diduga karena perbedaan lokasi penangkapan berkaitan dengan kondisi perairan, waktu penelitian, kepadatan populasi, dan genetik dari ikan cakalang itu sendiri.
Selain itu perbedaanpola pertumbuhan dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati. Menurut Effendie 1997 faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit.
Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, dan faktor kualitas air.
b. Distribusi panjang
Panjang total ikan cakalang jantan tertinggi pada selang kelas 468-509 mm dan ikan cakalang betina pada selang kelas 426-467 mm. Jumlah ukuran
panjang total ikan cakalang jenis betina lebih kecil dibandingkan ikan cakalang jenis kelamin jantan. Kondisi ini diduga kuat menyebabkan terjadinya eksploitasi
ikan cakalang di Palabuhanratu. Perbedaan ukuran ini juga memberikan indikasi terjadinya migrasi atau perpindahan cakalang yang umumnya berhubungan
dengan ketersedian makanan. Cakalang sering bergerombol dan melakukaan ruaya secara hampir bersamaan. Keberadaan spesies ikan lain atau ikan berukuran
kecil yang biasa menjadi makanan cakalang sangat menentukan ukuran panjang ikan pada suatu tempat dan waktu tertentu. Mortalitas alami dan mortalitas
penangkapan jua menjadi penyebab tidak meratanya distribusi ukuran cakalang. Mortalitas dapat terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti
pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua Sparre Venema 1999.
Bila dibandingakan dengan hasil analisis frekuensi panjang ikan cakalang dengan metoda Tanaka 1960 oleh Jamal et al 2008, pada kawasan teluk Bone
diketahui ukuran panjang cakalang terdiri dari 4 empat kelompok umur dengan modus ukuran atau panjang rata-rata untuk ikan cakalang adalah 384 mm, 455
mm, 493 mm dan 549 mm. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suhendrata et al. 1986, memperoleh 3 kelompok umur ikan cakalang yang tertangkap dengan alat
pole and line di perairan sorong dengan menggunakan analisis modus yaitu 370 mm, 540 mm dan 640 mm. Pada penelitian yang sama terhadap ikan cakalang
yang tertangkap di laut Banda diperoleh 4 kelompok umur yaitu 410 mm, 580 mm, 670 mm dan 720 mm. Sedangkan kelompok umur ikan cakalang yang
tertangkap di Palabuhanratu dengan metode analisis modus diperoleh 4 kelompok umur yaitu 330 mm, 500 mm, 570 mm dan 660 mm.
Uktolseja 1987, menemukan frekuensi panjang cagak ikan cakalang di perairan sebelah timur Sulawesi Tengah tersebar di antara 271-577 mm.
Sedangkan Suwartana 1986, yang meneliti di perairan Maluku Tengah mendapatkan panjang baku berkisar antara 403-654 mm. Komposisi ukuran ikan
cakalang yang tertangkap dengan pole and line di perairan Kupang bervariasi mulai dari ukuran 290 mm sampai 589 mm. Jumlah tangkapan terbanyak adalah
ukuran 470-499 mm 17,90 dan disusul oleh ukuran 440-469 mm 16,64, dan 380-409 mm 16,36 Syamsuddin et al.2008.
c. Parameter pertumbuhan L ∞, K, dan t0
Berdasarkan hasil perhitungan koefisien pertumbuhan K cakalang jantan adalah sebesar 0,14 dan panjang asimtotik L
∞
sebesar 83,06 cm. Sedangkan,
koefisien pertumbuhan K cakalang betina sebesar 0,06 dan panjang asimtotik L
∞
sebesar 128 cm Tabel 5. Cakalang jantan dan betina memiliki panjang asimtotik L
∞
yang berbeda siginifikan masing-masing 83,06 cm dan 128 cm dan memiliki koefisien
pertumbuhan K masing-masing 0,13bulan dan 0,05bulan. Bila dianalisis secara seksama, dapat diperkirakan ikan jantan lebih cepat mati dibandingkan dengan
ikan betina.
Jamal et al 2011 mendapatkan cakalang di perairan Teluk Bone mencapai FL maksimum L
∞
sebesar 759,75 mm pada umur 84 bulan berbeda dari cakalang yang ditangkap di perairan Sumatera Barat, yaitu L =87,8 cm pada umur
120 bulan Merta 1989. Perbedaan nilai parameter pertumbuhan tersebut L
∞
dan K dari spesies ikan yang sama pada lokasi yang berbeda dipengaruhi oleh faktor
lingkungan masing-masing perairan seperti ketersediaan makanan, suhu perairan, oksigen terlarut, ukuran ikan dan kematangan gonad Merta 1992. Selanjutnya
Widodo 1988, menyatakan bahwa kecenderungan ketidaktepatan nilai parameter pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh komposisi ikan sampel yang dianalisis
mengenai cara atau metode yang digunakan. Seperti halnya perbedaan yang sangat mencolok pada panjang asimtotik jantan dan betina cakalang di
Palabuhanratu salah satu faktor yang mungkin mempengaruhinya adalah jumlah sampel yang relatif sedikit dan waktu pengambilan sampel hanya kurun waktu 4
bulan.
Matsumoto et al. 1984, mengulas metode dan berbagai studi pertumbuhan cakalang menyimpulkan bahwa menghitung tanda pertumbuhan periodik yang
terdapat pada tulang punggung, sisik dan duri dorsal merupakan metode yang memberikan hasil yang akurat, disusul metode pergeseran modus. Penghitungan
lingkaran harian daily ring incrament pada otolith memberikan hasil yang lebih baik dari kedua metode di atas, sedangkan menghitung pertumbuhan dengan cara
tagging dan penangkapan ulang merupakan yang terakurat.
Jika data yang digunakan sedikit akan menyebabkan pendugaan parameter pertumbuhan sangat bervariasi. Matsumoto et al. 1984, memperoleh laju
pertumbuhan ikan cakalang sebesar 1,15 cm per bulan, yang diperoleh dengan menduga panjang ikan pada saat tertangkap kembali dan perubahan linier
perubahan otolith untuk ikan yang ditandai tagged dan disuntik dengan tetracyclin.
4.2.1 Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Laju mortalitas total ikan cakalang jantan Z yaitu sebesar 2,10 per tahun, laju mortalitas alami M 0,15 dan laju mortalitas penangkapan F sebesar 1,95.
Sementara itu laju mortalitas total ikan betina jantan Z yaitu sebesar 0,84 per tahun, laju mortalitas alami M 0,07 dan laju mortalitas penangkapan F sebesar
0,77. Mortalitas alami dipengaruhi oleh predator, penyakit, dan usia. Faktor lingkungan yang mempengaruhi laju mortalitas alami yaitu suhu rata-rata perairan,
selain itu panjang maksimum L
∞ dan laju pertumbuhan K. Apabila dibandingkan nilai mortalitas penangkapan cakalang jantan dan betina lebih besar
dari nilai mortalitas alami. Selanjutnya, Perbandingan antara nilai mortalitas penangkapan F dengan nilai mortalitas total Z menghasilkan nilai laju
eksploitasi E. Laju eksploitasi ikan cakalang jantan yang didapat sebesar 0,93 artinya 93 kematian ikan cakalang jantan diakibatkan oleh penangkapan,
sedangkan untuk betina sebesar 0,91 artinya 91 kematian cakalang betina juga akibat aktifitas penangkapan ikan.
Gulland 1971 in Pauly 1984 menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan F akan sama dengan laju mortalitas
alami M atau laju eksploitasi E sama dengan 0,5 F. optimum = M atau E. optimum = 0,5. Apabila dibandingkan dengan laju eksploitasi optimum, laju
eksploitasi ikan cakalang sudah melebihi nilai optimum. Oleh karenanya, menjadi indikasi adanya penangkapan yang tinggi dan berlebih overfishing terhadap ikan
cakalang. Implikasi dari tingginya penangkapan tersebut mengakibatkan nilai panjang maksimum ikan cakalang yang tertangkap lebih kecil. Apabila kita
memperhatikan data hasil tangkapan ikan cakalang 2002-2011 juga dapat dijadikan indikasi laju eksploitasi yang telah melebihi nilai optimum.
Penelitian terdahulu terhadap mortalitas dan laju eksploitasi cakalang di palabuhanratu tahun 2010 diketahui bahwa Laju mortalitas total ikan cakalang Z
yaitu sebesar 3,2390 per tahun, laju mortalitas alami M 0,1934 dan laju mortalitas penangkapan F sebesar 3,0456 dan Laju eksploitasi ikan cakalang
yang didapat sebesar 0,94 artinya 94 kematian ikan cakalang diakibatkan oleh penangkapan.
Sementara Amir et al 2013, mendapatkan data mortaliltas dan laju eksploitasi cakalang di perairan Laut Flores adalah Kematian alami M 0,632 per
tahun. Kematian karena penangkapan F sebesar 1,32 per tahun memberikan hasil dugaan laju eksploitasi sebesar 0,68. Dugaan model hasil-per-rekruit relatif
dan biomassa per rekrut relatif BR‟ Beverton dan Holt menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi telah memperlihatkan lebih tangkap dengan nilai dugaan
sebesar 54,5 dari nilai E optimumnya dengan Lc = 20,9 cm 4.2.3 Reproduksi
a. Tingkat Kematangan Gonad TKG
Tingkat Kematangan Gonad TKG ikan cakalang jantan, untuk TKG berada pada selang kelas 426 hingga 509 mm dan TKG 4 ada pada slang kelas
510 hingga 593 mm. Sedangkan, betina TKG 4 berada pada selang kelas 468 hingga 551 mm dan TKG 3 pada selang kelas 510 mm.
Mengacu kepada trend yang berkembang, cakalang dengan TKG III selalu di dapat dengan presentase yang tinggi. Selain itu, TKG II dan V juga hampir
selalu di dapat, meskipun dengan presentase yang kecil. Fase intermediate dan TKG I dijumpai pada cakalang berukuran lebih pendek dari 35 Cm. Ikan cakalang
mengalami masa berpijah sepanjang tahun dengan puncaknya pada bulan juli. Selama penelitian sedikit sekali ditemukan cakalang pada TKG IV, hal ini
mengindikasikan bahwa pada bulan
– bulan tersebut aktifitas pemijahan sedang berlangsung atau mungkin sudah berakhir. Tidak tertangkapnya cakalang TKG IV
di berbagai perairan sudah banyak dilaporkan, antara lain oleh wilson 1982, yang menyatakan bahwa ikan cakalang akan bermigrasi jauh ke laut dalam apabila
melakukan pemijahan sehingga kemungkinan tertangkap kecil sekali.