Determining Minimum and Optimum Viable Population Size of Banteng (Bos javanicus) Based on Demographic Parameters at Alas Purwo National Park, Banyuwangi, East Java

(1)

PE

BERD

NASIO

ENENTUA

OPTIMU

DASARK

ONAL AL

IN

AN UKUR

UM LEST

KAN PARA

LAS PUR

SEKOLA

NSTITUT

RAN POP

TARI BAN

AMETER

RWO, BAN

MASUD

AH PASC

T PERTA

BOGO

2012

PULASI M

NTENG (

R DEMO

NYUWAN

DAH

CA SARJA

ANIAN BO

OR

2

MINIMU

(

Bos javan

GRAFI D

NGI, JAW

ANA

OGOR

UM DAN

nicus)

DI TAMA

WA TIMU

AN

UR


(2)

(3)

PERNYATAAN

MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penentuan Ukuran Populasi Minimum dan Optimum Lestari Banteng (Bos javanicus) berdasarkan Parameter Demografi di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Masudah NRP E.353100035


(4)

(5)

ABSTRACT

MASUDAH. Determining Minimum and Optimum Viable Population Size of Banteng (Bos javanicus) Based on Demographic Parameters at Alas Purwo National Park, Banyuwangi, East Java. Under direction of YANTO SANTOSA and ABDUL HARIS MUSTARI

One of the main goals of conservation is to maintain sustainability and to increase the population size of living species. In order to conserve an important wildlife population, Minimum Viable Population (MVP) and Optimum Viable Population (OVP) are the main population parameters that must be known. Banteng (Bos javanicus) are protected by the conservation law yet on the other hand has a great economic value for human. Research on MVP of banteng has not yet been performed up until now, and this was the main reason for undertaking a certain study. The aims of this study were to determine MVP and OVP of banteng as a basic point of wildlife management. To obtain the actual condition of the population (population size, sex ratio and age classes) an inventory method of Concentration Count was used, performed in Sadengan grazing field. Based on the assumption that all banteng would gather at this certain location, the counting was performed within 18 repetition and the largest counted number was then considered as the population size. The Algebra linear equation system from Leslie’s matrix was used to determine MVP, while the density dependence of Leslie’s matrix was used to determine the OVP. The population size used as base of calculation was the size of female population, and as for the male population size was predicted using the initial population’s sex ratio. The result showed that the MVP of banteng in Alas Purwo National Park was 94 with the domination of females in each of age classes, which predicted would occur in a year ahead (2013). As for the OVP was 149, also dominated by females and predicted to be occured in the next 30 years (2024).

Keywords: minimum viable population, optimum viable population, concentration count, banteng


(6)

(7)

RINGKASAN

MASUDAH. Penentuan Ukuran Populasi Minimum dan Optimum Lestari Banteng (Bos javanicus) berdasarkan Parameter Demografi di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan ABDUL HARIS MUSTARI

Sebagai kawasan konservasi di mana kategori wilayah penyebaran banteng berstatus Confirmed Range, TN Alas Purwo merupakan salah satu kawasan prioritas pada Program Pengelolaan Populasi Banteng di Pulau Jawa. Selain itu, TN Alas Purwo merupakan kawasan konservasi yang telah menerapkan sistem pengelolaan kawasan berbasis resort sehingga manajemen pengelolaannya sudah berbasis kinerja petugas di level terendah dalam pengelolaan taman nasional.

Salah satu tolok ukur dari kelestarian adalah ukuran populasi minimum lestari atau Minimum Viable Population (MVP). Penentuan ukuran populasi minimum lestari sangat penting dalam manajemen populasi terutama dalam penyusunan rencana pengelolaan spesies. Selain ukuran populasi minimum lestari, ukuran populasi optimum lestari atau Optimum Viable Population (OVP) juga penting untuk dikaji. Ukuran populasi optimum lestari merupakan kondisi di mana pada ukuran populasi tersebut laju pertumbuhan populasi akan maksimal. Dengan laju pertumbuhan maksimal, populasi akan bertambah dengan cepat.

Penelitian dilaksanakan di TN Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Penelitian dan pengolahan data dilaksanakan selama 6 bulan yaitu pada bulan Maret s.d Agustus 2012. Data demografi banteng yang diperlukan meliputi: ukuran populasi, kelas umur, seks rasio, peluang hidup, fekunditas, dan usia kawin. Data yang dikumpulkan di lapangan berupa ukuran populasi, kelas umur dan sex rasio. Peluang hidup dan fekunditas didapatkan dari hasil analisis data lapangan sedangkan usia kawin didapatkan dari hasil studi pustaka. Penghitungan populasi dilakukan dengan metode penghitungan terkonsentrasi dengan asumsi bahwa pada saat pengamatan, banteng berkumpul di Padang Penggembalaan Sadengan. Pengamatan dilakukan selama 18 kali ulangan. Ukuran populasi tertinggi merupakan ukuran populasi pada saat pengamatan.

Penentuan ukuran populasi minimum lestari didasari dari pemikiran bahwa kelestarian tercapai jika setidaknya populasi akhir sama dengan atau lebih dari populasi awal. Pada penelitian ini, populasi awal adalah ukuran populasi pada saat pengamatan. Persamaan populasi awal dan populasi akhir didapatkan dari penjabaran matriks Leslie yang dimodifikasi. Persamaan-persamaan tersebut dieliminasi untuk mendapatkan ukuran populasi minimum lestari pada setiap kelas umur. Penentuan ukuran populasi optimum lestari dilakukan dengan memproyeksikan populasi awal pertahun dengan menggunakan matriks Leslie terpaut kepadatan (Density Dependent) sehingga dapat dilihat pertumbuhan populasinya. Populasi optimum lestari adalah ukuran populasi pada tahun ke-t di mana selisih antara Nt dengan Nt+1 merupakan selisih terbesar di antara tahun-tahun lainnya. Waktu yang digunakan pada proyeksi populasi ini adalah 200 tahun. Populasi yang digunakan sebagai populasi awal dalam proyeksi matriks


(8)

Leslie ini hanya populasi jenis kelamin betina. Ukuran populasi pada jantan didapatkan dari perbandingan seks rasio.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran populasi minimum lestari banteng di TN Alas Purwo adalah 94 ekor dengan jumlah betina anak 21 ekor, jantan anak 7 ekor, betina remaja 28 ekor, jantan remaja 9 ekor, betina dewasa 23 ekor, dan jantan dewasa 6 ekor dan diprediksi akan tercapai satu tahun mendatang. Ukuran Populasi optimum lestari banteng di TN Alas Purwo adalah 149 ekor dengan jumlah anak betina 23 ekor, anak jantan 8 ekor, betina remaja 39 ekor, jantan remaja 12 ekor, betina dewasa 53 ekor, dan jantan dewasa 14 ekor dan diprediksi akan tercapai 30 tahun yang akan datang atau pada tahun 2042. Kata kunci : populasi minimum lestari, populasi optimum lestari, metode


(9)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

PENENTUAN UKURAN POPULASI MINIMUM DAN

OPTIMUM LESTARI BANTENG (

Bos javanicus)

BERDASARKAN PARAMETER DEMOGRAFI DI TAMAN

NASIONAL ALAS PURWO, BANYUWANGI, JAWA TIMUR

MASUDAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

(13)

Judul Tesis : Penentuan Ukuran Populasi Minimum dan Optimum Lestari Banteng (Bos javanicus) berdasarkan Parameter Demografi di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur

Nama : Masudah

NRP : E.353100035

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA. Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.F

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Keanekaragaman Hayati

Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur sejak Maret 2012.

Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada:

1. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan, yang telah memberikan izin dan kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor;

2. Bapak Ir. Sri Winenang, MM dan Ir. Sahabuddin (Kepala BKSDA Sulawesi Tengah) yang mendukung penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan dengan lancar;

3. Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA (ketua komisi pembimbing) dan Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M. Sc. F (anggota komisi) atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran dalam memberikan arahan, bimbingan hingga selesainya penulisan tesis ini;

4. Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MSselaku penguji luar komisi pada ujian sidang tesis yang telah menyediakan waktu untuk memberikan koreksi, masukan dan saran dalam penyempurnaan tesis ini;

5. Bapak Rudijanta Tjahja Nugraha, S.Hut, M. Sc beserta Staf Balai Taman Nasional Alas Purwo yang telah membantu selama pengumpulan data;

6. Suami tercinta Agus Yulianto, S.Si. MIDS; anak-anakku tersayang Afiqah Husnayani Almas, Afnan Huwaiza Almas, dan Athifa Huriyah Almas juga ayah, ibu dan saudara-saudaraku atas doa dan dukungannya selama penulis menjalani studi;

7. Lugi Hartanto, S.P, M.Sc, Dian Sulastini, S.Si, M. Sc, Kusmardiastuti S.Hut, MP, dan Astri Yuliawati, S.Si, M.Si atas bantuannya selama penelitian;

8. Teman-temen seperjuangan Program Magister Profesi KKH 2010 (Nyoto, Yusuf, Teguh, Septi, Mbah Parjoni, Desi, Hendra, Mas nDok, Sri Mina, Ferdi, Mbak Leni, Lintang, Pak Yarman, Mirta, Mbak Lusi, Via, Cahyo, dan Mas Buday) atas kebersamaan, kekompakan dan kerjasama dalam suka dan duka; 9. Pak Sofwan dan Bi Uum yang selalu siap membantu dengan pelayanan

terbaiknya.

Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggung jawab. Kiranya Allah SWT yang memberi balasan dan ahir kata semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2012 Masudah


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Dukuhturi, Tegal pada tanggal 2 Agustus 1974 dari suami istri Bapak Tarya dan Ibu Taripah (Almh). Penulis merupakan anak kesepuluh dari dua belas bersaudara.

Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Slawi, Kabupaten Tegal dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 1998.

Sejak tahun 2000 sampai dengan 2003 penulis bekerja di Balai Konservasi Sumber Daya Alam D.I Yogyakarta, tahun 2003 sampai dengan 2006 penulis bekerja di Balai Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur, dan tahun 2006 hingga sekarang penulis bekerja di Balai Konsevasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah sebagai pejabat fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Tahun 2010 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Kementerian Kehutanan pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati (Program Magister Profesi), Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana IPB, penulis melakukan penelitian tentang “Penentuan Ukuran Populasi Minimum dan Optimum Lestari Banteng (Bos javanicus) berdasarkan Parameter Demografi di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur” di bawah bimbingan Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA sebagai ketua dan Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MSc.F sebagai anggota komisi pembimbing.


(18)

(19)

xvii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Kegunaan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Bioekologi Banteng ... 3

2.1.1 Taksonomi ... 3

2.1.2 Morfologi dan Anatomi ... 3

2.1.3 Penyebaran Geografi ... 4

2.1.4 Habitat ... 5

2.1.5 Perilaku ... 8

2.2 Status Perlindungan Banteng ... 8

2.3 Parameter Demografi ... 9

2.3.1 Natalitas ... 9

2.3.2 Mortalitas ... 10

2.3.3 Perkembangbiakan dan Reproduksi ... 11

2.3.4 Struktur Umur dan Seks Rasio ... 12

2.3.5 Penentuan Kelas Umur Banteng ... 12

2.4 Populasi Minimum Lestari ... 13

2.5.1 Pengertian ... 13

2.5.2 Pendekatan untuk Menentukan MVP ... 15

2.5 Populasi Optimum Lestari ... 16

2.6 Produktivitas Rumput dan Daya Dukung ... 17

III. KONDISI UMUM LOKASI ... 19

3.1 Letak, Luas, dan Status Kawasan ... 19

3.2 Topografi, Geologi, Iklim, dan Hidrologi ... 21

3.3 Flora, Fauna, dan Ekosistem ... 23

3.4 Padang Penggembalaan Sadengan ... 24

IV. BAHAN DAN METODE ... 27

4.1 Lokasi dan Waktu ... 27

4.2 Alat dan Bahan ... 27

4.3 Metode Pengumpulan Data ... 27

4.3.1 Pengumpulan Data Demografi Banteng ... 27


(20)

xviii

4.4. Analisis Data ... 29

4.4.1 Ukuran Populasi ... 29

4.4.2 Struktur Umur dan Seks Rasio ... 29

4.4.3 Peluang Hidup ... 29

4.4.4 Fekunditas dan Usia Kawin ... 30

4.4.5 Daya Dukung ... 30

4.4.6 Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 30

4.4.7 Penentuan Laju Pertumbuhan Finit ... 31

4.4.8 Ukuran Populasi Optimum Lestari ... 32

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

5.1 Perkembangan Populasi Banteng di TN Alas Purwo ... 35

5.2 Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 40

5.3 Analisis Sensitivitas terhadap Peluang Hidup dan Fekunditas... 46

5.4 Produktivitas dan Daya Dukung ... 46

5.5 Ukuran Populasi Optimum Lestari ... 49

5.6 Pertumbuhan Populasi berdasarkan Matriks Leslie Terpaut Kepadatan ... 53

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 57

6.1 Simpulan ... 57

6.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59


(21)

xix

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Hubungan antara umur banteng, tinggi sampai pundak,dan

panjang tanduk ... 13 2. Banteng berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin ... 28 3. Seks rasio banteng dewasa di TN Alas Purwo 1998-2011 ... 38 4. Ukuran populasi, struktur umur, dan seks rasio banteng hasil

pengamatan ... 40 5. Ukuran populasi minimum lestari banteng di TN Alas Purwo ... 45 6. Analisis sensitivitas peluang hidup dan fekunditas terhadap

ukuran populasi minimum lestari ... 46 7. Produktivitas hijauan pakan di Padang Penggembalaan


(22)

(23)

xxi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Peta sebaran banteng ... 4

2. Peta status sebaran banteng di Indonesia ... 5 3. Kurva survivorship ... 10 4. Peta zonasi TN Alas Purwo ... 20 5. Grafik perkembangan populasi banteng di Padang

Penggembalaan Sadengan TN Alas Purwo 1998-2011 ... 35 6. Populasi banteng di Padang Penggembalaan Sadengan, TN Alas

Purwo ... 37 7. Grafik angka kelahiran kasar tahun1998-2011 ... 38 8. Grafik angka kematian kasar banteng tahun 1998-2011 ... 39 9. Struktur umur banteng di TN Alas Purwo ... 41 10. Grafik peluang hidup banteng di TN Alas Purwo ... 42 11. Padang Penggembalaan Sadengan, TN Alas Purwo ... 48 12. Padang Penggembalaan Sadengan dengan populasi banteng,

menara pengamatan satwa, dan tandon air untuk menyuplai

kebutuhan air bagi satwa ... 49 13. Grafik selisih jumlah individu banteng setiap tahun di TN Alas

Purwo ... 50 14. Kirinyuh dan enceng-enceng ... 52 15. Grafik pertumbuhan populasi banteng di TN Alas Purwo ... 53


(24)

(25)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Contoh perkalian Matriks Leslie Terpaut Kepadatan. ... 67

2. Perhitungan ukuran populasi minimum lestari dengan sistem

persamaan aljabar linier dengan metodeeliminasi ... 69 3. Tabel perkembangan populasi banteng di TN Alas Purwo ... 73 4. Akar ciri proyeksi matriks M ... 77 5. Hasil analisis sensitivitas peluang hidup dan fekunditasterhadap


(26)

(27)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Banteng sebagai salah satu jenis satwa liar memiliki nilai ekonomi dan budaya yang penting bagi umat manusia sejak dahulu, yaitu sebagai sumber protein, bahan untuk membuat peralatan (baik dari tulang maupun tanduknya), kepercayaan, dan alat penutup tubuh (Alikodra 1983). Sejak tahun 1996, banteng dikategorikan “Endangered” atau “Terancam Kepunahan” dalam Red Data List IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). Banteng juga dilindungi oleh Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Di Indonesia, populasi dan habitat banteng terus menurun. Ancaman utama adalah konversi lahan dan kerusakan habitat, perburuan liar dan predator. Populasi banteng hanya terkonsentrasi di kawasan hutan, terutama di kawasan konservasi. Beberapa lokasi yang masih bisa dijumpai adanya banteng antara lain di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN Baluran, TN Meru Betiri, dan TN Alas Purwo, serta di beberapa kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi tersebut.

Sebagai kawasan konservasi berstatus Confirmed Range untuk penyebaran banteng di Indonesia, TN Alas Purwo merupakan salah satu kawasan prioritas pada Program Pengelolaan Populasi Banteng di Pulau Jawa (Kemenhut, 2011). Selain itu, TN Alas Purwo merupakan kawasan konservasi yang telah menerapkan sistem pengelolaan kawasan berbasis resort sehingga manajemen pengelolaannya sudah berbasis kinerja petugas di level terendah dalam pengelolaan taman nasional yang sudah mengcover pengelolaan banteng sebagai unit tersendiri.

Salah satu tolok ukur dari kelestarian pengelolaan banteng adalah ukuran populasi minimum lestari atau Minimum Viable Population (MVP). Penentuan ukuran populasi minimum lestari sangat penting dalam manajemen populasi terutama dalam penyusunan rencana pengelolaan spesies. Ukuran populasi minimum lestari merupakan tujuan utama dalam konservasi biologi (Shaffer 1981,


(28)

 

Soule 1995; Wielgus 2001). Keberhasilan upaya pelestarian dicirikan oleh ukuran populasi yang mencapai MVP, di mana dipastikan tidak akan terjadi penurunan ukuran populasi. Ukuran populasi optimum lestari atau Optimum Viable Population (OVP) menunjukkan keadaan pertumbuhan populasi maksimal, di mana populasi akan bertambah dengan cepat. Kondisi ini perlu dipertahankan jika pengelolaan satwa bertujuan untuk pemanfaatan. Penelitian tentang MVP dan OVP banteng sampai saat ini belum dilakukan.

Pada umumnya ukuran populasi minimum lestari maupu ukuran optimum lestari yang diperoleh merupakan ukuran populasi secara keseluruhan dan belum menunjukkan komposisi/perbedaan kelas umur, padahal peluang hidup pada masing-masing kelas umur berbeda. Data dan informasi ini sangat penting dalam rangka pengaturan populasi agar kelestariannya terjamin dalam jangka panjang (Wielgus 2001). Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai penentuan ukuran populasi minimum dan optimum lestari banteng berdasarkan parameter demografi untuk setiap kelas umur dan jenis kelamin.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menentukan ukuran populasi minimum lestari banteng pada setiap kelas umur dan jenis kelamin;

2. Menentukan ukuran populasi optimum lestari banteng pada setiap kelas umur dan jenis kelamin.

1.3 Kegunaan

Hasil penghitungan nilai populasi minimum dan optimum lestari ini diharapkan dapat dijadikan target pengelolaan banteng sehingga kelestariannya terjaga. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan dasar untuk penentuan kuota tangkap dan acuan waktu pemanenan. Selain itu, data yang diperoleh bermanfaat sebagai data pendukung dalam rencana aksi pengelolaan banteng secara nasional.


(29)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioekologi Banteng

2.1.1 Taksonomi

Lekagul dan McNeely (1977) mengklasifikasikan banteng ke dalam dunia Animalia, filum Choerdata, kelas Mammalia, orda Artiodactyla, Famili Bovidae, genus Bos, spesies Bos javanicus dan sub species Bos javanicus javanicus (terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia), Bos javanicus lowi (terdapat di Kalimantan) dan Bos javanicus birmanicus (terdapat di Indocina).

2.1.2 Morfologi dan Anatomi

Banteng memiliki morfologi tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih tinggi dari pada bagian belakang tubuhnya. Tinggi pundak banteng mencapai 120-70 cm. Bagian dada banteng terdapat gelambir yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan. Maryanto et al. (2008) menyatakan bahwa bentuk tubuh betina banteng lebih kecil dibandingkan dengan jantan. Tinggi jantan mencapai 1.9 m dengan bobot badan 825 kg, sedangkan tinggi betinanya 1.6 m dengan bobot badan 635 kg. Banteng asal Kalimantan umumnya mempunyai ukuran lebih pendek atau kecil.

Banteng juga memiliki warna kulit dan sepasang tanduk yang dapat membedakan jenis kelamin dan umur banteng. Banteng jantan memiliki warna kulit hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warna tubuhnya. Banteng betina tubuhnya berwarna coklat kemerah-merahan, semakin tua umurnya, maka warnanya akan semakin gelap menjadi coklat tua. Anak banteng baik yang jantan maupun betina berwarna coklat, sehingga sulit untuk dibedakan jenis kelaminnya. Tanduk pada banteng jantan berwarna hitam mengkilap, runcing dan melengkung simetris ke dalam, sedangkan pada banteng betina bentuk tanduknya lebih kecil (Lekagul & McNeely 1997; Maryanto et al. 2008).


(30)

 

2.1.3 Penyebaran Geografi

Hoogerwerf (1970) mengemukakan bahwa wilayah penyebaran banteng meliputi Burma, Thai, Indocina, Semenanjung Malaya, dan Indonesia (Kalimantan dan Jawa) dengan memperkirakan bahwa populasi banteng tahun 1940 sekitar 200 ekor, sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan dan di dataran rendah sebelah selatan Jawa. Peta sebaran banteng dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber : IUCN-SSC Asian Wild Cattle Specialist Group 2010 Gambar 1 Peta sebaran banteng.

Saat ini, status sebaran banteng di Indonesia dibagi dalam empat kategori (Kemenhut 2011), yaitu kawasan yang dapat dipastikan sebagai habitat banteng (confirmed range), kawasan yang mungkin menjadi habitat banteng (possible range), kawasan yang diragukan menjadi habitat banteng (doubtful range), dan kawasan yang pernah menjadi habitat banteng (former range atau extirpated). Peta status sebaran banteng selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.


(31)

 

   

 

Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Recana Aksi Konservasi Bateng 2011-2020

Gambar 2 Peta status sebaran banteng di Indonesia.

2.1.4 Habitat

Habitat merupakan suatu rangkaian interkasi antara komponen biotik dengan komponen abiotik yang ditempati oleh suatu komunitas atau populasi kehidupan. Komponen biotik terdiri dari berbagai organisme yang hidup, sedangkan komponen abiotik terdiri dari berbagai benda mati atau faktor-faktor lingkungan yang mendukung atau sering berinteraksi dengan komponen biotik, seperti iklim, suhu, kelembaban, tanah dan sebagainya. Keberadaan kedua komponen tersebut akan mempengaruhi kelengkapan suatu habitat bagi suatu spesies di segala musim ataupun pada musim-musim tertentu. Alikodra (2002) menyatakan bahwa ukuran dari kelengkapan suatu habitat adalah mampu menyediakan berbagai keperluan bagi suatu spesies termasuk sumber makanan, minum dan perlindungan (cover), dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil.


(32)

 

2.1.4.1 Pakan

Hoogerwerf (1970) berdasarkan hasil pengamatannya di TN Ujung Kulon menunjukkan bahwa komposisi pakan banteng terdiri atas 20 spesies rumput, dan 70 spesies non rumput yang hampir semuanya adalah jenis-jenis tumbuhan hutan sekunder, dan hanya enam jenis yang merupakan spesies hutan primer. Pairah (2007) berdasarkan hasil penelitian di TN Alas Purwo bahwa makanan banteng terdiri dari 22 jenis rumput dan 55 jenis non rumput.

Banteng jika dilihat dari komposisi pakan di atas, sebagai hewan herbivora lebih dominan memakan rumput-rumputan (grazer). Akan tetapi Hoogerwerf (1970) juga menambahkan hasil penelitiannya pada lambung beberapa banteng jantan yang tertembak di Cianjur Selatan ditemukan bahwa pakan banteng hampir seluruhnya terdiri dari non rumput, yaitu daun-daun Trema orientale, Passiflora foetida, Lygodium sp., dan Musa sp., bahkan ada satu banteng yang pakannya hanya terdiri dari satu jenis tumbuhan yaitu Passiflora foetida. Penelitian Muntasib dan Masy’ud (2000) juga menguatkan bahwa banteng diperkirakan telah mengalami perubahan pola makan dari grazer menjadi peragut (pemakan daun dan semak), karena dari proporsi jenis non rumput termasuk jenis hijauan yang relatif memiliki serat kasar tinggi yang dimakan banteng lebih besar dari pada jenis rumput, yaitu mencapai 48,2%.

2.1.4.2 Ketersediaan Air

Kebutuhan air yang digunakan banteng tidak hanya air tawar, tetapi diperlukan juga air laut untuk memenuhi kebutuhan garam/mineralnya. Kebutuhan banteng akan air tawar biasanya dapat dipenuhi dari sumber-sumber air alami, seperti sungai, kawasan karst, genangan-genangan air pada musim hujan dan sebagainya. Sumber air lainnya, yaitu dari sumber air buatan yang biasanya ditampung dalam bak penampungan. Santosa dan Delfiandi (2007) berdasarkan penelitiannya menyatakan bahwa banteng di TN Alas Purwo memenuhi kebutuhan airnya berasal dari 2 sumber, yaitu sumber alami dari aliran sungai gua-gua yang mengalir sepanjang tahun dan sumber air buatan yang ditampung dalam bak penampungan air dan sprinkle. Banteng di TN Ujung Kulon


(33)

 

   

 

untuk memenuhi kebutuhan airnya hanya bersumber dari Sungai Cidaun dan Sungai Cijungkulon (Alikodra 1983).

Peranan air ini sangat penting dalam tubuh agar dapat memperlancar reaksi kimia dan merupakan medium ionisasi dan hidrolisa zat makanan yang sangat baik. Asam-asam amino yang terdapat dalam air akan mengalami ionisasi sehingga zat makanan akan lebih reaktif. Selain itu, Alikodra (1983) menyatakan bahwa air merupakan faktor pembatas bagi kehidupan banteng dan satwa liar lainnya. Oleh karena itu, apabila ketersediaan air berkurang, akan sangat mempengaruhui kelangsungan kehidupan satwa liar. Dengan demikian, kebutuhan banteng akan air pun sangat penting untuk pertumbuhannya.

2.1.4.3 Cover

Habitat utama banteng adalah di hutan tropis atau sub tropis kering dan savana. Banteng tinggal pada dataran terbuka dan kering di daerah hutan sekunder akibat penebangan maupun kebakaran, dan jarang ditemukan pada dataran tinggi, sehingga banteng ini termasuk satwa dataran rendah. Alikodra (1983) menyatakan bahwa tempat yang ideal bagi banteng merupakan suatu kesatuan (ekosistem) yang terdiri dari hutan, padang penggembalaan dan sumber-sumber air.

Banteng merupakan satwaliar yang menyukai tipe habitat yang lebih terbuka (Hoogerwerf 1970). Akan tetapi Lekagul & McNeely (1977) menjelaskan bahwa sebelum perang dunia II banteng selalu merumput di tempat terbuka selama pagi hari dan sore hari, dan beristirahat di bawah hutan pada saat matahari bersinar sangat terik.

Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa hutan yang tertutup tidak cocok sebagai habitat banteng, areal terbuka di dalam atau di pinggiran hutan lebih cocok sebagai habitat banteng. Sebagai contoh di Jawa, Banteng tidak termasuk ke dalam jenis yang hidup di dalam hutan, namun hidup pada areal terbuka berumput atau ditumbuhi rumput yang mirip tanaman (grasslike plants), dan memiliki hutan yang tertutup di salah satu bagian kawasan seperti di TN Ujung Kulon.


(34)

 

2.1.5 Perilaku

Alikodra (2002) menyatakan bahwa perilaku adalah semua gerakan atau kegiatan satwa untuk melestarikan atau mempertahankan hidupnya dan dapat diartikan sebagai ekspresi suatu binatang yang disebabkan atau ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Alikodra (1983) menyatakan bahwa banteng merupakan satwa liar yang kurang selektif terhadap jenis tumbuhan yang dimakannya dan lebih bersifat sebagai satwa pemakan rumput (grazer) dibandingkan dengan pemakan daun dan atau semak (browzer).

Banteng merupakan satwa herbivora yang lebih sebagai pemakan rumput (grazer) daripada sebagai pemakan semak (browzer) sehingga lebih menyukai habitat yang terbuka untuk mencari makan. Menurut Priyatmono (1996)), banteng kurang menyukai hutan primer yang tidak terdapat semak-semak atau tumbuhan bawah yang merupakan makanannya, sedangkan menurut Alikodra dan Sastradipradja (1983), hutan dataran rendah dijadikan sebagai tempat bersembunyi dari berbagai macam gangguan dan dijadikan sebagai tempat berlindung dari kondisi cuaca yag tidak menentu.

2.2 Status Perlindungan Banteng

Pemerintah Indonesia melakukan perlindungan terhadap banteng sejak tahun 1931 melalui Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 yang tertulis dengan nama Bos sondaicus. Penurunan populasi banteng yang terus terjadi menyebabkan pemerintah mengambil salah satu langkah untuk melestarikan banteng dengan menetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri pertanian No.327/Kpts/Um/7/1972) yang dilakukan di sejumlah kawasan konservasi di Indonesia. Pada tahun 1999, pemerintah kembali menguatkan bahwa banteng merupakan salah satu satwa yang dilindungi melalui Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Status konservasi banteng berdasarkan IUCN Red Data List telah mengalami perubahan dari rentan/vulnerable pada tahun 1986-1994 menjadi terancam/endangered berdasarkan pada penurunan populasi yang melebihi kisaran 80% dalam tiga generasi terakhir dan penurunan secara keseluruhan


(35)

 

   

 

minimal 50% berdasarkan pengamatan langsung, penurunan tingkat kejadian, perdagangan ilegal tingkat tinggi bagian Banteng (terutama tanduk), dan karena adanya perdagangan daging secara tak terkendali di Asia Tenggara dan dari berburu untuk perdagangan tanduk, serta hilangnya habitat dan degradasi di Jawa (IUCN 2004). Ancaman utama terhadap kelestarian banteng menurut IUCN (2004) adalah :

1. Hilangnya atau rusaknya habitat yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan perkebunan serta pembangunan pemukiman penduduk;

2. Spesies asing invasive (yang berpengaruh secara langsung terhadap spesies dan munculnya kompetitor);

3. Perburuan, yaitu pengambilan berlebihan terhadap spesies yang dilakukan oleh manusia;

4. Perubahan dalam dinamika spesies asli, yaitu dengan adanya domestikasi dan hibridisasi serta adanya penyakit/pathogen.

2.3 Parameter Demografi

2.3.1 Natalitas

Populasi meningkat karena natalitas. Tingkat natalitas setara dengan angka kelahiran, natalitas hanya menjadi kata yang lebih luas yang mencakup produksi individu baru dengan kelahiran, penetasan, perkecambahan, atau fisi. Tingkat natalitas dapat dinyatakan sebagai jumlah organisme lahir per wanita per satuan waktu. Pengukuran tingkat natalitas atau kelahiran sangat tergantung pada jenis organisme yang dipelajari (Krebs 1978).

Natalitas merupakan jumlah individu baru (anak) yang lahir dalam suatu populasi yang dapat diyatakan dalam beberapa cara yaitu produksi individu baru dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu per individu (Odum 1971). Natalitas dapat dinyatakan dalam laju kelahiran kasar (crude birth rate), yaitu perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan dengan jumlah seluruh anggota populasi pada satu periode waktu; dan laju kelahiran pada umur spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk dalam kelas umur tertentu (Alikodra 2002).


(36)

10 

 

Beberapa faktor yang mempengaruhi laju induk melahirkan anak adalah (Deshmukh 1992) : (1) Jumlah anak yang dihasilkan dalam setiap kelahiran; (2) Waktu antara satu kejadian reproduksi dengan kejadian berikutnya; dan (3) Umur reproduksi yang pertama.

2.3.2. Mortalitas

Kepadatan populasi dapat berkurang oleh faktor mortalitas. Mortalitas dapat dihitung lajunya sebagai angka kematian, jumlah hewan yang mati selama unit waktu (biasanya satu tahun) dibagi dengan jumlah hidup pada awal satuan waktu (Deshmukh 1992; Sinclair et al. 2006).

Pola kematian karena umur lanjut digambarkan melalui kurva kelangsungan hidup/peluang hidup (survivorship curve). Peluang hidup adalah kemampuan individu kelas umur tertentu untuk hidup pada kelas umur di atasnya. Setiap makhluk hidup memiliki tipe kurva peluang hidup yang berbeda-beda. Secara umum tipe survivorship dibedakan menjadi tiga tipe seperti pada Gambar 3.

Sumber : Pearl 1928 dalam Krebs 1978 dan Hasibuan 1988 Gambar 3. Kurva survivorship.

Tipe 3 

Tipe 2

Tipe 1 Peluang 

Hidup 


(37)

11 

 

   

 

Kurva tipe 1 merupakan gambaran populasi yang setelah kelahiran tidak mengalami penurunan, akan tetapi menjelang periode umur tertentu mengalami penurunan yang drastis. Beberapa populasi mamalia besar dan manusia termasuk kedalam kurva tipe 1. Kurva tipe 2 menggambarkan angka kematian yang relatif tetap untuk setiap kelas umur dari suatu populasi, kurva tersebut membentuk garis diagonal. Kurva tipe ini merupakan ciri dari kurva survivorship pada binatang pengerat, beberapa jenis burung dan populasi invertebrata. Kurva tipe 3 menyatakan suatu keadaan laju kematian sangat tinggi pada awal hidupnya, seperti yang terjadi pada ikan, kemudian berangsur-angsur menurun sampai tahap akhir dari satu periode hidup (Krebs 1978; Hasibuan 1988; Deshmukh 1992). Beberapa faktor yang mempengaruhi kematian antara lain karena adanya predator, penyakit, dan bahaya lain yang mengancam jauh sebelum organisme mencapai usia tua (Krebs 1978).

2.3.3 Perkembangbiakan dan Reproduksi

Kemampuan berkembang biak menentukan kelestarian suatu populasi. Banteng melakukan perkawinan dalam suatu periode waktu tertentu yang tergantung dari lokasinya. Menurut Lekagul dan McNeely (1977), musim kawin banteng di Thailand adalah dalam bulan Mei dan Juni. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa musim kawin banteng di Suaka Alam Ujung Kulon adalah dalam bulan Juli, September, dan Oktober, kadang-kadang juga dalam bulan Nopember dan Desember. Perkawinan tersebut biasanya dilakukan pada waktu malam hari.

Lamanya bayi dalam kandungan adalah 9,5-10 bulan, jumlah anak setiap induk berkisar antara 1-2 ekor, namun kebanyakan 1 ekor setiap induk. Anaknya dilahrkan dalam satu menit, 40 menit kemudian anaknya sudah dapat berdiri, 60 menit kemudian menyusu induknya. Selanjutnya anaknya akan disapih dalam umur 10 bulan. Banteng liar menurut Hoogerwarf (1970) termasuk monoestrus, artinya mempunyai satu musim kawin dalam satu tahun. Umur termuda banteng betina untuk mulai berkembang biak adalah 3 tahun, sedangkan untuk jantan lebih dari 3 tahun. Banteng dapat mencapai umur 21-25 tahun, sehingga seekor banteng betina sepanjang umurnya dapat menurunkan anak sebanyak 21 kali.


(38)

12 

 

2.3.4 Struktur Umur dan Seks Rasio

Penyebaran umur merupakan ciri atau sifat penting populasi yang mempengaruhi natalitas dan mortalitas. Biasanya populasi yang sedang berlangsung cepat akan mengandung bagian besar individu-individu muda, populasi yang stasioner memiliki pembagian kelas umur yang lebih merata, dan populasi yang menurun akan mengandung bagian besar individu-individu yang berusia tua (Odum 1993).

Individu-individu dalam populasi mencakup berbagai tingkatan umur. Struktur umur adalah proporsi individu dalam setiap kelas umur dari suatu populasi (Deshmukh 1992). Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar, sehingga dapat dipergunakan pula untuk menilai prospek kelestarian satwa liar (Alikodra 2002).

Tarumingkeng (1994) menggolongkan struktur umur pada populasi dalam tiga pola, yaitu :

1. Struktur umur menurun yaitu struktur umur yang memiliki kerapatan populasi kecil pada kelas-kelas umur yang sangat muda dan muda, paling besar pada kelas umur sedang dan kecil pada kelas umur tua. Perkembangan populasi tersebut terus menurun dan jika keadaan lingkungan tidak berubah, populasi akan punah setelah beberapa waktu;

2. Struktur umur stabil, bentuk piramida sama sisi, dengan sisi-sisi yang kemiringannya mengikuti garis lurus; dan

3. Struktur umur meningkat dengan populasi yang terus meningkat, merupakan piramida dengan sisi-sisi yang cekung dengan dasar yang lebar.

Seks ratio adalah perbandingan jumlah jantan dengan betina dalam satu populasi. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa seks rasio banteng adalah 1:3 sampai 1:4; sedangkan Alikodra (1983) menyatakan seks rasio banteng di padang penggembalaan Cijungkulon adalah 1:6.

2.3.5 Penentuan Kelas Umur Banteng

Identifikasi umur satwa liar di lapangan mengalami banyak kesulitan, oleh karena itu penentuan kelas umur dapat ditentukan hanya berdasarkan morfologi


(39)

13 

 

   

 

dan perilaku satwa di lapangan. Kelas umur hanya dibagi dalam tiga kelas yaitu anak, remaja, dan dewasa.

Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa perkembangan tanduk dapat dipergunakan untuk mengetahui kelas umur dari banteng sampai mencapai umur kurang lebih 30 bulan. Tabel hubungan antara umur banteng, tinggi sampai pundak dan panjang tanduk dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hubungan antara umur banteng, tinggi sampai pundak, dan panjang tanduk

Kelamin Umur Tinggi sampai pundak (cm) Panjang tanduk (cm)

Jantan 4.0 Hari 75 Tidak ada tanda-tanda

Jantan 23.0 Hari 84 Benjolan kecil

Jantan 36.0 Hari 92 Tanduk muncul di

permukaan kulit

Jantan 63.0 Hari 85 2

Jantan 70.0 Hari - 3

Jantan 6.5 Bulan 110 8

Jantan 9.5 Bulan 120 15

Jantan 12.0 Bulan 125 23

Jantan 20.5 Bulan 125 35

Jantan 2.5 Bulan 90 2

Betina 17.0 Bulan 118 9

Sumber : Hoogerwerf 1970

2.4 Populasi Minimum Lestari

2.4.1 Pengertian

Menurut Soule (1995), MVP dapat diartikan sebagai seperangkat penduga yang merupakan hasil dari suatu proses sistematik untuk menduga spesies, lokasi dan kriteria kelestarian populasi. Proses tersebut mengacu pada analisis populasi atau Population Viability Analysis (PVA).

PVA merupakan tahap lanjut dari analisis demografi yang bertujuan untuk mempelajari apakah suatu spesies mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup di suatu lingkungan (Bessinger & McCullough 2002, Morris & Doak 2002). Sebagai alat bantu yang penting bagi PVA diterapkan berbagai metode matematika dan statistika. Lebih lanjut PVA bermanfaat memantau fluktuasi ukuran populasi dari suatu spesies (Indrawan et al. 2007).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih spesies dalam analisis populasi (Soule 1995) adalah :


(40)

14 

 

1. Spesies yang aktivitasnya dapat menimbulkan gangguan habitat pada beberapa spesies lainnya;

2. Spesies mutualistik yang perilakunya dapat meningkatkan fitness (misalnya reproduksi, penyebaran) bagi spesies lainnya;

3. Spesies predator atau parasit yang mengganggu spesies lain dan keberadaanya akan menyebabkan penurunaan keragaman spesies lain;

4. Spesies yang memiliki nilai spiritual, estetika, rekresional atau memiliki nilai ekonomi bagi manusia;

5. Spesies yang langka dan terancam punah.

Ukuran populasi minimum lestari menyatakan ambang batas ukuran populasi suatu spesies dalam satuan individu yang memastikan bahwa populasi tersebut akan terus bertahan hidup sampai jangka waktu tertentu (Rai 2003). Shaffer (1981) mendevinisikan MVP untuk berbagai jenis spesies yang terdapat di setiap habitat sebagai populasi terkecil yang terisolasi yang mempunyai kemungkinan 99% untuk bertahan hidup atau lestari selama 1000 tahun setelah mendapatkan pengaruh demografi, lingkungan, genetik, dan juga bencana alam. Sedangkan menurut Reed (2000) MVP adalah populasi terkecil dari suatu spesies yang mempunyai kemungkinan 99% untuk tetap ada selama 40 generasi.

MVP merupakan istilah yang umum digunakan dalam konservasi biologi (Soule 1995). Lemkhul (1984) menyatakan definisi MVP sebagai populasi terkecil yang terisolasi yang memiliki peluang 95,1% untuk dapat bertahan selama 100 tahun meskipun diketahui ada pengaruh dari demografi, lingkungan, genetic dan katastrop. Lebih lanjut Shaffer (1981) menyatakan bahwa istilah MVP merupakan kemungkinan peluang hidup suatu spesies dikatakan tinggi jika jumlah spesies tersebut dapat dipertahankan di atas ukuran tertentu. Sama halnya dengan penggunaan istilah ‘optimum’, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan suatu rekomendasi kepada pembuat kebijakan dan pengelola dalam manajemen populasi. Hal yang harus digarisbawahi adalah MVP mengandung definisi kelimpahan spesies (Soule 1995).


(41)

15 

 

   

 

2.4.2 Pendekatan untuk Menentukan MVP

Ewens et al. (1995) dan Boyce (1992) menyatakan secara umum terdapat dua konsep penentuan MVP. Konsep yang pertama adalah penentuan MVP berdasarkan genetik yang menekankan pada laju kehilangan genetik dari suatu populasi termasuk di dalamnya penurunan fitness dan genetic drift. Konsep yang kedua adalah penentuan MVP berdasarkan demografi yang menekankan pada kemungkinan terjadinya kepunahan populasi akibat dari tekanan demografi. Nilai MVP akan dipengaruhi oleh ciri yang umum dari model misalnya struktur geografi, ukuran populasi maksimum, laju kematian dan laju kelahiran (absolut atau terpaut kepadatan) dan lainnya. Selain itu, nilai MVP juga tergantung pada ciri-ciri yang lebih detail seperti nilai numerik dari parameter-parameter dalam kerangka yang lebih luas (Boyce 1992). Kedua konsep di atas, penentuan nilai MVP tergantung pada dua asumsi, yang pertama kriteria yang dipilih untuk mendefinisikan istilah MVP. Sebagai contoh dengan menggunakan konsep demografi maka ukuran populasi yang dapat menjamin peluang kelestarian sampai 95% peluang hidup untuk y tahun tergantung pada nilai yang dipilih untuk y. Asumsi yang kedua menekankan pada model yang digunakan untuk menggambarkan perilaku dari suatu populasi. Sebagai hasilnya adalah akan diperoleh nilai MVP dengan selang yang luas yang dapat digunakan untuk semua situasi dan sebuah standard nila numerik yang dapat digunakan sebagai ‘rule’ untuk MVP. Untuk mendapatkan nilai MVP berdasarkan demografi, simulasi komputer akan sangat membantu.

Lemkhul (1984) merupakan orang pertama yang menyatakan argumen penggunaan genetik sebagai dasar dalam penentuan MVP. Selanjutnya Franklin (1980) menyatakan bahwa setidaknya diperlukan 50-500 individu untuk mempertahankan keragaman genetik. Angka tersebut diperoleh dari pengalaman praktis Franklin dalam membiakkan hewan budidaya (domestikasi) dan dalam meriset laju mutasi pada lalat buah. Jumlah minimun tersebut diperkirakan cukup efektif untuk menghindari tekanan silang dalam jangka pendek serta cukup efektif untuk mempertahankan variasi genetik dalam populasi. Selanjutnya Lande (1995) menyatakan setidaknya dibutuhkan 5.000 individu untuk mempertahankan variasi genetik yang dibutuhkan proses evolusi dan untuk menjamin keberadaan populasi


(42)

16 

 

tersebut. Aturan 50/500 sulit diterapkan karena asumsi tidak selalu didukung oleh kenyataan. Dalam aturan 50/500 diasumsikan bahwa suatu populasi terdiri dari N individu di mana setiap individu memiliki kemungkinan yang sama untuk kawin serta menghasilkan keturunan. Pada kenyatannya, berbagai faktor termasuk umur, kesehatan, sterilisasi, kekurangan makanan, ukuran tubuh yang kecil, dan struktur sosial bekerja mencegah perkawinan sehingga banyak individu yang bersifat steril, tidak memproduksi keturunan. Banyak di antara faktor tersebut dipengaruhi degradasi dan fragmentasi habitat (Lemkhul 1984).

Beberapa penelitian untuk menentukan MVP berdasarkan parameter demografi dan genetik diantaranya Wielgus (2001) menentukan minimum viable population grizzly bears di British Columbia, Brito (2002) dengan penelitian penentuan MVP dan status konservasi dari spiny rat di Atlantic Forest. Selain itu Reed et al. (2003) melakukan pendugaan MVP untuk berbagai vertebrata, Leech et al. (2008) yang melakukan pendugaan MVP untuk kaka (Nestor meridionalis) yang merupakan flagship dan indicator spesies di New Zealand, Goldingay (1995) melakukan penelitian mengenai penentuan luas kawasan bagi kelestarian Australian Gilding marsupial dengan dasar parameter demografi seperti kematian, sex ratio dan kelas umur, dan Howels & Jones (1996) melakukan penelitian penentuan luasan hutan yang tersisa untuk mendukung MVP wild boar di Scotlandia.

2.5 Populasi Optimum Lestari

Populasi optimum lestari adalah populasi yang menunjukkan keadaan riap maksimum atau nilai dN/dt tertinggi. Populasi optimum lestari tercapai pada saat laju pertumbuhan intrinsik (r) maksimal dan bernilai positif (r > 0). (Hasibuan 1988; Alikodra 2002; Tarumingkeng 1994). Pada sistim pengelolaan yang bertujuan untuk keperluan pemungutan satwa liar, pemungutan dilakukan pada kondisi ini. Pada kondisi ini sering disebut dengan tingkat kepadatan pemanenan maksimal (maximum harvest density).

Tingkat kepadatan panenan maksimum adalah jumlah satwa liar yang mampu ditampung oleh suatu habitat pada kondisi hasil pemanenan yang maksimum. Kondisi ini bisa tercapai dengan cara mengatur faktor-faktor


(43)

17 

 

   

 

kesejahteraanya, seperti kualitas pakan maupun kuantitas pelindungnya secara intensif. Jika tidak didukung oleh kecukupan faktor-faktor kesejahteraannya, keadaan prodiktivitas populasinya akan menjadi terbatas (Bolen 2003). Pada kondisi ini kualitas dan performance populasi sangat bagus, karena populasi satwa dipertahankan di bawah daya dukung lingkungan.

Kesulitan dalam menetapkan angka maksimal hasil pemanenan sering dijumpai. Untuk mengatasinya sering kali dipergunakan pendekatan-pendekatan tertentu, misalnya dengan cara memantau kecenderungan kondisi habitat dan populasi satwa liar, khususnya keadaan reproduksi. Hasil panenan maksimum yang tepat didapatkan dari berbagai fakta, misalnya model populasi dengan tabel-tabel kehidupan yang menggunakan simulasi komputer (Adam 1971 dalam Alikodra 2010).

2.6 Produktivitas Rumput dan Daya Dukung

Produktivitas rumput tergantung pada beberapa faktor (McIlroy 1976) yaitu :

1. Persistensi (daya tahan), yaitu kemampuan bertahan untuk hidup dan berkembang biak secara vegetatif;

2. Daya saing, yaitu kemampuan untuk memenangkan persaingan dengan spesies-spesies lain yang tumbuh bersama;

3. Kemampuan tumbuh kembali setelah injakan dan penggembalaan berat; 4. Sifat tahan kering atau tahan dingin;

5. Penyebaran produksi musiman;

6. Kemampuan menghasilkan cukup banyak biji yang dapat tumbuh baik atau dapat dikembangbiakan secara vegetatif dengan murah;

7. Kesuburan tanah (terutama kandungan nitrogen); 8. Iklim.

Beberapa pengertian dari daya dukung antara lain : 91) Jumlah satwa liar yang dapat ditampung oleh suatu habitat; (2) Batas (limit) atas pertumbuhan suatu populasi yang di atasnya jumlah populasi tidak dapat berkembang lagi; dan (3) Jumlah satwa liar pada suatu habitat yang dapat mendukung kesehatan dan


(44)

18 

 

kesejahteraannya (Dasman 1964, Moen 1973, Boughey 1973 dalam Alikodra 2002).

Deshmukh (1992) mengatakan bahwa sebagian besar ekosistem mengandung banyak jenis dan mempunyai berbagai kondisi abiotik dan hal tersebut menyebabkan suatu populasi tertentu akan memiliki batas ukuran atas yang secara permanen tak dapat dilampaui. Garis batas tersebut adalah daya dukung suatu lingkungan untuk populasi itu. Daya dukung ditentukan oleh tersedianya berbagai sumber daya seperti pakan dan ruang.


(45)

III. KONDISI UMUM LOKASI

Penelitian penentuan ukuran populasi minimum dan optimum lestari dilaksanakan di TN Alas Purwo. Secara umum, kondisi lokasi penelitian adalah sebagai berikut :

3.1. Letak, Luas, dan Status Kawasan

Secara geografis kawasan TN Alas Purwo terletak pada 8o 26' 45’’ - 8 o 47' 00’’ LS dan 114o 20’ 16’’ - 114o 36’ 00’ BT.Ketinggian tempat bervariasi dari 0-322 mdpl. Menurut administrasi pemerintahan masuk dalam wilayah Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi. Taman Nasional Alas Purwo berbatasan dengan Teluk Grajagan, kawasan hutan produksi Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyuwangi Selatan, Desa Grajagan, Desa Purwoagung, Desa Sumberasri, di sebelah Barat. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali dan Samudera Indonesia, sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Pangpang, Selat Bali, desa Sumber Beras, desa Kedungrejo, desa Wringinputih, Kecamatan Muncar serta desa Kedungasri, Kecamatan Tegaldlimo dan sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Kawasan Alas Purwo, sebelum ditetapkan sebagai taman nasional semula berstatus Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor stbl 456 tanggal 1 September 1939 dengan luas areal 62.000 ha. Berdasarkan berita acara pengukuran tanggal 27 Mei 1983 luasan tersebut diubah menjadi 43.420ha. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 283/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992, status suaka margasatwa berubah menjadi taman nasional.

Kawasan TN Alas Purwo, berdasarkan pembagian zonasi sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 51/Kpts/Dj-IV/1987 tanggal 12 Desember 1987 terbagi atas:

1. Zona Inti seluas 17.200 ha; 2. Zona Rimba seluas 24.767 ha; 3. Zona Pemanfaatan seluas 250 ha; 4. Zona Penyangga seluas 1.303 ha.


(46)

20 

 

Pada tahun 2005 dilakukan revisi zonasi TN Alas Purwo terkait dengan usulan zona pemanfaatan dan perubahan eks zona penyangga menjadi zona tradisonal dan zona rehabilitas. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : 26/Kpts/IV-KK/2007 tanggal 19 Pebruari 2007 tentang Revisi Zonasi TN Alas Purwo, zonasi TN Alas Purwo terbagi atas: (1) Zona Inti seluas 17.150 ha; (2) Zona Rimba seluas 24.207 ha; (3) Zona Rehabilitasi seluas 620 ha; (4) Zona Pemanfaatan seluas 660 ha; dan (5) Zona Tradisional seluas 783 ha. Peta lokasi penelitian dan pembagian zonasi selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Sumber : Balai TN Alas Purwo

Gambar 4 Peta zonasi TN AlasPurwo.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Pebruari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, Balai TN Alas Purwo terdiri dari 2 (dua) Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah yaitu Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Tegaldlimo dan Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Muncar. TN Alas Purwo, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu perlindungan proses ekologis sistem penyangga kehidupan,


(47)

21 

 

   

 

pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dalam bentuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, dan pariwisata alam.

3.2 Topografi, Geologi, Iklim, dan Hidrologi

3.2.1 Topografi

Kawasan TN Alas Purwo terdiri dari daerah pantai (perairan, daratan dan rawa), daerah daratan hingga daerah perbukitan dan pegunungan, dengan ketinggian mulai antara 0–322 mdpl dengan puncak tertinggi Gunung Lingga Manis. Daerah pantai melingkar mulai dari Segoro Anak (Grajagan) sampai daerah Muncar dengan panjang garis pantai sekitar 105 Km. Kelerengan kawasan mulai daerah datar (0-8%) seluas 10.554 ha;landai (8-15%) seluas 19.474 ha; agak curam (15-25%) seluas 11.091 ha; serta curam (25-40%) seluas 2.301 ha.

3.2.2 Geologi

Formasi geologi pembentuk kawasan berumur Meosen atas, terdiri dari batuan berkapur dan batuan berasam. Pada batuan berkapur terjadi proses karstifikasi yang tidak sempurna, karena faktor iklim yang kurang mendukung (relatif kering), serta batuan kapur yang diperkirakan terintrusi oleh batuan lain. Di kawasan ini terdapat banyak gua, dan menurut hasil inventarisasi terdapat 44 buah gua. Diantara gua-gua tersebut yang selama ini banyak dikunjungi adalah Gua Istana, Gua Padepokan dan Gua Basori.

Jenis tanah terdiri atas 4 (empat) kelompok, yaitu (1) tanah komplek Mediteran Merah-Litosol seluas 2.106 ha, (2) tanah Regosol Kelabu seluas 6.238 ha, (3) tanah Grumosol Kelabu seluas 379 ha, dan (4) tanah Aluvial Hidromorf seluas 34.697 ha.

3.2.3 Iklim

Kawasan TN Alas Purwo dan sekitarnya memiliki curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun. Hari hujan berkisar dari tidak ada hari hujan hingga lebih


(48)

22 

 

dari 15 hari hujan. Curah hujan tahunan mencapai 1.079 mm (Tegaldlimo), 1.491 mm (Purwoharjo), 1.554 mm (Muncar) dan 2.147 mm (Glagah), masing-masing dengan hari hujan sebanyak 55 hari, 71 hari, 79 hari, dan 112 hari. Menurut sistem klasifikasi Schmidth dan Ferguson daerah ini memiliki tipe iklim sekitar D (agak lembab) sampai E (agak kering). Secara umum, bulan basah terjadi pada bulan Nopember sampai April, dan bulan kering terjadi pada bulan Mei sampai Oktober. Kisaran penyinaran matahari bulanan di Banyuwangi dan sekitarnya adalah 52% (bulan Januari) hingga 89% (bulan September), dengan rata-rata sebesar 75%. Suhu udara maksimum bulanan di Banyuwangi antara 31,2oC–34,5oC dan suhu udara minimumnya antara 20,7oC–22,5oC, sedangkan suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,9oC–28,2oC. Fluktuasi kelembaban udara juga tergolong kecil, yaitu berkisar antara 75%-81%. Arah angin terbanyak yang bertiup di daerah Banyuwangi adalah arah Selatan dengan kecepatan antara 2,3– 4,2 knot.

3.2.4 Hidrologi

Jaringan sungai di kawasan TN Alas Purwo berpola radial karena leher semenanjungnya menyempit. Aliran airnya langsung mengarah ke laut (Samudera Hindia dan Selat Bali). Sungai secara umum berupa sungai kecil (aliran kurang dari 10 m dengan panjang kurang dari 5 Km), namun jumlahnya sangat banyak (sekitar 70 buah). Beberapa sungai, seperti Sunglon Ombo dan Sungai Pancur, berhubungan dengan sungai bawah tanah yang mengalir di bawah kompleks perbukitan/lipatan kapur (daerah karst). Sungai Pancur mengalir dari sungai bawah tanah gua Istana dimanfaatkan untuk keperluan pengelolaan taman nasional, terutama pos Rowobendo, Pesanggrahan, Triangulasi dan pos Pancur. Sungai yang ukurannya relatif besar (Sungai Kemiri, Sungai Pail dan Sungai Paluh Agung dan Sungai Segoro Anak) terdapat di daerah Bedul sampai Rowobendo, di mana aliran airnya mengumpul di bagian hilir Sungai Segoro Anak, memiliki lebar lebih dari 500 m di bagian hilirnya dan membentuk daerah berawa. Sungai yang mengalir sepanjang tahun hanya terdapat di bagian Barat, yaitu Sungai Segoro Anak dan Sunglon Ombo. Pada musim penghujan muara sungai sering jebol dan air mengalir jernih, Sungai Pancur mengalir sepanjang


(49)

23 

 

   

 

tahun yang pada musim kemarau airnya berasa sadah dan pada musim penghujan berasa tawar. Di beberapa tempat sumber air dalam jumlah kecil dapat diperoleh dari sistim rekahan atau celahan dari lapisan lapuk tebal serta endapan aluvium yang tipis. Sumber air semacam ini dapat ditemui di blok hutan Pecari Kuning dan Sadengan. Mata air banyak terdapat di daerah Gunung Kucur, Gunung Kunci, Goa Basori dan Sendang Srengenge.

3.3Flora, Fauna, dan Ekosistem

3.3.1 Flora

Keanekaragaman jenis flora darat di kawasan TN Alas Purwo termasuk tinggi. Hasil inventarisasi tumbuhan oleh TN Alas Purwo mencatat 158 jenis tumbuhan (59 famili) mulai dari tingkat tumbuhan bawah sampai tumbuhan tingkat pohon dari berbagai tipe/formasi vegetasi (Hutan Pantai-Mangrove-Hutan Dataran Rendah). Secara keseluruhan, TN Alas Purwo merupakan taman nasional yang memiliki formasi vegetasi yang lengkap, di mana hampir semua tipe formasi vegetasi dapat dijumpai. Formasi vegetasi yang dimiliki mulai dari pantai (hutan pantai) sampai hutan hujan tropika dataran rendah.

3.3.2 Fauna

Satwa liar yang terdapat di TN Alas Purwo terdiri dari 31 jenis mamalia, 236 jenis burung dan 20 jenis reptil. Mamalia besar yang terdapat di TN Alas Puwo antara lain Banteng, (Bos javanicus), macan tutul (Panthera pardus), anjing hutan (Cuon alpnus), kijang (Muntiacus muntjak), dan rusa timor (Rusa timorensis). Jenis primata yaitu lutung budeng (Trachypithecus auratus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Jenis burung yang terdapat di TN Alas Purwo dan termasuk langka, yaitu Merak (Pavo muticus), ayam hutan (Gallus sp), rangkong (Buceros rhinoceros), kangkareng perut putih (Anthracoeros sp) dan julang (Anthracoeros convecus). Di TN Alas Purwo juga dapat dijumpai 16 jenis burung migran dari Austarlia yang biasa ditemui di sekitar Segoro Anak pada bulan November sampai akhir Januari. Sedangkan jenis reptil yaitu penyu yang terdapat di sekitar pantai TN Alas Purwo


(50)

24 

 

adalah penyu hijau (Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Erithmochelys imbricate) dan penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea). Penyu-penyu tersebut memanfaatkan pantai sekitar TN Alas Purwo sebagai tempat mendarat dan bertelur (BTNAP 2005).

3.3.3 Ekosistem

Keadaan ekosistem khas TN Alas Purwo secara alami didominasi oleh tipe ekosistem hutan tropis dataran rendah yang merata di seluruh kawasannya.Selain itu, dijumpai juga ekosistem yang sangat beragam baik alami maupun buatan di antaranya terdiri dari (1) Ekosistem hutan pantai; (2) Ekosistem hutan mangrove; (3) Ekosistem hutan dataran rendah; (4) Ekosistem padang penggembalaan; (5). Ekosistem hutan jati hasil pembinaan habitat (BTNAP 2011).

3.4 Padang Penggembalaan Sadengan

Upaya pembinaan populasi satwa, khususnya bantenngan pembuatan padang penggembalaan. Pada tahun 1975 dilakukan pembuatan padang penggembalaan di tiga tempat, yaitu padang penggembalaan Payaman seluas ±25 Ha, Pancur ±5 Ha, dan Sadengan 75 Ha. Padang Penggembalaan Payaman ternyata hanya jalur lintas satwa untuk mengasin dan tidak tersedia air minum, sehingga keberadaan satwa sangat jarang. Padang Penggembalaan Payaman dihutankan kembali dengan permudaan jambu mente, nangka dan lain sebagainya, setelah dinilai tidak layak. Padang penggembalaan yang kedua adalah Pancur seluas ±5 Ha. Perkembangannya hampir sama dengan Payaman sehingga difungsikan sebagai camping ground.

Sadengan dibuka sebagai padang penggembalaan dengan luas 75 Ha menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal PPA tahun 1978, namun dalam kenyataan di lapangan ditemukan luas ± 84 Ha. Pembukaan Padang Penggembalaan Sadengan dilakukan dengan sistem tumpang sari yang melibatkan masyarakat sekitar hutan.

Di dalam areal Padang Penggembalaan Sadengan terdapat 3 (tiga) sumber air utama yang permanen, yaitu sungai Basori, sungai Tengah, dan Sungai Selatan. Sungai Basori memiliki panjang ±0,782 km dan debit rata-rata 2,2 l/s.


(51)

25 

 

   

 

Panjang Sungai Tengah ±1.716,00 km dengan debit 5,0 l/s, sedangkan Sungai Selatan memiliki panjang ±1.552,95 km dengan debit 3,7 l/s (BTNAP 2008). Satu sungai utama, yaitu sungai Tengah yang terletak di tengah padang penggembalaan Sadengan airnya mengalir sepanjang tahun/musim. Pada musim kemarau masih ada sedikit aliran air yang kontinyu. Sungai Selatan yang terletak pada arah tenggara Padang Penggembalaan Sadengan mempunyai aliran sungai yang bersifat tidak permanen.

Untuk memenuhi kebutuhan air bagi satwa di musim kemarau dibuatlah 4 buah bak air minum satwa. Sumber air berasal dari mata air Goa Basori yang dialirkan ke Padang Penggembalaan Sadengan melalui pipa paralon yang ditanam dalam tanah. Fluktuasi debit air tanah tidak terlalu besar sehingga diharapkan dapat menyuplai air ke Padang Penggembalaan Sadengan secara kontinyu. Sumber mata air di Goa Basori mempunyai vegetasi yang rapat dan lebat, sehingga fungsi tangkapan air oleh tajuk-tajuknya dapat dijalankan dengan baik dan menjamin keberlangsungan sumber air. Secara perlahan-lahan tangkapan air ini dikeluarkan melalui mata air/spring. Dengan demikian fluktuasi air tanah antara musim kemarau dan musim penghujan tidak terlalu besar.

Vegetasi tingkat pohon yang terdapat di dalam Padang Penggembalaan Sadengan antara lain : Apak (Ficus sundalca), Ketangi (Lagerstomia sp.), Gebang (Corypha utan), Gintungan (Bischoffla javanica), Awar-awar (Ficus septica), Bendo (Arthocarpus elasticus) dan Winong (Tetranales nudiflora). Untuk pengelolaan satwa liar di padang penggembalaan Sadengan akan menguntungkan dengan adanya dominasi dari bambu, karena jenis ini merupakan pelindung yang baik dari predator dan gangguan pemburu liar. Vegetasi tingkat semak, jenis yang ada antara lain : Sontoloyo (Hyptis capitata), Kerinyu (Eupatorium odoratum), wedusan (Ageratum conyzoldes), serut (Strablus asper) dan tembelekan (Lantana camara).

Ekosistem padang penggembalaan Sadengan dihuni oleh berbagai satwa liar dari kelas Pisces, Amphibia, Reptilia, Aves dan Mamalia. Jenis-jenis fauna yang dapat dijumpai secara langsung di padang penggembalaan Sadengan sebagian besar dari kelompok aves dan mamalia. Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain : merak hijau (Pavo muticus), rangkong (Buceros


(52)

26 

 

rhinoceros), Kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris), bangau tongtong (Leptoptilus javanicus), elang ular (Spilornis cheela), elang alap nipon (Accipiter gularis), elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan jalak putih (Sturnus melanopterus).

Mamalia yang dapat dijumpai di padang penggembalaan Sadengan antara lain banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus), Monyet (Macaca fascicularis) dan Lutung jawa (Tracypithecus auratus). 


(53)

IV. BAHAN DAN METODE

4.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di TN Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Penelitian dan pengolahan data dilaksanakan selama 6 bulan yaitu pada bulan Maret sampai Agustus 2012.

4.2Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Alat tulis,

gunting, jam tangan, kamera digital, kompas, peta kawasan, tally sheet, teropong

binokuler, populasi banteng, perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan Wolfram

Mathematica 8.

4.3Metode Pengumpulan Data

4.3.1 Pengumpulan Data Demografi Banteng

Data demografi banteng yang diperlukan meliputi: ukuran populasi, kelas umur, seks rasio, peluang hidup, fekunditas, dan usia kawin. Data yang dikumpulkan di lapangan berupa ukuran populasi, kelas umur dan seks rasio. Peluang hidup dan fekunditas didapatkan dari hasil analisis data lapangan sedangkan usia kawin didapatkan dari hasil studi pustaka.

Pengambilan data menggunakan metode terkonsentrasi. Pengamatan di Padang Penggembalaan dilakukan dengan cara menghitung semua individu banteng di areal padang penggembalaan. Pengamatan dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pagi hari (05.00-08.00) dan sore hari (15.00-18.00) selama 9 hari atau 18 kali ulangan.

Data yang dicatat meliputi jumlah individu pada setiap kelas umur dan jenis kelamin. Sehubungan sulitnya mengetahui secara pasti umur banteng di lapangan, maka penentuan umur banteng didasarkan pada morfologinya, kemudian dikategorikan menjadi kelas umur anak, remaja dan dewasa. Ciri-ciri morfologi dan perilaku pada setiap kelas umur di sajikan pada Tabel 2.


(54)

28 

 

Tabel 2 Banteng berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin

Kelas umur

Jenis kelamin

Keterangan Jantan Betina

Anak

Individu anak memiliki warna coklat baik pada jantan maupun betina dengan tinggi badan sekitar ¼ dewasa

Remaja

Individu remaja, mempunyai ukuran tubuh sedikit lebih besar dari pada individu anak, tanduk pada jantan sudah terlihat bentuk garpu sedangkan pada betina paralel

Dewasa

Individu dewasa memiliki ukuran tubuh yang besar. Warna pada jantan hitam, sedangkan betina coklat dengan bentuk tanduk yang sudah sempurna

4.3.2 Pendugaan Produktivitas Rumput

Data produktivitas rumput yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder produktivitas rumput hasil pengukuran selama dua tahun pada musim hujan dan kemarau, yaitu tahun 2009 dan 2010 oleh Garsetiasih (2012). Pengukuran masing-masing dilakukan 3 kali ulangan setiap musim pada setiap tahun, masing-masing plot berjumlah 20 dengan ukuran 1m x 1m.


(55)

29 

 

   

 

4.4 Analisis Data

4.4.1 Ukuran Populasi

Ukuran populasi banteng di padang penggembalaan merupakan jumlah tertinggi pada saat pengamatan dengan kelas umur anak, remaja, dan dewasa dengan jenis kelamin jantan dan betina, kecuali anak yang belum dapat dibedakan jantan dan betinanya.

4.4.2 Struktur Umur dan Seks rasio

Jumlah individu pada setiap kelas umur disusun dalam piramida populasi. namun untuk mendapatkan gambaran pola pertumbuhan populasi yang sebenarnya, jumlah individu dalam kelas umur dibagi selang umurnya. Seks rasio didapatkan dari perbandingan jumlah individu jantan dan betina pada tiap kelas umur. Untuk kelas umur anak seks rasio yang digunakan adalah seks rasio kelas umur satu tingkat di atasnya yaitu kelas umur remaja. Seks rasio merupakan perbandingan antara jumlah jantan dan betina. Seks rasio dihitung dengan rumus berikut ini:

Seks rasio YX

Dimana: Y = Jumlah individu jantan; X = Jumlah individu betina

4.4.3 Peluang Hidup

Peluang hidup dihitung pada setiap kelas umur. Data peluang hidup didapatkan dari jumlah individu yang hidup pada kelas umur x+1 dibagi dengan jumlah individu pada kelas umur dibawahnya (x). Peluang hidup dapat dihitung dengan rumus berikut ini:

Di mana : Px = Peluang hidup kelas umur x

Lx+1 = Jumlah individu yang hidup pada KU X+1

Lx = Jumlah individu yang hidup pada KUx

x x x

L L


(56)

30 

 

4.4.4 Fekunditas dan Usia Kawin

Fekunditas merupakan jumlah bayi yang mampu dilahirkan oleh seekor induk pada satu tahun. Usia kawin banteng didapatkan dari studi literatur dari berbagai penelitian terdahulu. Fekunditas dalam penelitian ini dihitung dengan rumus berikut ini:

Dimana : F = Fekunditas

x = jumlah anak

B = jumlah betina produktif

4.4.5 Daya Dukung

Untuk mengetahui daya dukung habitat banteng dihitung dengan rumus berikut ini:

K = P/C x A

Di mana : K = Daya dukung habitat

P = produktivitas hijauan (kg/ha/th) A = luas seluruh areal (ha)

C = kebutuhan makan banteng (kg/ekor/tahun)

4.4.6 Ukuran Populasi Minimum Lestari

Kelestarian dicapai ketika setidaknya populasi akhir sama dengan populasi awal atau mengalami peningkatan dan tidak mengalami penurunan. Pada penelitian ini populasi awal adalah populasi pada saat dilakukan penelitian. Dengan kata lain:

N0 = N1 =N2 = Nt Di mana :

N0 = jumlah individu anak (A0) + jumlah individu remaja (R0) + Jumlah Individu Dewasa (D0)

N1 = jumlah individu anak (A1) + jumlah individu remaja (R1) + Jumlah Individu Dewasa (D1)


(57)

31 

 

   

 

N2 = jumlah individu anak (A2) + jumlah individu remaja (R2) + Jumlah Individu Dewasa (D2)

Jumlah individu pada setiap kelas umur ditentukan berdasarkan matriks Leslie yang telah dimodifikasi (Priyono 1998) sebagai berikut :

A1 δA Fm Fd A 0

R1 = p1 δR 0 X R0

D1 0 P2 δD D0

Di mana :

Fx = fecunditas kelas umur

Px = peluang hidup bagi individu kelas umur x untuk melangsungkan kehidupan

pada kelas umur berikutnya (age specific survival)

δx = proporsi anggota populasi yang tidak mengalami peningkatan kelas umur

Dari matriks Leslie tersebut, dibangun persamaan aljabar linear. Ukuran populasi minimum lestari ditentukan dengan metode eliminasi pada persamaan tersebut. Persamaan yang dibangun adalah:

N0 = A + R + D ………..(1)

N1 = {(F.R+F.D+(δA + {(A.P1)+(δR)}+ {(1-δR .P2)+ δDD}……...(2)

N2 = [F. {(A.P1)+(δR )}+F. {(1-δR .P2)+ δDD}+ δA F. R F. D δA ] +

[{P1. (F.R+F.D+(δA }+ δR{(A.P1)+(δRR)}] +

[P2. (1-δR {(A.P1)+(δR )}+ δD{(1-δR .P2)+ δDD}]…...(3)

Keterangan : notasi δ didapatkan dari selang umur pada setiap kelas umur.

4.4.7 Penentuan Laju Pertumbuhan Finit

Laju pertumbuhan finite (λ) dihitung dengan menggunakan perkalian

matriks transisi B= H x M x H-1. Dari matriks tersebut akan terlihat unsur-unsur

matriksnya yang selanjutnya ditentukan akar ciri dari matriks tersebut yag


(58)

32 

 

dengan Software Wolfram Mathematic 8. Nilai Eigen (λ) yang digunakan adalah

yang bernilai paling besar dan positif, karena akar ciri yang bernilai negatif dan imajiner tidak bermakna dalam biologi, khususnya model pertumbuhan spesies.

4.4.8 Ukuran Populasi Optimum Lestari

Populasi awal diproyeksikan pertahun dengan menggunakan matriks

Leslie terpaut kepadatan (Density Dependent) sehingga dapat dilihat pertumbuhan

populasinya. Populasi optimum lestari adalah ukuran populasi pada tahun ke-t

dimana selisih antara Nt dengan Nt+1 merupakan selisih terbesar di antara tahun- tahun lainnya. Waktu yang digunakan pada proyeksi populasi ini adalah 200 tahun, hal ini dilakukan karena proyeksi pertumbuhan dilakukan untuk mendapatkan pertumbuhan populasi atau r=0, di mana tidak ada lagi pertumbuhan atau populasi mendekati daya dukungnya. Populasi yang digunakan sebagai populasi awal dalam proyeksi matriks Leslie ini hanya populasi jenis kelamin betina. Ukuran populasi pada jantan akan didapatkan dari perbandingan seks rasio.

Persamaan matrik Leslie terpaut kepadatan yang digunakan adalah sebagai berikut:

,,

,

/

/

/

Dimana: Fx = Fekunditas setiap kelas umur

Px = Peluang hidup

Nt = Jumlah populasi pada setiap kelas umur

Q = Faktor pembatas pertumbuhan qt = 1 + α. Nt

α = (λ-1)/ K

λ = Akar ciri matriks M


(59)

33 

 

   

 

Dalam menyusun matriks Leslie, selang waktu antar kelas umur haruslah sama. Karena sulitnya menentukan umur satwa di lapangan maka dalam penelitian ini populasi awal pada setiap kelas umur dibagi oleh selang waktu pada masing-masing kelas umur. Sehingga didapatkan selang waktu yang seragam yakni 1 tahun. Perkalian matriks dibantu dengan Microsoft Excel 2007. Contoh perkalian matriks dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penggunaan matriks Leslie di atas dilakukan dengan asumsi sebagai berikut :

a). Peluang hidup yang digunakan ada dua yaitu peluang hidup antar kelas umur (anak ke remaja dan remaja ke dewasa) dan peluang hidup di dalam kelas umur. Hal ini dilakukan karena tidak semua individu dalam kelas umur tersebut berpindah kelas umur pada tahun berikutnya;

b). Kelahiran bayi berasal dari kelompok umur muda dan dewasa umur 3-17 tahun (Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa usia 3 tahun pada betina sudah

mampu bereproduksi; banteng bisa mencapai umur 21-25 tahun, sehingga seekor banteng betina dalam hidupnya dapat menurunkan anak sebanyak 21 kali);

c). Umur banteng di alam adalah 17 tahun (Prayurasiddhi, 1997); d). Jumlah anak pada setiap kelahiran adalah satu ekor.

Mengingat data tentang umur secara pasti sulit diperoleh dari pengamatan di alam, maka dalam menyusun matriks populasi digunakan kriteria kelas umur sebagai berikut :

a). Kelas umur anak : berumur antara 0-12 bulan (sejak bayi lahir sampai selesainya laktasi);

b). Kelas umur remaja : berumur 1-5 tahun (pada umur ini sudah terlihat perbedaan warna pada tubuh banteng jantan dan betina, di mana banteng jantan berwarna keabu-abuan; pada kelas umur ini betina memasuki masa kematangan seksual pada umur 3 tahun; pertumbuhan maksimal banteng mencapai usia lima sampai enam tahun);


(60)

(61)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Perkembangan Populasi Banteng di TN Alas Purwo

Penyebaran banteng di TN Alas Purwo terdapat pada beberapa titik seperti di Padang Penggembalaan Sadengan, hutan hujan dataran rendah, dan hutan homogen. Penggembalaan Sadengan merupakan padang penggembalaan buatan dan berfungsi sebagai daerah konsentrasi banteng. Perjumpaan banteng di daerah hutan hujan dataran rendah dan hutan homogen biasanya dijumpai pada malam hari, terutama pada musim kemarau untuk mencari makan dan sumber air. Data hasil monitoring banteng di daerah Perpat dan Paranggedek yang dilakukan tahun 2011 pada musim hujan dan kemarau hanya ditemukan jejak dan kotoran, sementara indikasi perjumpaan langsung tidak terjadi (Murdyatmaka, 2011).

Padang Penggembalaan Sadengan merupakan lokasi konsentrasi banteng dan beberapa satwa lainnya. Monitoring secara rutin oleh pengelola terus dilakukan. Data hasil inventarisasi banteng di Padang Penggembalaan Sadengan dari tahun 1998-2011 tersaji dalam Gambar 5.

Sumber : Balai Taman Nasioal Alas Purwo

Gambar 5 Grafik perkembangan populasi banteng di Padang Penggembalaan Sadengan, TN Alas Purwo 1998-2011.

0 20 40 60 80 100 120

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Tahun

Individu

Individu anak Individu betina Individu jantan Individu total


(62)

36 

 

Selama rentang waktu tiga belas tahun (1998-2011), populasi banteng di Padang Penggembalaan Sadengan memiliki kecenderungan fluktuatif terhadap betina, menurun pada jantan, dan hampir rata-rata pada anak. Penurunan populasi terus menerus berlangsung dari tahun 1998-2003 dengan populasi ±110 ekor menjadi ±17 ekor. Lonjakan signifikan terjadi di tahun 2004 khususnya untuk betina dengan peak 50 ekor. Sampai dengan tahun 2011, populasi di Padang Penggembalaan Sadengan mencapai 100 ekor.

Tingkat kehadiran banteng di Padang Penggembalaan Sadengan menurun secara signifikan pada tahun 2003, hal ini diakibatkan oleh invasi enceng-enceng (Casia tora) dan kerinyu (Eupatorium odoratum) yang menekan pertumbuhan rumput pakan satwa. Banteng menyebar sampai luar kawasan (hutan produksi) untuk mencari makan dan sumber air minum. Pada saat yang sama terjadi peningkatan tindak perburuan liar, tercatat 8 kasus kematian banteng di luar kawasan dan diamankannya 60 jerat satwa (BTNAP 2004).

Kondisi populasi banteng yang terus menurun dapat menyebabkan kepunahan lokal di kawasan tertentu jika pengelolaan terhadap habitat dan populasi banteng tidak dilakukan. Srimulyaningsih (2012) menyatakan bahwa kondisi populasi banteng yang terus menerus turun berarti menuju kepunahan, diduga akibat angka kematian yang tinggi dan laju pertumbuhan banteng yang terganggu karena beberapa faktor, antara lain (1) perburuan; (2) menurunnya kualitas dan kuantitas rumput di padang penggembalaan; (3) aktivitas manusia; (4) kematian karena umur yang suda tua; dan (5) kurangnya informasi mengenai struktur umur dan kepadatan banteng sehingga menyebabkan tidak terkontrolnya pengelolaan terhadap populasi dan habitat banteng.

Upaya peningkatan kehadiran banteng dan upaya perlindungan populasi banteng di Padang Penggembalaan Sadengan dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi berupa pembinaan habitat secara intensif melalui pembabatan, pendongkelan, dan pembakaran tanaman enceng-enceng dan kerinyu, selain itu dilakukan pembangunan dam dan instalasi sprinkle untuk air minum satwa dan penyiraman rumput. Hasilnya, kehadiran banteng di padang Penggembalaan Sadengan meningkat sejak tahun 2007. Kondisi populasi banteng di Padang Penggembalaan Sadengan, TN Alas Purwo ditunjukkan pada Gambar 6.


(63)

    Alik disebabka kematian, dipengaru dukung ka Gambar 6 Beb berhasil p global/kas Ang perbandin populasi d tahun. An terjadi pad Grafik an Gambar 7

kodra (198 an oleh beb

kepadatan uhi oleh ber

awasan.

6 Populasi b erapa param penulis ana sar, dan seks gka kelahira ngan antara dalam suatu ngka terseb da tahun 19 ngka kelahir

.

3) menyat berapa para

populasi, s rbagai fakto

banteng di P meter demo alisa adalah

s rasio kela an global a

jumlah in u periode t but berkisar

99-2000 da ran kasar d

akan bahw ameter pop struktur um or eksterna Padang Peng ografi yang h angka ke s umur dew atau angka ndividu yan

tertentu dal r antara 0 an angka kel

dari tahun

wa fluktuas pulasi seper mur, dan sek

al, seperti a

ggembalaan dapat dihas elahiran glo wasa. kelahiran ng dilahirka

lam hal ini ,074-0,213. lahiran terb 1998 samp

si populasi rti angka k ks rasio. H aktivitas ma

Sadengan, T silkan dari d obal/kasar,

kasar men an dengan i dalam jan

Angka ke besar pada ta ai 2011 da

banteng kelahiran, a Hal lainnya

anusia dan

TN Alas Pur data di atas angka kem

nunjukkan a seluruh an ngka waktu elahiran ter ahun 2009-2 apat dilihat 37    dapat angka dapat daya rwo. yang matian angka ggota u satu rkecil 2010. pada


(64)

38 

 

Gambar 7 Grafik angka kelahiran global tahun 1998-2011.

Seks rasio merupakan perbandingan antara jumlah jantan dengan betina dalam suatu populasi. Tabel 3 di bawah ini menunjukkan seks rasio banteng dewasa di TN Alas Purwo dari tahun 1998-2011.

Tabel 3 Seks rasio banteng dewasa di TN Alas Purwo tahun 1998-2011

No Tahun Jantan Betina Seks Rasio

1 1998 60 40 1 : 0.7

2 1999 47 41 1 : 0.9

3 2000 29 34 1: 1,2

4 2001 15 19 1: 1,3

5 2002 14 17 1: 1,2

6 2003 4 9 1: 2.3

7 2004 3 50 1: 16.7

8 2005 8 18 1: 2.3

9 2006 6 10 1: 1,7

10 2007 5 12 1: 2.4

11 2008 10 38 1: 3.8

12 2009 11 39 1: 3.5

13 2010 20 54 1: 2.7

14 2011 14 70 1: 5.0

Sumber : Balai TN Alas Purwo

Pada tahun 1998-1999 angka kelahiran menunjukkan angka paling kecil, hal ini karena pada rentang waktu tersebut perbandingan antara jumlah jantan dan jumlah betina tidak seimbang, di mana jantan jauh lebih banyak dari jumlah individu betina. Banteng bersifat poligami dengan alfa male, di mana satu individu jantan bisa mengawini lebih dari satu individu betina pada setiap musim

0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

laju

 

kelahiran

 

ind/th

angka kelahiran  global


(65)

39 

 

   

kawinnya. Jika jumlah jantan lebih banyak, sedangkan individu betina lebih sedikit maka jumlah betina yang bisa melahirkan akan lebih sedikit. Betina dengan jumlah yang sedikit menyebabkan kecilnya jumlah betina yang produktif, kecilnya jumlah betina yang hamil, sedikitnya jumlah dan kualitas embrio/betina yang hamil dan sedikitnya jumlah anak yang lahir. Natalitas meningkat sejalan dengan semakin menurunnya seks rasio antara jantan dan betina.

Angka kematian global banteng di TN Alas Purwo tahun 1998-2011 dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Grafik angka kematian global banteng tahun 1998-2011 di TN Alas Purwo.

Angka kematian terbesar terjadi pada tahun 2001-2002, beberapa faktor penyebabnya antara lain keadaan alam saat itu, yaitu penyempitan padang penggembalaan akibat invasi oleh enceng-enceng dan kirinyuh yang terjadi sampai tahun 2003 yang menyisakan 2 ha luas Padang Penggembalaan Sadengan yang ditumbuhi oleh rumput pakan satwa (BTNAP 2004). Penyempitan padang penggembalaan menyebabkan sempitnya areal rumput sumber pakan banteng sehingga banteng kelaparan dan pergi mencari pakan dan sumber air baru di luar padang penggembalaan, bahkan ke luar kawasan. Keluarnya banteng dari kawasan

‐3

‐2.5

‐2

‐1.5

‐1

‐0.5 0 0.5 1

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Tahun

laju

 

kematian

 

ind/th

angka kematian  global


(1)

Lampiran 3  Lanjutan

Tahun Anak Remaja Dewasa Total

2066 30 52 71 153

2067 31 52 72 155

2068 31 53 72 156

2069 31 53 73 157

2070 32 54 74 160

2071 32 54 74 160

2072 32 55 75 162

2073 33 56 76 165

2074 33 56 77 166

2075 33 57 77 167

2076 33 57 78 168

2077 34 58 79 171

2078 34 58 79 171

2079 34 59 80 173

2080 35 59 81 175

2081 35 59 81 175

2082 35 60 82 177

2083 35 60 83 178

2084 36 61 83 180

2085 36 61 84 181

2086 36 62 85 183

2087 37 62 85 184

2088 37 63 86 186

2089 37 63 86 186

2090 37 64 87 188

2091 38 64 88 190

2092 38 65 88 191

2093 38 65 89 192

2094 38 65 89 192

2095 39 66 90 195

2096 39 66 91 196

2097 39 67 91 197

2098 39 67 92 198

2099 40 67 92 199

2100 40 68 93 201

2101 40 68 93 201

2102 40 69 94 203

2103 40 69 94 203

2104 41 69 95 205

2105 41 70 95 206

2106 41 70 96 207

2107 41 70 96 207

2108 42 71 97 210

2109 42 71 97 210

2110 42 72 98 212

2111 42 72 98 212

2112 42 72 99 213

2113 43 73 99 215

2114 43 73 100 216

2115 43 73 100 216

2116 43 74 100 217

2117 43 74 101 218

2118 43 74 101 218

2119 44 74 102 220


(2)

Lampiran 3. Lanjutan

Tahun Anak Remaja Dewasa Total

2121 44 75 103 222

2122 44 75 103 222

2123 44 76 103 223

2124 44 76 104 224

2125 45 76 104 225

2126 45 76 104 225

2127 45 77 105 227

2128 45 77 105 227

2129 45 77 105 227

2130 45 77 106 228

2131 46 78 106 230

2132 46 78 106 230

2133 46 78 107 231

2134 46 78 107 231

2135 46 79 107 232

2136 46 79 108 233

2137 46 79 108 233

2138 46 79 108 233

2139 47 79 109 235

2140 47 80 109 236

2141 47 80 109 236

2142 47 80 109 236

2143 47 80 110 237

2144 47 80 110 237

2145 47 81 110 238

2146 47 81 110 238

2147 48 81 111 240

2148 48 81 111 240

2149 48 81 111 240

2150 48 82 111 241

2151 48 82 112 242

2152 48 82 112 242

2153 48 82 112 242

2154 48 82 112 242

2155 48 82 113 243

2156 48 82 113 243

2157 48 83 113 244

2158 49 83 113 245

2159 49 83 113 245

2160 49 83 114 246

2161 49 83 114 246

2162 49 83 114 246

2163 49 83 114 246

2164 49 84 114 247

2165 49 84 114 247

2166 49 84 115 248

2167 49 84 115 248

2168 49 84 115 248

2169 49 84 115 248

2170 49 84 115 248

2171 49 84 115 248

2172 50 85 115 250

2173 50 85 116 251

2174 50 85 116 251


(3)

Lampiran 3. Lanjutan

Tahun Anak Remaja Dewasa Total

2176 50 85 116 251

2177 50 85 116 251

2178 50 85 116 251

2179 50 85 116 251

2180 50 85 117 252

2181 50 85 117 252

2182 50 85 117 252

2183 50 86 117 253

2184 50 86 117 253

2185 50 86 117 253

2186 50 86 117 253

2187 50 86 117 253

2188 50 86 117 253

2189 50 86 118 254

2190 50 86 118 254

2191 51 86 118 255

2192 51 86 118 255

2193 51 86 118 255

2194 51 86 118 255

2195 51 86 118 255

2196 51 86 118 255

2197 51 87 118 256

2198 51 87 118 256

2199 51 87 118 256

2200 51 87 118 256

2201 51 87 119 257

2202 51 87 119 257

2203 51 87 119 257

2204 51 87 119 257

2205 51 87 119 257

2206 51 87 119 257

2207 51 87 119 257

2208 51 87 119 257

2209 51 87 119 257

2210 51 87 119 257

2211 51 87 119 257


(4)

(5)

(6)

Lampiran 5 Hasil analisis sensitivitas peluang hidup dan fekunditas terhadap ukuran populasi minimum lestari

No Skenario

Ukuran MVP (ekor)

Prosentase (%)

anak remaja dewasa total

1

Peluang hidup dan fekunditas awal

16

29 48

93

2

Peluang hidup dan fekunditas turun 10 %

27

38 23

88 -

6

3

Peluang hidup dan fekunditas turun 20 %

25

40 16

81 -13

4

Peluang hidup dan fekunditas turun 30 %

24

41 13

78 -17

5

Peluang hidup dan fekunditas turun 40 %

23

42 10

75 -19

6

Peluang hidup dan fekunditas turun 50 %

21

44 8

72

-22

7

Peluang hidup dan fekunditas naik 10 %

29

34 39

103

10

8

Peluang hidup dan fekunditas naik 20 %

31

33 51

114

23

9

Peluang hidup dan fekunditas naik 30 %

32

32 67

131

40

10

Peluang hidup dan fekunditas naik 40 %

33

30 87

151

62