Eriyanto (2005), Analisis Framing