Objektivitas versus Subjektivitas Berita dalam Media

Adapun unit analisis dalam framing Entman dibagi dalam empat bagian, yakni: problem identification, causal interpretation, moral evaluation, dan treatment recommendation. 55 Penjabaran tentang analisis framing berikut konsep dan model tersebut berkorelasi positif dengan permasalahan yang diangkat, mengingat penelitian ini berkepentingan untuk menganalisis bagaimana bingkai framing majalah Tempo dan Gatra dalam memberitakan kasus korupsi dana haji.

1.5.1.8. Objektivitas versus Subjektivitas Berita dalam Media

Dalam menyajikan suatu berita, media diharapkan objektif dan tidak memihak. Objektif yang dimaksud disini adalah laporan fakta secara apa adanya, dan bukan laporan tentang fakta yang seharusnya. Karena fakta-fakta yang disajikan media kepada khalayak sesungguhnya merupakan realitas kedua second hand reality. Realitas tangan pertama adalah fakta atau peristiwa itu sendiri. 56 Objektivitas jurnalistik adalah suatu pola pikir dari wartawan dan redaktur yang meliputi upaya sadar untuk tidak menghakimi terlebih dahulu apa yang ia lihat, tidak dipengaruhi oleh prasangka pribadinya sendiri, selera, keyakinan, serta prasangka, tidak dicampuri oleh retorika kelompok, selalu beanggapan “kelompok 55 Loc.cit 56 AS Haris, op.cit., hlm. 73-74 lain” dan berupaya untuk memperhatikan bahwa orang lain memiliki kesempatan untuk di dengar. 57 Michael Bugeja yang mengajar jurnalisme di Iowa State menyatakan bahwa objektivitas adalah melihat bagaimana yang diharapkan semestinya. 58 Objektifitas dalam produksi berita secara umum digambarkan selagi tidak dicampuradukkan antara fakta dan opini. Bahkan kini peliputan yang dilakukan oleh seorang wartawan tidak bisa dianggap sebagai taken for granted, tidak lagi sekedar cover both sides, tetapi perlu cover all sides. 59 Ungkapan dua sisi both side dalam jurnalisme menjebak wartawan pada pemikiran bahwa hanya ada dua pihak dalam suatu isu, padahal terkadang terlibat tiga, empat, atau lebih pihak. Sedapatnya wartawan harus menghubungi berbagai pihak all sides. Berbagai sumber perlu dihubungi untuk melindungi tulisan dari prasangka atau distorsi. Pendekatan multi-sumber ini juga memberikan kredibilitas pada tulisan. 60 Konsep objektivitas menjadi salah satu sebab kebingungan terbesar dalam jurnalisme. Makna asli dari pemikiran ini sering disalah pahami oleh sebagian kalangan pers, bahkan hilang. Saat konsep tersebut pertama kali berkembang, objektivitas tidak dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa wartawan bebas dari bias. 57 Reed H. Blake dan Edwin O. Holdsen, Taksonomi Konsep Komunikasi, Surabaya: Papyrus, 2003, hlm. 61-62 58 Luwi Ishwara, Catatan- catatan Dasar Jurnalisme Dasar Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hlm. 43-44 59 Kompas dari Belakang ke Depan Menulis Dari Dalam, Jakarta: Gramediam 2007, hlm. 85-86 60 Luwi Ishwara, op.cit., hlm. 70 Justru sebaliknya. Istilah ini mulai muncul sebagai bagian dari jurnalisme pada awal abad lalu, terutama pada abad 1920-an ketika ia tumbuh dalam suasana dimana wartawan penuh dengan bias seringkali tanpa sadar. 61 Disamping itu, adanya pelibatan interpretasi dalam berita membuat berita menjadi kehilangan objektivitasnya. Objektivitas di sini mulai melihat unsur keadilan fairness dengan tidak sekedar membawa berita, namun berkembang kearah menjelaskan berita. Sehingga pegangan objektif dengan tidak menampilkan opini wartawan mulai tergeser. Nilai lebih dalam sebuah pemberitaan terletak pada interpretasi atau pemberian makna atas kejadian, maka seorang wartawan harus memiliki kemampuan menilai judgement . Di sinilah berlaku “objektivitas yang subjektif” sebagaimana dirumuskan De Volder. 62 Penggeseran konsep objektivitas dalam pandagan tersebut memunculkan pertanyaan baru. Ketika judgement wartawan dilibatkan dalam sebuah pemberitaan, batasan objektif dan netral tersebut menjadi kabur. Terlebih lagi, jika mengacu pada pandangan bahwa fakta-fakta yang disajikan media kepada khalayak sesungguhnya merupakan realitas tangan kedua second hand reality, sedangkan realitas pertama first reality adalah fakta atau peristiwa itu sendiri, sehingga berita sangat rentan 61 Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme diterjemahkan oleh Yusi A., Jakarta: Yayasan Pantau, 2006, hlm. 88 62 St Sularto, Dari “Sang Pemula” ke “Sang Pengibar Bendera” dalam Kompas: Manulis Dari Dalam Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2007, hlm. 50 terhadap kemungkinan adanya intervensi maupun manipulasi, meskipun pada tingkatan diksi atau simbolis. 63 Apabila dikaitkan dengan pandangan konstrutivisme, media sebagai agen konstruksi, berperan dalam mendefinisikan realitas. Ia mengkonstruksi realitas tersebut berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak. Sehingga media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. 64 Proses pembentukan berita itu sendiri tidak dipandang sebagai ruang yang hampa, netral, dan hanya sebatas menyalurkan informasi. Sebelum menjadi teks berita, terjadi berbagai interaksi yang saling mempengaruhi. Dalam konteks ini, Shoemaker dan Reese menyatakan terdapat lima level yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan, level tersebut meliputi level individu, rutinitas media, intra media, ekstra media, dan ideologi. 65 Masing-masing faktor tersebut berpengaruh terhadap presentasi media yang mengakibatkan media massa tidak dapat dikatakan netral. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sejauh manapun media massa mencoba untuk objektif, ia tidak akan mampu mencapainya secara mutlak 63 AS Haris, loc.cit., hlm. 74 64 Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana Yogyakarta: LKiS, 2006, hlm. 55 65 Alex Sobur, loc.cit., hlm. 138 karena banyak faktor maupun tekanan yang mengintervensinya. Demikian halnya ketika melihat kasus dugaan korupsi dana haji. Berbagai kepentingan maupun tekanan yang datang pada media massa menjadikannya tidak mampu bersikap netral sepenuhnya.

1.5.2 Kerangka Berpikir