KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Tingkat Pendidikan Salah satu faktor yang dapat menggambarkan kondisi soasial ekonomi adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan penduduk di lokasi penelitian cukup beragam, mulai dari tidak tamat SD, tamat SD, sampai tamat AKPT. Tingkat pendidikan formal penduduk Kecamatan Blanakan tergolong masih rendah, terdapat sekitar 3.649 jiwa 36 yang tidak tamat Sekolah Dasar SD dan 5.370 jiwa 52,98 yang hanya tamat SD. Sedangkan penduduk yang pernah mengeyam pendidikan SLTA hanya 888 jiwa 8,76 dan Perguruan tinggi hanya 229 jiwa 2,26. Tingkat pendidikan penduduk di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12.Klasifikasi Tingkat Pendidikan Formal Penduduk Desa Tidak Tamat SD Tamat SDSLTP Tamat SLTA Tamat AKPT Muara 816 1.179 230 43 Blanakan 1.583 2.286 385 142 Cilamaya Girang 1.250 1.905 273 44 Jumlah 3.649 5.370 888 229 Kecamatan Blanakan 7.951 11.583 2.091 459 Sumber: Profil Kecamatan Blanakan 2011 Kondisi pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan yang bersifat teknis dan keahlian dalam melakukan kegiatan usaha yang produktif. Selain itu tingkat pendidikan akan berpengaruh juga terhadap daya serap dari program-program yang akan dikembangkan oleh pemerintah. Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan di Blanakan lebih tinggi dibandingkan kedua desa lain, yaitu sebesar 52 tamat SDSLTP, 8,76 tamat SLTA dan 3,23 untuk masyarakat yang telah lulus dari AKPT. Semakin tinggi tingkat pendidikan dapat memberikan gambaran bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut relatif lebih baik. Gambar 7. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Formal Penduduk Sumber: Profil Kecamatan Blanakan 2011, diolah 2013 500 1000 1500 2000 2500 Muara Blanakan Cilamaya Girang Klasifikasi Tingkat Pendidikan Formal Tidak Tamat SD Tamat SDSLTP Tamat SLTA Tamat AKPT Mata Pencaharian Mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Blanakan terdiri dari berbagai jenis diantaranya petani sawah, petani tambakpembudidaya, buruh, nelayan, peternak, Pegawai Negeri Sipil PNS, pedagang keliling, petugas kesehatan, montir, pegawai swasta, pengrajin, pengusaha, dan lainnya. Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Blanakan bermata pencaharian sebagai petani sawah, nelayan dan penggarap tambak. Masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kawasan minawana selain penggarap tambakempang adalah buruh, penangkap kepiting, penangkap wideng, penangkap udang, penangkap belut, penangkap ular, penangkap burung, penangkap biawak dan pencari kayu. Masyarakat penangkap kepiting dan sejenisnya wideng, belut, ular, dll menjadikan kawasan minawana yang tidak terlepas dari kehidupannya sehari-hari. Secara rinci mata pencaharian masyarakat di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Mayoritas Mata Pencaharian Penduduk di Kecamatan Blanakan No Desa Petani KK Nelayan KK Penggarap Tambak KK PTM KM 1 Muara 746 736 135 277 2 Blanakan 2.585 842 186 363 3 Cilamaya Girang 1.229 299 48 176 Jumlah 4.560 1.877 369 816 Sumber: Profil Kecamatan Blanakan 2011 Bagi mayarakat yang tidak memiliki sawah ataupun empang, selain menjadi buruh sawah, sebagian besar dari mereka bekerja sebagi buruh di empangtambak jika masa tanam dan panen sawah kosong. Buruh tersebut terdiri dari buruh harian dan buruh panen khusus panen musiman ikanudang hasil tambak. Mayoritas mata pencaharian penduduk di Kecamatan Blanakan diilustrasikan melalui Gambar 8. Gambar 8. Mayoritas Mata Pencaharian Penduduk Sumber: Profil Kecamatan Blanakan 2011, diolah 2013 Mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian di dominasi oleh petani dengan jumlah 4.560 KK kemudian nelayan yang menggunakan perahu tampa motor dengan 500 1000 1500 2000 2500 3000 Muara Blanakan Cilamaya Girang Mata Pencaharian Penduduk Petani KK PTM KM Penggarap Tambak KK jumlah 1.877 KK, penggarap tambak sebanyak 816 KK, barulah kemudian nelayan yang menggunakan kapal motor sebanyak 369 KK. Pengelolaan Mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Subang Sejarah Pengelolaan Mangrove Kawasan mangrove RPH Tegal Tangkil, BPKPH Ciasem – Pamanukan secara geografis membentang sepanjang pantai utara Jawa. Pada awal tahun 1960-an, wilayah pesisir Kabupaten Subang masih berupa hutan payau atau ekosistem mangrove yang ditumbuhi anekaragam jenis tumbuhan. Berdasarkan informasi lapangan, pada tahun 1960-an diantara warga masyarakat mulai membuat kalen atau parit-parit untuk memasuki kawasan hutan agar dapat memasang bubu untuk menangkap ikan. Pengelolaan kawasan mangrove RPH Tegal Tangkil, BPKPH Ciasem – Pamanukan telah menerapkan strategi Perhutanan Sosial PS, yaitu perpaduan antara penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan hutan dengan budidaya payau dimana pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif sebagai penggarap tambak dan udang serta wajib memelihara ekosistem mangrove. Perum Perhutani melalui strategi PS yang kemudian diubah menjadi program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM ini berbagi peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya mangrove sehingga terbangun kepedulian terhadap kelestarian mangrove. Hak dan tanggung jawab masyarakat desa di sekitar ekosistem mangrove tertampung dalam sebuah lembaga yang dinamakan Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH. Adanya LMDH dan PHBM ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap rencana kelola lingkungan dan sosial pada pengelolaan sumberdaya mangrove. Program PHBM ini kemudian disempurnakan pada tahun 1988 dengan program silvofishery atau minawana. Kegiatan minawana berupa empang parit pada kawasan ekosistem mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978 Wirjodarmodjo dan Hamzah 1984. Jenis mangrove yang umumnya ditanam mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Perhutani yaitu Rhizophora mucronata dan disusul tanaman Avicennia marina. Jenis api-api dapat dikatakan sebagai spesies asli yang mendominasi daerah tersebut sebelum mengalami konversi menjadi tambak dan sebagian besar anakan api-api tersebut tumbuh secara permudaan alami. Definisi istilah minawana atau silvofishery atau tambak tumpang sari bermacam- macam, akan tetapi menunjukkan pengertian yang sama. Soewardi 1994 mendefinisikan minawana atau sering disebut sebagai silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi terpadu antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep minawana ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan. MenurutPerhutani Rangkuti 2013, wilayah KP Mangrove di RPH Tegal-Tangkil yang masuk di dalam BKPH Pamanukan terbagi dalam 3 blok, yaitu: 1. Blok Perlindungan sebesar 17.31 2,752.40 ha: Zona yang difokuskan utuk kegiatan perlindungan dan konservasi. Blok perlindungan yang ideal memiliki lebar 200 m dari bibir pantai dan 50 m dari tepi sungai. Akan tetapi saat ini mengalami penurunan akibat konversi menjadi lahan tambak. 2. Blok Pemanfaatan sebesar 73.48 11,681.93 ha: Zona pemanfaatan terdiri dari pemanfaatan perikanan berupa empang parit minawana dengan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan pemanfaatan jasa lingkungan berupa wisata. Pada Blok ini masyarakat diberikan kesempatan untuk menggarap empang. Sedangkan untuk zona pemanfaatan jasa lingkungan terdapat Wanawisata dan Penangkaran Buaya Blanakan. 3. Blok lainnya sebesar 9.20 460.08 ha: Zona ini diperuntukan tempat saluran pipa oleh PT Pertamina. Minawana sebagai suatu rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikanudang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian ekosistem mangrove. Beberapa manfaat tambak ramah lingkungan minawana menurut Sualia et al. 2010 diantaranya : 1. Biaya dan resiko produksi jauh lebih rendah dan dapat dikelola dalam skala kecil rumah tangga. 2. Menghasilkan produksi sampingan dari hasil tangkapan alam seperti udang alam, kepiting, dan ikan liar. 3. Lingkungan terpulihkan dan meningkatnya daya dukung carrying capacity tambak, sehingga mampu menjaga kualitas air dan menopang kehidupann komoditas yang dibudidayakan. 4. Produk udang berkualitas premium dan bernilai jual tinggi di pasaran internasional. 5. Kawasan tambak ramah lingkungan lebih tahan terhadap serangan penyakit, akibat kemampuan mangrove dalam menyerap limbah dan menghasilkan zat antibakteri. a b Gambar 9. Kondisi mangrove di lokasi penelitian; a mangrove yang terjaga kelestariannya, b mangrove yang ditebang untuk memperluas areal tambak Semestinya sistem tambak tumpangsari terdiri atas 80 mangrove, dan 20 empang atau tambak Perhutani 1995, serta melibatkan masyarakat dalampengelolaannya. Namun pada kenyataannya, vegetasi mangrove terutama padaareal pertambakan tidak berkembang secara baik, akibat penebangan untukperluasan tambak. Dengan demikian sistem tambak tumpangsari tidak lagi dapatdipertahankan secara utuh.Rendahnya kerapatan vegetasi mangrove di Kecamatan Blanakan, disebabkan karena terjadinya perluasan areal tambak dengan cara penebangan vegetasi mangrove pada hampir sebagian besar wilayah tersebut. Selain itu juga rendahnya kesadaran masyarakat, serta kurangnya pengawasan dari aparat Pemerintah Desa maupun pihak Perhutani menjadi penyebab berkurangnya luasan mangrove di wilayah tersebut. Kondisi Fisika Kimia Kualitas Air Hasil pengukuran beberapa kualitas air insitu di kawasan tambak wanamina memperlihatkan bahwa kondisi kualitas air di wanamina baik yang berpenutupan tinggi, sedang maupun rendah dan tambak murni secara umum tidak jauh berbeda. Hal ini karena air ini yang masuk ke pertambakan berasal dari sumber yang sama. Secara umum pengelolaan kualitas air oleh penggarap hampir sama yaitu dengan sistem sirkulasi terbuka sehingga air laut bebas keluar-masuk dari tambak Rangkuti 2013. Oksigen terlarut DO merupakan salah satu parameter penting dalam analisis kualitas air. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh seluruh jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Berdasarkan hasil pengukuran nilai oksigen terlarut DO didapatkan nilai DO tertinggi terdapat pada Muara Blanakan petak 6 dan 7 yaitu sebesar 8,6 mgL. Sungai Blanakan memiliki kedalaman yang lebih rendah dibanding perairan lainnya, sehingga suhu dari sinar matahari cepat masuk dan mempengaruhi nilai DO sampel perairan. Sedangkan kandungan DO pada Muara Gangga petak 2 dan Muara Ciasem petak 9 dan 10 masing-masing sebesar 7,8 mgL dan 8,2 mgL Purba 2012. Muara memiliki DO yang cukup tinggi, disebabkan pada saat pasang terjadi pergerakan pengadukan air yang dapat meningkatkan nilai DO pada perairan tersebut. Cahaya matahari merupakan faktor abiotik yang mutlak diperlukan dalam proses fotosintesis. Dengan demikian produktivitas fitoplankton sangat ditentukan oleh adanya penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh nilai kecerahan berkisar antara 18-21,5 cm. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi. Kekeruhan di perairan estuari terjadi karena pencampuran partikel-partikel organik dan endapan halus dari aliran sungai dan laut melalui pergerakan pasang dan surut Nybaken 1992. Sedangkan pengukuran terhadap pH menunjukan bahwa pH pada perairan Blanakan berada pada kisaran 5-8. Nilai pH tertinggi terdapat pada perairan muara, yaitu Muara Ciasem, Muara Blanakan dan Muara Gangga, masing-masing sebesar 8 Purba 2012. Umumnya pH air laut tidak bervariasi karena adanya kapasitas penyangga buffering capacity dari sistem karbondioksida dalam air laut, hal ini berarti pH air laut tidak mudah berubah. Pada umumnya mangrove hidup dan tumbuh dengan baik di daerah estuari dengan kisaran salinitas antara 10-30 ppm. Pada perairan Blanakan nilai salinitas yang diperoleh adalah 20 ppm, maka perairan tersebut masih mempunyai nilai salinitas yang baik. Berdasarkan hasil pengukuran oleh Rangkuti 2013, variasi nilai pada parameter salinitas terjadi terutama pada perairan yang terletak dekat muara sungai dimana umumnya didapatkan nilai relatif rendah 20 ‰. Perubahan nilai salinitas di daerah muara sungai dapat disebabkan oleh pengaruh pasang surut. Pada saat surut, nilai salinitas air laut menjadi relatif rendah, sebaliknya pada saat pasang nilai salinitas akan meningkat bahkan sampai mencapai puluhan meter dari garis tepi pantai. Berikut ini hasil dari pengukuran salinitas masing-masing stasiun pada saat pasang dan saat surut. Tabel 14. Pengukuran salinitas pada saat pasang dan saat surut No Stasiun Pasang ‰ Surut ‰ 1 Muara 32 30 2 Blanakan 32 30 3 Cilamaya girang 32 30 Sumber: Rangkuti 2013 Hasil pengukuran distribusi salinitas pada tahun 2012 di wilayah perairan mangrove Kecamatan Blanakaan, salinitas tersebut didapatkan hampir menyebar secara merata, antara lapisan atas dan bawah. Pengukuran salinitas didapatkan kisaran nilai salinitas ketika pasang adalah 30- 32 ‰ dan ketika surut berkisar 29-3 ‰, semakin menuju laut maka salinitasnya semakin tinggi Rangkuti 2013. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan evaporasi, curah hujan presipitasi dan aliran sungai run off yang ada di sekitarnya Effendi 2003. Salinitas air sungai semakin meningkat bila menuju ke arah hilir atau muara sungai. Hal tersebut dikarenakan pada daerah hilir pengaruh air laut sangat dominan, sedangkan pada daerah hulu pengaruh air tawar yang lebih dominan. Laju SedimentasiAkresi Pada umumnya wilayah perairan pantai Blanakan Subang yang berbentuk seperti teluk memungkinkan terjadinya proses pengendapan sedimen dari sungai dan dari angkutan sedimen pantai menjadi lebih besar, sehingga di wilayah ini laju pendangkalan perairan sangat besar. Hal ini akan rusaknya tegakan mangrove dengan lebar mangrove berkurang secara terus menerus, kecuali untuk daerah pesisir Kecamatan Blanakan sebelah barat Desa Muara, Desa Langensari, Desa Blanakan, Desa Rawameneng, Desa Jayamukti, Desa Cilamaya Girang, Desa Cilamaya Hilir dan Desa Rawamekar tidak terjadi abrasi melainkan akresi. Di Kecamatan Blanakan, diperkirakan memiliki laju akresi rata-rata antara 2-3 mtahun. Di daerah muara sungai banyak dijumpai tanah timbul karena endapan lumpur yang terus menurus terbawa dari daerah hulu sungai dan gelombang Pemerintahan Kabupaten Subang 2011. Kondisi Bioekologi Formasi Mangrove Mangrove di daerah ini terbagi menjadi 2 kawasan utama yaitu, di sebelah barat sungai Blanakan yang dikelola dibawah pengawasan Perum Perhutani unit III dan kawasan di sebelah timur sungai Blanakan yang terdapat di sekitar kawasan tambak produksi milik masyarakat. Tumbuhan mangrove di daerah ini sebagian besar merupakan hasil replanting dan rehabilitasi yang telah dilakukan sekitar 25 tahun yang lalu dan terutama terdiri dari kelompok api-api Avicennia sp. dengan ukuran mulai dari seedling sampai berukura n besar diameter batang ≤ 0cm; tinggi ≥ 0meter Rangkuti 2013. Formasi mangrove yang ada di daerah penelitian umumnya sama yaitu Avicennia spp yang ditemukan mulai dari batas perkampungan penduduk, daerah tambak sampai jauh kedepan yaitu pada tanah timbul yang merupakan hasil pertemuan sedimentasi dari muara sungai Blanakan dan pengendapan dari laut. Avicennia spp. merupakan tumbuhan pionir pada lahan pantai yang terlindung, memiliki kemampuan menempati dan tumbuh pada berbagai habitat pasang-surut, bahkan di tempat asin sekalipun. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang paling umum ditemukan di habitat pasang-surut. Akarnya membantu pengikatan sedimen dan mempercepat proses pembentukan tanah timbul. Jenis ini dapat juga bergerombol membentuk suatu kelompok pada habitat tertentu. Pada zona iniAvicennia spp. biasa berasosiasi dengan Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam.Lebih ke arah darat, formasi jenis Sonneratia spp. dan Rhizophora spp. banyak djumpai di belakang zonasi Avicennia marina. Rhizopora spp .merupakan jenis mangrove yang banyak ditemukan pada tanah lembek berlumpur dan kaya humus. Di zona ini juga banyak dijumpai Bruguiera spp.yang biasanya tumbuh mengelompok pada tanah liat di belakang zona Avicennia spp, atau di bagian tengah vegetasi mangrove kearah darat. Dominasi Mangrove Mangrove yang ada di Blanakan didominasi empat jenis yaitu Avicennia spp. A. officinalis dan A. marina, Sonneratia sp., Rhizopora sp . dan Bruguiera sp. Jika diperhatikan di daerah yang makin mengarah ke darat dari laut terdapat zonasi penguasaan oleh jenis-jenis mangrove yang berbeda. Dari arah laut menuju ke daratan terdapat pergantian jenis mangrove yang secara dominan menguasai masing-masing habitat zonasinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian zonasi terkait dengan respons jenis tanaman terhadap salinitas, pasang-surut dan keadaan tanah. Kondisi tanah mempunyai kontribusi besar dalam membentuk zonasi penyebaran tanaman. Keadaan morfologi tanaman, daya apung dan cara penyebaran bibitnya serta persaingan antar spesies, merupakan faktor lain dalam pembentukan zonasi ini. Menurut Ramdhani 2012 diketahui bahwa pada jenis Sonneratia alba merupakan jenis vegetasi mangrove yang paling mendominasi di Desa Muara Ciasem. Jenis vegetasi Sonneratia alba memiliki INP tertinggi 294,78 , selanjutnya jenis Rhizophora Stylosa memiliki dengan INP tertinggi kedua 110 , jenis Avicennia marina memiliki INP sebesar 77,23 , dan urutan terakhir pada jenis Wedelia biflora yang memiliki INP sebesar 17,02 . Pada tingkat semai, INP tertinggi adalah jenis Sonneratia alba 111,52. Hal ini dikarenakan kerapatan dan frekuensi semai Sonneratia alba tergolong tinggi. Analisis vegetasi mangrove yang berada di Desa Muara Ciasem ditampilkan melalui Tabel 15. Tabel 15. Analisis Vegetasi Mangrove Desa Muara Ciasem Jenis vegetasi INP Semai Pancang Pohon Total Sonneratia alba 111,52 83,26 100 294,78 Wedelia biflora 17,02 - - 17,02 Avicennia marina 31,37 45,86 - 77,23 Rhizophora Stylosa 40,07 70,85 - 110,92 Sumber: Ramdhani2012 Mangrove yang terdapat di Desa Blanakandidominasi oleh Avicennia marina dengan INP tertinggi sebesar 253,77 sedangkan INP terendah terdapat pada Bruguiera sp. dengan presentase sebesar 7,98, seperti disajikan pada Tabel 16. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan spesies Avicennia marina merupakan spesies yang mendominasi dan juga merupakan pemasok nutrisi terbesar bagi perairan. Avicennia mempunyai adaptasi yang tinggi dengan perakarannya. Hal ini dapat membantu spesies ini dalam mengikat sedimen yang banyak terdapat di pantai Blanakan Muhammad 2012. Tabel 16. Analisis Vegetasi Mangrove di Desa Blanakan Jenis vegetasi INP Semai Pancang Pohon Total Avicennia marina 163,2 188,76 253,77 605,73 Rhizophora Stylosa 84,16 98,81 33,67 216,64 Sonneratia alba 44,66 12,43 12,56 69,65 Bruguiera sp. 7,98 7,98 Sumber: Muhammad2012 Menurut KPH Purwakarta 2012, spesies mangrove yang paling mendominasi di Desa Cilamaya Girang sama dengan dominasi di Desa Blanakan yaitu Avicennia marina atau api-api. Avicennia banyak mendominasi di zona ini karena Avicennia mampu beradaptasi dengan lingkungan mangrove yang sering mengalami perendaman oleh air laut karena letaknya yang dekat dengan laut. Avicennia mempunyai adaptasi yang tinggi dengan perakarannya. Jenis Api-api dikenal sebagai black mangrove yang merupakan jenis terbaik dalam proses menstabilkan tanah habitatnya, karena penyebaran benihnya mudah, toleransi terhadap temperatur tinggi, pertumbuhan akar pernafasan akar pasak yang cepat dan sistem perakarannya mampu menahan endapan dengan baik. Jenis Fauna pada Ekosistem Mangrove Keberadaan mangrove menjadi sangat penting bagi biota teresterial mamalia, reptil, ampibi maupun hewan lainnya karena umumnya sebagi tempat mencari makan maupun persinggahan burung migrasi ataupun mangrove adalah tempat hidupnya. Berdasarkan hasil pengamatan di setiap petak, ditemukan berbagai jenis ikan dan udang yang dibudidayakan di tambak tumpangsari antara lain ikan mujair Oreochromis mosambicus , ikan bandeng Chanos chanos, udang bagowindu Penaeus monodon, udang api Penaeus plebejushess, dan udang peciputih Penaeus penicillatus. Selain hasil budidaya terdapat juga kepiting bakau Scylla serrata yang ditangkap oleh nelayan penangkap kepiting bakau. Ikan gelodok Periopthalmus spp. merupakan ikan yang sering sekali terlihat “berenang” pada genangan air berlumpur atau menempel pada akar mangrove. Adapun berbagai jenis satwa liar yang dapat dijumpai sebelum meluasnya petak lokasi tambak meliputi berbagai burung, mamalia dan reptilian seperti disajikan pada Tabel 17 Perhutani 1995. Tabel 17. Fauna di sekitar Wilayah Mangrove Mamalia Garangan Jawa Herpestes javanicus Berang-Berang Utara Lutra lutra Reptil Biawak Varanus sp. Ular Kadut Belang Hamalopsis buccata Ular Tambak Bunglon Cercerus rynchops Chameleon sp Kadal Mabouya multifasciata Ikan Bandeng Chanos chanos Betok Anabas testudineus Blanak Mugil cephalus Glodok Periophthalmus koelreuteri Boso Ophiocara porocephala Gabus Channa striata Kakappelak Lates calcalifer Kerong-kerong Terapon jarbua Kipper Scatophagus argus Lunduketing Mystus wickii Mujaer Oreochromis mosambicus Kelompok Fauna DaratanTerestrial Fauna daratanterestrial yang ditemukan di wilayah ekosistem mangrove Blanakan diantaranya: insecta, ular, dan burung. Selain hewan-hewan yang tinggal sepanjang tahun, habitat mangrove penting pula untuk hewan pengunjung yang hanya sementara waktu saja, seperti burung yang menggunakan dahan mangrove untuk bertengger atau membuat sarangnya tetapi mencari makan di bagian daratan yang lebih ke dalam, jauh dari daerah habitat mangrove. Kelompok hewan arboreal yang hidup di atas pohon, seperti serangga, ular pohon, primata dan burung yang tidak sepanjang hidupnya berada di habitat mangrove, tidak perlu beradaptasi dengan kondisi pasang surut. Burung merupakan salah satu komponen rantai makanan dalam ekosistem mangrove. Keberadaan burung dalam ekosistem mangrove karena dapat dijadikan tempat berlindung, bertelur dan persinggahan sementara khusus burung migrant. Gambar 10. Salah satu jenis burung Egretta sp yang terdapat pada kawasan mangrove perairan Pantai Blanakan, Subang Mangrove digunakan burung sebagai tempat mencari makanan berupa ikan pada sela-sela akar mangrove yang sedikit berair dan berlumpur, sedangkan beberapa jenis burung yang lain menyukai vegetasi semak yang rendah untuk mencari makan. Famili Ardeidae mencari makanan berupa ikan pada lumpur di kawasan mangrove. Pycnonotus goiavier banyak mencari biji dan buah di tanaman mangrove. Sebagian burung merupakan burung penetap yang tinggal dan bersarang pada pohon-pohon mangrove tersebut. Burung-burung ini setiap waktu selalu terlihat menjaga teritorinya dan tidak akan meninggalkan wilayahnya jauh-jauh walaupun untuk mencari makan. Sebagian lagi adalah burung migran yang singgah sementara dalam migrasinya Muhammad 2012. Diantara jenis-jenis burung yang dijumpai di Pantai Blanakan ada yang sifatnya menetap, pengunjung, dan ada pula yang merupakan burung migran. Burung yang sifatnya pengunjung di daerah pesisir seperti Numenius phaeopus dan Sterna albifrons. Kategori burung migrant seperti Xenus cinereus dan Apus pasificu. Terdapat beberapa jenis burung yang termasuk jenis yang dilindungi, yaitu: Kuntul kecil Egretta garzetta, Ibis Plegadis falcinellus, Dara laut kecil Sterna albifrons, Kuntul karang Egretta sacra , Kuntul kerbau Bubulcus ibis, Elang laut perut putih Haliaetus leucogaster, dan Wili-wili besar Burhinus gihanteus Muhammad 2012. Hasil observasi menunjukkan bahwa beberapa jenis reptil memiliki pola penggunaan ruang yang dipengaruhi oleh pola aktivitas. Jenis-jenis arboreal yang aktif pada malam hari seperti Gecko sp. sering ditemukan pada cabang atau ranting pohon terutama pada malam hari, ketika mereka aktif mencari mangsa, namun pada siang hari mereka lebih suka bersembunyi di celah-celah pada pohon. Reptil yang hidup pada permukaan tanah terestrial juga memiliki pola penggunaan ruang yang cenderung tetap. Beberapa jenis bersarang atau berlindung di lubang-lubang tanah, celah-celah batu atau diantara banir kayu seperti Kadal Mabouya multifasciata dan Ular sawah. Kelompok Fauna PerairanAkuatik Keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan.Saenger etal . 1983 menyebutkan hampir 80 dari seluruh jenis ikan laut yangdikonsumsi manusia berasal dari ekosistem mangrove. Selain memiliki fungsi sebagai pelindung pantai dari gelombang, fungsi mangrove yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi ekologis sebagai tempat berlindung, pembesaran, dan perkembangbiakan bagi berbagai jenis biota akuatik. Organisme yang banyak menikmati fungsi ekologis mangrove ini adalah biota laut, seperti plankton, makrobenthos, ikan dan Crustacea kepiting dan udang.Menurut Bengen 2002 kelompok fauna perairanakuatik terdiri dari dua tipe yaitu: 1. Organisme yang hidup pada kolom air Berdasarkan hasil pengamatan, di wilayah ekosistem mangrove Blanakan, ditemukan berbagai jenis ikan dan udang. Keberadaan ikan-ikan di mangrove tersebut ada yang menjadi penghuni tetap, ada yang sekali-sekali datang untuk mencari makan, dan ada yang datang secara musiman, misalnya ketika akan bertelur atan memijah. Salah satu ikan yang termasuk ikan penetap sejati yaitu ikan gelodok dimana seluruh siklus hidupnya berada di daerah mangrove. Selain ikan penetap sejati, ditemukan juga ikan penetap sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan mangrove selama periode anakan, tetapi pada saat dewasa cenderung bergerombol disepanjang pantai yang berdekatan dengan mangrove, seperti ikan belanak Mugilidae. Terdapat beberapa jenis ikan yang mampu hidup pada daerah yang kisaran salinitasnya luas seperti pada daerah mangrove ini. Ikan-ikan tersebut mempunyai toleransi terhadap kisaran salinitas yang tinggi untuk dapat hidup di perairan payau. Adapun jenis ikan yang teramati di Blanakan antara lain ikan kipper Scatophagus argus, ikan lundu Macrones gulio, ikan kerong-kerong Therapon jarbua, ikan mujair Oreochromis mossambicus, ikan Boso Glossogobius giuiris, dan ikan belut tambak Synbranchus bengalensis. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang subur, karena degradasi serasah mangrove memasok unsur hara bagi lingkungannya. Unsur hara dimanfaatkan oleh plankton dalam fotosintesis, sehingga perairan di mangrove mempunyai produktivitas yang tinggi. Hal ini menyebabkan kelimpahan organisme pada tingkatan trofik dalam rantai makanan menjadi tinggi pula. Ketersediaan plankton dan benthos di perairan tersebut merupakan makanan bagi ikan. Dengan kondisi tersebut, ikan memanfaatkan ekosistem perairan mangrove sebagai daerah mencari makan, memijah dan pembesaran. Jadi mangrove mempunyai nilai ekologis yang tinggi untuk menunjang keberlangsungan ekosistem akuatik di kawasan mangrove Blanakan. 2. Organisme yang menempati substrat Hasil pengamatan menunjukan bahwa terdapat beberapa organisme yang menempati substrat baik keras akar dan batang pohon maupun lunak lumpur diantaranya yaitu kepiting dan kerang.

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tutupan Lahan Kecamatan Blanakan Berdasarkan hasil analisis, terlihat bahwa tambak memiliki luasan terbesar yaitu sekitar 80 dari total luas lahan Gambar 11. Pada kurun waktu 2005 – 2012 terjadi peningkatan luasan lahan tambak sebesar 5 sekitar 700 mtahun, dari 84 pada tahun 2005 sampai 89 pada tahun 2012. Sebaliknya, mangrove di Kecamatan Blanakan pada kurun waktu 2005 – 2012 mengalami penurunan tutupan luasan sebesar 5 sekitar 700 mtahun dan penurunan terbesar terjadi di Desa Jayamukti sebesar 36 sekitar 95 mtahun. Pada kurun yang sama terjadi peningkatan luasan tutupan sebesar 21 sekitar 38 mtahun yang terjadi di Desa Cilamaya Girang. Sama halnya dengan mangrove, luas tutupan lahan semak juga mengalami penurunan sekitar 200 mtahun. a b Gambar 11. Peta Tutupan Lahan Kecamatan Blanakan a 2005; b 2012 Sumber: BIGCitra Landsat 2005 dan 2012, diolah 2013 Luas Mangrove dan Penutupan Mangrove Berdasarkan data dari BPKPH Pamanukan 2012 diketahui bahwa luasan mangrove terbesar berada di Desa Blanakan yaitu 303.25 ha dan luasan terkecil di Desa Cilamaya Girang yaitu 166,69 ha. Melalui hasil analisis Citra Landsat tahun 2005 dan 2012 diperoleh peta penutupan mangrove Teluk Blanakan, Kabupaten Subang. Hasil analisis menunjukan bahwa terjadi pengurangan tutupan yang cukup drastis pada periode 2005-2015 dimana pengurangan luasan terbesar terjadi Desa Blanakan, dari 62,80 menjadi 20,03. Luasan dan peresentase penutupan disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18. Luasan dan Persentase Penutupan Mangrove Petak Desa Luas Mangrove ha Persentase Tutupan Mangrove 2012 2005 2012 2 Cilamaya Girang 166,69 10,68 39,78 6 Blanakan 148,25 30,85 10,52 7 Blanakan 155 32,25 10,99 Petak Desa Luas Mangrove ha Persentase Tutupan Mangrove 2012 2005 2012 9 Muara 59,10 4,96 7,32 10 Muara 253,3 21,25 31,39 Total Luas Mangrove 782,34 Sumber: KPH Purwakarta 2012 BIG: Citra Landsat 2005 dan 2012, diolah 2013 Melalui hasil analisis Citra Landsat tahun 2005 dan 2012 diperoleh peta penutupan mangrove Teluk Blanakan, Kabupaten Subang Gambar 12 dan Gambar 13. Hasil analisis menunjukan bahwa terjadi pengurangan tutupan mangrove yang cukup drastis pada periode 2005-2012 dimana pengurangan luasan terbesar terjadi pada petak 6 dari 30,85 menjadi 10,52 dan petak 7 dari 32,25 menjadi 10,99, seperti ilustrasi pada Gambar 12. Kedua petak tersebut terletak di Desa Blanakan. Gambar 12.Peta Penutupan Mangrove 2005 Sumber: BIG Citra Landsat 2005, diolah 2013 Gambar 13.Peta Penutupan Mangrove 2012 Sumber: BIG Citra Landsat 2012, diolah 2013 Luasan mangrove yang semakin berkurang terjadi akibat konversi lahan mangrove menjadi lahan pertambakan, yang mengharuskan pohon mangrove ditebang dalam jumlah yang besar dan tidak ditanam kembali. Disamping terjadinya pengurangan luasan, terjadi juga penambahan luasan di petak 2, 9 dan petak 10, dimana penambahan luas terbesar terjadi pada petak 2 yang ditandai dengan penambahan presentase penutupan mangrove dari 10,68 menjadi 39,78 Gambar 14. Gambar 14. Persentase Penutupan Mangrove 2005 dan 2012 Sumber: BIGCitra Landsat 2005 dan 2012, diolah 2013 Penambahan ini, walaupun tidak terlalu signifikan penambahannya, menunjukan mulai timbulnya kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan mereka terutama sebagai sebagai penghasil bahan organik yang sangat 10 20 30 40 2 6 7 9 10 P er se nt as e Petak Persentase Penutupan Mangrove 2005 2012