sisi  komunikator  dan  sisi  penerima.  Dalam  hal  ini,  penerima  akan  memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan.
29
Dengan  pendekatan  konstruksionis,  berita  buka  refleksi  dari  realitas  dan hanyalah  konstruksi  dari  realitas.  Berita  tidak  mungkin  merupakan  cermin  dan
refleksi  dari  realitas.  Hasil  kerja  jurnalistik  tidak  bisa  dinilai  dengan  menggunakan standar  yang  rigid  karena  ia  merupakan  pemaknaan  atas  realitas.  Pemaknaan
seseorang  atas  suatu  realitas  bisa  jadi  berbeda  dengan  orang  lain  yang  tentunya menghasilkan realitas yang berbeda pula.
30
Adapun  tujuan  dalam  penelitian  dengan  paradigma  kontruksionis  adalah untuk  mengkonstruksi  realitas  sosial  karena  tidak  ada  realitas  yang  dalam  riil  yang
seolah-olah  ada  sebelum  peneliti  mendekatinya.  Realitas  sosial  tergantung  pada bagaimana  seseorang  memahami  dunia  dan  menafsirkannya.  Dalam  pandangan  ini
peneliti  berperan  sebagai  fasilitator  yang  menjembatani  keragaman  subjektivitas sosial.
31
Oleh karena itu, penjabaran tentang paradigma dalam penelitian ini menjadi penting  karena  berfungsi  untuk  memahami  paradigma  dasar  sebagai  acuan  berfikir
bagi peneliti.
1.5.1.4. Konstruksi Media Atas Realitas
29
Ibid., hlm. 41
30
Ibid., hlm. 19-27
31
Ibid., hlm. 44-50
Menurut  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia  yang  dimaksud  dengan  konstruksi adalah  susupan  model,  tata  letak  suatu  bangunan  jembatan,  rumah,  dan
sebagainya.  Apabila  digunakan  dalam  kalimat,  konstruksi  bermakna  lingkaran susunan dan hubungan kata dalam kalimat atau kelompok  kata.
32
Dengan demikian, konstruksi  merupakan  upaya  penyusunan  beberapa  peristiwa,  keadaan,  atau  benda
secara  sistematis  menjadi  sesuatu  yang  bermakna.  Sedangkan  realitas  adalah peristiwa, keadaan, benda.
33
Berger sendiri membedakan tiga jenis realitas, yaitu: realitas objektif, realitas simbolis sosial, dan realitas sujektif sosial. Realitas objektif merupakan realitas yang
terbentuk  dari  pengalaman  di  dunia  objektif  yang  berada  di  luar  diri  individu  dan dianggap  sebagai  kenyataan.  Lain  halnya  dengan  realitas  simbolis  sosial  yang
diartikannya  sebagai  ekspresi  simbolik  dari  realitas  objektif  dalam  berbagai  bentuk termasuk isu media. Sedangkan realitas subjektif sosial adalah realitas yang terbentuk
akibat  proses  penyerapan  kembali  realitas  obyektif  dan  simbolik  ke  dalam  individu melalui proses internalisasi. Berpijak pada pembagian makna realitas tersebut, apabila
dikaitkan dengan media, tentu saja pers berperan dalam membentuk realitas subjektif dengan  memproduksi  realitas  simbolik  atas  berbagai  fakta  peristiwa  atau  realitas
dengan menggunakan bahasa.
32
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3, op.cit
33
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Jakarta: Granit, 2004, hlm. 11
Apabila  digabungkan  keduanya,  maka  konstruksi  realitas  bermakna  sebagai pengaturan  kata-kata  membentuk  frase,  klausa,  atau  kalimat  yang  bermakna  untuk
menjelaskan  atau  menggambarkan  suatu  kualitas  atau  keadaan  aktual,  benar,  atau nyata. Dengan kata lain, konstruksi realitas yang terjadi pada media cetak merupakan
pengaturan  kata-kata  membentuk  frase,  klausa,  kalimat  yang  bermakna  untuk menjelaskan  atau  menggambarkan  suatu  kualitas  atau  keadaan  aktual,  benar,  atau
nyata  dan  dipublikasikan  di  media  cetak.  Mengenai  realitas,  makna  yang  dimaksud disini adalah fakta peristiwa.
Tentang  proses  konstruksi  realitas,  prinsipnya  setiap  upaya  “menceritakan” konseptualisasi sebuah peristiwa, keadaan, atau benda adalah usaha mengkonstruksi
realitas. Hal ini dikarenakan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan  peristiwa-peristiwa,  maka  kesibukan  utama  media  massa  adalah
mengkonstrusi  berbagai  realitas  yang  akan  disiarkan.  Media  menyusun  realitas  dari berbagai  peristiwa  yang  terjadi  hingga  menjadi  cerita  atau  wacana  yang  bermakna.
Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian, seluruh isi
media  tiada  lain  adalah  realitas  yang  telah  dikonstruksi  dalam  bentuk  wacana  yang bermakna.
34
Dalam  proses  konstruksi  realitas,  bahasa  adalah  unsur  utama.  Sebab,  bahasa merupakan  instrumen  pokok  untuk  menceritakan  realitas.  Bahasa  adalah
34
Ibid., hlm. 11
konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun  ilmu  pengetahuan  tanpa  bahasa.  Selanjutnya,  penggunaan  bahasa  simbol
tertentu menentukan format narasi dan makna tertentu, entah itu dalam bentuk verbal maupun non-verbal.
35
Sesuatu yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang  beragam.  Ada  lima  faktor  yang  mempengaruhi  pengambilan  keputusan  dalam
ruang  pemberitaan.
36
Pertama,  faktor  individual  individual  media  workers.  Faktor ini berhubungan dengan latar belakang personal dan profesional dari para pekerja dan
pengelola  media,  yang  sanggup  mempengaruhi  pemberitaan  yang  akan  ditampilkan kepada  khalayak.  Kedua,  level  rutinitas  media  media  routine.  Rutinitas  media
berhubungan  dengan  mekanisme  dan  proses  penentuan  berita.  Termasuk  kegiatan penyeleksian,  tenggat  deadline,  keterbatasan  tempat  space,  piramida  terbalik
dalam  penulisan  berita  maupun  kepercayaan  terhadap  sumber  resmi  dalam  berita yang  dihasilkan.  Ketiga,  level  organisasi.  Level  organisasi  berhubungan  dengan
struktur  organisasi  yang  secara  hipotetik  mempengaruhi  pemberitaan.  Pengelola media,  wartawan,  redaksional  dan  siapa  saja  yang  ada  dalam  organisasional  media,
masing-masing  komponen  itu  bisa  jadi  mempunyai  kepentingan  sendiri-sendiri. Sehingga punya peran dalam mempengaruhi hasil berita yang disiarkan.
35
Ibid., hlm. 12
36
Shoemaker  Reese dalam Alex Sobur, op.cit., 63-251
Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di  luar  media.  Meskipun  berada  di  luar  organisasi  media,  hal-hal  di  luar  organisasi
media ini sedikit banyak mempengaruhi pemberitaan media. Faktor ini meliputi lobi dari  kelompok  kepentingan  terhadap  isi  media,  seperti  masyarakat  norma  sosial,
praktisi  media,  pemerintah  dan  lain  sebagainya.  Kelima,  level  ideologi.  Ideologi diartikan  sebagai  kerangka  berfikir  atau  kerangka  referensi  tertentu  yang  dipakai
individu  untuk  melihat  realitas  dan  bagaimana  mereka  menghadapinya.  Level ideologi  abstrak,  ini  berhubungan  dengan  konsepsi  atau  posisi  seseorang  dalam
menafsirkan realitas. Dan lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 1
Model Hierarchy of Influence
Tingkat Ideologi Tingkat Ekstramedia
Tingkat Organisasi Tingkat Rutinitas Media
Tingkat Individu
Sumber : Shoemaker dan Reese. 1996: 64
Dalam menentukan sebuah isi pemberitaan, redaksi sebuah media massa akan dipengaruhi  oleh  level-level  tertentu,  seperti  level-level  yang  telah  diuraikan  diatas.
Yaitu  pertama,  level  pada  lingkup  yang  paling  mikro,  adalah  level  individual
kebijakan redaksi dipengaruhi latar belakang individual dari para awak redaksi. Level ini beranggapan bahwa kebijakan isi media dipengaruhi background dan karakteristik
penulis  berita,  seperti  etnik,  gender,  orientasi  seksual,  pendidikan  dan  termasuk diantaranya  juga  adalah  tingkat  pemahaman  penulis  terhadap  suatu  permasalahan
yang dijadikan berita dan tingkat emosi pada saat berita itu diterbitkan atau disiarkan. Lalu sikap personal, nilai-nilai dan kepercayaan, seperti sikap politik, orientasi agama
dan sebagainya. Kedua,  yang  mempengaruhi  kebijakan  redaksi  dalam  menentukan  isi
pemberitaan  adalah  level  rutinitas  media.  Level  ini  menguraikan  isi  pemberitaan dipengaruhi  regulasi  internal  mengenai  batasan-batasan  peristiwa  yang  dijadikan
berita dan termasuk juga adalah karakter media dalam menulis berita. Ketiga,  level  organisasi.  Faktor  organisasi  juga  mempengaruhi  isi
pemberitaan,  seperti  struktur  organisasi,  independent-  ownership  atau  cross- ownership,  dan  juga  budaya  kerja.  Budaya  kerja  yang  berkembang  dalam  sebuah
organisasi akan mempengaruhi semua hasil yang dicapai organisasi tersebut. Begitu- pun  dalam  media  massa,  isi  pemberitaan  media  akan  dipengaruhi  oleh  rutinitas
organisasi media itu sendiri. Keempat, level ekstramedia. Selain faktor internal media, kondisi di luar juga
mempengaruhi isi media. Misalnya, keadaan sosial, nilai-nilai sosial masyarakatnya, politik dan budaya yang berkembang dimana media itu ada, sumber berita, organisasi
media  yang  lain,  audiens,  kebijakan  pemerintah.  Semua  itu  akan  mempengaruhi  isi
media  saat  akan  disampaikan.  Selain  itu,  pada  level  ini,  media  juga  akan mempertimbangkan  sumber  penghasilannya  orientasi  pasar.  Apakah  dengan  isi
berita seperti itu akan meningkatkan pendapatan media. Kelima, level ideologi. Level dipandang dari level yang makro yaitu ideologi,
seperti  pemetaan  ideologi  sphere  of  deviance,  sphere  of  legitimate  controversy  and sphere  of  consensus,  visi  misi  organisasi.  Ideologi  disini  diartikan  mekanisme
simbolik  yang  menyediakan  kekuatan  kohesif  yang  mempersatukan  didalam masyarakat.  Level  ini  menjadi  salah  satu  penentu  isi  pemberitaan  media  massa.
Karena  level  ini  berangkat  dari  kerangka  berfikir  atau  kerangka  referensi  tertentu yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.
Meski  nilai  abstrak,  level  ini  bisa  dikatakan  penentu  dari  level-level  sebelumnya. Karena  ideologi  sebuah  media  atau  pimpinan  tertinggi  dalam  media  itu  akan
mempengaruhi  seluruh  level-level  lainnya.  Misalnya  level  rutinitas  media,  rutinitas dalam  media  akan  dipengaruhi  oleh  level  individual,  dalam  level  individu  ini  yang
paling berpengaruh adalah ideologi dari individu itu sendiri.
37
Lebih  jauh  lagi,  terutama  dalam  media  massa,  keberadaan  bahasa  tidak  lagi sebagai  alat  semata  untuk  menggambarkan  sebuah  realitas,  melainkan  bisa
menentukan  gambaran  makna  citra  mengenai  suatu  realitas  media  yang  akan muncul  di  benak  khalayak.  Terdapat  berbagai  cara  media  massa  mempengaruhi
bahasa  dan  makna  ini:  mengembangkan  kata-kata  baru  beserta  makna  asosiatifnya,
37
Alex Sobur, op.cit., hlm. 138-139
memperluas makna dari istilah-istilah yang ada, mengganti makna lama sebuah istilah dengan  makna  baru,  memantapkan  konvensi  makna  yang  telah  ada  dalam  suatu
sistem bahasa.
38
Penggunaan  bahasa  tertentu  dengan  demikian  berimplikasi  pada  bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya, pilihan kata cara penyajian suatu
realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini bahkan bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi
sealigus dapat menciptakan realitas.
39
Menurut  Giles  dan  Wielmann,  bahasa  teks  mampu  menentukan  konteks, bukan  sebaliknya,  teks  menyesuaikan  diri  dengan  konteks.  Dengan  begitu,  lewat
bahasa  yang  dipakainya  melalui  pilihan  kata  dan  cara  penyajian  sesorang  bisa mempengaruhi  orang  lain    menunjukkan  kekuasaannya.  Melalui  teks  yang
dibuatnya, ia dapat memanipulasi konteks. Dalam banyak kasus, kelompok-kelompok yang  memiliki  kekuasaan  umumnya  sangat  berkepentingan  dengan  pengendalian
makna  di  tengah  pergaulan  sosial  dimana  media  massa  merupakan  alat  Bantu  yang ampuh. Untuk kasus Indonesia misalnya, betapa kita telah menyaksikan pengendalian
bahasa secara sistematis oleh penguasa Orde Baru.
40
Oleh  karena  elemen  dasar  seluruh  isi  media  massa  adalah  bahasa,  dengan demikian, bahasa adalah nyawa kehidupan media massa. Hanya melalui bahasa para
38
Ibnu Hamad, loc.cit., hlm 11
39
Ibid, hlm. 13
40
Ibid., hlm. 14
pekerja  media  bisa  menghadirkan  hasil  reportasenya  kepada  khalayak.  Setiap  hari, para  pekerja  media  memanfaatkan  dalam  menyajikan  berbagai  realitas  peristiwa,
keadaan,  benda  kepada  publik.  Dengan  bahasa  secara  massif,  mereka  menentukan gambaran beragam realitas ke dalam benak masyarakat.
41
Namun,  dikarenakan  adanya  tuntunan  teknis  seperti  keterbatasan  kolom  dan halaman pada media cetak, jarang ada media yang membuat berita sebuah peristiwa
secara  utuh  mulai  dari  menit  pertama  hingga  ke  menit  terakhir.  Atas  nama  kaidah jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar, dan rumit, dicoba “disederhanakan” melalui
mekanisme  pembingkaian  framing  fakta-fakta  dalam  bentuk  berita  sehingga  layak terbit atau layak tayang.
Untuk kepentingan pemberitaan tersebut, komunikator massa seringkali hanya menyoroti  hal-
hal  yang  “penting”    dari  sebuah  peristiwa.  Dari  segi  ini  saja,  mulai dapat  ditebak  kearah  mana  pembentukan  farmasi  sebuah  berita.  Ditambah  pula
dengan berbagai kepentingan, maka konstruksi realitas politik sangat ditentukan oleh siapa  yang  memiliki  kepentingan  dengan  suatu  berita.  Kepentingan  itu  bisa  dimiliki
oleh media atau pihak yang memiliki relasi khusus dengan media tersebut.
42
Pembuatan  frame  itu  sendiri  didasarkan  atas  berbagai  kepentingan  internal maupun eksternal media, baik teknis, ekonomis, politis, ataupun ideologis. Sehingga
pembuatan  sebuah  wacana  tidak  saja  mengindikasikan  adanya  kepentingan-
41
Ibid., hlm. 15
42
Ibid., hlm. 21
kepentingan  itu,  tetapi  juga  bisa  mengarahkan  hendak  dibawa  kemana  isu  yang diangkat  dalam  wacana  tersebut.  Adapun  cara  membentuk  wacana  di  media  massa
adalah  dengan  mengemas  packaging  realitas  ke  dalam  sebuah  struktur  sehingga sebuah  isu  mempunyai  makna.  Di  dalamnya  terhimpun  sejumlah  fakta  pilihan  yang
diperlakukan  sedemikian  rupa  atas  dasar  frame  tertentu  sehingga  ada  fakta  yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk satu urutan cerita
yang  mempunyai  makna.  Setiap  kemasan  wacana  itu  memiliki  struktur  internalnya sendiri dengan sebuah gagasan inti atau frame di dalamnya.
43
Pada dasarnya terdapat banyak faktor yang turut mempengaruhi pembentukan realitas media, baik itu eksternal maupun internal. Ketika faktor kapital telah menjadi
unsur yang esensial, proses kontruksi realitas pun diselaraskan dengan pertimbangan- pertimbangan  modal.  Inilah  yang  menyebabkan  konstruksi  realitas  lazim  dilakukan
sedemikian  rupa  bila  menyangkut  kasus  yang  akan  merugikan  usaha  atau  relasi mereka. Wujud lain dari faktor ekonomi yang berpengaruh atas penampilan isi media
adalah  khalayak  dan  pengiklan.  Pelaporan  sebuah  peristiwa  jelas  harus memperhitungkan  pasar.  Semakin  baik  pelaporan  reportase  akan  semakin  banyak
khalayak  yang  mengkonsumsi  dan  secara  otomatis  pengiklan  pun  cenderung  akan bertambah.
Sebagai  makhluk  sosial,  seorang  wartawan  juga  mempunyai  sikap,  nilai, kepercayaan, dan orientasi tertentu dalam politik, agama, ideologi, dan aliran dimana
43
Ibid., hlm. 22
semua komponen itu berpengaruh terhadap hasil kerjanya media content, sehingga kerapkali  media  tersebut  terlibat  dalam  sebuah  hegemoni  politik,  budaya,  atau
ideologi.  Selain  itu,  latar  belakang  pendidikan,  jenis  kelamin,  etnisitas,  turut  pula mempengaruhi wartawan dalam mengkonstruksi realitas.
44
Pembahasan  konstruksi  media  terhadap  realitas  ini  untuk  memahami bagaimana  media  massa  dalam  melakukan  konstruksi  dalam  pemberitaannya
senantiasa  berbeda-beda.  Hal  ini  berkaitan  erat  untuk  memahami  mengapa  media melakukan  pembingkaian  sedemikian  rupa  dalam  realitas  kasus  korupsi  dana  haji
yang menjadi fokus pembahasan.
1.5.1.5. Teori Agenda Setting