Respon Nilai Tukar Riil Terhadap Guncangan Variabel Makroekonomi di Indonesia

Respon nilai tukar riil akibat guncangan sebesar satu standar deviasi capital inflow menyebabkan fluktuasi nilai tukar riil. Pada Gambar 4.1 tersebut terlihat guncangan capital inflow sebesar satu standar deviasi pada priode pertama belum direspon oleh nilai tukar riil, baru pada periode ke-2 dan ke-4 direspon positif dan menyebabkan depresiasi nilai tukar berturut-turut sebesar 0,05 dan 0,02 standar deviasi. Akan tetapi pengaruh guncangan capital inflow juga direspon negatif atau dapat dikatakan terjadi penurunan nilai tukar riil apresiasi berturut-turut pada periode ke-3, ke-6, ke-7 sebesar -0,02; -0,009; dan -0,007 standar deviasi. Guncangan capital inflow terhadap nilai tukar riil secara keseluruhan menunjukkan respon yang negatif dengan pergerakan yang stabil pada periode setelah kuartal ke-17 sebesar -0,003 standar deviasi. Hasil IRF menunjukkan bahwa respon nilai tukar riil terhadap shock capital inflow sesuai dengan hipotesis awal, bahwa peningkatan pada capital inflow akan menyebabkan apresiasi nilai tukar rupiah. Berdasarkan teori hubungan investasi dan nilai tukar dimana kenaikan dalam capital inflow menyebabkan kurva S-I bergeser ke kiri karena investasi lebih besar dari tabungan yang berarti mengurangi penawaran mata uang domestik. Dengan kata lain, terjadi peningkatan terhadap penawaran mata uang asing di pasar valuta asing sehingga permintaan terhadap rupiah juga mengalami peningkatan dan menyebabkan rupiah mengalami apresiasi.

4.6.2.2. Respon Nilai Tukar Riil Terhadap Guncangan Variabel Makroekonomi di Indonesia

Hasil IRF yang menggambarkan respon nilai tukar riil dalam lima puluh 50 periode mendatang terhadap pengaruh guncangan variabel makroekonomi -.16 -.12 -.08 -.04 .00 .04 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -.16 -.12 -.08 -.04 .00 .04 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -.16 -.12 -.08 -.04 .00 .04 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -.16 -.12 -.08 -.04 .00 .04 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 seperti inflasi, GDP, suku bunga, dan trade openness sebesar satu standar deviasi ditunjukkan dalam Gambar 4.2, berikut ini : Respon RER terhadap Inflasi Respon RER terhadap GDP a b Respon RER terhadap IR Respon RER terhadap Trade c d Sumber : Lampiran 7, data diolah Gambar 4.2. Respon Nilai Tukar Riil Terhadap Guncangan Variabel Makroekonomi Berdasarkan Gambar 4.2 a diatas, shock satu standar deviasi dari inflasi belum direspon oleh nilai tukar riil pada awal periode, hal ini berarti shock inflasi tidak serta merta menyebabkan apresiasi nilai tukar rupiah. Respon negatif terjadi pada periode kedua sebesar -0,122 standar deviasi yang sekaligus menjadi respon negatif tertinggi selama periode pengamatan. Respon positif baru terjadi pada periode ke-3 lalu kemudian mengalami penurunan pada periode ke-4 hingga ke-5. Respon positif tertinggi terjadi pada periode ke-7 sebesar -0,033 standar deviasi dan mencapai konvergen pada periode ke-19. Secara umum respon nilai tukar riil terhadap perubahan inflasi adalah negatif. Hasil IRF nilai tukar riil terhadap perubahan laju inflasi yang menunjukkan respon yang negatif, yaitu kenaikan pada inflasi akan menyebabkan nilai tukar rupiah terapresiasi. Kenaikan laju inflasi dengan kondisi seperti ini dapat dikaitkan dengan nilai tukar riil melalui teori International Fisher Effect. Apabila terjadi kenaikkan laju inflasi akan direspon oleh bank sentral dengan meningkatkan suku bunga dimana dengan tingginya suku bunga akan meningkatkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya. Sehingga dengan banyaknya modal yang masuk maka akan menyebabkan nilai tukar terapresiasi. Selanjutnya akan diuraikan respon variabel nilai tukar terhadap perubahan GDP. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.2 b nilai tukar riil belum menunjukkan respon diawal periode, baru direspon positif pada periode ke-2 sebesar 0,02 standar deviasi dan mengalami respon yang negatif pada periode ke- 3 hingga ke-4. Respon positif tertinggi pada periode ke-6 sebesar 0,0367 standar deviasi dan terus mengalami fluktuasi hingga kemudian menjadi stabil pada periode ke-17. Hasil IRF nilai tukar riil terhadap perubahan GDP berlawanan dengan hipotesis awal yaitu positif. Menurut hipotesis Balassa-Samuelson, kenaikan pada GDP seharusnya menyebabkan niali tukar terapresiasi. Akan tetapi hasil ini ada kemungkinan apabila terjadi kenaikan GDP atau pertumbuhan pendapatan di suatu negara meningkat maka akan menyebabkan meningkatnya konsumsi atas berbagai macam barang dan jasa. Jika diimbangi peningkatan penawaran barangjasa maka akan memicu impor barangjasa dari negara lain. Dengan meningkatnya impor barangjasa maka terjadi kenaikan permintaan mata uang negara eksportir untuk pembiayaan. Sehingga hal tersebut menyebabkan mata uang domestik atau rupiah menjadi terdepresiasi. Variabel suku bunga sebagaimana terlihat pada gambar 4.2 c pada periode pertama nilai tukar riil tidak merespon shock yang terjadi. Respon baru ditunjukkan pada periode ke-2 dengan respon negatif sebesar -0,022 standar deviasi dan terus menurun pada periode ke-3 sebesar -0,032 standar deviasi. Pada periode ke-4 mengalami respon yang positif sebesar -0,025 standar deviasi. Respon negatif tertinggi dari perubahan suku bunga terjadi pada periode ke-5 yaitu sebesar -0,034 standar deviasi. Respon nilai tukar riil mengalami fluktuasi hingga mencapai kondisi stabil yang terjadi pada periode ke-15. Hasil IRF nilai tukar riil terhadap shock suku bunga sesuai dengan hipotesis awal yaitu negatif. Peningkatan suku bunga oleh bank sentral akan meningkatkan ketertarikan investor asing untuk menanamkan modalnya. Hal ini berarti semakin banyaknya modal asing yang masuk, maka terjadi peningkatan permintaan terhadap rupiah sehingga menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami apresiasi. Bahasan selanjutnya adalah respon nilai tukar riil terhadap guncangan satu standar deviasi pada variabel trade openness. Pada Gambar 4.2 d terlihat bahwa pada periode pertama belum ada respon nilai tukar riil, respon baru terjadi pada periode ke-2 dan periode ke-3 yaitu respon positif sebesar 0,024 dan 0,029 standar deviasi. Pada periode ke-4 respon berbalik menjadi negatif dan kembali di respon positif pada periode ke-5. Kondisi stabil terjadi pada periode ke-19 dan secara keseluruhan menunjukkan respon yang positif. 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 RER TRADE CIF INFLASI IR GDP Hasil IRF nilai tukar riil terhadap perubahan trade openness telah sesuai dengan hipotesis awal, bahwa peningkatan trade openness menyebabkan nilai tukar riil mengalami depresiasi. Keterbukaan perdagangan akan meningkatkan kegiatan ekspor dan impor dimana suatu negara dapat dengan bebas masuk. Peningkatan keterbukaan perdagangan dapat melalui penurunan terhadap tarif atau peningkatan kuota. Dengan semakin murahnya harga barang maka pada awalnya akan meningkatkan ekspor dan berakibat nilai tukar mengalami apresiasi. Namun, tentunya hal ini dalam jangka panjang akan mempengaruhi peningkatan harga dari barang-barang yang bisa di ekspor atau barang tradable sehingga berakibat neraca perdagangan mengalami penurunan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka akan menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi.

4.6.3. Forecast Error Variance Decomposition FEVD