Berdasarkan hasil perhitungan produktivitas hijauan pakan, diketahui total produktivitas pakan banteng di padang perumputan Sadengan saat musim hujan
sebesar 122,95 kghahari dalam berat segar, sedangkan saat musim kemarau produktivitasnya sebesar 23,94 kghahari. Hewan membutuhkan pakan harian
sebanyak 10 dari bobot badannya Anggorodi 1993. Berdasarkan pengukuran bobot badan banteng di Taman Safari Prigen Jawa Timur dan Kebun Binatang
Surabaya Sawitri dan Takandjandji 2010 diketahui bahwa bobot badan rata-rata banteng betina 350 kg dan bobot badan banteng jantan yaitu 600 kg. Jumlah pakan
untuk banteng betina sebesar 35 kg dan untuk jantan 70 kg per ekor per hari. Atas dasar diketahuinya bobot badan banteng secara umum dan jumlah berat pakan yang
dibutuhkan oleh banteng dapat dihitung perkiraan daya dukung habitat pakan. Berdasarkan produktifitas rumput, daya dukung padang perumputan Sadengan
seluas 37 ha pada saat musim kemarau dapat menampung 13 ekor banteng jantan atau 26 ekor betina dewasa, sedangkan di musim hujan dapat menampung 130
ekor banteng betina atau 65 ekor banteng jantan. Daya dukung habitat pakan di Sumbergedang dengan produktivitas sebesar 279,09 kghahari pada saat musim
hujan dan 43,71 kghahari pada saat musim kemarau, habitat Sumbergedang dengan luas areal yang ditumbuhi hijauan pakan seluas ± 4 ha pada saat musim
hujan dapat menampung sebanyak 32 ekor banteng betina atau 16 banteng jantan. Pada saat musim kemarau dapat menampung 5 ekor betina atau 3 ekor jantan.
Berdasarkan hasil perhitungan produktivitas habitat pakan di padang perumputan Sadengan dan diketahuinya jumlah populasi banteng terakhir
pengamatan Oktober 2010 sebanyak 90 ekor, maka habitat pakan tersebut tidak mampu menampung populasi banteng yang ada, khususnya pada saat musim
kemarau. Selain itu padang perumputan Sadengan juga digunakan sebagai habitat pakan oleh rusa, pada saat pengamatan bulan Oktober tahun 2010 dijumpai
populasi rusa tertinggi yaitu sebanyak 88 ekor terdiri dari 11 jantan, 62 betina dan 15 anak. Digunakannya padang perumputan Sadengan sebagai habitat pakan oleh
rusa, maka kemampuan daya dukung padang perumputan Sadengan menjadi lebih rendah. Jika dtinjau dari produktivitas pakan per hektar terutama pada saat musim
kemarau hanya 23,94 kghahari, tidak memenuhi kebutuhan pakan bagi banteng. Hal
ini kemungkinan sebagai salah satu penyebab banteng keluar kawasan memakan tanaman petani pesanggem dan kulit batang mahoni kelas umur 0 – 5
tahun di hutan produksi Perum Perhutani.
Berdasarkan perhitungan terhadap populasi dan luas habitat pakan yang efektif dimanfaatkan di padang perumputan Sadengan yaitu seluas 37 ha dapat
diketahui bahwa kepadatan banteng di padang perumputan Sadengan sebesar 2 individuha. Sebagai perbandingan kepadatan populasi banteng di padang
penggembalaan Cidaon TNUK sebesar 8 ekorha Kuswanda 2005. Kepadatan banteng di Sadengan TNAP lebih rendah di banding di Cidaon TNUK, tetapi jika
dilihat dari produktifitas rumput padang penggembalaan Sadengan tersebut tidak dapat menampung populasi banteng yang ada, karena produktivitas perhektarnya
rendah. Alikodra 1990 menyatakan bahwa kepadatan dapat menunjukkan kondisi daya dukung habitat yang merupakan jumlah individu di dalam satu unit luas dan
volume, ukuran dan kepadatan populasi satwaliar akan berubah-ubah dan bervariasi menurut wilayah dan tipe habitat. Wilayah dan tipe habitat TNAP dan TNUK
memang berbeda sehingga kepadatannya juga berbeda. Hasil pengamatan populasi banteng tahun 2010 di sekitar Kebun Pantai
Perkebunan Bandealit yang merupakan enclave kawasan TNMB dijumpai secara langsung 74 ekor banteng, yang terdiri dari 22 jantan, 37 betina dan 15 anak.
Hampir seluruh aktivitas harian banteng dilakukan di areal perkebunan tersebut seperti aktivitas makan, bermain dan kawin kecuali aktivitas tidur dilakukan dalam
kawasan. Sarang atau tempat tidur di dalam kawasan taman nasional jaraknya hanya berkisar antara 50 m sampai 100 m dari Kebun Pantai Perkebunan Bandealit.
Banteng paling mudah dijumpai di Perkebunan Bandealit pada pagi hari mulai dari jam 5.00 sampai jam 8.00, siang hari biasanya sembunyi istirahat di semak-semak,
kelompok terbanyak yang ditemukan di Kebun Pantai sebanyak 33 ekor yaitu di blok Banyuputih. Fluktuasi populasi banteng di Kebun Pantai Perkebunan Bandealit
dan sekitarnya disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Grafik dinamika populasi banteng di Kebun Bandealit TNMB
Gambar 14 menunjukkan terjadi fluktuasi populasi banteng dari tahun 2006 - 2010. Populasi banteng di kebun pantai perkebunan Bandealit pada tahun 2006
sebanyak 74 ekor yang terdiri dari 22 ekor jantan, 45 ekor betina dan 7 ekor anak sedangkan tahun 2007 menjadi 97 ekor yang terdiri dari 32 ekor jantan, 55 ekor
betina dan 10 ekor anak. Tahun 2009 ditemukan banteng sebanyak 66 ekor yang terdiri dari 22 ekor jantan, 29 ekor betina dan 15 ekor anak serta tahun 2010
ditemukan banteng dengan jumlah populasi 74 ekor yang terdiri dari 22 jantan, 37 betina dan 15 anak.
Struktur umur populasi banteng di TNAP dan TNMB masuk katagori regressive population
dimana jumlah populasi anak atau banteng muda lebih kecil dibanding banteng kelas umur tua induk jantan dan induk betina. Struktur umur dan
fluktuasi populasi banteng di TNAP dan TNMB yang menyebabkan terganggunya reproduksi dan pertumbuhan populasi diduga dipengaruhi oleh beberapa kejadian
kematian banteng yang disebabkan oleh perkelahian antar banteng jantan, kematian karena banteng terperosok pada lubang jebakan serta adanya perburuan dengan
menggunakan jerat dan senjata. Perburuan mengakibatkan banteng kelas umur muda anak ikut mati Gambar 15. Menurut Alikodra 1990 bahwa pertumbuhan
populasi sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca, persediaan pakan atau karena adanya perburuan oleh manusia, hal tersebut terjadi di TNMB dan TNAP.
Gambar 15 Banteng induk dan anak mati kena jebakan lubang Sumber : Radar Banyuwangi 2008
Topografi padang perumputan Pringtali dan Kebun Pantai Bandealit termasuk datar, luas Kebun Pantai adalah 63 ha. Berdasarkan hasil perhitungan
terhadap produktivitas hijauan pakan seperti tertera dalam Tabel 8 dan Tabel 9 diketahui bahwa produktivitas hijauan pakan banteng di padang perumputan
Pringtali pada saat musim hujan dan kemarau masing- masing sebesar 123,74 kghahari dan 67,92 kghahari. Produktivitas hijauan pakan di kebun pantai
untuk musim hujan dan kemarau masing-masing sebesar 123,41 kghahari dan 60,96 kghahari.
Atas dasar kebutuhan pakan banteng diketahui daya dukung habitat pakan di padang perumputan Pringtali TNMB dengan luas areal 5 ha, dapat menampung
banteng betina sebanyak ± 18 ekor pada saat musim hujan dan ± 10 ekor pada saat musim kemarau. Sedangkan daya dukung habitat kebun pantai dengan luasan
63 ha, dapat menampung banteng betina sebanyak ± 222 ekor pada musim hujan dan ± 110 ekor pada saat musim kemarau. Jika daya dukung dihitung untuk
banteng jantan kedua lokasi tersebut hanya dapat menampung setengah dari jumlah banteng betina, karena kebutuhan pakan banteng jantan 2 kali kebutuhan
banteng betina. Kebun pantai perkebunan Bandealit pada saat musim hujan dapat menampung banteng jantan sebesar ± 111 ekor dan saat musim kemarau hanya ±
55 ekor, sedangkan padang perumputan Pringtali pada saat musim hujan dapat menampung banteng jantan sebesar ± 9 ekor dan saat musim kemarau hanya ± 5
ekor. Jika dilihat dari hasil produktivitas pakan 67,92 kghahari – 123,74
kghahari dan luasan padang perumputan 5 ha serta kurangnya pembinaan habitat, maka padang perumputan Pringtali TNMB tidak dapat memenuhi
kebutuhan pakan banteng baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini diduga yang menjadi penyebab banteng lebih memilih hidup dan berkembang biak di
areal Perkebunan Bandealit di banding dengan di dalam kawasan TNMB Gambar 16.
Dari hasil perhitungan populasi dan luas habitat Kebun Pantai seluas 63 ha dapat diketahui bahwa kepadatan banteng di kebun pantai Perkebunan Bandealit
sebesar 1,17 ekorha. Kepadatan banteng di padang penggembalaan berbeda
sesuai dengan produktifitas, palatabilitas jenis pakan dan luas padang, perbedaan terlihat di Sadengan TNAP dan areal perkebunan Bandealit TNMB begitu juga
dengan padang penggembalaan Cidaon TNUK. Kuswanda 2006 menyatakan bahwa jumlah populasi banteng di padang penggembalaan Cidaon TNUK
sebanyak 29 ekor dengan kepadatan 8,1 ekorha, jumlah populasi tersebut sudah melebihi daya dukung habitat padang penggembalaan Cidaon TNUK sebesar 22
ekor atau kepadatan 6,1 ekor ha, hal tersebut menyebabkan banteng mencari makan di luar padang penggembalaan.
Gambar 16 Banteng dalam aktivitas kawin di Kebun Pantai Bandealit 5.1.4 Sebaran Banteng TNAP dan TNMB
Pada saat penelitian dijumpai enam individu banteng tercatat di hutan produksi Perum Perhutani khususnya blok Sumbergedang yang berbatasan
langsung dengan TNAP, dan satu ekor di dusun Kuterejo blok Ngeselan SPTN Wilayah I Tegaldelimo Gambar 17. Daerah jelajah banteng berdasarkan
penemuan jejak di sekitar kawasan hutan produksi Perum Perhutani seperti terlihat dalam Gambar 17 dan 18.
Gambar 17 dan 18, menunjukkan bahwa daerah jelajah banteng sampai ke
luar kawasan TNAP. Pada peta tutupan lahan terlihat bahwa sebagian besar titik
jelajahnya dijumpai pada kawasan hutan produksi Perum Perhutani yang di dalamnya terdapat kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM.
Daerah jelajah banteng dijumpai sampai lokasi Sumbergedang dimana pada
lokasi tersebut selain terdapat PHBM juga ditumbuhi oleh hijauan rumput dan terdapat sumber air.
Gambar 17 Peta sebaran banteng di sekitar kawasan TNAP
Gambar 18 Home range Banteng Bos javanicus pada kawasan hutan produksi Murdyatmaka 2008
Keluarnya banteng dari kawasan TNAP dan masuk kawasan hutan produksi yang dikelola dengan sistem PHBM, mengakibatkan terjadinya konflik banteng
dan masyarakat. Keluarnya banteng dari kawasan TNAP memudahkan akses perburuan banteng. Pada tahun 2003 di lokasi Sumbergedang dan Kepuhngantuk
tercatat ada delapan kasus kematian banteng dan pada saat yang sama petugas mengamankan 60 jerat satwa Murdyatmaka 2008.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan petugas TNAP pada petengahan tahun 2010 di dusun Kuterejo Desa Kalipait terjadi tiga kematian
banteng akibat jeratan, dua dari tiga banteng yang dijerat belum sempat dibawa oleh para pemburu. Banteng mendatangi lokasi perumputan Sumbergedang seluas 4 ha
dan hutan produksi Perum Perhutani karena pada lokasi tersebut tersedia sumber air dan hijauan pakan seperti rumput yang selalu tersedia sepanjang tahun, kebun
masyarakat serta jenis tanaman hutan produksi seperti mahoni.
Berdasarkan hasil penelitian di TNMB diketahui bahwa lokasi sebaran banteng di luar kawasan sebagian besar lebih 50 berada di areal Perkebunan
Bandealit Kebun Pantai dan Sumbersalak seperti pada Gambar 19. Perkebunan Bandealit berfungsi sebagai penyangga TNMB sehingga lokasi perkebunan
tersebut berbatasan langsung dengan kawasan TNMB.
Gambar 19 Penyebaran banteng di Perkebunan Bandealit TNMB
Rendahnya produktifitas, luas dan kondisi padang penggembalaan telah menyebabkan keluarnya banteng dari kawasan TNMB dan mengganggu areal
perkebunan Bandealit, sebagai penyebab konflik antara manajemen Perkebunan Bandealit dengan pengelola TNMB sebagai penanggung jawab pengelolaan
banteng. Selain merusak tanaman perkebunan yang menyebabkan kerugian sekitar delapan milyar rupiah selama empat tahun terakhir berdasarkan wawancara
dengan manajer Perkebunan Bandealit, tanaman yang dirusak kopi, vanili, karet, dan sengon, banteng juga merusak tanaman petani pesanggem di lahan perkebunan
Bandealit blok Kebun Pantai dan Sumber Salak yang menyebabkan kerugian 30 dari hasil panen.
Untuk mengatasi konflik tersebut perlu ada suatu pola pengelolaan secara bersama kolaboratif antara Perkebunan Bandealit, masyarakat sekitar kawasan dan
TNMB. Kerjasama pengelolaan banteng harus segera diwujudkan, karena jika dibiarkan konflik antara masyarakat dan satwaliar banteng akan berakibat pada
meningkatnya perburuan karena selain masyarakat terganggu dengan adanya banteng, berpindahnya habitat banteng ke dalam areal perkebunan akan
memudahkan akses bagi masyarakat untuk berburu dibandingkan jika banteng tersebut berada dalam kawasan TNMB.
Banteng memanfaatkan areal perkebunan Bandealit sebagai habitat karena dalam areal perkebunan terdapat jenis-jenis tanaman yang disukai oleh banteng
seperti kopi, karet, vanili dan sengon. Hasil analisis kandungan nilai gizi pakan menunjukkan bahwa jenis tanaman perkebunan terutama daun sengon dan daun
karet mempunyai kandungan protein yang tinggi dibanding dengan jenis hijauan pakan yang ada di TNMB yaitu masing-masing 18,91 dan 19,73. Selain itu
tidak jauh dari areal perkebunan tepatnya dibelakang kebun rambutan Gambar 19 terdapat sungai yang biasa dimanfaatkan banteng sebagai tempat minum.
Sungai yang biasa digunakan banteng khususnya pada saat kemarau dapat dilihat dalam Gambar 20.
Banteng di TNMB sebagian besar melakukan aktivitasnya di areal perkebunan Bandealit khususnya Kebun Pantai. Hal ini dimungkinkan karena
letak Kebun Pantai berbatasan langsung dengan TNMB dan di dalamnya terdapat jenis-jenis pakan yang disukai banteng. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa
sarang atau tempat tidur banteng dalam kawasan TNMB letaknya tidak jauh dari lokasi perkebunan jaraknya hanya berkisar 50 m sampai 100 m Gambar 21.
Hal ini menunjukkan bahwa banteng melakukan aktivitas hariannya sebagian besar di areal perkebunan, hanya aktivitas tidur saja yang dilakukan di kawasan
taman nasional.
Gambar 20 Sungai tempat minum banteng
Gambar 21 Sebaran dan tempat tidur banteng di Kebun Pantai Bandealit TNMB
5.2 Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan TNAP dan TNMB
5.2.1 Kelas Umur Analisis sosial ekonomi masyarakat sekitar TNAP dilakukan pada
masyarakat desa yang berbatasan dengan TN yaitu Desa Kalipait, dan di TNMB dilakukan pada Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko, yang juga berbatasan
langsung dengan kawasan taman nasional. Pekerjaan masyarakat di ketiga desa tersebut sebagian besar adalah petani pesanggem di areal taman nasional dan hutan
produksi Perum Perhutani TNAP sedangkan masyrarakat sekitar TNMB bertani di zona rehabilitasi dan di areal Perkebunan Bandealit.
Desa Kalipait TNAP adalah desa yang sering mendapat gangguan banteng khususnya Dusun Kuterejo blok Ngeselan, blok Gunting, dan blok Sumbergedang
Gambar 17. Masyarakat desa Kalipait yang bermata pencaharian sebagai petani pesanggem sebagian besar atau 92,62 mendapat gangguan banteng. Di lokasi
tersebut sering terjadi perburuan banteng, khususnya di blok Gunting dan Sumbergedang, perburuan biasanya dilakukan dengan cara penjeratan. Distribusi
kelas umur responden di ketiga desa daerah penyangga TNAP dan TNMB yang dijadikan sampel disajikan dalam Gambar 22.
Gambar 22 Persentase distribusi kelas umur Berdasarkan kelas umur responden diketahui bahwa masyarakat petani
sekitar TNAP dan TNMB termasuk kelas umur produktif. Kelas umur 20 sampai 49 tahun merupakan yang paling besar persentasenya, Desa Curahnongko
51,35, Kalipait 46,81 dan Andongrejo 43. Selanjutnya untuk kelas umur
10 20
30 40
50 60
20 ‐49 th
50 ‐59 th
≥ 60 th
Persentase
Kelompok umur
Andongrejo Curahnongko
Kalipait
50 – 59, secara berurutan Desa Andongrejo 41, Kalipait 31,91 dan Desa Curahnongko 35,14 dan Kalipait 31,91. Untuk kelas umur
≥ 60 persentasenya berkisar antara 13,51 sampai 21,28. Mantra 2000 mengklasifikasikan umur
penduduk berdasarkan tingkat produktivitasnya yaitu 15 tahun belum produktif, 15 – 55 tahun produktif dan 55 tidak produktif.
Tingkatan kerja atau produktivitas berdasarkan kelas umur di ketiga desa tersebut sangat potensial. SDM ini perlu dilibatkan dan diusahakan untuk
menciptakan dan menyediakan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan masyarakat sehingga masyarakat tersebut tidak tergantung pada sumberdaya taman
nasional. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jumlah anggota keluarga masing–masing untuk ketiga desa yaitu Kalipait, Andongrejo dan Curahnongko
yaitu 36 dan 76 mempunyai jumlah anggota keluarga lebih dari 5 orang. Jumlah tersebut menurut Purwanti 2007 masuk dalam katagori jumlah dengan
anggota keluarga sedang. 5.2.2 Tingkat Pendidikan Responden
Berdasarkan pengamatan terhadap tingkat pendidikan diketahui bahwa masyarakat sekitar TNAP dan TNMB termasuk rendah karena sebagian besar
hanya tamat SD. Distribusi persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan terlihat pada Gambar 23.
Gambar 23 Persentase distribusi tingkat pendidikan
10 20
30 40
50 60
70
Tidak tamat
SD Tamat
SD SMP
SLA Sarjana
Persentase
Tingkat pendidikan
Andongrejo Curahnongko
Kalipait
Pada Gambar 23 terlihat bahwa tingkat pendidikan sebagian besar petani pesanggem di lokasi penelitian termasuk rendah yaitu hanya tamat SD, dengan
persentase secara berurutan untuk desa Andongrejo 62, Curahnongko dan Kalipait masing-masing sebesar 59,46 dan 42,55. Urutan persentase selanjutnya untuk
ketiga desa tersebut yaitu tamatan SMP, tidak tamat SD, tamat SLA dan sarjana yang persentasenya untuk Desa Andongrejo 5, 41 dan Curahnongko 2,70, sedangkan
di Desa Kalipait tidak ada. Tingkat pendidikan yang rendah menjadikan masyarakat tidak punya pilihan
pekerjaan lain kecuali bekerja sebagai petani atau bekerja di perkebunan sebagai pemetik kelapa, kopi, coklat, dan memelihara tanaman kebun lainnya. Tingkat
pendidikan yang rendah juga akan berpengaruh terhadap upaya konservasi banteng karena cara pandang serta keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, persepsi terhadap
banteng menjadi negatif. Adhawati 1997 menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi seseorang dalam berfikir atau memahami
pentingnya usaha tani dengan tetap mempertahankan kelestarian maupun berfikir dalam memecahkan suatu masalah. Selanjutnya Syarif 2010 menyatakan bahwa
tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap pola fikir masyarakat. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan mempunyai cita-cita dan keinginan yang
tinggi dan selalu berusaha untuk meraih apa yang diinginkannya. Namun bagi masyarakat yang berpendidikan rendah, mereka merasa cukup dengan apa yang ada
disekitarnya. Tingkat pendidikan yang rendah berdampak pada SDM yang hanya mampu
bekerja sebagai petani atau buruh tani yang taraf hidupnya jauh dari katagori sejahtera sehingga masyarakat akan mencari kegiatan lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya seperti dengan melakukan.perburuan banteng. Tingkat pendidikan SD ke bawah masuk dalam katagori tidak sejahtera BPS 2005. Karena tingkat pendidikan
sebagian besar masyarakat masuk dalam katagori rendah untuk meningkatkan kesejahteraannya perlu pemberdayaan melalui diikut sertakannya masyarakat dalam
program kegiatan pengelolaan taman nasional seperti kegiatan agroforestry di zona rehabilitasi dan kegiatan ekowisata.
5.2.3 Luas Lahan Garapan Di ketiga desa sekitar taman nasional sangat kurang lapangan kerja di luar
bidang pertanian. Sehingga luas ladang yang digarap akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat. Distribusi responden di TNAP dan TNMB
berdasarkan luas lahan garapan dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Persentase distribusi luas lahan garapan Sebagian besar masyarakat hanya mengandalkan bekerja di bidang pertanian
karena hanya bidang itulah yang masyarakat kuasai. Kegiatan bertani masyarakat sekitar TNMB dilakukan pada kawasan zona rehabilitasi dan Perkebunan Bandealit,
sedangkan masyarakat sekitar TNAP dilakukan di kawasan hutan produksi Perum Perhutani karena keterbatasan lahan yang mereka miliki. Selain bertani, dalam
meningkatkan pendapatannya masyarakat juga beternak sapi titipan untuk penggemukan dengan sistem bagi hasil.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan garapan pada masing- masing lokasi pengamatan berkisar antara 0,25 ha sampai 1 ha. Pada Gambar 24.
terlihat bahwa sebagian besar petani pesanggem di Desa Curahnongko dan Andongrejo TNMB luas lahan garapannya 0,50 ha, sedangkan petani pesanggem
di Desa Kalipait TNAP luas lahan garapannya 0,25 ha. Luas lahan garapan 0,25 ha per KK berhubungan dengan kesepakatan yang dibuat oleh para pesanggem dengan
kelompok taninya, sedangkan lahan garapan yang melebihi 0,25 ha dikarenakan
10 20
30 40
50 60
70 80
0.5 Ha
0.75 Ha
0.25 Ha
≥1 Ha
Persentase
Luas ladang
Andongrejo Curahnongko
Kalipait
mereka menggarap lahan garapan petani lainnya. Amzu 2007 menyatakan bahwa masyarakat sekitar desa-desa yang langsung berbatasan dengan kawasan TNMB
luas lahan pertaniannya dibawah rata-rata yaitu lebih kecil dari 0,2 ha, sehingga ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hayati taman nasional cukup
tinggi dibanding desa lainnya . Luas lahan garapan kurang dari satu hektar termasuk dalam kategori sempit,
sedangkan luas 1 sampai 3 hektar termasuk kategori sedang. Jika dilihat dari rata-rata luas lahan garapan yang digarap petani pesanggem tersebut termasuk katagori
sempit sehingga hasil produksinya dimungkinkan tidak akan mencukupi kebutuhan dasar petani.
Purwanti 2007 mengelompokan luas lahan garapan menjadi “sedikit” jika luasnya kurang dari 1 hektar, “sedang” jika luasnya 1 – 3 hektar dan “banyak” jika
luasnya lebih dari 3 hektar. Petani pesanggem yang luas lahan garapannya lebih dari satu patok 0,25ha biasanya dikarenakan menggarap lahan punya
pesanggem lain . Luas lahan garapan 0,25 ha biasanya berhubungan juga dengan keterbatasan biaya dan tenaga, sebagai contoh untuk menanam kedelai petani
butuh biaya pupuk dan bibit sebesar Rp.750.000,- di luar tenaga karena mereka menggarap sendiri. Sehingga sebagian besar petani pesanggem hanya mampu
menggarap lahan seluas 0,25 ha atau maksimal 0,5 ha karena kalau lebih luas dari itu petani tidak punya modal untuk biaya penanaman, pemupukan, dan
pemeliharaan. Petani pesanggem di sekitar TNMB dengan lahan garapan seluas 0,50
hektar, tetapi hasil produksinya tidak sebesar petani di sekitar TNAP. Hal ini dikarenakan topografi lahan garapan yang relatif bergelombang serta sistem
bertaninya yang kurang intensif. Di sekitar TNAP lahan garapannya datar dan sistem bertaninya lebih intensif, menggunakan pupuk secara optimal serta
pemeliharaan secara teratur. 5.2.4 Gangguan Satwaliar
Di TNAP dan TNMB terdapat gangguan beberapa satwaliar diantaranya banteng. Distribusi gangguan satwaliar pada tiga desa pengamatan disajikan
dalam Gambar 25.
Pada Gambar 25 terlihat bahwa satwaliar yang mengganggu ladang petani ada lima jenis. Persentase gangguan tertinggi untuk petani pesanggem di Desa
Kalipait TNAP yaitu banteng dengan persentase 31,91, selanjutnya babi 27,66, monyet 17,02, rusa 14,89 dan burung merak 8,51. Khusus
untuk burung merak hanya mengganggu tanaman padi di blok Gunting dan Sumbergedang yang merupakan lokasi hutan produksi. Gangguan banteng tinggi
karena kurangnya pakan dalam kawasan serta jenis tanaman pertanian yang ditanam disukai banteng seperti kedelai, semangka dan jagung. Selain itu dalam
lokasi PHBM terdapat sumber air dan rumput terutama di Blok Sumbergedang, serta tanaman mahoni yang kulit batangnya dimakan banteng.
Gambar 25 Persentase gangguan satwa liar di lahan garapan Responden di Desa Curahnongko dan Desa Andongrejo TNMB mendapat
gangguan satwa tertinggi yaitu dari babi dengan masing-masing tingkat gangguan 67,57 dan 48,65 sedangkan gangguan satwa banteng masing-masing 16,22 dan
29,73, selanjutnya monyet kera untuk Desa Curahnongko 16,22 dan Andongrejo 21,62. Persentase responden yang mendapat gangguan banteng di
kedua desa tersebut lebih kecil dibanding dengan gangguan satwa babi. Gangguan banteng tertinggi terjadi di areal Perkebunan Bandealit Desa Andongrejo, sedangkan
gangguan babi tertinggi terjadi di zona rehabilitasi. Dalam pengamatan diketahui populasi banteng sebagian besar tersebar pada lahan garapan dan tanaman
10 20
30 40
50 60
70 80
Banteng Babi hutan Monyet
Rusa Merak
persentase
Jenis satwa pengganggu
Andongrejo Curahnongko
Kalipait
perkebunan di areal Perkebunan Bandealit Desa Andongrejo. Hal ini dikarenakan dalam areal Perkebunan Bandealit terdapat jenis-jenis tanaman yang disukai dan
dibutuhkan banteng seperti karet, sengon, kopi, jagung, kacang tanah, kedelai, daun padi muda. Selain itu Perkebunan Bandealit arealnya berbatasan langsung dengan
habitat banteng di kawasan TNMB sehingga mudah untuk dijangkau. Gangguan babi hutan pada ladang masyarakat di zona rehabilitasi
persentasenya paling tinggi, sedangkan di areal perkebunan dan ladang masyarakat di lokasi perkebunan Bandealit gangguan banteng adalah yang paling
tinggi karena hampir semua tanaman dimakan dan dirusak oleh banteng seperti kopi, coklat, vanili, sengon, karet dan tanaman semusim milik pesanggem.
Persentase tingkat gangguan satwa dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26 Persentase tingkat gangguan satwa Pada gambar 26 terlihat bahwa ladang petani pesanggem di desa Andongrejo
semua tanamannya 100 diganggu satwaliar khususnya banteng dan babi, sedangkan di desa Curahnongko sebesar 92 khususnya babi hutan dan monyet
dan Desa Kalipait 92,62 khususnya banteng, babi hutan, monyet dan rusa. Akibat adanya gangguan banteng di ladang masyarakat menyebabkan kerusakan
tanaman pertanian masyarakat seperti ditunjukkan pada Tabel 15. Adanya gangguan banteng terhadap ladang masyarakat dapat mempengaruhi persepsi
masyarakat terhadap keberadaan satwa banteng tersebut.
20 40
60 80
100 120
Tidak diganggu
Diganggu
Persentase
Gangguan satwa
Andongrejo Curahnongko
Kalipait
Tabel 15 Kerugian akibat gangguan banteng di TNMB per hektar lahan
No. Jenis
Persentase Besaran Rp.
1. Padi 30
1.372.500,- 2. Jagung
20 590.000,-
3. Kedelai 20
570.000,- 4. Kacang
tanah 30
1.065.000,- 5. Ketela
20 250.000,-
Sumber: Heriyanto dan Mukhtar 2011 Selama ini petani melindungi ladangnya dari gangguan satwa liar banteng
dan babi dengan cara pemagaran dengan pagar hidup seperti gamal Gliricidia sepium
Jacq. Kunth.. Selain itu mereka juga menunggu ladangnya terutama pada malam hari dengan cara menyalakan lampu minyak dan bunyi-bunyian.
Di lokasi bekas penyangga TNAP yang dikelola oleh Perum Perhutani, awal dimulainya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM yaitu tahun 2003.
Jumlah pesanggem sebanyak 500 KK, sedangkan pada saat dilakukan penelitian jumlah pesanggem di kawasan bekas penyangga dan hutan produksi berkisar
antara 60 - 80 KK. Petani pesanggem di bekas penyangga secara bertahap mulai meninggalkan lokasi lahan garapannya. Hal ini dilakukan atas perintah pihak
taman nasional, karena masa sebagai pesanggem sudah selesai. Sebenarnya masyarakat masih berharap tetap dapat memanfaatkan kawasan bekas penyangga
walaupun hanya dalam bentuk pengambilan hasil dari tanaman yang mereka tanam seperti kemiri , petai dan nangka.
Pada akhir tahun 2010 telah dibuat konsep MOU bahwa kawasan bekas penyangga sebelum pengelolaannya diserahkan ke TNAP, akan dilakukan
penebangan terlebih dulu oleh Perum Perhutani. Kesepakatan tersebut akan menimbulkan konsekwensi yaitu kembalinya petani pesanggem ke lokasi bekas
penyangga dengan aktivitas bertaninya. Penebangan pohon jati juga akan menyebabkan terganggunya banteng karena kawasan bekas penyangga
merupakan koridor satwa khususnya banteng. Sehingga untuk meminimalisir terjadinya konflik perlu dilakukan pengelolaan kawasan bekas penyangga yang
melibatkan stakeholders terkait.
5.2.5 Tingkat Pendapatan Masyarakat Petani Sekitar TNAP dan TNMB
Jenis komoditas dominan yang ditanam petani pesanggem sekitar TNAP yaitu tanaman palawija. Jenis komoditas yang diusahakan dan nilai produktivitas
tanaman per 0,25 hektar lahan garapan di sekitar TNAP tersebut disajikan dalam Gambar 27. Dari perhitungan terhadap hasil produksi, harga jual serta biaya yang
dikeluarkan selama penanaman dan pemeliharaan diketahui bahwa pendapatan rata-rata per komoditas yang dihasilkan oleh petani pesanggem per tahun.
Gambar 27 Nilai produktivitas lahan garapan PHBM per 0,25 ha di sekitar TNAP
Pola tanam dan jenis tanaman yang dikembangkan pada lahan garapan di Desa Kalipait dan sekitarnya yaitu padi pada saat musim hujan, sedangkan sisa
waktu lainnya atau pada musim kemarau lahan garapan umumnya ditanami jagung, kedelai, dan semangka dan sebagian kecil ada yang menanam kacang tunggak,
lombok dan tembakau. Petani yang biasa menanam semangka yaitu di kawasan hutan produksi blok Sumbergedang dan Gunting, sedangkan kacang tunggak di
blok Ngeselan. Kacang tunggak dijadikan pilihan oleh sebagian kecil pesanggem di Ngeselan karena tanaman ini tidak terlalu membutuhkan air dan hasilnya sama
dengan menanam kedelai. Sedangkan padi, kacang kedelai dan jagung dilakukan di semua lokasi lahan garapan. Persentase jenis tanaman utama yang ditanam petani
sebagian besar adalah padi gogo 50, jagung 32 dan kedelai 18. Pada Tabel 16 menunjukkan hasil pendapatan petani dari tanaman yang diusahakannya.
2,175,000 1,400,000
7,050,000 6,715,000
- 1,000,000
2,000,000 3,000,000
4,000,000 5,000,000
6,000,000 7,000,000
8,000,000
Padi Jagung
Kedelai Semangka
Nilai Rp. Per tahun
Jenis Komoditas Nilai Produktivitas lahan Rp.0,25ha
Tabel 16 Pendapatan petani pesanggem di sekitar TNAP per tahun per 0,25 ha
No. Jenis
komoditi Biaya bibit dan
pemupukan Rp.
Hasil panen Rp.
Pendapatan Rp.
Luas lahan m
2
1. Padi 325.000,-
2.500.000,- 2.175.000,-
2.500 2. Kedelai
750.000,- 7.800.000,-
7.050.000,- 2.500
3. Jagung 200.000,-
1.600.000,- 1.400.000,-
2.500 4. Semangka 485.000,-
7.200.000,- 6.715.000,-
2.500 Total
17.340.000,-
Sumber : Data primer yang diolah Pendapatan tersebut belum termasuk ongkos tanam, ongkos tanam tidak
diperhitungkan karena petani pesanggem mengerjakan sendiri. Petani pesanggem dengan lahan garapan 0,5 ha dapat menghasilkan padi gogo sebanyak 2 ton gabah
dengan harga jual Rp. 2500,- per kg, pesanggem dapat hasil sebesar Rp. 5000.000,-. per sekali panen. Pendapatan tersebut dikurangi oleh biaya pembelian
bibit 30 kg, harga per kg Rp. 5.000,- biaya pemupukan sebanyak 4 kuintal, harga per kuintal Rp. 125.000,- jadi total pengeluaran untuk lahan garapan dalam
penanaman padi sebesar Rp 650.000,-. Dari perhitungan hasil produksi dan biaya yang dikeluarkan diketahui bahwa pendapatan petani dari hasi panen padi sebesar
Rp. 2.175.000,- per 0,25 hektar. Pendapatan dari menanam kedelai seluas 0,25 ha dapat menghasilkan 1,5 ton
kedelai, harga kedelai Rp.5200,- per kg, jadi pendapatan dari hasil panen kedelai per 0,25 ha sebanyak Rp. 7.800.000,- dikurangi biaya bibit dan pemupukan Rp.
750.000,- jadi pendapatan bersih dari kedelai seluas 0,25 ha sebesar Rp.7.050.000,-. Produksi jagung dari lahan garapan seluas 0,25 ha pada musim hujan sebanyak 2
ton, sedangkan pada saat kemarau 1,5 ton. Harga per kg jagung Rp. 800,- jadi pendapatan dari panen jagung sebesar Rp. 1600.000,- dikurangi pupuk Rp.200.000,-
jadi pendapatan bersih Rp. 1.400.000,- bibit tidak beli tapi menggunakan hasil panen sebelumnya. Sedangkan untuk semangka dengan luas lahan garapan 0,25 ha
dapat dihasilkan 6 ton semangka siap panen, harga per kilo Rp. 1.200,- berat 4-5 kg per biji. Modal bibit per 0,25 ha yaitu Rp. 140.000,- sedangkan untuk pupuk
Rp. 345.000,- atau total modal Rp. 485.000,-. Jadi pendapatan dari hasil panen semangka yaitu berkisar Rp.6.715.000,-.
Pada umumnya pesanggem di Desa Kalipait dan sekitarnya dalam satu tahun menanam satu kali padi dan 2 kali kedelai atau jagung dan khusus untuk lokasi
Gunting dan Sumbergedang setelah menanam padi mereka menanam semangka atau kedelai secara bergantian. Dari perhitungan produksi tanaman yang
diusahakan dapat dihitung pendapatan petani pesanggem sekitar kawasan TNAP sebesar Rp. 17.340.000,- atau Rp. 1.445.250,- per bulan. Pendapatan tersebut
relatif tinggi dibanding dengan upah minimum regional Kabupaten Banyuwangi tahun 2011 sebesar Rp. 865.000 per bulan, tetapi pendapatan akan berkurang
separuhnya jika ladangnya diganggu banteng. Dalam mengantisipasi gangguan banteng petani menunggu ladangnya siang
malam 52 atau mengusir banteng dengan bunyi-bunyian pada jam-jam tertentu 48. Dengan adanya gangguan banteng menyebabkan persepsi terhadap
banteng menjadi negatif. Bunyi-bunyian yang dilakukan masyarakat dengan menggunakan karbit menyebabkan banteng terganggu dan dikhawatirkan menjadi
stress, karena jika mendengar bunyi ledakan banteng akan lari tanpa arah. Hal ini yang dikhawatirkan oleh pengelola taman nasional, sehingga pengelola melarang
pengusiran banteng dengan menggunakan bunyi ledakan karbit. Petani di sekitar TNMB sistem bertaninya dilakukan secara tumpangsari di
zona rehabilitasi kawasan taman nasional dan di areal Perkebunan Bandealit, sedangkan di TNAP dilakukan di kawasan bekas penyangga dan kawasan Perum
Perhutani . Tanaman tumpang sari dilakukan di bawah tegakan jati, mahoni dan nyamplung yang lokasinya berbatasan langsung dengan taman nasional. Jenis
tanaman di zona rehabilitasi selain tanaman semusim seperti padi, jagung dan kedelai, ditanam juga tanaman keras MPTS multipurpose tree spesies seperti petai,
pakem Pangium edule, kemiri Aleurites moluccana, nangka Artocarpus heterophylluss
Lamk. dan kedawung Parkia timoriana. Di Perkebunan Bandealit tanaman semusim padi, jagung, kedelai, kacang hijau diantaranya ditanam dibawah
tegakan karet dan sengon serta tanah kosong yang belum ditanami tanaman perkebunan. Di TNAP jenis tanaman yang diusahakan di kawasan Perum Perhutani
hanya tanaman semusim saja seperti padi, jagung, kedelai dan semangka, kecuali di kawasan bekas penyangga ada sekitar 30 ha yang ditanami tanaman keras oleh
masyarakat seperti kemiri, nangka dan kedawung.
Jenis tegakan yang diusahakan pada zona rehabilitasi di TNMB sebagian besar yaitu tanaman buah dan obat. Tanaman buah-buahan yang dikembangkan yaitu
nangka, durian, mangga, jambu, petai, tanaman obat seperti kedawung , kemiri, kluwih, asem, mengkudu, melinjo, jahe, cabe jawa dan kunyit serta tanaman kayu
diantaranya sengon dan jati. Jenis komoditas tanaman palawija yang umum diusahakan adalah jagung, kedelai, padi, jagung dan kacang ijo, selain itu masyarakat
juga menanam lada dan cabe jawa. Alasan pemilihan jenis tersebut karena pemasaran yang mudah, setiap panen sudah ada yang datang menampung, harga jual
cukup baik pemeliharaan dan penyediaan bibit mudah, bibit selain menggunakan dari hasil panen juga dibeli dari toko pertanian yang ada di kota
kecamatan. Persentase jenis komoditas tanaman yang diusahakan dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28 Persentase distribusi jenis komoditas tanaman sekitar TNMB Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pola tanam dan jenis tanaman
yang dikembangkan di Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko yaitu padi ditanam pada saat musim hujan, sedangkan pada musim kemarau lahan garapan
umumnya ditanami jagung, kedelai, dan kacang ijo. Penanaman dilakukan secara bergiliran yaitu jika satu jenis komoditi sudah panen diganti dengan jenis komoditi
lain, sehingga dalam satu tahun petani menanam beberapa jenis secara bergantian tidak hanya satu jenis saja. Tingkat pendapatan petani pesanggem sekitar di TNMB
disajikan pada Tabel 17.
10 20
30 40
50 60
Tanaman obat
Tanaman buah
Tanaman palawija
Tanaman kayu
Tanaman perkebunan
Persentase
Jenis komoditas tanaman
Andongrejo Curahnongko