HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Teluk Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat

Gambar 13.Peta Penutupan Mangrove 2012 Sumber: BIG Citra Landsat 2012, diolah 2013 Luasan mangrove yang semakin berkurang terjadi akibat konversi lahan mangrove menjadi lahan pertambakan, yang mengharuskan pohon mangrove ditebang dalam jumlah yang besar dan tidak ditanam kembali. Disamping terjadinya pengurangan luasan, terjadi juga penambahan luasan di petak 2, 9 dan petak 10, dimana penambahan luas terbesar terjadi pada petak 2 yang ditandai dengan penambahan presentase penutupan mangrove dari 10,68 menjadi 39,78 Gambar 14. Gambar 14. Persentase Penutupan Mangrove 2005 dan 2012 Sumber: BIGCitra Landsat 2005 dan 2012, diolah 2013 Penambahan ini, walaupun tidak terlalu signifikan penambahannya, menunjukan mulai timbulnya kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan mereka terutama sebagai sebagai penghasil bahan organik yang sangat 10 20 30 40 2 6 7 9 10 P er se nt as e Petak Persentase Penutupan Mangrove 2005 2012 produktif serta sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan daerah asuhan berbagai jenis biota perairan. Berdasarkan hasil analisis citra oleh Yumna 2015 diketahui bahwa di Kabupaten Ponrang, Luwu, Sulawesi Selatan. pada kurun waktu 1994 – 2002 terjadi penurunan luas lahan mangrove sebesar 269,16 ha dengan rata-rata penurunan 33,65 hatahun, sedangkan luas tambak meningkat dengan perubahan rata-rata 73,46 hatahun.Analisis perubahan lahan menggunakan data citra tahun 2002 dan 2013 menunjukkan terjadinya pengurangan luasan mangrove sebesar 36,28 ha dan disisi lain terjadi penambahan 85,5 ha kawasan tambak. Penurunan luas mangrove ini disebabkan oleh perubahan pola penggunaan lahan oleh masyarakat setempat dimana pada saat itu keberhasilan budidaya sangat tinggi. Sehingga masyarakat banyak yang mengkonversi mangrove menjadi tambak. Analisis tren perubahan kawasan mangrove menghasilkan prediksi kawasan mangrove di 2023 atau 10 tahun ke depan adalah 88,1 ha. Prediksi ini menggunakan asumsi bahwa kondisi mangrove tetap dan tidak ada pola pemanfaatan atau gangguan alam yang mengakibatkan perubahan besar terhadap ekosistem mangrove, seperti konversi menjadi tambak secara besar-besaran atau tsunami Yunma 2015. Pemetaan Kerapatan Vegetasi Mangrove Seiring dengan perubahan penggunaan lahan yang relatif cepat dalam suatu wilayah yang berkembang, sehingga diperlukan penataan yang lebih baik seberapa besar kebutuhan mangrove untuk wilayah tersebut. Hal ini memerlukan informasi dasar tentang kondisi mangrove yang akurat. Metode konvensionaltrestrial pengukuran langsung dilapangan mempunyai banyak kelemahan, antara lain cakupan daerah yang terbatas dan pada daerah yang lebih luas membutuhkan lebih banyak biaya dan waktu. Teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan data spatial menggunakan citra satelit menjadi alternatif yang dapat mendukung penyediaan kebutuhan data ini. Mendapatkan peta kerapatan vegetasi dengan menggunakan metode NDVI Normalized Difference Vegetation Index . Nilai hasil analisis ini adalah -1 sampai 1. Nilai antara -1 sapai 0 menunjukkan bahwa obyek tersebut bukan vegetasi. Sedangkan nilai 0-1 menunjukkan obyek tersebut vegetasi. Semakin mendekati 1 menunjukkan bahwa semakin rapat vegetasi pada obyek tersebut. Peta hasil analissi NDVI ini di cropping dengan peta tutupan mangrove untuk mendapatkan peta kerapatan dan sebaran mangrove. Peta kerapatan mangrove didapatkan dengan melakukan overlay antara peta tutupan mangrove dengan peta kerapatan vegetasi hasil analisis NDVI. Hasil overlay ini kemudian dilakukan klasifikasi untuk mendapatkan kerapatan mangrove sesuai dengan kelasnya. Ketentuan klasifikasi yang dibuat berpedoman pada ketentuan yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan 2006. Klasifikasi ini terbagi atas: mangrove dengan kelas jarang, sedang dan lebat. Peta kerapatan mangrove di Teluk Blanakan pada tahun 2005 disajikan Gambar 16 sedangkan pada tahun 2012 disajikan pada Gambar 17. Gambar 15. Peta Kerapatan Mangrove 2005 Sumber: BIG Citra Landsat 2005, diolah 2013 Hasil klasifikasi pemetaan kerapatan mangrove yang dilakukan melalui analisis citra, didapatkan total luas di lokasi penelitian pada tahun 2005 yaitu 1.023,75 ha yang terbagi atas: mangrove dengan kategori jarang sebanyak 697,36 ha 68,11, dengan kategori sedang sebanyak 185,74 ha 18,14 dan dengan kategori lebat sebanyak 140,65 ha 13,74.Secara lengkap, kerapatan vegetasi mangrove pada tahun 2005 disajikan Tabel 19. Tabel 19. Kerapatan vegetasi mangrove 2005 Petak Desa Luas ha Total Jarang Sedang Lebat 2 Cilamaya Girang 50,32 14,70 45,22 110,23 67 Blanakan 460,46 120,46 61,95 642,87 910 Muara 186,58 50,57 33,49 270,64 Grand Total 697, 36 185,74 140,65 1.023,75 Presentase 68,11 18,14 13,74 Sumber: BIG Citra Landsat 2005, diolah 2013 Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa Desa Blanakan petak 67 mempunyai luasan vegetasi mangrove terbesar yaitu 642,87 ha 62,8 dibandingkan dengan dua desa lainnya. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa di lokasi penelitian banyak ditemukan vegetasi mangrove dengan kerapatan kategori jarang. Gambar 16. Peta Kerapatan Mangrove 2012 Sumber: BIG Citra Landsat 2012, diolah 2013 Sedangkan pada tahun 2012 yaitu 909,71 ha yang terbagi atas: mangrove dengan kategori jarang sebanyak 623,23 ha 68,51, dengan kategori sedang sebanyak 174,48 ha 19,18 dan mangrove dengan kategori lebat sebanyak 112 ha 12,31. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa di lokasi penelitian banyak ditemukan vegetasi mangrove dengan kerapatan kategori jarang.. Secara lengkap, kerapatan vegetasi mangrove pada tahun 2012 disajikan Tabel 20. Tabel 20. Kerapatan vegetasi mangrove 2012 Petak Desa Luas ha Total Jarang Sedang Lebat 2 Cilamaya Girang 238,08 75,39 63.28 376,75 67 Blanakan 145,62 14,60 21.99 182,21 910 Muara 239,52 84,50 26.73 350,75 Grand Total 623,23 174,48 112,00 909,71 Presentase 68,51 19,18 12,31 Sumber: BIGCitra Landsat 2012, diolah 2013 Apabila dibandingkan dengan luas vegetasi mangrove pada tahun 2005, terjadi penurunan luasan sebesar 114,04 ha. Penurunan luasan terbesar terjadi di desa Blanakan petak 67 yaitu sebesar 460,66 ha, dimana pada tahun 2005 luasan vegetasi mangrove sebesar 642,87 ha sedangkan pada tahun 2012 menurun drastis menjadi 182, 21 ha. Adapun ilustrasi perbandingan kerapatan vegetasi mangrove di tahun 2005 dan 2012 disajikan melalui Gambar 17. Gambar 17. Kerapatan Vegetasi Ekosistem Mangrove Kawasan mangrove Blanakan memiliki peran strategis terhadap masyarakat pesisir sekitar. Salah satunya terlihat dari kehidupan perekonomian dengan beragamnya pemanfaatan yang dilakukan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Nilai Manfaat Langsung 1. Manfaat Hasil Tambak Masyarakat penggarap wanamina di RPH Tegal-tangkil pada umumnya masih mengandalkan pasang surut untuk pemasukanpengeluaran air dan dilakukan secara tradisional. Oleh karena itu sistem pergantian air yang dilakukan adalah secara terbuka mengikuti pasang surut. Pergantian air dilakukan minimal sekali dalam sebulan pada saat pasang tertinggi. Jenis komoditas yang dibudidayakan yaitu Udang Windu Penaus monodon , bandeng Chanoos chanos, nila Oreochromus niloticus, dan mujaer Oreochromus mosambicus. Jenis komoditas yang dibudidayakan di tambak yang terdapat di desa contoh disajikan pada Gambar 18. Gambar 18. Jenis Komoditas yang dibudidayakan di Tambak Kegiatan pemanenan di bagi dua yaitu: panen tangkap harian dan musiman. Panen musiman biasanya dilakukan 2-3 kali dalam setahun dengan masa pemeliharaan 3,5 – 4 bulan. Panen dilakukan dengan menggunakan jaring dan jala. 100 200 300 400 500 Jarang 2005 Sedang Lebat Jarang 2012 Sedang Lebat Kerapatan Vegetasi Mangrove Cilamaya Girang Petak 2 Blanakan Petak 67 Muara Petak 910 Benur benih udang biasanya didapatkan dari Eretan atau Pangandaran. Sebelum melakukan penebaran, dilakukan pembersihan terhadap lahan tambak. Benur sebelum ditebar terlebih dahulu ditempatkan di bagian khusus dari tambak yang disebut “ipukan” yang sebelumnya sudah dibersihkan dari hama selama 15 sampai 20 hari. Kemudian, setelah itu benur dikeluarkan ke lahan yang lebih luas. Udang windu yang dipenen biasanya berukuran panjang 23 – 25 cm 20 – 30 ekorkg atau 30 –50 grekor. Panen dilakukan setelah ikan dan udang mencapai ukuran maksimum. Pada umumnya kegiatan pemanenan dilakukan oleh 5 – 7 orang tergantung luasan tambak. Sehari sebelum panen biasanya dipasang mesin penyedot air. Penyedotan air biasanya 6 – 12 jam tergantung luasan tambak. Untuk sewa mesin dan bbm untuk sekali panen biasanya 2 ha mencapai Rp 150.000 – Rp 200.000. Tenaga kerja ini biasanya diberi upah sebesar Rp 50.000 – Rp 60.000orang untuk satu hari kerja tergantung banyaknya hasil panen yang diperoleh. Selain itu, ada sistem biaya panen ini dengan sistem bagi hasil, dimana untuk udang windu bago dengan bagi hasil 6 – 8. Ikanudang yang dipanen kemudian di sortir berdasarkan ukuran dan jenisnya dan kemudian di bawa ke Tempat Pelelangan Hasil TambakTempat Pelelangan ikan TPHTTPI untuk dijual. Hasil kegiatan tambak di TPHT akan diambildibeli pengumpul untuk didistribusikan kepada pedagang kecil di pasar terdekat. Akan tetapi ada juga pedagang-pedagang yang datang langsung membeli di TPHT. TPHT di Desa Cilamaya Girang dan Desa Muara beroperasi dua kali dalam sehari, yaitu pukul 08.30 – 12.00 dan pukul 12.30 – 14.00 tergantung banyaknya produk tambak yang di pasarkan dan lamanya waktu yang diperlukan hingga produk tersebut habis terjual. TPHT di Desa Blanakan hanya beroperasi satu kali dalam sehari yaitu jam 09.00 – 12.00. Ikan bandeng biasanya dipanen setelah mencapai ukuran 24 – 26 cm 7 – 8 ekorkg atau 125 – 150 grekor.. Sistem biaya panen dengan sistem bagi hasil, dimana untuk hasil bandeng adalah 7-10 dari hasil panen. Ikan mujairnila yang di panen biasanaya berukuran panjang 15 – 17 cm ±12 ekorkg atau 83 grekor. Berbeda dengan hasil panen udang windu, hasil panen ikan bandeng pada sistem wanamina menunjukkan produksi yang lebih tinggi yang mencapai 148,70 kghamusim panen penutupan tinggi. Ikan nilamujaer merupakan ikan budidaya yang dijadikan oleh pembudidaya sebagai sebagai penutup biaya produksi ikan cadangan ketika ikan bandeng dan udang windu sedikiti ikan nilamuajaer. Berdasarkan hasil panen ikan, menunjukkan bahwa adanya mangrove pada tambak meningkatkan produksi ikan. Hal ini didasarkan pada bahwa mangrove memberikan lingkungan yang lebih nyaman dan menghasilkan makanan sumber makanan yang lebih banyak dibanding tambak yang tidak ada mangrove. Para petani tambakpenggarap selalu menjual hasil tambaknya di TPHT dengan cara pembayaran tunai. Harga udang windu berkisara antara Rp 70.000,00 – Rp 85.000,00kg. Harga jual ikan bandeng berukuran konsumsi yang dipasarkan melalui TPHT berkisar antara Rp 9.000,00 – Rp 15.000,00kg tergantung ukuran ikan. Ikan mujair untuk ukuran konsumsi yang berasal dari hasil tangkapan harian maupun panen musiman dijual dengan harga Rp 9.000,00 – Rp 12.000,00kg. Walaupun harga di TPHT bersifat fluktuatif akan tetapi tidak signifikan, masalah utama di TPHT ini adalah keterbatasan modal dan pengelolaan yang kurang adil terhadap anggota. Secara lengkap uraian hasil tambak pada kawasan mangrove di Teluk Blanakan disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Uraian Hasil Tambak pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan Komoditas Uraian Minimum Maksimum Rata-Rata Udang Windu Jumlah hasil tangkap Kghath 80 150 126 Harga Rp 70.000,00 85.000,00 80.500,00 Nilai Rphath 16.000.000,00 38.250.000,00 25.025.385,00 Bandeng Jumlah hasil tangkap Kghath 100 155 121 Harga Rp 9.000,00 15.000,00 11.462,00 Nilai Rphath 1.800.000,00 6.975.000,00 3.450.000,00 Nila Jumlah hasil tangkap Kghath 50 150 82 Harga Rp 9.000,00 12.000,00 11.306,00 Nilai Rphath 1.350.000,00 3.300.000,00 2.195.833,00 Berdasarkan Tabel 21 terlihat bahwa hasil panen terbesar berasal dari Udang Windu dengan rata-rata hasil tangkapan sebesar 126 kghath dan rata-rata nilai tangkapan sebesar Rp. 25.025.385,00hath. Sedangkan rata-rata hasil tangkapan untuk ikan bandeng yaitu 121 kghath dengan nilai rata-rata sebesar Rp. 3.450.000hath dan rata-rata hasil tangkapan untuk ikan nila sebesar 82 kghath dengan nilai rata-rata sebesar Rp. 2.195.833hath. Melalui perhitungan ekonomi diperoleh pendapatan tambak secara keseluruhan seperti disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Pendapatan Tambak pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan Uraian Rpth Minimum Maksimum Rata-Rata Jumlah hasil tangkap Kgth 83 151 122 Harga Rp 34.000,00 45.556,00 42.324,00 Nilai Rphath 17.800.000,00 48.525.000,00 29.488.846,00 Biaya Rphath 6.482.250,00 15.024.000,00 9.436.941,00 Nilai Manfaat Rphath 11.317.750,00 33.501.000,00 20.051.905,00 Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui bahwa usaha tambak yang dilakukan memberikan hasil sebesar 83 – 151 kgth dengan nilai Rp. 17.800.000 – Rp. 48.525.000hath. Sedangkan biaya yang dikeluarkan meliputi biaya penyusutan, perawatan dan biaya operasional dengan total biaya yaituRp 11.317.750,00 – Rp. 33.501.000,00. Maka nilai manfaat yang diperoleh yaitu sebesar Rp. 20.051.905,00hath.

2. Manfaat Biota Lain

a. Udang Harian

Selain dari hasil tambak itu sendiri, terdapat hasil sampingan yang diperoleh dari tambak yang ditumbuhi oleh mangrove diantaranya yaitu hasil tangkapan udang harian udang peci dan udang api, kepiting, wideng, ular, dan burung. Pada saat penelitian biota yang ditemukan hanya udang dan kepiting. Keberadaan mangrove akan mempengaruhi keadaan lingkungan disekitarnya, dengan adanya mangrove akan memperkaya bahan organik yang nantinya akan berpengaruh terhadap produksi perikanan, terutamanya produksi nonbudidaya atau alam udang peci dan udang api. Penangkapan udang harian biasanya dilakukan dengan menggunakan bubu yang dipasang pada saluran tambak di kawasan mangrove seperti disajaikan pada Gambar 19. Tambak dengan luasan 3 Ha dapat dipasang bubu sebanyak 6 buah. Aktivitas penangkapan pengambilan udang dari bubu dilakukan setiap hari, pemasangan bubu dilakukan pada sore hari sedangkan pengangkatan bubu dilakukan pada pagi hari. Setiap bubu dilengkapi lampu minyak tanah yang dberguna untuk menarik perhatian udang agar masuk ke dalam bubu dan terkadang ditemui juga kepiting yang masuk ke dalam bubu. Para penangkap udang ataupun kepiting ini biasanya menggunakan alat transportasi sepeda atau motor untuk menjangkau lokasi tambak. Gambar 19. Hasil udang harian dan alat tangkap Bubu Produksi udang harian yaitu udang liar terdiri dari Penaeus plebejushess udang Api dan Penaeus pnicillatus udang peci. Jenis ikanudang tangkapan harian antara lain: udang api-api, udang peci, kepiting, dan mujair yang benihnya tidak ditebar berasal dari alamimpes. Bubu biasanya dipasang pada siang menjelang sore hari dan diambil diangkat pada pagi harinya. Hasil tangkapan harian ini biasanya langsung dikumpulkan dan dibawa ke Tempat Pelelangan Hasil TambakTempat Pelelangan ikan TPHTTPI untuk dijual. Hasil tangkapan udang harian yang dilakukan oleh masyarakat secara lengkap disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Hasil Tangkapan Udang Harian pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan Uraian Rpth Minimum Maksimum Rata-Rata Jumlah hasil tangkap Kgth 457 1.152 792 Harga Rp 20.000,00 45.000,00 30.700,00 Nilai Rphath 38.880.000,00 74.580.000,00 54.517.000,00 Biaya Rphath 1.555.500,00 4.075.500,00 2.105.889,00 Nilai Manfaat Rphath 38.145.000,00 72.735.000,00 53.817.173,00 Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa penangkapan udang alam yang dilakukan oleh responden menghasilkan 457 - 1.152 kghath dengan nilai berkisar antara Rp. 20.000,00 – Rp. 45.000,00.000. Hasil tangkapan udang harian biasanya dilakukan setiap hari dengan menggunakan alat berupa bubu yang di pasang pada saluran masukkeluar air. Biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp 1.555.500,00 – Rp. 4.075.500,00 dengan biaya rata-rata sebesar Rp. 2.105.889,00 . Harga bubu saat ini berkisar antara Rp 120.000,00 – Rp. 200.000,00unit dan akan tahan selama 1-2 tahun. Pemasangan awal bubu ini akan dimulai 15 – 20 hari setelah mulai ikanudang ditanam. Bahkan ada beberapa penggarap akan memasang bubu 3 hari setalah air diisi. Jika pada suatu waktu hasil tangkapan menurun, maka pemasangan dihentikan selama 3 – 5 hari kemudian di pasang lagi. Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa nilai manfaat yang diperoleh dari hasil tangkapan harian yaitu sebesar Rp.53.817.173,00.

b. Kepiting

Beberapa masyarakat menggantungkan hidupnya pada ekosistem mangrove. Masyarakat tersebut adalah penangkap kepiting, wideng, belut, ular, dan burung. Pada Gambar 19 terlihat bahwa masyarakat pengumpul kepiting pada umumnya melakukan penangkapan dengan bubu, pancing dan “ngobor” pada malam hari menggunakan lampu senter atau aki. Hasil tangkapan kepiting dilokasi penelitian per orang mencapai 2 – 3 kghari. a b atas; c bawah Gambar 19. a Penangkap kepiting; b Peralatan aki dan senter; c kepiting hasil tangkapan Hasil tangkapan kepiting pada kawasan mangrove di Teluk Blanakan berkisar 338 – 739 kghath dengan rata-rata 562 kghath dimana nilai penjualannya berkisar Rp. 56.000,00kg – Rp. 90.000,00kg. Nilai yang dihasilkan dari penjualan kepiting tersebut mencapai Rp. 85.000.000,00hath dengan rata-rata Rp. 68.274.667,00th. Nilai manfaat yang dihasilkan melalui penangkapan kepiting yaitu sebesar Rp. 69.644.889,00th. Hasil tangkapan kepiting yang dilakukan oleh masyarakat secara lengkap disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Hasil Tangkapan Kepiting pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan Uraian Rpth Minimum Maksimum Rata-Rata Jumlah hasil tangkap Kgth 432 792 601 Harga Rp 56.000,00 90.000,00 69.211,00 Nilai Rpth 54.000.000,00 99.000.000,00 73.320.000,00 Biaya Rpth 2.366.667,00 4.466.000,00 3.675.111,00 Nilai Manfaat Rphath 51.633.333,00 94.534.000,00 69.644.889,00 Berdasarkan hasil wawancara dengan penangkap kepiting didapatkan informasi bahwa pada saat musim penangkapan, kepiting pada tambak wanamina dapat mencapai 1 kgha. Selain itu, para penangkap kepiting lebih memilih tambak wanamina dengan