Pulau Vulkanik: Pulau vulkanik adalah pulau yang sepenuhnya terbentuk dari Pulau Karang Timbul: Pulau karang timbul adalah pulau yang terbentuk oleh Pulau Petabah: Pulau petabah adalah pulau yang terbentuk di daerah yang Kenaikan Muka Laut SR

2. Pulau Vulkanik: Pulau vulkanik adalah pulau yang sepenuhnya terbentuk dari

kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Pulau jenis ini bukan merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng-lempeng tersebut saling menjauh. Tipe batuan dari pulau ini adalah basalt, silica kadar rendah. Ada pula pulau vulkanik yang membentuk untaian pulau-pulau dan titik gunung api dan terdapat di bagian tengah lempeng benua continental plate.

3. Pulau Karang Timbul: Pulau karang timbul adalah pulau yang terbentuk oleh

terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas uplift dan gerakan ke bawah subsidence dari dasar laut karena proses geologi. Pada saat dasar laut berada dekat permukaan, terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik. Setelah berada di atas permukaan air laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan terumbu dan terbentuk pulau karang timbul. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non- vulkanik. Pulau karang timbul ini banyak dijumpai di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, Banda.

4. Pulau Petabah: Pulau petabah adalah pulau yang terbentuk di daerah yang

stabil secara tektonik. Pulau seperti ini antara lain dijumpai di Paparan Sunda. Litologi pembentukan pulau petabah sering terdiri atas batuan ubahan, intrusi, dan sedimen yang terlipat dan berumur tua, seperti Pulau Batam, Pulau Bintan dan Pulau Belitung.

5. Pulau Genesis campuran: Pulau genesis campuran adalah pulau yang

terbentuk dari gabungan dua atau lebih genesis pulau-pulau tersebut di atas. Potensi air di pulau genesis campuran tergantung pada genesis pulau yang bergabung, dan dapat berupa sumber air yang mengalir sepanjang tahun maupun aliran air permukaan dengan jumlah yang biasanya terbatas. Pulau- pulau seperti Pulau Haruku, Pulau Nusa Laut, Pulau Kisar dan Pulau Rote adalah contoh pulau genesis campuran. Salah satu kawasan di dunia yang memiliki banyak hamparan pulau-pulau kecil adalah kawasan Pasifik. Campbell 2006 mengelompokkan pulau-pulau kecil di kawasan pasifik menjadi 4 tipe pulau, yaitu pulau kontinental, pulau vulkanik, pulau atol dan pulau karang terangkat. Keempat tipe pulau tersebut memiliki implikasi yang berbeda terhadap gangguan alam, seperti gangguan dari bencana alam, ketersingkapan dan sebagainya. Hubungan antara tipe pulau dengan implikasi terhadap bahaya gangguan alam di kawasan Pasifik disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Tipe pulau dan implikasi terhadap bahaya gangguan alam No. Tipe Pulau Implikasi Terhadap Bahaya Gangguan Alam 1. Pulau Kontinental • Sangat luas • Memiliki elevasi tinggi • Keanekaragaman tinggi • Ketersediaan tanah yang cukup untuk kegiatan pertanian • Sistem aliran sungai dataran • Berada pada daerah subduksi dan mudah mendapatkan pengaruh dari gempa bumi dan aktivitas vulkanik • Masalah banjir merupakan masalah yang utama di pulau ini 2. Pulau Vulkanik • Memiliki slope yang curam • Ada penghalang karang • Daratan lebih kecil dibandingkan pulau kontinental • Memiliki sistem aliran sungai dataran yang lebih kecil dibandingkan kontinental • Sungai-sungai kecil dapat menyebabkan banjir • Karena ukurannya besar pulau ini tidak terekspose terhadap badai trofis 3. Pulau Atol • Lahan daratan sangat terbatas • Elevasi sangat rendah • Tidak tersedia air permukaan • Terekspose terhadap badai, pasang dan gelombang • Sangat terbatas sumberdaya alam • Air permukaan merupakan masalah utama 4. Pulau Karang Terangkat • Slope outer curam • Pesisir dataran sempit • Tidak ada air permukaan • Tidak ada atau sangat minim tanah pertanian • Sangat tergantung pada ketinggian, ekspose terhadap badai • Air permukaan terbatas Sumber: Campbell 2006. Kajian karakteristik pulau-pulau kecil di Indonesia dilakukan Asriningrum 2009. Kajian yang dilakukan adalah melihat keterkaitan atau hubungan antara karakteristik pulau kecil dengan pertumbuhan atau perkembangan ekosistem pesisir. Kajian dilakukan pada tiga tipe pulau, yaitu pulau tektonik, pulau vulkanik dan pulau karang dengan kemungkinan keberadaan atau pertumbuhan ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun pada ketiga pulau tersebut. Hasil kajiannya pada beberapa pulau kecil di Indonesia memperlihatkan perbedaan antara pulau tektonik, vulkanik dan pulau karang sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hubungan tipe pulau dengan ekosistem pesisir Ekosistem Laut Tipe pulau kecil Tektonik Vulkanik Karang Mangrove tumbuh lebih baik pada pantai landai dan datar yang lebih terlindung tumbuh pada sisi pulau yang datar dan terlindung sulit tumbuh Terumbu karang tumbuh lebih baik pada pantai terjal berbatu yang menghadap laut lepas aktivitas vulkanik semakin rendah terumbu karang semakin baik tumbuh lebih baik pada posisi perairan laut yang lebih terbuka Lamun tumbuh lebih baik pada daerah yang lebih terlindung tumbuh pada sisi pulau yang terlindung sulit tumbuh Sumber : Asriningrum 2009

2.3. Pengelolaan Pulau-Pulau

Kecil dalam Konteks Pengelolaan Pesisir Terpadu Pengelolaan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari pengelolaan pesisir secara terpadu. Pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses yang dinamis dan kontinyu untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya dan pembangunan secara berkelanjutan, perlindungan sumberdaya dan wilayah pesisir dan laut Cicin-Sain dan Knecht 1998. Pengelolaan pesisir terpadu ini adalah sebuah proses yang memperhatikan karakteristik dari wilayah pesisir. Aspek keterpaduan dari pengelolaan pesisir terpadu adalah keterpaduan antar sektor, keterpaduan antar pemerintah lokal-nasional, keterpaduan wilayahspasial, keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen, dan keterpaduan internasional. Sementara itu, Dahuri et al. 2001 mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan lebih dari satu ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan pembangunan secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Jika merujuk kepada definisi wilayah pesisir yang dianut oleh Indonesia dimana wilayah pesisir dibatasi dengan wilayah kecamatan pesisir ke arah darat dan sejauh 12 mil ke arah laut, maka hampir seluruh wilayah pulau-pulau kecil merupakan wilayah pesisir UU No. 272007. Namun jika pengertian wilayah pesisir dirujuk kepada batasan yang menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah peralihan yang ke arah daratnya dibatasi oleh wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses di laut intrusi air laut dan ke arah laut sejauh wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses di darat sedimentasi, maka batas wilayah pesisir di pulau-pulau kecil sangat ditentukan oleh geomorfologi pulau kecil . Pendekatan ICM pada pulau-pulau kecil lebih jauh dibahas Calado et al. 2007. Karakteristik pulau termasuk pulau kecil yang dikelilingi perairanlautan, luasannya wilayah daratannya yang kecil, jarak dari daratan besar yang sangat jauh menyebabkan pulau kecil sebagai sebuah sistem tertutup Calado et al. 2007, hal ini memiliki implikasi yang sangat besar terkait dengan proses perencanaan dan pengelolaan spasial pulau-pulau kecil. Karena sifatnya yang remotness, terisolasi, sangat kecil dan merupakan sistem tertutup, membuat perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil memiliki tantangan yang lebih besar baik ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan maupun kebutuhan teknologi. Calado et al. 2007 menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan strategi pengelolaan pesisir terpadu untuk pulau-pulau kecil, penyusunan strategi pengelolaan pesisir terpadu merupakan sebuah pemikiran positif untuk memulai proses inisiasi dialog, peningkatan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, peningkatan kesadaran terhadap permasalahan pesisir. Towle 1985 menekankan bahwa karena karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, maka dalam mengimplementasikan pengelolaan terpadu harus menghindari bias kontinental pada saat merancang program pengelolaan pulau-pulau kecil. Pengelolaan pulau-pulau kecil pada prinsipnya bagaimana menata aktivitas manusia dalam memanfaatkan ekosistem daratan terrestrial ecosystem dan ekosistem perairan marine environment sehingga tidak mempengaruhi keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil. Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, kajian kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil merupakan persinggungan antara aktivitas manusia dengan lingkungan daratan terrestrial ecosystem dan lingkungan perairan marine environment. Hubungan lebih lanjut antara kerentanan dan keberlanjutan dari suatu sistem pulau-pulau kecil digambarkan Mimura 1999. Adanya faktor eksternal akan mempengaruhi proses-proses yang terjadi dalam sistem internal pulau-pulau kecil yang digambarkan sebagai interaksi sistem pulau-pulau kecil. Interaksi yang terjadi dalam sistem pulau-pulau kecil selanjutnya akan mempengaruhi kerentanan dan resiliensi dari pulau-pulau kecil tersebut. Seberapa besar faktor luar mempengaruhi kedua komponen tersebut akan menentukan tingkat resiliensi dan kerentanan pulau-pulau kecil, yang selanjutnya akan mempengaruhi dan menentukan keberlanjutan dari sistem pulau-pulau kecil Gambar 4. Gambar 4. Kerangka analisis kerentanan dalam kaitannya dengan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan Mimura 1999 Manusia Ekonomi Tekanan Internal Internall Stresses Sumberdaya alam Kelembagaan Sosial budaya Infrastruktur Tekanan Luar External Stresses Komponen Sistem Resiliensi Komponen Sistem Kerentanan Kemampuan Keberlanjutan Sistem pulau‐pulau Bagi negara-negara kepulauan, pendekatan sistem pengelolaan pulau sebagai suatu pendekatan multidisiplin, mekanisme keterpaduan dan menawarkan suatu strategi pengelolaan adaptif untuk mengatasi isu-isu konflik pemanfaatan sumberdaya dan menyediakan sebuah kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan, yang berorientasi untuk mengontrol dampak akibat intervensi manusia terhadap lingkungan pulau-pulau kecil. Efektifitas pendekatan ini sangat tergantung pada kerangka kelembagaan dan kerangka hukum yang mengkoordinasikan seluruh sektor baik publik maupun swasta dalam mencapai tujuan yang diinginkan. 2.4. Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Resiko merupakan suatu hal yang memiliki keterkaitan dengan kerentanan pulau. Resiko menjadi perhatian apabila resiko tersebut cukup signifikan. Signifikansi suatu resiko menurut Tompkins et al. 2005 apabila suatu resiko berasosiasi dengan sejumlah biaya. Sebagai contoh, jika ada gunung meletus di sebuah pulau yang tidak berpenduduk, seringkali hal ini tidak mendapat perhatian sebagai suatu bencana. Namun apabila hal yang sama terjadi pada pulau yang berpenduduk, apalagi jika pulau tersebut berpenduduk padat, maka kejadian tersebut sangat signifikan karena memiliki berbagai konsekwensi terkait dengan penduduk di pulau tersebut. Lewis 2003 mengemukakan beberapa alasan, mengapa pulau-pulau kecil menjadi rentan. Alasan yang dikemukakan adalah pulau-pulau kecil memiliki ukuran yang kecil, rendahnya sumberdaya berbasis daratan, relatif memiliki aksesibilitas yang rendah. Pelling dan Uitto 2001 juga mengemukakan beberapa karakteristik yang menjadi alasan mengapa suatu pulau-pulau kecil rentan, yaitu 1 ukuran kecil yang berimplikasi pada keterbatasan sumberdaya berbasis daratan, 2 insularitas dan remoteness yang berimplikasi pada biaya transportasi yang mahal dan memerlukan waktu yang lebih lama, 3 masalah faktor lingkungan seperti ketersingkapan terhadap gangguan, 4 kapasitas mitigasi terhadap bencana yang terbatas, 5 faktor penduduk yang memiliki kualitas sumberdaya manusia SDM yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan 6 faktor ekonomi seperti ketergantungan pada pembiayaan eksternal, pasar internal yang terbatas. Tompkins et al. 2005 juga menyatakan hal yang sama bahwa pulau- pulau kecil secara ekonomi, sosial dan fisik rentan secara alamiah. Katidakmampuan menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan domestik, menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap impor dari luar. Keterbatasan lahan daratan sebagai karakteristik utama pulau-pulau kecil membuat terbatasnya tempat untuk manusia, lahan untuk pembangunan infrastruktur, lahan untuk pembuangan limbah dan lahan untuk pertanian. Banyak pulau-pulau kecil yang memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap bencana alam seperti banjir, badai tropis dan gelombang laut. Dalam kaitannya dengan pembangunan pulau-pulau kecil, ada dua faktor yang menjadi penghambat, yaitu terkait dengan skala dan lokasi pulau-pulau kecil. Ukuran pulau yang kecil dan pragmentasi dari gugus pulau merupakan contoh keterbatasan dalam hal skala pulau. Pulau-pulau kecil memiliki keterbatasan dalam hal sumberdaya darat dan keterbatasan ruang. Hal ini menjadi hambatan fisik untuk pembangunan infrastruktur di pulau-pulau kecil. Namun demikian, baik skala maupun lokasi sangat tergantung pada posisi pulau- pulau kecil tersebut terhadap alur transportasi laut dan udara. Negara-negara maju tidak mengalami hambatan terkait dengan faktor skala dan lokasi seperti Hawai dan Singapore Brookfield 1990. Banyak kajian yang sudah dilakukan untuk mengkaji kerentanan ekologi dan ekonomi dari suatu sistem pulau pada berbagai skala ruanglokasi yang berbeda. Hasil kajian tersebut kadang-kadang menunjukkan sesuatu yang berbeda. Banyak peneliliti yang menyatakan bahwa isu utama pulau-pulau kecil bukan karena keterisolasian dan smallness semata, tetapi juga masalah pembangunan yang dilakukan di pulau-pulau kecil. Menurut Farrel 1991 permasalahan esensi yang dihadapi oleh suatu negara kepulauan kecil small island development stated adalah keterbatasan atau hanya sedikit hal yang dapat diperbuat karena karakteristiknya yang smallness dari pulau kecil tersebut.

2.4.1. Konsep Kerentanan

Kerentanan memiliki banyak pengertian, baik ditinjau dari aspek maupun dari sisi cakupan. Menurut Ford 2002, pengertian kerentanan mengandung dua aspek, yaitu yang terkait dengan sifatnya relative nature dan terkait dengan cakupan atau skala. Terkait dengan sifatnya, kerentanan adalah suatu entitas dari suatu sistem yang menggambarkan kondisinya, sedangkan dilihat dari skalanya, kerentanan digunakan dalam berbagai skala yang berbeda, seperti rumah tangga, komunitas, ataupun negara. Pada Tabel 4 disajikan beberapa pengertian kerentanan. Tabel 4. Beberapa pengertian kerentanan Nama Tahun Pengertian Timmerman 1981 Derajat atau tingkatan pada suatu sistem bertindak terhadap suatu kejadian yang tidak baik. Susman et al. 1983 Derajat atau tingkat pada suatu kelas sosial yang berbeda dalam hal resiko baik suatu kejadian fisik maupun efek dari sistem sosial Kates et al. 1985 Kapasitas yang dapat diadaptasi dari suatu gangguan atau reaksi terhadap kondisi yang kurang baik UN Department of Humanitarian Affairs 1992 Tingkat kehilangan 0-100 yang dihasilkan dari suatu potensi dampak fenomena alam Cutter 1993 Kecenderungan yang dialami oleh individu atau kelompok yang akan terekspose terhadap suatu bahaya Watts dan Bohle 1993 Kerentanan didefinisikan sebagai fungsi dari keterbukaan, kapasitas dan potensial, dimana respon terhadap kerentanan untuk mereduksi keterbukaan dan meningkatkan kemampuan mengatasi, dan atau menguatkan potensi pemulihan Blaikie et al. 1994 Karakteristik dari seseorang atau sekumpulan orang terkait dengan kemampuannya untuk mengantisipasi mengatasi, resisten dan memulihkan diri dari dampak bencana alam Bohle et al. 1994 Suatu ukuran secara agregate kesejahteraan manusia yang terintegrasi antara lingkungan, sosial, ekonomi dan politik dalam mengatasi gangguan Dow dan Downing 1995 Perbedaan kepekaan dari keadaan yang berpengaruh terhadap kondisi rentan, seperti faktor biofisik, demografi, ekonomi, sosial, dan teknologi Smith 1996 Konsep kerentanan diisyaratkan ukuran resiko kombinasi dari kemampuan ekonomi dan sosial untuk mengatasi dampak kejadian Vogel 1998 Karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang terkait dengan kapasitasnya dalam mengantisipasi, mengatasi, bertahan, dan memulihkan diri dari dampak perubahan iklim Adger dan Kelly 1999 Kondisi individu atau kelompok masyarakat dalam kaitannya dengan kemampuannya mengatasi dan beradaptasi terhadap berbagai tekanan eksternal yang mengganggu kehidupan mereka. Nama Tahun Pengertian Karsperson et al. 2001 Tingkatan pada suatu sistem yang dipengaruhi oleh keterbukaan atau gangguantekanan dan kemampuan untuk mengatasi atau memulihkan diri terhadap gangguan Liechenko and O’Brien 2002 Dinamika kerentanan adalah proses-proses ekonomi nasional dan internasional yang mempengaruhi kapasitas individu dalam mengatasi, merespon dan beradaptasi terhadap gangguan shocks alam dan sosial ekonomi Sumber : Disadur dari Ford 2002 Istilah kerentanan merujuk pada kemudahan mengalami dampak dari faktor eksternal. Kerentanan adalah kecenderungan suatu entitas mengalami kerusakan SOPAC 2005. Entitas dapat berupa fisik manusia, ekosistem, garis pantai atau konsep yang abstrak seperti komunitas, ekonomi, negara dan sebagainya yang dapat dirusak. Kerentanan dapat bersifat tunggal dan komplek yang disebut overall vulnerability, yaitu suatu hasil dari banyak kerentanan yang bekerja bersama-sama. Bahaya atau resiko hazard adalah sesuatu atau proses yang dapat menyebabkan kerusakan, tetapi hanya dapat didefinisikan dalam istilah dari suatu entitas yang dirusak, seperti badai siklon adalah suatu bahaya bagi sebuah pulau kecil. Kerentanan memiliki makna yang beragam Campbell 2009, sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Sinonim dan antonim kata kerentanan Synonym Antonym Inggris Indonesia Inggris Indonesia weak lemah strong kuat powerless sangat lemah powerfull sangat kuat insecure tidak terjamin secure terjamin passive pasif active aktif expose terbuka covered tertutup unprotected tidak terlindung protected terlindung unstable tidak stabil stable stabil risk beresiko safety aman constrainedlimited terbatas freeunlimited tidak terbatas fragile rapuh robust tegap small sempit large luas peripheral tidak memusat central terpusat marginal terpinggirkan impotant penting dependent tidak bebas independent bebas Sumber: Campbell 2009 Perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim telah melalui 4 empat tahapan, yaitu dimulai dengan kajian dampak impact assessment, kemudian kajian kerentanan generasi pertama vulnerability assessment first- generation, kajian kerentanan generasi kedua vulnerability assessment scond- generation, dan kajian adaptasi kebijakan vulnerability policy assessment Fussel dan Klein 2006. Kajian kerentanan generasi pertama dicirikan oleh adanya evaluasi dampak iklim dalam bentuk relevansinya dengan masyarakat yang baru mempertimbangkan potensi adaptasi masyarakat di suatu wilayah. Adapun novelty atau kebaharuan dari kajian kerentanan generasi kedua adalah penilaian terhadap kapasitas individuorang yang sudah bergeser dari sekedar penilaian potensi kapasitas adaptif pada generasi pertama menjadi sebuah kelayakan adaptasi dari masyarakat terhadap perubahan iklim Fussel dan Klein 2006. Dengan kata lain, kelayakan adaptasi sudah mampu memperhitungkan kapasitas adaptasi masyarakat terhadap kerentanan. Perbedaan dan karakteristik setiap tahapan perkembangan kajian kerentanan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik 4 tahapan perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim Kajian dampak Kajian Kerentanan Kajian Kebi- jakan Adaptasi Generasi Pertama Generasi kedua Fokus utama kebijakan Kebijakan mitigasi Kebijakan mitigasi Alokasi sumberdaya Kebijakan adaptasi Pendekatan analisis Positif Positif Positif Normatif Hasil utama Dampak potensi Adaptasi awal pre-adaptation Adaptasi akhir post- adaptation Rekomendasi strategi adaptasi Waktu Jangka panjang Jangka panjang Sedang-jangka panjang Pendek – jangka panjang Skala ruang Nasional ke global Nasional ke global Lokal ke global Lokal ke nasional Pertimbangan iklim, non-iklim dan adaptasi Kecil Parsial Penuh Penuh Integrasi antara ilmu sosial dan alam Rendah Rendah ke sedang Sedang ke tinggi Tinggi Keterlibatan stakeholder Rendah Rendah Sedang Tinggi Sumber : Fussel dan Klein 2006 Kerentanan adalah tingkatan dari suatu sistem terhadap kemudahan sistem tersebut terkena dampak atau ketidak mampuan mengatasi dampak dari perubahan iklim termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim. Kerentanan merupakan fungsi dari karakter, magnitude, laju dari variasi iklim karena terekspose, sensitivitas dan kapasitas adaptasinya McCarthy et al. 2001. Adapun Karperson et al. 2003 dan Turner et al. 2003 menyebutkan bahwa kerentanan adalah tingkat dimana manusia dan sistem alam akan mengalami kerugian karena gangguan atau tekanan dari luar. Sebagai contoh, kerentanan wilayah pesisir terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut adalah tingkat ketidakmampuan wilayah pesisir untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim dan kenaikan muka laut IPCC-CZMS 1992. Faktor geografi juga merupakan salah satu penyebab kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Secara geografi pulau-pulau kecil dapat memiliki kerentanan yang tinggi terhadap gangguan alam, atau karena letaknya yang tidak strategis, sehingga pulau-pulau kecil memiliki kerentanan lokasi. Karena posisi pulau-pulau kecil juga dapat meningkatkan kerentanan karena berada pada zona seperti topan dan daerah tercemar. Kerentanan pulau-pulau kecil karena posisiletak disebut sebagai kerentanan ruang vulnerability of space Turvey 2007. Kajian kerentanan ruang dimaksudkan untuk mengetahui mengapa suatu lokasi pulau-pulau kecil lebih rentan dari lokasi lainnya. Istilah ruang ini memiliki makna geografi seperti lokasi, ukuran dari pulau-pulau kecil, lingkungan fisik dimana manusia hidup, biofisik, interaksi sistem ekonomi dan politik. Dolan dan Walker 2003 mengemukan terdapat 3 karakteristik dari kerentanan. Pertama; kerentanan dicirikan oleh ketersingkapan suatu sistem terhadap bencana alam misalnya banjir di wilayah pesisir dan bagaimana bencana tersebut mempengaruhi kehidupan manusia dan infrastruktur yang ada di wilayah tersebut. Kedua; dari sudut pandang hubungannya terhadap manusia, kerentanan bukan hanya dilihat sebagai hubungan fisik semata. Dalam hal ini, kerentanan ditentukan oleh ketidakwajaran dari distribusi dampakefek negatif dan resiko di antara kelompok masyarakat yang ada di suatu wilayah, dan kerentanan adalah hasil dari proses sosial dan struktur yang memiliki hambatan terhadap akses sumberdaya. Ketiga; dari perspektif keterpaduan antara kejadianperistiwa secara fisik dan fenomena sosial yang menyebabkan ketersingkapan terhadap resiko dan keterbatasan kapasitas masyarakat dalam merespon bencana alam yang muncul.

2.4.2. Kerentanan Lingkungan

Pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan lingkungan yang tinggi Briguglio 2003. Ada beberapa alasan kerentanan lingkungan bagi pulau-pulau kecil, yaitu 1 keterbatasan asimilasi dan daya dukung, akan berimplikasi pada permasalahan pengelolaan limbah, persediaan air dan yang menyangkut ukuran teritori pulau-pulau kecil; 2 memiliki wilayah pesisir yang cukup luas dibandingkan dengan luas daratan membuat pulau kecil mudah tergerus erosi; 3 ekosistem yang rapuh, karena daya tahan terhadap pengaruh luar temasuk kekayaan hayati di dalamnya; 4 mudahnya terkena dampak bencana alam, termasuk gempa, gunung meletus, angin badai, banjir, gelombang pasang dan bentuk lain, tergantung pada kondisi pulau; 5 luasnya proporsi tanah yang akan terkena dampak akibat pengaruh pemanasan global, termasuk naiknya muka air laut sehingga akan banyak proporsi wilayah daratan yang akan hilang; dan 6 dampak yang signifikan akibat perkembangan ekonomi, termasuk penurunan produksi pertanian dan sumberdaya alam. Kerentanan pulau-pulau kecil meliputi kerentanan lingkungan environmental vulnerability, kerentanan sosial social vulnerability, dan kerentanan ekonomi economic vulnerability. Kerentanan lingkungan berbeda dengan kerentanan ekonomi maupun sosial disebabkan oleh tiga hal, yaitu 1 lingkungan termasuk di dalamnya sistem yang kompleks dengan perbedaan di setiap level kelompok spesies dan karakteristik fisik habitat, 2 berbeda dengan indikator umum untuk manusia sosial yang dapat digunakan dengan secara luas dengan menggunakan asumsi bahwa kebutuhan dan ambang batas untuk resiko pada umumnya sama, sedangkan indikator untuk lingkungan sangat dibatasi oleh kondisi geografi, dan 3 indikator ekonomi dapat diekspresikan dalam unit uang yang dapat digunakan secara luas di seluruh dunia dengan menggunakan unit pembanding SOPAC 2005. Kerentanan pulau-pulau kecil dapat disebabkan oleh 3 faktor atau proses, yaitu proses-proses yang sifatnya global, proses yang terjadi di kawasan regional dan proses yang terjadi pada skala lokal Pelling dan Uitto 2001. Proses global adalah perubahan iklim yang berimplikasi terhadap kenaikan muka laut dapat mengancam keberadaan pulau-pulau kecil. Proses regional adalah pengaruh pencemaran yang berasal dari kota-kota yang berkembang pesat yang letaknya tidak jauh dari pulau-pulau kecil. Proses lokal adalah kerusakan lingkungan dan sumberdaya yang terjadi di pulau-pulau kecil sebagai dampak dari pertumbuhan penduduk. Selain itu, kerentanan pulau-pulau kecil juga dapat disebabkan karena karakteristik pulau-pulau kecil itu sendiri, seperti sifat insularitas pulau dan sifat remoteness pulau. Kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil juga disebabkan oleh keterbukaan pulau terhadap alam, degradasi lingkungan yang dialami pulau-pulau kecil, dan kemampuan resiliensi pulau-pulau kecil. Kerentanan lingkungan akan mempengaruhi sistem lingkungan yang selanjutnya akan mempengaruhi keberlanjutan pembangunan di pulau-pulau kecil. Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun merupakan ekosistem yang memiliki peran dalam menopang sistem keberlanjutan pulau-pulau kecil. Moberg dan Folk 1999 mengidentifikasi peran ekosistem terumbu karang sebagai penyedia barang dan jasa Tabel 7. Tabel 7. Peran ekosistem terumbu karang sebagai penyedia barang dan jasa dalam pengelolaan pulau-pulau kecil Barang Peran ekologi Sumberdaya pulih Batu karang Jasa fisik Jasa Biologi Jasa biogeokimia Dalam ekosistem Antar ekosistem Makanan laut Batu karang, pasir untuk bahan bangunan Pelindung pantaierosi Memelihara habitat Mendukung bioekologi melalui interkoneksi Fiksasi nitrogen Bahan mentah untuk obat Bahan mentah untuk semen Membentuk daratan Memelihara biodiversity dan genetik Ekspor produksi organik dan plankton Control CO 2 Ca Ikan hias dan ikan konsumsi Minyak dan gas Mendukung pertumbuhan mangrove dan lamun Mendukung proses dan fungsi ekosistem Memelihara resiliensi Sumber : Moberg dan Folk 1999

2.4.3. Dinamika Kerentanan

Kerentanan memiliki sifat yang dinamis, yang berarti kerentanan dapat berubah seiring dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya Preston dan Stafford-Smith 2009. Perubahan kerentanan terjadi karena perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti faktor-faktor sosial dan biofisik. Pada Gambar 5 disajikan dinamika kerentanan sebagai akibat dari perubahan faktor- faktor yang mempengaruhinya. Gambar 5. Dinamika kerentanan pulau-pulau kecil Preston dan Stafford-Smith 2009

2.4.4. Kuantifikasi Kerentanan

Turner et al. 2003 menggambarkan kerentanan sebagai sebuah fungsi overlay dari ketersingkapan exposure, sensitivitas sensitivity, dan kapasitas atau kemampuan adaptif adaptive capacity. Selanjutnya Metzger et al. 2006 mengekspresikan konsep tersebut dalam bentuk matematika sebagai fungsi dari ketersingkapan, sensitivitas dan kapasitas adaptif sebagai berikut: V = f E, S, AC 1 atau dapat juga dituliskan sebagai fungsi dari potensi dampak potensial impact = = PI dan kapasitas adaptif yang dituliskan menjadi: V = f PI, AC 2 Brenkert dan Malone 2005 juga menggambarkan kerentanan suatu negara atau wilayah terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut sebagai fungsi dari ketersingkapan, sensitivitas dan kapasitas adaptif Gambar 6. Dimana parameter-paremeter dari ketersingkapanketerbukaan, sensitivitas dan kapasitas adaptif akan mempengeruhi tingkat kerentanan suatu negara atau wilayah. Gambar 6. Prototip indikator kerentanan-resiliensi 1 Ketersingkapan Keterkaitan antara kerentanan dengan ketersingkapan juga dikemukakan Adger 2006 dan Kasperson et al. 2005, dimana ketersingkapan merupakan salah satu konsep dari kerentanan, yang memiliki pengertian umum dalam hal tingkatan dan jangka waktu dari suatu sistem berinteraksi dengan gangguan. Ketersingkapan ini pada sebagian besar formulasi merupakan salah satu elemen pembangun kerentanan. Ketersingkapan merupakan sebuah atribut dari hubungan antara sistem dan gangguan system and perturbation. Ketersingkapan berhubungan dengan pengaruh atau stimulus dampak pada suatu sistem. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim kenaikan muka laut, tidak hanya menyangkut masalah kejadian dan pola iklim yang mempengaruhi sistem, tetapi juga dalam skala yang lebih luas seperti perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem itu sendiri yang diakibatkan oleh efek dari perubahan iklim. Perubahan Iklim Sensitivitas Ketersingkapan - • Makanan • Air • Perumahan • Kesehatan • Ekosistem Kerentanan dan Resiliensi Kapasitas Adaptif + • Sumberdaya manusia • Kemampuan Ekonomi • Kapasitas lingkungan Ketersingkapan digambarkan kondisi iklim yang berlawanan dengan operasional dari sistem dan perubahan dari kondisi tersebut Allen 2005. Suatu masyarakat dan sistem alam yang berbeda juga akan mengalami ketersingkapan yang berbeda dalam hal besaran magnitude dan frekwensi dari suatu gangguan Luers et al. 2003. 2 Sensitivitas Sensitivitas adalah tingkatan dari suatu sistem yang dipengaruhi atau berhubungan dengan stimulus karena perubahan iklim Olmas 2001. Sementara itu, Allen 2005 mengemukakan bahwa sensitivitas merefleksikan respon dari suatu sistem terhadap pengaruh iklim kenaikan muka laut dan tingkat perubahan yang diakibatkan oleh perubahan tersebut. Sistem dikatakan sensitif apabila respon dari suatu sistem terhadap perubahan iklim tinggi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan iklim skala kecil. Pemahaman sensitivitas dari suatu sistem juga memerlukan pemahaman terhadap ambang batas dimana perubahan itu direspon oleh pengaruh iklim termasuk kenaikan muka laut. Dalam pendefinisian kerentanan dari suatu sistem, hal yang pertama diperlukan adalah pemahaman terhadap sensitivitas dari sistem terhadap tekanan yang berbeda dan mengidentifikasi ambang batas dari sistem manusia yang akan terkena dampak Luers et al. 2003. Adger 2006 mendefinisikan sensitivitas sebagai suatu tingkatan atau level dari sebuah sistem alam yang dapat mengabsorbsi atau menerima dampak tanpa mengalami gangguan atau penderitaan dalam jangka panjang atau mengalami perubahan signifikan dari kondisi lainya. Smit dan Wandel 2006 mengatakan bahwa sensitivitas tidak dapat dipisahkan dari ketersingkapan. Luers 2005 juga mengkombinasikan pengertian sensitivitas dan ketersingkapan, dimana mendefinisikan sensitivitas sebagai level dari sistem dalam merespon gangguan eksternal terhadap sistem. Lebih lanjut Luers 2005 mengatakan bahwa termasuk dalam konsep ini adalah kemampuan dari sistem untuk tahan terhadap perubahan dan kemampuan untuk pulih kembali ke kondisi semula setelah gangguan yang mengenai sistem berlalu. 3 Kapasitas adaptif Adaptasi adalah penyesuaian oleh sistem alam atau manusia dalam merespon kondisi aktual dari iklim atau dampak dari perubahan iklim. Adaptasi merujuk kepada aksi manusia dalam merespon, atau mengantisipasi proyeksi atau perubahan nyata dari iklim, sedangkan mitigasi merujuk kepada aksi untuk mencegah, mereduksi memperlambat perubahan iklim Hulme 2002. Kapasitas adaptif adalah kemampuan dari sistem untuk menyesuaikan terhadap perubahan iklim termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim yang membuat potensi dampak lebih moderat, mengambil manfaat atau untuk mengatasi konsekwensi dari perubahan tersebut Fussel dan Klien 2006. Menurut Luers 2005, kapasitas adaptif merujuk pada potensi untuk beradaptasi dan mengurangi kerentanan suatu sistem. Kapasitas adaptif menggambarkan kemampun dari suatu sistem terhadap perubahan sebagai cara untuk membuat sistem tersebut lebih baik dalam beradaptasi terhadap pengaruh eksternal. Adaptasi dapat direncanakan atau terjadi secara otomatis. Perencanaan adaptasi adalah suatu perubahan dalam mengantisipasi suatu variasi dari perubahan iklim. Perencanaan adaptasi ini sudah merupakan suatu ciri dari suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas suatu sistem untuk mengatasi konsekwensi perubahan iklim Allen 2005. Kapasitas adaptif suatu sistem atau masyarakat menggambarkan kemampuan untuk memodifikasi karakteristik atau perilakunya sehingga mampu mengatasi dengan lebih baik dampak perubahan kondisi eksternal Fussel dan Klein 2006. Kapasitas adaptif merupakan sifat yang sudah melekat dari suatu sistem yang didefinisikan sebagai kapasitasnya untuk beradaptasi terhadap ketersingkapan Smit dan Pilifosova 2003. Dalam hal ini, kapasitas adaptif direfleksikan dari resiliensi, misalnya sebuah sistem yang resilien memiliki kapasitas untuk mempersiapkan, menghindari, mentolerir dan memulihkan diri dari resiko atau dampak. Resiliensi adalah kemampuan dari suatu entitas untuk resisten atau pulih dari suatu kerusakan SOPAC 2005. Resiliensi alami intrinsic resilience adalah kemampuan alami suatu entitas untuk tahan terhadap kerusakan. Sebagai contoh, seseorang memiliki sistem kekebalan yang kuat secara alami akan lebih tahan terhadap kondisi dingin dibandingkan dengan seseorang yang lemah. Resiliensi adalah kemampaun dari suatu sistem, komunitas atau sosial beradaptasi terhadap bahaya dengan cara meningkatkan resistensinya, atau melakukan perubahan untuk mencapai atau memelihara suatu batas yang dapat diterima atau ditolerir dari suatu fungsi atau struktur. Semisal sistem sosial, hal ini ditentukan oleh tingkat kapasitas suatu organisasi meningkatkan kemampuannya untuk belajar dari gangguan alam masa lalu untuk membuat proteksi yang lebih baik pada masa yang akan datang. Brooks 2003 mengklasifikasi faktor-faktor yang menentukan kapasitas adaptif menjadi faktor yang spesifik dan faktor generalumum dan juga berdasarkan faktor endogenous dan exogenous. Faktor penentu yang bersifat umum dalam sistem sosial adalah sumberdaya ekonomi, teknologi, informasi dan keahlian serta infrastruktur. Faktor endogenous merujuk pada karakteristik dari perilaku penduduk atau masyarakat. Menurut Downing et al. 2001 untuk mengkuantifikasi kerentanan akan sangat sulit dilakukan bila tidak memungkinkan mengidentifikasi secara sistematis sistem yang paling rentan. Dalam kasus tertentu, sangat tergantung pada jenis tekanan dan keluaran variabel yang menjadi perhatian. Dampak tekanan relatif pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai objek untuk mengukur kerentanan Luers et al. 2003. Pengukuran kerentanan hanya dapat dilakukan secara akurat jika berhubungan dengan spesifik variabel dibandingkan dengan menganalisis suatu tempatlokasi. Hal ini disebabkan karena sistem yang paling sederhanapun cukup kompleks dan akan sulit untuk menghitung seluruh variabel, proses-proses dan gangguan yang dicirikan oleh kerentanan tersebut Luers et al. 2003. Suatu sistem dapat menurunkan atau mengurangi kerentanan dengan memodifikasi hal-hal berikut 1 bergerak kepada fungsi yang lebih baik yang dapat mengurangi sensitivitasnya terhadap tekanan yang kritis, 2 merubah posisi relatif terhadap ambang batas dari suatu dampak, dan 3 memodifikasi ketersingkapan sistem terhadap tekanan. Dalam konteks adaptasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UNFCCC 2007 membagi dua jenis adaptasi, yaitu adaptasi yang bersifat reaktif, seperti a perlindungan terhadap infrastruktur di wilayah pesisir, b penyadaran masyarakat untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap ekosistem pesisir dan laut, c pembangunan bangunan pelindung pantai sea wall, perlindungan dan konservasi terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan vegetasi pantai lainnya. Adaptasi lainnya adalah adaptasi yang sifatnya antisipasi, seperti a implementasi konsep dan pendekatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, b penyusunan rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil, c penyusunan peraturan tentang perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil, d mengembangkan kegiatan penelitian dan pemantauan pantai dan ekosistem pesisir.

2.4.5. Indeks Kerentanan

Indeks adalah tanda signal yang mengukur, menyederhanakan, dan mengkomunikasikan realita yang kompleks dari suatu kondisi Farell dan Hart 1998. Indeks ini sangat berguna karena dapat membantu dalam menentukan target dan standar untuk memantau perubahan dan membandingkan entitas yang berbeda dalam hal tempat dan waktu Easter 1999. Indeks dapat juga digunakan sebagai basis modal alokasi sumberdaya. GEF juga mengembangkan indeks kerentanan untuk menentukan alokasi pembiayaan di beberapa negara berkembang. Indeks dapat digunakan sebagai alat ‘adaptive management’ menilai keberhasilan pemantauan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan SOPAC 2005. Indeks umumnya melibatkan sejumlah indikator untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal Bossel 1999. Untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal, keragaan data dan indikator perlu distandarisasi dalam suatu unit yang sama. Hal ini banyak dilakukan dengan mereduksi seluruh komponen ke suatu nilai skoring pada beberapa skala. Kemampuan sebuah kerangka teori menghasilkan indikator kerentanan secara umum harus mencakup tiga komponen. Pertama, model kerentanan, yaitu mengidentifikasi komponen-komponen model ketergantunganketerkaitannya dengan komponen lainnya yang berasosiasi dengan komponen kerentanan. Kedua, model sistem yaitu menentukan cara untuk mendekomposisi target sistem yang membuatnya lebih praktis sehingga kerentanan dapat diinterpretasi dengan model yang dapat dibandingkan. Ketiga, model matematik yaitu penggunaan informasi secara menyeluruh ke dalam sistem model untuk mengorganisasi hirarki dari indikator kerentanan. Dalam kaitannya dengan perbedaan indikator kerentanan dengan lingkungan yang berbeda, ketiga komponen ini haruslah kompatibel Villa dan McLeod 2002. Schroter et al. 2005 menyajikan 8 tahapan dalam melakukan kajian kerentanan, termasuk dalam menyusun indeks kerentanan pulau-pulau kecil, yaitu 1 mendefinisikan wilayah studi, baik secara spasial maupun temporal 2 mencari dan mengumpulkan informasi terkait dengan wilayah studi, melalui kajian literatur dan diskusi dengan peneliti sebelumnya; 3 mengembangkan hipotesis siapaapa yang mengalami kerentanan; 4 mengembangkan model kerentanan dengan menguraikan ketersingkapan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif, mengidentifikasi faktor pendorong; 5 menentukan indikator untuk elemen kerentanan, seperti indikator ketersingkapan, indikator sensitivitas, dan indikator kapasitas adaptif; 6 mengoperasikan model kerentanan, melalui pembobotan dan penggabungan indikator, validasi hasil; 7 pengembangan lebih lanjut dengan memilih skenario dan aplikasi model; dan 8 mengkomunikasikan hasil kajian kerentanan kepada stakeholder.

2.5. Kenaikan Muka

Laut 2.5.1. Proses Kenaikan Muka Laut Selama proses pemanasan global perubahan iklim, dua proses utama yang menyebabkan kenaikan rata-rata muka laut global adalah 1 pemanasan lautan yang menyebabkan pengembangan massa air sehingga terjadi peningkatan volume air lautan, dan 2 pencairan es di daerah kutub yang juga menyebabkan peningkatan massa air. Selain itu, pada beberapa wilayah pesisir terjadi subsiden yang menambah kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut USCCSP 2009. Perubahan muka laut dalam skala lokal tergantung pada perubahan yang terjadi pada skala global dan regional serta faktor-faktor lokal Nicholls 2002. Komponen-komponen perubahan muka laut tersebut adalah Church et al. 2001: • Kenaikan rata-rata muka laut global, yaitu peningkatan volume global lautan karena pemanasan global dan mencairnya es di kutub. • Faktor meteo-oseanografi regional seperti variasi spasial dampak ekspansi panas, perubahan tekanan atmosfir dalam jangka panjang dan perubahan sirkulasi lautan. • Pergerakan vertikal daratan yang disebabkan oleh berbagai proses geologi dan tektonik. Kajian terhadap kenaikan muka laut sea level rise dan dampaknya terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil banyak mendapat perhatian dari banyak kalangan peneliti. Secara global rata-rata kenaikan muka laut sekitar 2.5 mmtahun, sedangkan secara lokal, di lokasi-lokasi tertentu bahkan dapat mencapai maksimum 30 mmtahun. Nilai kenaikan yang signifikan tersebut terutama disebabkan oleh mengembangnya suhu air laut. Kajian kenaikan muka laut di Indonesia juga sudah banyak dilakukan. Proyeksi kenaikan muka laut dilakukan Hamzah et al. in press di sekitar perairan utara dan selatan Pulau Lombok. Pada tahun 2020 kenaikan muka laut di bagian utara P. Lombok akan terjadi kenaikan setinggi 10 cm dan di bagian selatan setinggi 12 cm. Pada tahun 2050 akan terjadi kenaikan setinggi 25 cm di bagian utara dan 32 cm di bagian selatan Pulau Lombok. DKP 2009 juga memprediksi laju kenaikan muka laut di perairan sekitar Kabupaten Pangkajene Kepulauan sekitar 2.60 mmtahun.

2.5.2. Dampak Kenaikan Muka Laut

Dari sudut pandang geografi pesisir, dampak dari kenaikan muka laut terhadap pulau-pulau kecil tergantung pada dua hal, yaitu 1 tingkat kekritisan dari kenaikan muka laut laju kenaikan pertahun, dan 2 karakteristik daratan pulau, seperti penggunaan lahan, topografi, dan penghalang pantai Nallathiga 2006. Proyeksi kenaikan muka laut yang diakibatkan oleh pemanasan global akan mengancam wilayah pesisir yang memiliki elevasi rendah Yamano et al. 2007; Barnet dan Adger 2003. Wilayah yang paling beresiko adalah pulau-pulau karang atau pulau atol, karena umumnya pulau ini memiliki elevasi atau ketinggian dari muka laut yang rendah Yamano et al. 2007. Pulau atol ini memiliki permasalahan lingkungan yang umum menyebabkan kerentanan karena perubahan iklim Barnet dan Adger 2003. Kenaikan muka laut ini diprediksi akan menyebabkan perendaman, penenggelaman dan erosi pantai dari pulau-pulau karang Leathermen 1997. Erosi pantai, perendaman dan intrusi air laut merupakan dampak dari kenaikan muka laut yang menimpa pulau-pulau atol di Tavalu Aung et al. 2009. Hal yang sama juga dikemukakan Mimura 1999, bahwa dampak prinsip yang ingin diantisipasi dari kajian kerentanan pulau-pulau kecil khususya pulau atol adalah erosi pantai, perendaman pulau dan intrusi air laut. Upaya yang dilakukan untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim ini harus didasarkan pada kapasitas sistem alam yang kemudian didukung dengan perencanaan adaptasi yang baik berupa proteksi kawasan pesisir dan perubahan struktur bangunan Klein dan Nicholls 1999; Hay et al. 2003. Wilayah pesisir termasuk pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang dinamis dan respon dari kawasan pesisir terhadap kenaikan muka laut lebih kompleks dari sekedar terjadinya perendaman. Erosi pantai adalah fenomena atau proses-proses alami yang terjadi karena adanya gelombang dan arus laut dan dapat menyebabkan hilangnya lahan darat USCCSP 2009. Kenaikan muka laut dapat memperparah perubahan wilayah pesisir yang disebabkan oleh erosi pantai. Kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut, umumnya faktor elevasi daratan menjadi faktor kritis dalam kajian potensi dampak. Flora dan fauna yang umumnya sangat kaya terdapat di wilayah pesisir juga akan mendapatkan tekanan akibat pengaruh kenaikan muka laut. Kualitas dan kuantitas serta distribusi spasial dari habitat di wilayah pesisir akan berubah sebagai hasil dari erosi pantai, perubahan salinitas dan hilangnya daerah lahan basah. Ekosistem pesisir juga merupakan salah satu ekosistem yang mengalami kerentanan karena adanya kenaikan muka laut. Sejak vegetasi lahan basah ‘akrab’ dengan kenaikan muka laut, maka ekosistem ini menjadi sensitif terhadap perubahan muka laut jangka panjang. Hasil pemodelan dari pesisir lahan basah termasuk ekosistem lamun menunjukkan bahwa sekitar 33 dari lahan basah di dunia akan hilang dengan kenaikan muka laut sekitar 34 cm dalam kurun waktu 2000 sampai 2080, dan akan hilang sekitar 44 pada kenaikan muka laut sekitar 72 cm Church et al. 2007. Pada tahun 2100 kenaikan muka laut akan mengurangi 500 000 ha ekosistem mangrove di 16 negara di kawasan pasifik. Masyarakat yang mendiami pulau-pulau atol ini memiliki kerentanan yang tinggi terhadap kenaikan muka laut, sebagaimana yang baru-baru ini terjadi di Tavalu yang merupakan salah satu negara pulau atol Yamano et al. 2007. Pulau-pulau atol umumnya memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan berpeluang terekspose terhadap kejadian alam di pulau-pulau atol UNTAD 1999. Dampak kenaikan muka laut ditentukan oleh perubahan relatif kenaikan muka laut, yang direfleksikan tidak hanya oleh kecenderungan perubahan muka laut global tetapi juga oleh variasi lokal perubahan kenaikan muka laut dan proses geologi seperti subsiden. Umumnya pulau yang mengalami subsiden akan lebih terancam dibandingkan pulau yang tidak mengalami subsiden. Dampak kenaikan muka laut juga dikemukakan Nicholls 2002 seperti disajikan pada Tabel 8 berikut: Tabel 8. Dampak utama kenaikan muka laut Dampak Biofisik Faktor Relevan Lainnya Iklim Non Iklim Perendaman, banjir, gelombang, dampak efek backwater Gelombang, perubahan morfologi, suplai sedimen, run-off Suplai sedimen, penanga- nan banjir, perubahan morfologi, pengelolaan daerah tangkapan air dan pemanfaatan lahan Kehilangan daerah lahan basah Suplai sedimen Suplai sedimen Erosi Gelombang dan badai iklim, suplai sedimen Suplai sedimen Intrusi air lautair permukaan Run-off, curah hujan Pengelolaan daerah tangkapan air

2.6. Tinjauan Kajian Kerentanan Pesisir dan PPK

Kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil terkait dengan pemanasan global terus berkembang. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang banyak dijadikan model dari kajian kerentanan karena melihat kenyataan pentingnya daerah pesisir sebagai penopang kegiatan perekonomian. Awalnya, Gornitzs 1992 mengembangkan indeks kerentanan pesisir dengan memasukkan parameter dampak pemanasan global seperti kenaikan muka laut serta perendaman yang digabungkan dengan parameter geomorfologi dan kajian oseanografi. Kajian ini banyak diadopsi oleh sistem penilaian lain yang berbasis pesisir sehingga memiliki sebuah angka indeks untuk pengelolaan wilayah pesisir. Beberapa model yang diperkenalkan Gornitz et al. 1992 untuk menghitung kerentanan pesisir Coastal Vulnerability adalah sebagai berikut: CVI … n 3 CVI X X 4 CVI … n 5 CVI … n 6 CVI … n 7 CVI 6 = 4X 1 + 4X 2 + 2X 3 +X 4 + 4X 5 + 2 X 6 +X 2 8 Keterangan : CVI = Coastal Vulnerability Index n = jumlah variabelparameter x 1 = Rata-rata elevasi x 2 = Subsiden x 3 = Geologi x 4 = Geomorfologi x 5 = Erosi pantai x 6 = Tinggi gelombang maksimum x 7 = Rata-rata tunggang pasang. Hasil uji sensitivitas dari 6 formula di atas, menunjukkan bahwa model CVI 5 merupakan formula yang lebih sesuai untuk mengukur kerentanan pesisir. Model CVI 5 tersebut banyak digunakan untuk menilai kerentanan pesisir seperti yang dilakukan Doukakis 2005 untuk menilai kerentanan pesisir di bagian barat Peloponnesa bagian selatan Yunani, dengan melakukan modifikasi bobot dari setiap variabel dan tidak memasukkan parameter geologi sebagai berikut: CVI 9 Hal yang berbeda dilakukan Rao et al. 2008 dalam menilai kerentanan pesisir Andara Paradesh Coast, India. Dengan menggunakan 5 parameter yaitu geomorfologi g, slope s, perubahan garis pantaierosi c kisaran pasang tertinggi t, dan tinggi gelombang w mereka menguji parameter tersebut dengan metode penjumlahan dan perkalian. Dari hasil pengujian tersebut disimpulkan bahwa metode yang lebih sesuai adalah metode penjumlahan, yaitu: CVI = 4g + 4s + 2c + t + w 10 dengan memberikan bobot pada g, s dan c yang lebih besar dari lainnya. Pendekatan yang sama juga dilakukan Hedge dan Reju 2007 untuk menghitung indeks kerentanan pesisir di Pantai Mangalore, India. Pendekatan yang digunakan adalah penjumlahan skor 1-5 dari empat parameter lalu dibagi 4, yaitu: CVI = kelerengan + Geomorfologi + Populasi + Erosi4. 11 Kajian kerentanan pulau-pulau kecil telah dikembangkan SOPAC 1999 untuk menentukan kerentanan negara-negara kepulauan yang berada di kawasan Pasifik Selatan. Pendekatan yang digunakan adalah melakukan penjumlahan terhadap nilai skor 1-7 dari 50 parameterindikator yang mencerminkan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Aplikasi konsep yang dikemukakan SOPAC 1999 ini dilakukan Gowrie 2003 untuk menghitung indeks kerentanan lingkungan pulau di Tobago. Pilihan terhadap metode penjumlahan atau perkalian untuk menghitung indeks kerentanan yang sesuai juga dikemukakan Villa dan McLeod 2002, dimana disebutkan bahwa penggunaan metode perkalian untuk subindikator yang komponennya saling berinteraksi adalah yang paling sesuai. Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan tentu akan merasakan dampak langsung dari fenomena ini, terutama di wilayah-wilayah pesisir. Sementara itu, mayoritas penduduk di Indonesia tersebar di dekat atau di sekitar wilayah pesisir. Dengan demikian, perilaku kedudukan muka laut beserta variasi temporal dan spasial di wilayah regional atau lokal Indonesia merupakan salah satu data yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Kajian kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sudah mulai dikembangkan di Indonesia. Departemen Kelautan telah mengembangkan indeks kerentanan pulau-pulau kecil pada tahun 2008 yang dilakukan di sekitar Kepulauan Seribu. Indeks kerentanan yang dikembangkan diadopsi dari Gornitz et al, 1992 yang dimodifikasi sesuai dengan perkiraan kondisi lokasi studi yang dijadikan sebagai contoh kasus. Kajian kerentanan lainnya dilakukan Marfai et al. 2007 yang mengkaji dampak banjir pasang terhadap masyarakat pesisir di Kota Semarang. Pendekatan yang digunakan adalah analisis spasial dengan memetakan lahan-lahan yang berpotensi mengalami penggenangan dengan adanya banjir tersebut. Hamzah et al. in press juga mengembangkan kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil di Pulau Lombok. Hasil penelitian ini adalah dipetakannya tingkat kerentanan pesisir Pulau Lombok karena adanya kenaikan muka laut.

3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengumpulan data lapang dilakukan selama dua bulan, yaitu dari Bulan Nopember - Desember 2009. Lokasi penelitian adalah 3 pulau sangat kecil yang secara geografis memiliki karakteristik yang berbeda Gambar 7, 8, 9. Ketiga pulau tersebut adalah Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat. Karakteristik umum masing-masing pulau tersebut disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik umum P. Kasu, P. Barrang Lompo dan P. Saonek Parameter P. Kasu P. Barrang Lompo P. Saonek Jenis pulau Petabah Karang Karang Vegetasi Mangrove - Mangrove Keterbukaan terhadap perairan Selat sempit Selat lebar Lautan Kepadatan penduduk Sedang Sangat padat Padat Sistem pulau Gugus Gugus Gugus Gambar 7. Lokasi penelitian Pulau Kasu-Kota Batam Gambar 8. Lokasi penelitian Pulau Barrang Lompo – Kota Makasar Gambar 9. Lokasi penelitian Pulau Saonek-Raja Ampat

3.2. Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian kerentanan pulau-pulau kecil secara diagramatik disajikan pada Gambar 10. Penelitian diawali dengan penyusunan proposal penelitian. Setelah usulan penelitian disetujui dilanjutkan dengan pelaksanaan penelitian. Sebelum memulai pengumpulan data terlebih dahulu dilakukan persiapan pelaksanaan penelitian. Hal-hal yang dipersiapkan antara lain penyediaan alat-alat pengukuran dan pengambilan data lapang, dan penyiapan daftar pertanyaan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Pengumpulan kedua jenis data ini dilakukan di beberapa lokasi yaitu di pulau- pulau kecil yang menjadi objek penelitian P. Kasu, P. Barrang Lompo, dan P. Saonek. Selain itu juga dilakukan pencarian data sekunder di tingkat kabupaten atau kota yang berhubungan dengan lokasi penelitian. Data primer dikumpulkan melalui pengukuran, pengamatan lapang, serta wawancara dengan masyarakat di lokasi studi. Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan dan analisis data, dilanjutkan dengan pembahasan hasil penelitian dan penulisan disertasi. Gambar 10. Tahapan pelaksanaan penelitian kerentanan pulau-pulau kecil Tahapan analisis data kerentanan pulau-pulau kecil secara diagramatik disajikan pada Gambar 11. Pengumpulan data dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu survei lapangan dan kajian pustaka. Metode atau pendekatan analisis data, terdiri dari empat jenis metode, yaitu 1 analisis ekosistem dan sumberdaya pulau-pulau kecil. Melalui analisis ini diperoleh gambaran umum tentang kondisi ekosistem dan sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil; 2 analisis karakteristik fisik dan sosial masyarakat. Hasil dari analisis ini adalah gambaran umum karakteristik fisik pulau seperti ketinggian pulau di atas permukaan laut, kele- rengan pulau, dan karakteristik sosial masyarakat termasuk persepsi masyarakat, infrastruktur yang ada di pulau-pulau kecil; 3 analisis kecenderungan kenaikan muka laut, termasuk erosi pantai. Analisis ini menghasilkan informasi tentang kecenderungan kenaikan muka laut dan dampaknya; dan 4 analisis kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Hasil yang didapatkan dari analisis ini adalah dinamika kerentanan pulau-pulau kecil. Setelah dilakukan overlay terhadap hasil analisis didapatkan keluaran penelitian berupa indeks kerentanan pulau-pulau kecil dan strategi adaptasi pulau-pulau kecil. Gambar 11. Diagram tahapan analisis data kajian kerentanan pulau-pulau kecil

3.3. Diagram Pelingkupan Kerentanan

Sebagaimana telah disebutkan dalam ruang lingkup penelitian, bahwa penelitian ini mengacu kepada konsep yang dikembangkan Turner et al. 2003 dan Fussel dan Klein 2005 yang menyatakan bahwa kerentanan merupakan fungsi dari dimensi ketersingkapanketerbukaan, sensitivitas dan kapasitas adaptif dari suatu sistem pulau. Masing-masing dimensi tersebut tersusun dari parameter baik dari aspek geofisik, biologiekologi dan manusia sosial ekonomi. Untuk mengidentifikasi parameter dimensi kerentanan tersebut digunakan konsep Vulnerability Scoping Diagram VSD atau diagram pelingkupan kerentanan yang dikemukakan Polsky et al. 2007 Gambar 12. Gambar 12. Diagram pelingkupan kerentanan vulnerability scoping diagram pulau-pulau kecil Adopsi dari Polsky 2007

3.3.1. Exposure Ketersingkapan

1. Kenaikan Muka Laut SR

Kenaikan muka laut akan meningkatkan potensi rendaman dan penggenangan pulau-pulau kecil Mimura, 1999. Pesisir dan pulau-pulau kecil dataran rendah merupakan wilayah yang paling terancam dampak kenaikan muka laut. Laju kenaikan muka laut dan dampak telah banyak dikaji khususnya di negara-negara kepulauan. Luas daratan pulau-pulau kecil yang terendam sangat ditentukan oleh ketinggian pulau tersebut dari permukaan laut. IPCC Third Assessment Report 2001 menyebutkan proyeksi rata-rata kenaikan muka laut antara 20-70 cm sejak tahun 1900 sampai 2100. Rata-rata kenaikan muka laut global 3.32 mmtahun. Dalam penelitian ini data kecenderungan kenaikan muka laut di perairan sekitar lokasi penelitian diperoleh dari AVISO Archiving, Validation and Interpretation of Satellites Oceanographic yang dapat diunduh di alamat http:www.aviso.oceanobs.comennewsocean-indicatorsmean-sea- levelindex.html.

2. Erosi Pantai ER