9
untuk membuat bakso maupun sup telah tercemar Staphylococcus aureus sebesar 5,15 log CFUgr. Hartini 2001 dan Ruslan 2003 menyelidiki keberadaan Staphylococcus aureus dalam
pangan olahan industri jasa boga. Pangan yang diuji mengandung cemaran Staphylococcus aureus berkisar antara 1,74-5,81 log CFUgr. Sari 2010 menunjukkan bahwa sampel ayam
goreng, ayam kecap, ayam balado, dan ayam opor mengandung cemaran Staphylococcus aureus sebanyak 2,36-3,66 log CFUgr.
Tabel 5. Data cemaran Staphylococcus aureus pada beberapa bahan pangan Jenis Pangan
Jumlah Staphylococcus aureus log CFUgr Bakso
a
1,74 Gado-gado
a
3,72 Mie Ayam
a
1,78 Nasi Rames
a
3,21 Siomay
a
2,43 Soto Ayam
a
1,65 Taoge Goreng
a
5,10 Gado-gado
a
5,81 Kacang panjang rebus
b
5,61 Kol Rebus
b
5,15 Wortel rebus
b
5,23 Tauge Rebus
b
4,74 Karkas Ayam
c
5,15 Ayam Goreng
d
2,64 Ayam Kecap
d
3,22 Ayam Opor
d
3,66 Ayam Balado
d
2,36
a
Hartini, 2001,
b
Ruslan, 2003,
c
Harmayani et al., 1996,
d
Sari, 2010.
D. KETAHANAN PANAS MIKROBA
Ketahanan panas mikroba berbeda-beda satu sama lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan panas mikroba meliputi, karakteristik pertumbuhan mikroba,
kandungan nutrisi medium pemanas, dan jenis makanan dimana mikroba yang telah dipanaskan dibiarkan tumbuh Fardiaz, 1992. Menurut Jay 2006 efektifitas pemanasan dalam membunuh
mikroba dan spora tergantung dari banyak faktor. Beberapa faktor berkaitan dengan karakteristik bahan pangan, sedangkan yang lainnya berkaitan dengan karakteristik mikroorganisme dan proses
pengolahan. Faktor karakteristik bahan pangan berhubungan dengan nutrisi, a
w
kelembaban, pH, dan zat antimikroba alami atau ditambahkan dalam bahan pangan. Adanya nutrisi berupa
karbohidrat, protein, lemak, dan total padatan terlarut memberikan efek perlindungan terhadap mikroba. Semakin tinggi konsentrasi nutrisi berarti semakin tinggi pula ketahanan panas bakteri.
Mikroba dalam makanan yang mengandung partikel berukuran kecil tersuspensi dalam cairan lebih mudah mengalami kerusakan karena panas daripada dalam makanan berbentuk padat atau
10
gumpalan. Selain itu, mikroorganisme mudah rusak jika bahan pangan memiliki pH dan a
w
rendah. Dalam makanan yang memiliki pH rendah, pemanasan mengakibatkan kematian mikroorganisme. Kehadiran antimikroba juga berperan sama yaitu mempercepat kematian
mikroba Jay, 2006. Sifat mikroorganisme yang mempengaruhi ketahanan panas antara lain, jenis spesies
atau strain, fase pertumbuhan, paparan panas pendahuluan, dan jumlah awal mikroba. Secara umum, sel vegetatif, yeast, kapang dan bakteri lebih sensitif panas daripada spora. Sel kapang,
yeast, kebanyakan bakteri kecuali bakteri termofilik dan termodurik, dan virus dapat dihancurkan pada suhu 65°C selama 10 menit. Hampir semua bakteri termofilik dan termodurik
hancur melalui pemanasan pada suhu 75-80°C selama 5-10 menit. Spora yeast dan kapang hancur pada 65-70°C dalam beberapa menit, tetapi beberapa spora kapang dapat bertahan pada suhu
setinggi 90°C selama 4-5 jam. Spora bakteri bervariasi dalam hal ketahanan panas. Umumnya pemanasan 80-85°C selama 30 menit tidak menghancurkan spora tersebut. Kebanyakan spora
rusak dengan pemanasan 100°C selama 30 menit. Akan tetapi ada juga spora bakteri yang tidak rusak selama pemanasan pada suhu 100°C selama 24 jam. Semua spora mati pada pemanasan
121°C selama 15 menit Jay, 2006. Strain atau spesies dari mikroba yang berbeda juga memiliki sensitifitas panas
berbeda. Strain A dari spesies yang sama dengan strain B tidak selalu memiliki ketahanan panas yang sama. Dalam hal fase pertumbuhan, mikroba dalam fase eksponensial lebih mudah direduksi
dengan pamanasan daripada mikroba pada fase stasioner. Jumlah awal mikroba yang lebih tinggi membutuhkan waktu pemanasan yang lebih lama untuk menghancurkannya Jay, 2006.
Paparan panas pendahuluan mempengaruhi sensitifitas panas mikroba. Sel yang mendapat paparan panas pendahuluan pada suhu rendah menjadi lebih tahan panas pada
pemanasan pada suhu yang lebih tinggi. Sebagai contoh, pemanasan 45-50°C selama waktu yang singkat dimana volume makanan sangat banyak dapat menginduksi sintesis heat shock protein.
Keberadaan protein ini mengakibatkan sel mikroba dapat berkembang menjadi lebih resisten pada pemanasan selanjutnya pada suhu yang lebih tinggi Jay, 2006.
E. MEKANISME ADAPTASI MIKROBA TERHADAP STRESS