Produksi HASIL DAN PEMBAHASAN

Fekunditas mempunyai hubungan atau keterpautan dengan umur, panjang, atau bobot tubuh total ikan cakalang. Hal ini sejalan dengan Effendie 2002 yang menyatakan bahwa fekunditas mutlak kerap kali dihubungkan dengan bobot, mengingat bobot lebih mendekati kondisi ikan tersebut dari pada panjang. Lebih lanjut disebutkan bahwa Fekunditas pada suatu spesies ikan dapat berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Selanjutnya, Ali 2005 menyatakan bahwa jumlah fekunditas pada spesies yang sejenis dapat dipengaruhi oleh ukuran tubuh, umur, lingkungan, dan ukuran diameter telur. Seiring dengan hal tersebut di atas, fekunditas ikan cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran badan ikan, yang dipengaruhi oleh jumlah makanan dan faktor-faktor lingkungan lainnya seperti suhu dan musim. Untuk melakukan perhitungan fekunditas, ikan cakalang yang dijadikan sampel harus telah mencapai tingkat kematangan gonad III. Hasil perhitungan fekunditas pada cakalang yang berukuran 45,9 – 55,6 cm FL berkisar antara 90.000 – 348.000 butir. Di lokasi penelitian yang lain, Wouthuyzen et al. 1990 mendapatkan fekunditas 186.000 – 718.000 butir pada cakalang yang berukuran 43,3 – 65,5 cm FL. Di Papua New Guinea, fekunditas cakalang yang berukuran 43.7 – 72 cm FL sekitar 120.000 – 1.450.000 butir Wilson 1982. Suhendrata Merta 1986 mendapatkan fekunditas 120.000 – 570.000 butir pada cakalang yang berukuran 47,6 cm FL di perairan Sorong. Pola pemijahan ikan cakalang di Palabuhanratu adalah total spawner. Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan Manik 2007, puncak pemijahan cakalang di Laut Banda dan sekitarnya, terjadi pada bulan Juni dan Desember dengan karakteristik sebagai ikan pemijah majemuk multi spawner. Selanjutnya, diketahui bahwa Diameter telur ikan memiliki hubungan dengan fekunditas ikan. Semakin banyak telur yang dipijahkan fekunditas, maka ukuran diameter telurnya makin kecil, demikian pula sebaliknya Tang dan Affandi, 2001. Sejalan dengan Wootton 1998 yang menyatakan bahwa ikan yang memiliki diameter telur lebih kecil biasanya mempunyai fekunditas yang lebih banyak, sedangkan yang memiliki diameter telur yang besar cenderung memiliki fekunditas rendah. Semakin besar ukuran diameter telur semakin baik, karena dalam telur tersebut tersedia makanan cadangan sehingga larva ikan akan dapat bertahan lebih lama. Larva ikan yang berasal dari telur yang berukuran besar tentunya akan memiliki keuntungan karena memiliki cadangan kuning telur yang lebih banyak sebagai sumber energi sebelum memperoleh makanan dari luar. Selain itu, ukuran diameter telur dapat menentukan kualitas yang berhubungan dengan kandungan kuning telur dimana telur yang berukuran besar juga dapat menghasilkan laeva yang berukuran besar. Dikatakan oleh Effendie 1997 bahwa semakin berkembang gonad, maka ukuran diameter telur yang ada didalamnya semakin besar sebagai hasil pengendapan kuning telur, hidrasi, dan pembentukan butir- butir minyak.

4.2.4 Analisis bio-ekonomi perikanan cakalang

Analisis model bioekonomi dilakukan untuk menguraikan hubungan antara penangkapan sumberdaya ikan cakalang Katsuwonus pelamis, Linneaus dengan rente ekonomi yang dihasilkan dari ekstraksi sumberdaya tersebut. Menurut Gordon 1954, besarnya hasil tangkapan nelayan bergantung pada jenis alat tangkap yang digunakan dan besarnya ketersediaan sumberdaya perikanan yang ada. Metode bio-ekonomi merupakan metode dengan menggunakan pendekatan secara biologi dan ekonomi merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang dapat diterapkan demi upaya optimalisasi pengusahaan sumberdaya secara berkelanjutan. Perhitungan optimasi bioekonomi yang dilakukan dalam penelitian ini mengikuti model CYP. Hasil olahan data statistik tangkapan cakalang dapat menggambarkan produksi cakalang yang dihasilkan pada tingkat upaya tertentu. Saat penangkapan masih rendah, peningkatan upaya diikuti oleh bertambahnya penerimaan usaha hingga mencapai keseimbangan secara ekonomi. Disisi lain biaya penangkapan meningkat seiring dengan bertambhanya tingkat upaya penangkapan. Total penerimaan diperoleh dari mengalikan harga nominal dengan hasil tangkapan, sedangkan total biaya penangkapan per trip diperoleh dari biaya penangkapan per trip. Rente ekonomi merupakan selisish antara total penerimaan dengan total biaya untuk melakukan trip penangkapan sebesar tingkat upaya penangkapan masing- masing kondisi. Hasil perhitungan nilai MSY, MEY dan pada kondisi open access Oa ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 14. Hasil analisis bio-ekonomi sumberdaya perikanan cakalang di Palabuhanratu 2004 - 2011 Kondisi Pengelolaan Effort Trip Produksi kg Total Penerimaan Rp Total biaya per trip Rp Rente ekonomi Open acces 4.201 303.434 5.461.808.211 5.461.808.211 MSY 3.898 305.283 5.495.095.758 5.067.406.314 427.689.444 MEY 2.101 240.380 4.326.844.654 2.730.904.105 1.595.940.549 Aktual 3.152 549.815 9.346.855.000 4.097.474.251 5.799.195.749 Tabel di atas memperlihatkan bahwa dengan pendekatan bio-ekonomi menggunakan model CYP, produksi hasil tangkapan pada kondisi aktual sebesar 549.815 kgtahun telah jauh berada di atas batasan produksi di tingkat MEY sebesar 240.380 kgtahun, sehingga peluang pemanfaatannya mengalami minus 309.435 kgtahun. Kondisi ini jelas menjadi sinyal awal telah terjadinya overfishing terhadap perikanan cakalang di Palabuhanratu. Jumlah produksi maksimal cakalang yang didapat pada kondisi pengusahaan sumberdaya MSY di Palabuhanratu Tahun 2002-2011 adalah sebesar 305.283 kg. Produksi tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan hasil yang didapat pada pengusahaan sumber daya MEY yaitu sebesar 240.380 kg. Hasil tangkapan cakalang pada kondisi MSY adalah kondisi hasil tangkapan yang maksimum lestari dimana jika hasil tangkapan sudah melebihi angka MSY maka mengakibatkan sumberdaya perikanan cakalang tersebut menjadi tidak sustain. Selanjutnya, rata-rata upaya penangkapan menurut perhitungan CYP yang dilakukan pada tingkat open access adalah sebesar 4.201 trip. Upaya penangkapan tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan upaya penangkapan yang dilakukan pada tingkat produksi MSY yakni 3.898 trip dan pada tingkat produksi MEY yaitu 2.101 trip. Untuk rente ekonomi tertinggi diperoleh nelayan adalah saat tingkat produksi mencapai MEY, yaitu sebesar Rp 1.595.940.549,- dan pada tingkat MSY hanya sebesar Rp. 427.689.444,- Berkurangnya nilai rente ekonomi akan terus berlangsung hingga dicapai keuntungan normal yaitu pada saat tingkat upaya penangkapan yang dilakukan mencapai keseimbangan open access 0 = π. Jika terjadi peningkatan upaya penangkapan melebihi kondisi ini maka akan mengakibatkan kerugian bagi nelayan. Pada pengelolaan open access, meskipun total penerimaan semakin menurun, selagi total penerimaan masih lebih besar dari total biaya penangkapan rente ekonomi positif, maka kondisi ini akan tetap dijalankan oleh nelayan untuk bertahan dalam usaha penangkapan, dimana nelayan akan meningkatkan effort. Jika tingkat effort sudah berlebihan, sehingga total penerimaan lebih kecil dari total biaya penangkapan, maka sebagian pelaku perikanan keluar dari kegiatan penangkapan tersebut, yang berarti menurunkan effort. Dengan demikian titik keseimbangan open access terjadi pada saat total penerimaan sama dengan total biaya penangkapan atau rente ekonomi sama dengan nol. Diperolehnya keuntungan dalam pengelolaan sumberdaya menjadi pendorong bagi nelayan untuk mengembangkan armada penangkapan maupun upaya penangkapan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang harus lestari, walaupun rekruitmen oleh alam terus berjalan, namun effort yang meningkat tajam setiap tahunnya akan berimbas kepada produksi dan pendapatan nelayan itu sendiri. Untuk perairan yang sifatnya open access tidak ada batasan bagi nelayan untuk tetap memanfaatkan sumberdaya. Secara ekonomi pengusahaan sumberdaya pada kondisi open access tidak akan menguntungkan karena keuntungan komparatif sumberdaya terbagi habis. Akibat sifat sumberdaya yang open access maka nelayan cenderung mengembangkan jumlah armada penangkapan maupun tingkat upaya penangkapannya untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sebanyak-banyaknya, maka tidak efisien secara ekonomi karena keuntungan yang diperoleh lama kelamaan berkurang atau tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Oleh karena itu pengusahaan sumberdaya perlu dibatasi pada kondisi maximum economic yield atau terkendali agar dapat memberikan keuntungan yang maksimum dikarenakan upaya penangkapan yang terkendali sehingga total penerimaan yang diperoleh lebih besar dari pada total pengeluaran, oleh karena di Pelabuhanratu masih layak untuk dikembangkan upaya penangkapan ikan Cakalang namun sedapat mungkin tidak melebihi upaya penangkapan maximum economic yield agar rente ekonomi yang diterima optimum dan kelestarian sumberdaya perikanan cakalang tetap terjaga. Adanya keuntungan dalam pengelolaan sumberdaya menjadi pendorong bagi nelayan untuk mengembangkan armada penangkapan maupun upaya penangkapan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang harus lestari, walaupun rekruitmen oleh alam terus berjalan, namun effort yang meningkat tajam setiap tahunnya akan berimbas kepada produksi dan pendapatan nelayan itu sendiri. Palabuhanratu masih layak untuk dikembangkan upaya penangkapan ikan cakalang namun sedapat mungkin tidak melebihi upaya penangkapan maximum economic yield agar rente ekonomi yang diterima optimum dan kelestarian sumberdaya perikanan cakalang tetap terjaga.

4.2.5 Tingkat pemanfaatan

Selanjutnya, dengan diketahuinya nilai Maximum Economic Yield MEY cakalang diperairan Pelabuhanratu, maka tingkat pemanfatan cakalang pada tahun terakhir dapat diketahui. Berdasarkan perhitungan CYP Nilai MEY sebesar 240.380 kg dengan jumlah hasil tangkapan pada tahun terakhir 2011 sebesar 549.815 kg, maka tingkat pemanfaatan cakalang di perairan Pelabuhanratu sudah mencapai sebesar 129 .Hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk memanfaatkan sumberdaya cakalang sudah sulit untuk dikembangkan. Melihat tingkat pemanfaatan pada tahun terakhir yang sudah jauh di atas nilai optimum, maka untuk mengoptimumkan pemanfatan cakalang di perairan Pelabuhanratu dapat dilakukan dengan tidak menambah upaya penangkapan lagi, namun dengan cara meningkatkan efektifitas upaya penangkapan saat ini sehingga usaha perikanan cakalang minimal mampu mempertahankan trend produksi saat ini jika memang tidak lagi dapat dikembangkan. Satu hal yang perlu mendapat perhatian khusus adalah dari hasil perhitungan CYP menunjukkan bahwa produktifitas CPUE usaha penangkapan ikan cakalang di pelabuhanratu pada kondisi aktual telah melampaui produktifitas pada tingkat MSY. Artinya ada potensi kelebihan tangkap cakalang yang telah terjadi di Pelabuhanratu pada kurun waktu 2002 – 2011. Selanjutnya yang perlu dilakukan dan berhubungan erat dengan tingkat pemanfaatan adalah meningkatkan jumlah hasil tangkapan dengan meningkatkan produktifitas. Menurut Subani 1961 di dalam makalahnya menyebutkan bahwa berdasarkan hasil survei, masalah yang paling mendesak dalam perikanan cakalang adalah meningkatkan produktifitas. Salah satunya dapat dilakukan dengan memperluas daerah penangkapan. Selain itu peningkatan produksi juga tergantung dari keberhasilan operasi penangkapan ikannya. Selanjutnya dikatakan, faktor-faktor yang menentukan keberhasilan penangkapan cakalang antara lain adalah: 1. Ketersediaan dan spesies dari ikan umpan hidup; Stok ikan umpan hidup yang dibawa setiap kali beroperasi sangat menentukan hasil tangkapan pada hari itu. Semakin banyak ikan umpan hidup, biasanya semakin banyak pula hasil tangkapannya. 2. Kondisi cakalang; Cakalang yang lapar lebih agresif terhadap umpan hidup. Sebaliknya jika dalam keadaan kenyang mereka enggan memangsa ikan-ikan umpan hidup tersebut walaupun umpan hidupnya adalah makanan kesukaan mereka. 3. Keadaan alam; Gelombang yang besar, kabut dan cuaca yang mendung menghalangi pandangan mata nelayan terhadap kumpulan cakalang. 4. Keadaan ikan-ikan liar; Mendekatnya ikan-ikan liar seperti Hiu dan Lumba- lumba yang mana lebih besar ukurannya dibanding dengan cakalang membuat cakalang menjauhi ikan umpan hidup. 5. Jam penangkapan; Jam penangkapan yang terbaik untuk menangkap cakalang adalah antara pukul 6.00-10.00 dan pukul 16.00-18.00 WIB karena pada waktu tersebut menjadi waktu makan bagi ikan-ikan di laut tropis pada umumnya.

4.2.6 Optimasi Alokasi Penangkapan Ikan Cakalang

Penentuan Model goal programming yang digunakan dalam penelitian ini memiliki 3 tiga variabel keputusan dan tiga kendala tujuan goal constraints. Variabel keputusan yang dimaksud adalah jumlah unit penangkapan pancing tonda X1, jumlah unit penangkapan Gillnet X2 dan jumlah unit penangkapan Payang X3. Selanjutnya, ketiga kendala tujuan yang dimaksud adalah mengoptimalkan hasil tangkapan, mengendalikan jumlah hari operasi dan mengoptimalkan jumlah anak buah kapal. Menurut Siswanto 1993, model goal programming dikenal dua macam persamaan, yaitu: persamaan fungsi tujuan dan persamaan kendala-kendala tujuan. Dengan demikian persamaan dalam fungsi tujuan ditandai oleh kehadiran variabel deviasional dari kendala-kendala tujuan yang harus diminimumkan. Tentunya hal ini merupakan konsekuensi logis dari tujuan variabel deviasional di dalam fungsi kendala tujuan. Angka variabel deviasional ini digunakan dan bermanfaat untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian terhadap sasaran yang hendak dicapai. Oleh karena itu dalam model goal programming dikenal dua macam variabel deviasional, yaitu: variabel deviasional untuk menampung penyimpangan deviasi hasil penyelesaian di bawah sasaran DB dan variabel deviasional untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian di atas sasaran DA. Kehadiran variabel-variabel deviasional di dalam fungsi kendala tujuan ini akan mengubah makna kendala menjadi sarana untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang dikehendaki. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pengoptimasian alokasi armada penangkapan ikan cakalang adalah: 1. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang sesuai MEY, yang diformulasikan dalam bentuk persamaan sistematisnya adalah sebagai berikut: 3181X1+1419X2+438X3+DB1-DA1=536947 Nilai Koefesien X1, X2, X3 adalah nilai produktifitas pertahun untuk setiap jenis teknologi alat tangkap 2. Mengoptimalkan jumlah hari operasi sesuai penangkapan pada tingkat MEY, yang diformulasikan dalam bentuk persamaan sistematis sebagai berikut: 374X1+378X2+432X3+DB2-DA2=1095 Nilai Koefesien X1, X2, X3 adalah jumlah trip yang telah distandarisasi 3. Mengoptimalkan jumlah jumlah nelayan, yang diformulasikan dalam bentuk persamaan sistematis 12X1+1X2+2X3+DB3=282 Nilai Koefesien X1, X2, X3 adalah jumlah nelayan untuk setiap jenis alat tangkap