penggunaan sumberdaya Mimura et al. 2007. Perubahan muka laut dan berbagai peristiwa alam memiliki konsekuensi serius terhadap penggunaan lahan.
5.2.3. Analisis Parameter Kapasitas Adaptif adaptive capacity
Ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun adalah habitat pesisir yang umum dijumpai di pulau-pulau kecil. Ketiga ekosistem ini merupakan satu
kesatuan ekologi yang memiliki peran dan fungsi yang saling terkait. Hamparan ketiga ekosistem ini akan membentuk suatu habitat yang disebut dengan habitat
pesisir. Habitat pesisir dan ketiga ekosistem pulau-pulau kecil ini memiliki kemampuan adaptasi terhadap berbagai gangguan dari luar. Selain itu, konservasi
laut juga mampu meningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil sebagaimana yang dikemukakan McClanahan et al. 2008. Dalam konteks pengelolaan pesisir
dan pulau-pulau kecil, kapasitas adaptif diartikan sebagai kemampuan dari suatu kelompok untuk mengantisipasi dan merespon terhadap perubahan yang terjadi
pada ekosistem pesisir mangrove, terumbu karang dan lamun untuk meminimalisasi dan memulihkan dari berbagai konsekuensi McClanahan et al.
2008. Semakin luas ekosistem pesisir di pulau-pulau kecil, semakin besar kapasitas adaptif dari pulau tersebut.
Secara umum, ketiga pulau memiliki kesamaan dalam hal keberadaan habitat pesisir, dimana habitat pesisir lebih luas dibandingkan wilayah daratan.
Peran habitat pesisir cukup besar dalam hal perlindungan terhadap daratan pulau. Habitat pesisir Pulau Kasu didominasi oleh vegetasi mangrove dan padang lamun.
Kedua jenis habitat pesisir ini berkembang dengan baik di pesisir Pulau Kasu. Keberadaan kedua ekosistem ini berperan penting dalam perlindungan daratan
Pulau Kasu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Mazda et al. 2007, bahwa ekosistem mangrove memiliki peran dalam perlindungan pantai dari
gelombang, badai dan erosi pantai. Sebagai pencegah erosi, habitat pesisir juga memiliki peran dalam menjaga stabilitas sedimen di sekitar pantai, sebagaimana
yang dikemukakan Victor et al. 2006 bahwa dalam proses sedimentasi sekitar 40 dari sedimen yang mengalir ke kawasan mangrove terperangkap dalam
ekosistem mangrove. Peran ekosistem mangrove dikemukakan Othman 1994 yang
menyebutkan bahwa ekosistem mangrove berperan dalam mereduksi energi
gelombang, perangkap sedimen dan memperlambat proses-proses erosi pantai. Mazda et al. 2007 menambahkan peran mangrove sebagai pelindung dari
tsunami. Perlindungan mangrove terhadap tsunami juga dikemukakan Kathiresan dan Rajendran 2005 di sepanjang pantai Parangipettai, Tamil Nadu, India.
Ekosistem mangrove yang cukup rapat di Pulau Kasu dan Pulau Saonek memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap gangguan atau hempasan ombak
sebagaimana yang dikemukakan Alongi 2008. Semakin tinggi kerapatan pohon mangrove semakin besar kemampuannya mereduksi energi gelombang dan
tsunami Hiraishi dan Harada 2003. Kemampuan mangrove melindungi daratan pulau dari tsunami dan berbagai bencana dari laut sangat dipengaruhi oleh lebar
mangrove, kemiringan, diameter pohon dan densitas atau kerapatan Alongi 2008.
Dalam kaitannya dengan kenaikan muka laut, ekosistem mangrove mampu beradaptasi terhadap perubahan muka laut yang terjadi. Gilman et al. 2008
menyebutkan terdapat 3 cara mangrove beradaptasi terhadap kenaikan muka laut, yaitu pada saat kenaikan muka laut stabil, maka kondisi mangrove juga akan
berada pada posisi stabil. Apabila muka air laut mengalami penurunan, maka ekosistem mangrove akan berkembang ke arah laut seaward untuk menjaga
kondisi agar tetap sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan. Pada saat muka laut mengalami kenaikan maka mangrove akan berkembang ke arah darat landward.
Kemampuan mangrove dalam memitigasi dampak dari luar seperti tsunami dikemukakan Kathiresan dan Rajendran 2005; Vermat dan Thampanya 2006.
Habitat pesisir di Pulau Barrang Lompo dan Saonek didominasi oleh ekosistem terumbu karang. Berbeda dengan Pulau Kasu yang merupakan pulau
petabah, Pulau Barrang Lompo dan Saonek merupakan pulau karang. Meskipun Saonek dan Barrang Lompo memiliki ekosistem terumbu karang yang cukup luas,
namun karena aktivitas penambangan karang pernah dilakukan di pulau ini, maka dampak dari kerusakan karang terhadap pantai Pulau Saonek dan Barrang Lompo
mulai dirasakan oleh masyarakat, yaitu adanya erosi pantai. Rusaknya ekosistem terumbu karang ini, menyebabkan berkurangnya fungsi pelindung dari habitat
pesisir terhadap pantai. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Moberg dan Folke 1999 yang menyebutkan bahwa hilangnya perlindungan terumbu
karang terhadap pantai dari arus, gelombang dan badai menyebabkan hilangnya daratan pulau karena erosi pantai. Hal ini disebakan karena berkurangnya peran
terumbu karang sebagai peredam gelombang yang mencapai pantai. Peran kapasitas adaptif di Pulau Barrang Lompo dan Saonek ini lebih
didominasi oleh terumbu karang. Terumbu karang merupakan salah satu pemeran dari ketahanan fisik dan sangat penting untuk memahami perilaku garis pantai
yang dihadapkan pada permasalahan perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Oleh karena itu, pengelolaan terbaik untuk meningkatkan ketahanan dari sistem
pulau-pulau kecil dan mereduksi kerentanan lingkungan dan sosial Mimura 1999.
Konservasi laut di ketiga lokasi belum dilakukan secara formal. Pulau Saonek sudah mengembangkan Daerah Perlindungan Laut DPL tetapi berada
pada daerah secara fisik tidak termasuk dalam habitat pesisir Pulau Saonek. Demikian juga ekosistem mangrove belum ditetapkan secara formal dengan suatu
aturan baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, kesadaran masyarakat yang tinggi tentang peran perlindungan
ekosistem mangrove terhadap pulau sangat tinggi, sehingga secara sadar mereka tidak melakukan kegiatan yang merusak ekosistem tersebut. Hal yang sama juga
sudah mulai dilakukan untuk terumbu karang, kegiatan penambangan yang pernah dilakukan oleh masyarakat sudah mulai dihentikan. Berbeda dengan Pulau
Barrang Lompo, kegiatan penambangan karang masih terus dilakukan. Hal ini disebabkan karena belum adanya aturan yang tegas melarang masyarakat untuk
menambang karang. Sebagian masyarakat yang tidak menyadari akan dampak kerusakan karang terhadap keberadaan daratan pulau masih terus melakukan
penambangan karang. Masyarakat Pulau Kasu, memiliki kesamaan dengan masyarakat Pulau Saonek. Meskipun secara formal, ekosistem mangrove belum
ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut, namun karena masyarakat menyadari arti penting ekosistem ini, maka aktivitas pemanfaatan yang merusak tidak
dilakukan. Hal ini berdampak positif terhadap peran habitat pesisir sebagai pelindungan pantai. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan
ekosistem ini, perlu penetapan kawasan mangrove sebagai kawasan konservasi laut secara formal.
Karakteristik masing-masing pulau dilihat dari parameter kerentanan juga dapat dilihat dari hasil analisis Priciple Component Analisys PCA atau analisis
komponen utama terhadap parameter kerentanan pulau-pulau kecil. Dari hasil analisis PCA diperoleh beberapa parameter utama yang mencirikan masing-
masing pulau kecil. Seperti terlihat pada Gambar 36, Pulau Saonek dan Pulau Barrang Lompo dicirikan oleh kesamaan parameter laju pertumbuhan penduduk
PD, elevasi pulau EL dan penggunaan lahan PL. Sebaliknya Pulau Kasu dicirikan oleh beberapa parameter sebagai pembeda dari Pulau Saonek dan
Barrang Lompo, yaitu tipologi pemukiman PP, habitat pesisir HP, ekosistem lamun LM, kemiringan SL, dan gelombang GL. Parameter lainnya tidak
secara spesifik mencirikan keterkaitannya dengan ketiga pulau kecil yang ditetiti.
Gambar 36. Biplot parameter kerentanan dengan lokasi penelitian pulau-pulau kecil
SR GL
PS ER
TS PD
KP TP
EL SL
PL PP
HP
TK MR
LM KL
Kasu
B. Lompo
Saonek
‐6 ‐4
‐2 2
4
‐8 ‐6
‐4 ‐2
2 4
6
F2 28,22
F1 64,21
Biplot axes F1 and F2: 92,43
5.3. Analisis Skenario Perubahan Kerentanan Lingkungan