Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebelum percetakan ditemukan, masyarakat mengandalkan komunikasi dengan menggunakan pendengaran. Secara emosional dan interpersonal, hubungan yang terjalin diantara mereka juga akrab. Akan tetapi, kehadiran media cetak mengubah kondisi ini. Semenjak ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg, indera penglihatan menjadi dominan dalam komunikasi. Awalnya adalah kata yang dicetak pada halaman kertas. Inilah peristiwa yang mengubah Eropa dari abad ke- 15 dan melahirkan komunikasi massa melalui penyebaran informasi atau apa yang kini disebut sebagai berita. Apabila menengok sejarah sosial 1, perkembangan media massa dari masa ke masa mengalami transformasi yang dinamis. Kehadiran media yang berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi mengalami pergeseran fungsi sesuai dengan dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi ditengah masyarakat pada waktu itu. Tahun 1534 2 misalnya, kaum protestan di Perancis telah memanfaatkan pers untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan mereka yang beraroma agama. Lembaran kertas 1 Asa Briggs dan Peter Burke, Sejarah Sosial Media, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006 untuk lebih memahami bagaimana sejarah perkembangan media dari waktu ke waktu. 2 Ibid., hlm 104 dan plakat yang menyerang massa Katolik dicetak di Swiss dan diselundupkan di Perancis untuk disebarkan ditempat umum sebagai wadah misionaris kaum Protestan melawan otoritas kaum Katolik. Perkembangan selanjutnya, pers yang semula menjadi alat misionaris dan perang agama kaum Protestan, beralih menjadi media perjuangan. Media kembali terlibat dalam terjadinya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Hal serupa juga terlihat dalam Revolusi Amerika yang terjadi pada tahun 1776. Sebab, kemerdekaan Amerika diberitakan tidak saja oleh pamflet, tetapi juga oleh surat kabar. Tanpa surat kabar, Revolusi Amerika tidak akan pernah berhasil. 3 Selanjutnya, komunikasi mengalami masa yang disebut sebagai revolusi percetakan. Salah satu akibat penting lain dari penemuan percetakan adalah terlibatnya para pengusaha secara lebih intens dalam proses penyebarluasan ilmu pengetahuan. Penggunaan media ini mendorong bertambahnya kesadaran tentang kepentingan publisitas, baik yang bersifat ekonomi maupun politik. Media cetak menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari pada abad ke- 18. Mulai dari surat kabar harian, mingguan, dua mingguan, diperkuat lagi bulananberkala dan majalah. Dampaknya, kehadiran media cetak tersebut telah memperluas wawasan para pembaca dan menjadikan orang sadar akan apa yang tidak mereka ketahui. Media cetak ini juga sekaligus menyumbang pada timbulnya opini publik. 3 Ibid., hlm 119 Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan media massa semakin dinamis. Apalagi ditunjang dengan pesatnya kemajuan teknologi. Kehadiran media massa semakin tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia modern. Sebab, media massa mampu menjawab kebutuhan informasi manusia modern. Kebutuhan ini yang dinilai kalangan tertentu entah itu pemerintah, pemilik media, ataupun pemegang kebijakan berpotensi ganda. Pers memang menggoda. Harus diakui, netralitas pers masih menyisakan problem pelik yang hingga kini belum mendapat sebuah jawaban yang memuaskan. Banyak kalangan menilai media massa bukan sebuah lembaga yang independen jika dilihat dari pemberitaannya. Semua berita akan berpengaruh oleh banyak hal di dalam dan di luar media massa itu sendiri. Apalagi jika ditambah dengan level yang lain, yakni kemalasan reporter untuk melakukan investigasi ke lapangan individual level. Pers seharusnya tidak lagi menyajikan laporan-laporan berita yang sekedar berdasarkan realitas psikologis, akan tetapi berdasarkan realitas sosiologis. 4 Shoemaker dan Reese 1996 pernah melihat mengapa media massa bisa mempunyai perbedaan dan persamaan dalam liputannya. Ada beberapa tahap yang mempengaruhinya; 1 4 Deddy Mulyana, Komunikasi Populer: Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer, Bandung: Pustaka Bani Quraisy,2004, hlm. 172 menjelaskan realitas psikologis merupakan pendapat dan pandangan orang-orang. Sedangkan realitas sosiologis melakukan investigasi langsung di lapangan dan mencari informasi dari nara sumber yang terlibat langsung disana. individual level, 2 media routine level, 3 organizational level, 4 extramedia level, dan 5 ideological level. 5 Peristiwa sama digambarkan berbeda memang jamak ditemukan dalam pemberitaan media. Hal ini tergantung dari politik media, seperti keberpihakan terhadap kelompok tertentu dalam membingkai framing berita. Framing disini berbicara tentang seleksi isu yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wacana. Menurut teori framing, dalam wacana berlangsung proses pemilihan fakta mana yang mau diangkat, fakta mana yang mau disembunyikan, atau fakta mana yang dihilangkan sama sekali. Wacana menurut framing terdiri dari sejumlah komponen yang diisi dengan fakta-fakta yang sudah melalui tahapan pilihan itu. Konsep framing inilah yang bisa digunakan oleh media massa dalam melakukan konstruksi pemberitaannya. Tak terkecuali yang dilakukan oleh berbagai media cetak yang beredar di tanah air. Mulai dari surat kabar, tabloid, hingga majalah. Surat kabar adalah media yang paling konvensional sekaligus paling tua dibandingkan jenis media cetak harian yang selalu menghadirkan berita-berita aktual. Oleh karena itu sifatnya harian, menyebabkan isi pemberitaannya terbatas hanya berupa pemaparan fakta. Berbeda dengan tabloid dan majalah. Periode terbit keduanya relatif lebih lama dibandingkan dengan surat kabar. Sehingga media tersebut memiliki cukup waktu untuk mengulas dan menganalisis berita lebih 5 “Hierarrchy of Influence” Shoemaker Reese dalam Alex Sobur, Analisis Teks Media Bandung; Remaja Rosdakarya, 2002 hlm. 138. mendalam in depth coverage. Hal ini yang menjadikan pemberitaan yang tersaji di tabloid dan majalah memiliki kekuatan pada framingnya dan menjadi selling point yang dimiliki oleh keduanya. Sebab, kehadiran kedua media tersebut mampu melengkapi apa yang tidak ada di surat kabar. Apabila dibandingkan antara tabloid dengan majalah, pemberitaan yang diulas dalam tabloid mayoritas berita-berita ringan yang sensasional. Tengok saja tabloid- tabloid yang beredar di Indonesia. Kebanyakan target segmennya dikhususkan untuk kaum hawa, seperti: tabloid Nyata, Nova, Mamamia, Realita, dan sebagainya. Berbeda dengan majalah. Majalah sangat memperhatikan gaya bahasanya. Tema- tema yang dipilih berita majalah dilaporkan secara mendalam dan tuntas pun diseleksi dengan seksama. Tampilannya juga lebih eksklusif dibandingkan dengan tabloid. Inilah nilai lebih yang ditawarkan oleh majalah. Mendesain majalah membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan mendesain surat kabar. Lamanya persiapan dan kualitas cetak yang lebih membuat para pembacanya harus membayar sedikit mahal atas nilai lebih yang dihadirkan oleh sebuah majalah dan harus menunggu lama kehadirannya. Hal ini dikarenakan periode terbit majalah biasanya mingguan, dwimingguan, atau bulanan. Di Indonesia sendiri terdapat beragam majalah, salah satunya adalah majalah berita. Rating tertinggi untuk majalah berita di Indonesia saat ini masih dipegang oleh majalah Tempo. 6 Sedangkan pada urutan kedua terdapat majalah Gatra. Kedua majalah ini sukses mengaet khalayak di karenakan memiliki karakter yang kuat dan khas dalam menyajikan setiap laporannya. Antara Tempo dan Gatra tentunya memiliki perbedaan gaya bahasa dan peliputan sesuai dengan target segmennya masing-masing serta bagaimana keduanya membingkai framing sebuah peristiwa. Perbedaan framing di masing-masing majalah inilah yang membuat keduanya memiliki pandangan tersendiri dalam menyikapi sebuah realitas. Bahkan untuk realitas yang sama sekalipun. Peneliti memilih kedua media tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa kedua majalah ini merupakan dua media massa besar di Indonesia yang terbitnya sama-sama mingguan dan memuat berita berkaitan tentang korupsi dana haji, sehingga memungkinkan bila konstruksi yang dibangun oleh kedua media massa tersebut akan mempengaruhi konstruksi yang dibangun dalam pikiran besar pembacanya. Maraknya kasus dugaan korupsi dana haji di lembaga Negara yang dimuat dalam media massa, tentunya mengundang pertanyaan tentang apa yang sebenarnya menjadi pokok pembahasan dalam dugaan korupsi dana haji. Sebagai majalah berita mingguan, Tempo dan Gatra tentu tidak melewatkan kasus tersebut dalam 6 Menurut riset Survey Research Indonesia, Media Index 1999, Tempo merupakan majalah berita mingguan dengan sirkulasi terbesar lebih dari 65 ribu exemplarminggu dibandingkan 4 majalah lainnya, yaitu: Gatra, Forum, Panji Masyarakat, dan Gamma. Lihat ulasan Coen Husain Pontoh dengan judul Konflik Nan Tak Kunjung Padam dalam Jurnalisme Sastrawi, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008, hlm. 131 pemberitaannya. Bahkan kejadian ini dijadikan headline utama pada majalah Tempo 6- 12 Desember 2010 dengan judul “Main-main duit haji “. Berbeda dengan majalah Gatra yang terbit pada tanggal 18-24 November 2010. Gatra juga mengulas berita tentang kasus dugaan korupsi dana haji ini dengan mengambil judul “Melipat ongkos ke rumah Allah”. Hanya saja, Gatra tidak menjadikan kasus tersebut sebagai headline berita. 7 Porsi pemberitaan yang diberikan oleh kedua majalah tersebut juga berbeda. Tempo mengulasnya sebagai laporan utama hingga mencapai 8 halaman. 8 Sedangkan Gatra memasukkannya dalam rubrik Nasional dengan jumlah halaman berita sebanyak 2 halaman saja. Tentu saja pembingkaian yang dilakukan oleh media, termasuk juga majalah Tempo dan Gatra, tentang dugaan korupsi dana haji bisa mempunyai dampak pada cara anggota audiensi akhirnya menafsirkan sebuah isu. 9 Ekspos berlebihan yang dilakukan oleh media terhadap peristiwa yang bernuansa Korupsi dan penyelewengan dana ini akan memberikan dampak yang berlebihan juga di kalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan media menyikapi keberadaan kasus tersebut dengan beragam bingkai dalam pemberitaannya. Semuanya tergantung dari sudut pandang media terhadap realitas tersebut dan bagaimana mereka membingkainya. Sebab, media bukanlah 7 Headline majalah Gatra pada edisi 18-24 November 2010 adalah “memainkan kasus gayus”, bukan tentang kasus korupsi dana haji. Sedangkan pembahasan kasus korupsi dana haji masuk dalam rubrik Nasional dan terletak di halaman agak akhir, yakni halaman 94-95. 8 Mulai dari editorial Tempo, gambar karikatur, hingga surat pembaca yang dimuat juga membahas masalah kasus korupsi dana haji. Sedangkan berita tentang kasus korupsi dana haji ini dibahas dalam rubrik Laporan Utama mulai dari halaman 26-32. 9 Wanner J. Severin dan James W. Tankard, Jr dalam Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, edisi kelima Jakarta: Kencana, 2005 hlm. 333 saluran yang bebas. Media bukanlah seperti yang digambarkan, memberitakan apa adanya, cermin dari realitas. Media seperti yang kita lihat justru mengkonstruksi sedemikian rupa realitas. Semua kenyataan ini menyadarkan kita betapa subjektifnya media. 10 Perbedaan cara pandang kedua majalah ini muncul tergantung dari Frame .11 Berpijak pada fenomena tersebut, perlu dianalisis bagaimanakah framing majalah Tempo dan Gatra dalam kontruksinya terhadap pemberitaan kasus dugaan korupsi dana haji. Tempo dan Gatra merupakan dua majalah mingguan yang sengaja dipilih dalam penelitian ini karena kedua majalah tersebut sama-sama memberitakan kasus dugaan korupsi dana haji pada edisi bulan November 2010. Meskipun sama- sama memberitakan kasus dugaan korupsi dana haji, namun keduanya memiliki bingkai yang berbeda dalam melihat kasus dugaan korupsi dana haji. Disamping itu, periode terbit keduanya juga sama-sama mingguan, sehingga apabila ke dalam isi pemberitaannya dibandingkan akan setara. Penggunaan analisis framing dalam penelitian ini sangat dinilai peneliti sangat sesuai untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Atau dengan kata lain, dengan cara dan teknik peristiwa kasus dugaan korupsi dana haji ditekankan 10 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media Yogyakarta: LKiS, 2005 hlm. 2 11 Frame bingkai didefinisikan sebagai gagasan pengaturan pusat untuk isi berita yang memberitakn konteks dan mengajukan isu melalui penggunaan pilihan, penekanan, pengecualian, dan pemerincian. Lihat Wanner J. Severin dan James W. Tankard, Jr., op.cit,. hlm. 332. Sedangkan Goffman 1974 mengembangkan konsep frame sebagai kepingan- kepingan perilaku strips of behavior yang membimbing individu dalam membaca realitas. Lihat Alex Sobur, op. cit, hlm 162. dan ditonjolkan dalam pemberitaan di majalah Tempo dan Gatra. 12 Apakah kasus dugaan korupsi dana haji ini ditulis secara panjang atau pendek dan apakah ditempatkan di halaman pertama atau tidak. 13 Disamping itu, analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas peristiwa, aktor, kelompok, atau siapa saja dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. 14 Dibandingkan teknik analisis teks media yang lainnya, framing memiliki kelebihan dalam menganalisis bagaimana media mengemas sebuah berita. Hal ini dikarenakan tiga alasan, yaitu: pertama, framing yang dilakukan media akan menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek yang lain. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, ada aspek lain yang tidak mendapat perhatian yang memadai. Kedua, framing yang dilakukan oleh media akan menampilkan sisi tertentu dan melupakan sisi yang lain. Dengan menampilkan sisi tertentu dalam berita, ada sisi lain yang terlupakan, menyebabkan aspek lain yang penting dalam memahami realitas tidak mendapat liputan dalam berita. Ketiga, framing yang dilakukan media akan menampilkan aktor tertentu dan menyembunyikan aktor yang lain. Efek yang segera terlihat dalam pemberitaan yang 12 Eriyanto, op. cit., hlm 3. 13 Eriyanto, op. cit., hlm 24. 14 Eriyanto, op. cit., hlm 3. memfokuskan pada satu pihak, menyebabkan pihak lain yang mungkin relevan dalam pemberitaan menjadi tersembunyi. 15 Berdasarkan efek framing tersebut dengan tetap pada koridor kualitatif sebagai metode penelitian, peneliti tidak bermaksud membuktikan teori framing secara deduktif, melainkan ingin melakukan sebuah penggalian eksplorasi terhadap cara pandang media dalam melihat sebuah peristiwa dan bagaimana cara pandang itu tertuang dalam berita. Sementara metode lainnya, seperti analisis wacana dan analisis isi kurang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Analisis wacana walaupun juga menganalisis bahasa sebagai bagian dari teks, namun bukan merupakan studi komparasi dimana hal ini menjadi ciri khas analisis framing untuk melihat perbedaan bingkai. Sedangkan metode analisis isi tidak dapat menjawab bagaimana realitas itu dikonstruksi media karena analisis isi menekankan makna adalah hasil transmisi. Analisis isi justru menekankan pada negosiasi yang berarti memisahkan teks dan peneliti. Dengan demikian, tipe riset yang hendak dilakukan adalah melihat bagaimana pesan dibentuk analisis frame media, tidak mengungkapkan bagaimana pesan diterima analisis frame khalayak. Disamping itu, dengan menggunakan analisis framing akan semakin memperlihatkan bingkai suatu media apabila bingkai tersebut telah dibandingkan dengan bingkai media lain sehingga perbedaan-perbedaannya dapat terlihat dengan 15 AG. Eka Wenats Wuryanta yang dikutip dalam blog pribadinya, http:ekawenats.blogspot.com200612priming-framing-agenda-setting.htm. Diakses tanggal 7 Desember 2010. jelas nantinya. Pada penelitian ini peneliti juga ingin mengetahui perbandingan bingkai media pada pemberitaan tentang kasus dugaan korupsi dana haji pada majalah Tempo dan Gatra.

1.2 Perumusan Masalah