dapat ditangkap di Pelabuhanratu. Untuk melihat lebih jelas hubungan kuadratik antara upaya penangkapan dengan hasil tangkapan ikan cakalang di Pelabuhanratu
dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar18. Hubungan kuadratik hasil tangkapan dan upaya tangkap ikan cakalang di Pelabuhanratu
Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa hubungan antara upaya penangkapan dan hasil tangkapan ikan cakalang di perairan pelabuhanratu
mengandung arti setiap penambahan tingkat upaya penangkapan E maka akan meningkatkan hasil tangkapan h sampai mencapai titik maksimum, kemudian
akan terjadi penurunan hasil tangkapan untuk tiap peningkatan intensitas pengusahaan sumberdaya.
Selanjutnya, Smith dan Marahuddin 1986, menyatakan bahwa hasil tangkapan yang dapat dilestarikan bergantung pada tingkat populasi dan karena
itu pula bergantung pada banyaknya upaya penangkapan ikan yang diterapkan. Tingkat upaya yang rendah akan menyebabkan hasil tangkapan hanya sedikit
sedangkan populasi penambahan ikan dan kematian alami masing-masing meningkat.
Untuk penggunaan tingkat upaya yang lebih besar akan terdapat tangkapan lestari yang lebih tinggi, populasi yang lebih rendah hingga populasi tercapai
dimana tangkapan lestari adalah maksimum 4.2.2 Pertumbuhan
a. Hubungan Panjang dan Bobot Ikan.
Persamaan untuk hubungan panjang dan berat ikan cakalang di Pelabuhanratu adalah sebagai berikut:
- Jantan : W = 0,026L
2,914
R = 0,984 dan n = 231; y =2,9147x - 1,5806 - Betina : W = 0,099L
2,604
R = 0,972 dan n = 227; y = 2,6049x - 1,0025
CPUE = -0.203F + 859.9 R² = 0.223
50 100
150 200
250 300
350 400
450 500
500 1000
1500 2000
2500 3000
3500
CPU E
k g
tr ip
Upaya penangkapan trip
Analisis covarian terhadap nilai b = 2,914 dan b =2,604 menunjukkan ada perbedaan pada taraf nyata 5 , berarti ada pertambahan panjang dan berat antara
ikan jantan dan betina berbeda nyata. Selanjutnya, karena nilai a intersep garis regresi ikan jantan lebih besar dari pada betina 1,5806 1,0025, maka ikan
jantan lebih berat dari pada ikan betina pada ukuran panjang yang sama.
Kedua hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa pola pertumbuhan panjang dan berat ikan cakalang baik jantan maupun betina di kawasan Teluk
Pelabuhanratu memiliki pola berbeda. Bila dibandingkan dengan penelitian terdahulu hasil penelitian pada ikan cakalang yang tertangkap di Teluk Bone,
Sulawesi Selatan Jamal, 2008 dan ikan cakalang yang tertangkap di sebelah Barat Sulawesi Tengah memiliki pola pertumbuhan isometrik Telusa 1985.
Berbeda pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Manik 2007, pada ikan cakalang yang tertangkap di sekitar pulau Seram dan Nusa Laut dan
hasil penelitian pada sampel ikan cakalang yang dikumpulkan dari TPI Bungus Padang yang dilakukan oleh Merta 1989, yang memperoleh nilai b 3 atau
allometrik positif, artinya bahwa pertambahan panjang tidak secepat perrtambahan berat. Perbedaan hasil analisis tersebut mungkin karena diferensiasi kisaran
panjang ikan yang dianalisis cukup besar, selain karena pengaruh faktor-faktor biologis dan ekologis dari masing-masing perairan di mana ikan itu hidup.
Sedangkan Sumadhiharga 1991, menyatakan perbedaan nilai b dipengaruhi oleh perbedaan musim dan tingkat kematangan gonad serta aktivitas penangkapan,
karena aktivitas penangkapan yang cukup tinggi pada suatu daerah cukup mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan populasi ikan.
Merta 1992 in Manik 2007, menyatakan karena kondisi lingkungan sering berubah dan atau kondisi ikannya berubah, maka hubungan panjang berat
sedikit menyimpang dari hukum kubik b = 3. Sedangkan menurut Ricker 1973 diacu in Kalayci et al. 2007, menyatakan bahwa perbedaan tersebut dapat juga
diakibatkan oleh faktor ekologi seperti temperatur, ketersediaan makanan, kondisi pemijahan atau faktor-faktor lain seperti kelamin, umur, daerah dan waktu
penangkapan serta kapal penangkapan yang digunakan. Selanjutnya Matsumoto et al. 1984, melaporkan bahwa nilai b ikan cakalang berbeda-beda pada setiap
lokasi penangkapan. Nilai terbesar b=3,67 diperoleh dari lokasi Bonin island, West Pacific dan terkecil b=1,70 diperoleh dari Filipina.
Tabel 13. Pola pertumbuhan ikan cakalang dari beberapa penelitian
Sumber Lokasi
Pola Pertumbuhan
Uktoselja 1987 Perairan Timur Indonesia
Allometrik positif Merta 1989
Bungus, Padang Allometrik positif
Mayangsoka 2010 Samudera Hindia Barat Barat
Sumatera Isometrik
Jamal 2008 Teluk Bone, Sulawesi Selatan
Allometrik positif
Berdasarkan Tabel 13, dapat dilihat bahwa pola pertumbuhan ikan cakalang yang berlokasi di Perairan Timur Indonesia dengan di Teluk Palabuhanratu dan
sekitarnya memiliki perbedaan pola pertumbuhan. Perbedaan pola pertumbuhan
diduga karena perbedaan lokasi penangkapan berkaitan dengan kondisi perairan, waktu penelitian, kepadatan populasi, dan genetik dari ikan cakalang itu sendiri.
Selain itu perbedaanpola pertumbuhan dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati. Menurut Effendie 1997 faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit.
Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, dan faktor kualitas air.
b. Distribusi panjang
Panjang total ikan cakalang jantan tertinggi pada selang kelas 468-509 mm dan ikan cakalang betina pada selang kelas 426-467 mm. Jumlah ukuran
panjang total ikan cakalang jenis betina lebih kecil dibandingkan ikan cakalang jenis kelamin jantan. Kondisi ini diduga kuat menyebabkan terjadinya eksploitasi
ikan cakalang di Palabuhanratu. Perbedaan ukuran ini juga memberikan indikasi terjadinya migrasi atau perpindahan cakalang yang umumnya berhubungan
dengan ketersedian makanan. Cakalang sering bergerombol dan melakukaan ruaya secara hampir bersamaan. Keberadaan spesies ikan lain atau ikan berukuran
kecil yang biasa menjadi makanan cakalang sangat menentukan ukuran panjang ikan pada suatu tempat dan waktu tertentu. Mortalitas alami dan mortalitas
penangkapan jua menjadi penyebab tidak meratanya distribusi ukuran cakalang. Mortalitas dapat terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti
pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua Sparre Venema 1999.
Bila dibandingakan dengan hasil analisis frekuensi panjang ikan cakalang dengan metoda Tanaka 1960 oleh Jamal et al 2008, pada kawasan teluk Bone
diketahui ukuran panjang cakalang terdiri dari 4 empat kelompok umur dengan modus ukuran atau panjang rata-rata untuk ikan cakalang adalah 384 mm, 455
mm, 493 mm dan 549 mm. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suhendrata et al. 1986, memperoleh 3 kelompok umur ikan cakalang yang tertangkap dengan alat
pole and line di perairan sorong dengan menggunakan analisis modus yaitu 370 mm, 540 mm dan 640 mm. Pada penelitian yang sama terhadap ikan cakalang
yang tertangkap di laut Banda diperoleh 4 kelompok umur yaitu 410 mm, 580 mm, 670 mm dan 720 mm. Sedangkan kelompok umur ikan cakalang yang
tertangkap di Palabuhanratu dengan metode analisis modus diperoleh 4 kelompok umur yaitu 330 mm, 500 mm, 570 mm dan 660 mm.
Uktolseja 1987, menemukan frekuensi panjang cagak ikan cakalang di perairan sebelah timur Sulawesi Tengah tersebar di antara 271-577 mm.
Sedangkan Suwartana 1986, yang meneliti di perairan Maluku Tengah mendapatkan panjang baku berkisar antara 403-654 mm. Komposisi ukuran ikan
cakalang yang tertangkap dengan pole and line di perairan Kupang bervariasi mulai dari ukuran 290 mm sampai 589 mm. Jumlah tangkapan terbanyak adalah
ukuran 470-499 mm 17,90 dan disusul oleh ukuran 440-469 mm 16,64, dan 380-409 mm 16,36 Syamsuddin et al.2008.
c. Parameter pertumbuhan L ∞, K, dan t0
Berdasarkan hasil perhitungan koefisien pertumbuhan K cakalang jantan adalah sebesar 0,14 dan panjang asimtotik L
∞
sebesar 83,06 cm. Sedangkan,
koefisien pertumbuhan K cakalang betina sebesar 0,06 dan panjang asimtotik L
∞
sebesar 128 cm Tabel 5. Cakalang jantan dan betina memiliki panjang asimtotik L
∞
yang berbeda siginifikan masing-masing 83,06 cm dan 128 cm dan memiliki koefisien
pertumbuhan K masing-masing 0,13bulan dan 0,05bulan. Bila dianalisis secara seksama, dapat diperkirakan ikan jantan lebih cepat mati dibandingkan dengan
ikan betina.
Jamal et al 2011 mendapatkan cakalang di perairan Teluk Bone mencapai FL maksimum L
∞
sebesar 759,75 mm pada umur 84 bulan berbeda dari cakalang yang ditangkap di perairan Sumatera Barat, yaitu L =87,8 cm pada umur
120 bulan Merta 1989. Perbedaan nilai parameter pertumbuhan tersebut L
∞
dan K dari spesies ikan yang sama pada lokasi yang berbeda dipengaruhi oleh faktor
lingkungan masing-masing perairan seperti ketersediaan makanan, suhu perairan, oksigen terlarut, ukuran ikan dan kematangan gonad Merta 1992. Selanjutnya
Widodo 1988, menyatakan bahwa kecenderungan ketidaktepatan nilai parameter pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh komposisi ikan sampel yang dianalisis
mengenai cara atau metode yang digunakan. Seperti halnya perbedaan yang sangat mencolok pada panjang asimtotik jantan dan betina cakalang di
Palabuhanratu salah satu faktor yang mungkin mempengaruhinya adalah jumlah sampel yang relatif sedikit dan waktu pengambilan sampel hanya kurun waktu 4
bulan.
Matsumoto et al. 1984, mengulas metode dan berbagai studi pertumbuhan cakalang menyimpulkan bahwa menghitung tanda pertumbuhan periodik yang
terdapat pada tulang punggung, sisik dan duri dorsal merupakan metode yang memberikan hasil yang akurat, disusul metode pergeseran modus. Penghitungan
lingkaran harian daily ring incrament pada otolith memberikan hasil yang lebih baik dari kedua metode di atas, sedangkan menghitung pertumbuhan dengan cara
tagging dan penangkapan ulang merupakan yang terakurat.
Jika data yang digunakan sedikit akan menyebabkan pendugaan parameter pertumbuhan sangat bervariasi. Matsumoto et al. 1984, memperoleh laju
pertumbuhan ikan cakalang sebesar 1,15 cm per bulan, yang diperoleh dengan menduga panjang ikan pada saat tertangkap kembali dan perubahan linier
perubahan otolith untuk ikan yang ditandai tagged dan disuntik dengan tetracyclin.
4.2.1 Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Laju mortalitas total ikan cakalang jantan Z yaitu sebesar 2,10 per tahun, laju mortalitas alami M 0,15 dan laju mortalitas penangkapan F sebesar 1,95.
Sementara itu laju mortalitas total ikan betina jantan Z yaitu sebesar 0,84 per tahun, laju mortalitas alami M 0,07 dan laju mortalitas penangkapan F sebesar
0,77. Mortalitas alami dipengaruhi oleh predator, penyakit, dan usia. Faktor lingkungan yang mempengaruhi laju mortalitas alami yaitu suhu rata-rata perairan,
selain itu panjang maksimum L
∞ dan laju pertumbuhan K. Apabila dibandingkan nilai mortalitas penangkapan cakalang jantan dan betina lebih besar
dari nilai mortalitas alami. Selanjutnya, Perbandingan antara nilai mortalitas penangkapan F dengan nilai mortalitas total Z menghasilkan nilai laju
eksploitasi E. Laju eksploitasi ikan cakalang jantan yang didapat sebesar 0,93 artinya 93 kematian ikan cakalang jantan diakibatkan oleh penangkapan,
sedangkan untuk betina sebesar 0,91 artinya 91 kematian cakalang betina juga akibat aktifitas penangkapan ikan.
Gulland 1971 in Pauly 1984 menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan F akan sama dengan laju mortalitas
alami M atau laju eksploitasi E sama dengan 0,5 F. optimum = M atau E. optimum = 0,5. Apabila dibandingkan dengan laju eksploitasi optimum, laju
eksploitasi ikan cakalang sudah melebihi nilai optimum. Oleh karenanya, menjadi indikasi adanya penangkapan yang tinggi dan berlebih overfishing terhadap ikan
cakalang. Implikasi dari tingginya penangkapan tersebut mengakibatkan nilai panjang maksimum ikan cakalang yang tertangkap lebih kecil. Apabila kita
memperhatikan data hasil tangkapan ikan cakalang 2002-2011 juga dapat dijadikan indikasi laju eksploitasi yang telah melebihi nilai optimum.
Penelitian terdahulu terhadap mortalitas dan laju eksploitasi cakalang di palabuhanratu tahun 2010 diketahui bahwa Laju mortalitas total ikan cakalang Z
yaitu sebesar 3,2390 per tahun, laju mortalitas alami M 0,1934 dan laju mortalitas penangkapan F sebesar 3,0456 dan Laju eksploitasi ikan cakalang
yang didapat sebesar 0,94 artinya 94 kematian ikan cakalang diakibatkan oleh penangkapan.
Sementara Amir et al 2013, mendapatkan data mortaliltas dan laju eksploitasi cakalang di perairan Laut Flores adalah Kematian alami M 0,632 per
tahun. Kematian karena penangkapan F sebesar 1,32 per tahun memberikan hasil dugaan laju eksploitasi sebesar 0,68. Dugaan model hasil-per-rekruit relatif
dan biomassa per rekrut relatif BR‟ Beverton dan Holt menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi telah memperlihatkan lebih tangkap dengan nilai dugaan
sebesar 54,5 dari nilai E optimumnya dengan Lc = 20,9 cm 4.2.3 Reproduksi
a. Tingkat Kematangan Gonad TKG
Tingkat Kematangan Gonad TKG ikan cakalang jantan, untuk TKG berada pada selang kelas 426 hingga 509 mm dan TKG 4 ada pada slang kelas
510 hingga 593 mm. Sedangkan, betina TKG 4 berada pada selang kelas 468 hingga 551 mm dan TKG 3 pada selang kelas 510 mm.
Mengacu kepada trend yang berkembang, cakalang dengan TKG III selalu di dapat dengan presentase yang tinggi. Selain itu, TKG II dan V juga hampir
selalu di dapat, meskipun dengan presentase yang kecil. Fase intermediate dan TKG I dijumpai pada cakalang berukuran lebih pendek dari 35 Cm. Ikan cakalang
mengalami masa berpijah sepanjang tahun dengan puncaknya pada bulan juli. Selama penelitian sedikit sekali ditemukan cakalang pada TKG IV, hal ini
mengindikasikan bahwa pada bulan
– bulan tersebut aktifitas pemijahan sedang berlangsung atau mungkin sudah berakhir. Tidak tertangkapnya cakalang TKG IV
di berbagai perairan sudah banyak dilaporkan, antara lain oleh wilson 1982, yang menyatakan bahwa ikan cakalang akan bermigrasi jauh ke laut dalam apabila
melakukan pemijahan sehingga kemungkinan tertangkap kecil sekali.
Penelitian ini masih merupakan tahap awal, maka belum dapat diketahui puncak-puncak pemijahan yang tepat. Walaupun demikian menurut wouthuyzen
et al. 1990, puncak pemijahan cakalang di Laut Banda dan sekitarnya, terjadi pada bulan Juni dan Desember dengan karakteristik sebagai ikan pemijah
majemuk multi spawner berbeda dengan pola pemijahan cakalang yang ditemukan dalam penelitian ini total spawner. Dalam penelitian ini ditemukan
cakalang terkecil yang sudah matang gonad TKG III berukuran 46,8 cm FL jantan dan 42,6 cm FL betina.
Manik 2007, menemukan ikan cakalang di Pulau Seram Selatan dan Pulau Nusa Laut terkecil yang sudah matang gonad TKG III berukuran 43,6 cm FL
jantan dan 42,8 cm FL betina. Sementara Merta 1992, menemukan di perairan sebelah Selatan Bali dan sebelah Barat Sumatera adalah cakalang jantan dan
betina terkecil yang sudah matang gonad berukuran 41,7 cm FL dan 42,8 cm FL. Sedangkan yang ditemukan di perairan Sorong berukuran 49 cm FL jantan dan 47
cm FL betina Suhendra Merta 1986. Di perairan Philipina, cakalang betina yang pertama kali matang gonad hanya berukuran 34 cm FL, tetapi kebanyakan di
atas 40 cm FL. Adanya diferensiasi panjang cakalang pertama kali matang gonad diduga karena adanya perbedaan kecepatan tumbuh sehingga ikan
– ikan yang di tetaskan pada waktu yang sama akan mencapai tingkat kematangan gonad pada
umur yang berbeda.
b. Ukuran layak tangkap Lm
Ukuran panjang rata-rata tertangkap merupakan hal yang penting untuk dipelajari karena dengan menghubungkan ukuran rata-rata tertangkap dengan
ukuran pertama kali matang gonad maka dapat disimpulkan apakah sumberdaya tersebut merupakan sumberdaya yang lestari atau tidak, artinya dapat diketahui
apakah pada ukuran tertangkap tersebut ikan tersebut telah mengalami pemijahan atau belum mengalami pemijahan.
Ukuran Ikan layak tangkap didefenisikan sebagai ikan yang memiliki panjang yang lebih besar dari panjang pertama kali ikan matang gonad length at
frirst maturity, Lm. Nilai Lm ikan cakalang di Pelabuhanratu diperoleh sebesar 52 cm. Nilai Lm ikan cakalang berbeda pada setiap tempat, namun umumnya
lebih besar dari 40 cm.
Besarnya jumlah hasil tangkapan nelayan dengan ukuran ikan yang tidak layak menggambarkan bahwa nelayan belum mengetahui bulan-bulan
penangkapan yang tidak berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan dan usaha penangkapan mereka. Ikan yang tertangkap sebelum matang
gonad, diduga ikan tersebut belum sempat memijah sehingga hal ini akan mempengaruhi rekruitmen di daerah penangkapan tersebut.
Selanjutnya, berdasarkan penetapan ukuran ikan layak tangkap tersebut, maka spesifikasi alat untuk menangkap cakalang dapat ditentukan untuk
mendukung keberlanjutan perikanan tangkap. Salah satunya misalnya, dengan menetapkan ukuran mata jaring untuk jaring insang dan pancing untuk pancing
tonda. Pengaturan spesifikasi alat tangkap ini merupakan jenis pengendalian input perikanan King 1995.