Tinjauan Kajian Kerentanan Pesisir dan PPK

geologi seperti subsiden. Umumnya pulau yang mengalami subsiden akan lebih terancam dibandingkan pulau yang tidak mengalami subsiden. Dampak kenaikan muka laut juga dikemukakan Nicholls 2002 seperti disajikan pada Tabel 8 berikut: Tabel 8. Dampak utama kenaikan muka laut Dampak Biofisik Faktor Relevan Lainnya Iklim Non Iklim Perendaman, banjir, gelombang, dampak efek backwater Gelombang, perubahan morfologi, suplai sedimen, run-off Suplai sedimen, penanga- nan banjir, perubahan morfologi, pengelolaan daerah tangkapan air dan pemanfaatan lahan Kehilangan daerah lahan basah Suplai sedimen Suplai sedimen Erosi Gelombang dan badai iklim, suplai sedimen Suplai sedimen Intrusi air lautair permukaan Run-off, curah hujan Pengelolaan daerah tangkapan air

2.6. Tinjauan Kajian Kerentanan Pesisir dan PPK

Kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil terkait dengan pemanasan global terus berkembang. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang banyak dijadikan model dari kajian kerentanan karena melihat kenyataan pentingnya daerah pesisir sebagai penopang kegiatan perekonomian. Awalnya, Gornitzs 1992 mengembangkan indeks kerentanan pesisir dengan memasukkan parameter dampak pemanasan global seperti kenaikan muka laut serta perendaman yang digabungkan dengan parameter geomorfologi dan kajian oseanografi. Kajian ini banyak diadopsi oleh sistem penilaian lain yang berbasis pesisir sehingga memiliki sebuah angka indeks untuk pengelolaan wilayah pesisir. Beberapa model yang diperkenalkan Gornitz et al. 1992 untuk menghitung kerentanan pesisir Coastal Vulnerability adalah sebagai berikut: CVI … n 3 CVI X X 4 CVI … n 5 CVI … n 6 CVI … n 7 CVI 6 = 4X 1 + 4X 2 + 2X 3 +X 4 + 4X 5 + 2 X 6 +X 2 8 Keterangan : CVI = Coastal Vulnerability Index n = jumlah variabelparameter x 1 = Rata-rata elevasi x 2 = Subsiden x 3 = Geologi x 4 = Geomorfologi x 5 = Erosi pantai x 6 = Tinggi gelombang maksimum x 7 = Rata-rata tunggang pasang. Hasil uji sensitivitas dari 6 formula di atas, menunjukkan bahwa model CVI 5 merupakan formula yang lebih sesuai untuk mengukur kerentanan pesisir. Model CVI 5 tersebut banyak digunakan untuk menilai kerentanan pesisir seperti yang dilakukan Doukakis 2005 untuk menilai kerentanan pesisir di bagian barat Peloponnesa bagian selatan Yunani, dengan melakukan modifikasi bobot dari setiap variabel dan tidak memasukkan parameter geologi sebagai berikut: CVI 9 Hal yang berbeda dilakukan Rao et al. 2008 dalam menilai kerentanan pesisir Andara Paradesh Coast, India. Dengan menggunakan 5 parameter yaitu geomorfologi g, slope s, perubahan garis pantaierosi c kisaran pasang tertinggi t, dan tinggi gelombang w mereka menguji parameter tersebut dengan metode penjumlahan dan perkalian. Dari hasil pengujian tersebut disimpulkan bahwa metode yang lebih sesuai adalah metode penjumlahan, yaitu: CVI = 4g + 4s + 2c + t + w 10 dengan memberikan bobot pada g, s dan c yang lebih besar dari lainnya. Pendekatan yang sama juga dilakukan Hedge dan Reju 2007 untuk menghitung indeks kerentanan pesisir di Pantai Mangalore, India. Pendekatan yang digunakan adalah penjumlahan skor 1-5 dari empat parameter lalu dibagi 4, yaitu: CVI = kelerengan + Geomorfologi + Populasi + Erosi4. 11 Kajian kerentanan pulau-pulau kecil telah dikembangkan SOPAC 1999 untuk menentukan kerentanan negara-negara kepulauan yang berada di kawasan Pasifik Selatan. Pendekatan yang digunakan adalah melakukan penjumlahan terhadap nilai skor 1-7 dari 50 parameterindikator yang mencerminkan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Aplikasi konsep yang dikemukakan SOPAC 1999 ini dilakukan Gowrie 2003 untuk menghitung indeks kerentanan lingkungan pulau di Tobago. Pilihan terhadap metode penjumlahan atau perkalian untuk menghitung indeks kerentanan yang sesuai juga dikemukakan Villa dan McLeod 2002, dimana disebutkan bahwa penggunaan metode perkalian untuk subindikator yang komponennya saling berinteraksi adalah yang paling sesuai. Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan tentu akan merasakan dampak langsung dari fenomena ini, terutama di wilayah-wilayah pesisir. Sementara itu, mayoritas penduduk di Indonesia tersebar di dekat atau di sekitar wilayah pesisir. Dengan demikian, perilaku kedudukan muka laut beserta variasi temporal dan spasial di wilayah regional atau lokal Indonesia merupakan salah satu data yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Kajian kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sudah mulai dikembangkan di Indonesia. Departemen Kelautan telah mengembangkan indeks kerentanan pulau-pulau kecil pada tahun 2008 yang dilakukan di sekitar Kepulauan Seribu. Indeks kerentanan yang dikembangkan diadopsi dari Gornitz et al, 1992 yang dimodifikasi sesuai dengan perkiraan kondisi lokasi studi yang dijadikan sebagai contoh kasus. Kajian kerentanan lainnya dilakukan Marfai et al. 2007 yang mengkaji dampak banjir pasang terhadap masyarakat pesisir di Kota Semarang. Pendekatan yang digunakan adalah analisis spasial dengan memetakan lahan-lahan yang berpotensi mengalami penggenangan dengan adanya banjir tersebut. Hamzah et al. in press juga mengembangkan kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil di Pulau Lombok. Hasil penelitian ini adalah dipetakannya tingkat kerentanan pesisir Pulau Lombok karena adanya kenaikan muka laut.

3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengumpulan data lapang dilakukan selama dua bulan, yaitu dari Bulan Nopember - Desember 2009. Lokasi penelitian adalah 3 pulau sangat kecil yang secara geografis memiliki karakteristik yang berbeda Gambar 7, 8, 9. Ketiga pulau tersebut adalah Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat. Karakteristik umum masing-masing pulau tersebut disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik umum P. Kasu, P. Barrang Lompo dan P. Saonek Parameter P. Kasu P. Barrang Lompo P. Saonek Jenis pulau Petabah Karang Karang Vegetasi Mangrove - Mangrove Keterbukaan terhadap perairan Selat sempit Selat lebar Lautan Kepadatan penduduk Sedang Sangat padat Padat Sistem pulau Gugus Gugus Gugus Gambar 7. Lokasi penelitian Pulau Kasu-Kota Batam