1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang- pasangan, Allah SWT menciptakan manusia agar dapat berkembang
biak dan
agar dapat
beregenerasi dari
generasi ke
generasi berikutnya.
1
Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT
dalam surat An-Nisaa ayat 1:
Artinya: “Hai sekalian manusia,bertakwalah bahwa kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari
padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduannya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan
yamg banyak .dan bertakwalah kamu kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta
satu
sama yang
lain, dan
peliharalah hubungan
silaturahim. Sesungguhnya
Allah selalu
menjaga dan
mengawasi kamu” QS. An-Nisa: 1
Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang paling mulia di antara makhluk makhluk yang lainya. Manusia dianugerahkan akal
dan fikiran untuk membedakan mana yang baik mana yang buruk, dan mana yang halal dan mana yang haram. Manusia terlahir membawa fitrah pada
dirinya, dimana salah satunya adalah memiliki kecenderungan dengan lawan
1
Abdul Rahman Gozaly, Fikih Munakahat, Jakarta: PT. kencana, 2003, cet. 1.h.,23.
2
jenisnya, yaitu nafsu dan syahwat. Nafsu dan syahwat ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena ia merupakan suatu kebutuhan
yang sifatnya naluri.
2
Allah SWT mensyaratkan pernikahan kepada hamba-hambaNya karena pernikahan itu merupakan amal ibadah kepadanya, bahkan Allah
memberikan motivasi kepada hamba- hambaNya yang sudah sanggup untuk melangsungkan pernikahan.
3
Seperti yang telah dijelaskan dalam firman Allah SWT, surat An-Nur ayat 32
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba- hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan.
jika mereka
miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha
Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui
.” QS. An-Nur: 32
Pernikahan adalah akad yang sangat kuat mitsaqan ghalidzan yang dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan perempuan
untuk membentuk
keluarga yang
pelaksanaanya didasarkan
pada kerelaan kedua belah pihak. Oleh karena itu, pernikahan bukanlah arti
kewajiban, melainkan hanya hubungan sosial kemanusiaan semata.
2
Sayyid Sabiq , Fikih Sunnah, Bandung: Al Maarif, 1994 ,cet. 9, Jilid 6. h.,153.
3
H. Penouh Dally, Pernikahan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1998, cet.1.h., 76.
3
Pernikahan akan bernilai ibadah, jika diniatkan untuk mencari ridha Allah SWT.
4
Pernikahan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.
Pernikahan merupakan cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk memperbanyak keturunan, berkembang biak, dan melestarikan
kelangsungan hidupnya setelah masing masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan.
Allah SWT
tidak menjadikan
manusia seperti
makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan
secara anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan
manusia, Allah
SWT mengadakan
hukuman sesuai
martabatnya, sehingga
hubungan antara
laki-laki dan
perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan
mengucapkan ijab kabul sebagai lambang adanya rasa ridha meridhai, dan dengan dihadiri dengan para saksi yang menyaksikan bahwa
pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Dengan perkawinan, manusia dapat memelihara keturunannya
dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput
yang dimakan
oleh binatang
ternak dengan
seenaknya. Pergaulan suami istri menurut ajaran islam diletakan di bawah naluri
keibuan dan kebapaan.
4
Muhammad Zain dkk, Membangun Keluarga Humanis, Jakarta: Graha Cipta, 2005, cet.1, h.,23.
4
Dalam hukum
Islam juga
ditetapkan untuk
kesejahteraan umat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Kesejahteraan
masyarakat akan tercapai dengan terciptanya kesejahteraan keluarga yang sejahtera, karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam
masyarakat, sehingga kesejahteraaan masyarakat sanggat tergantung kepada kesejahteraan keluarga.
Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar
terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui pernikahan, karena itu pernikahan sangat dianjurkan oleh Islam bagi orang yang
mempunyai kemampuan. Tujuan itu dinyatakan, baik dalam Al- Qur’an
maupun dalam sunnah.
5
Penjelasan di atas sudah cukup memberikan gambaran bahwa hendaknya
pernikahan tidak
ditunda-tunda atau
bahkan dilarang
denga n alasan di luar syar’i seperti yang terjadi dalam sebagian
lingkungan masyarakat atau beberapa adat istiadat yang tidak sesuai dengan tujuan pernikahan, seperti yang terjadi di masyarakat legok
kabupaten tangerang. Di masyarakat Legok ini terdapat adat bahwa seorang adik dilarang menikah terlebih dahulu sebelum kakaknya
menikah. Dalam masyarakat setempat pernikahan adalah suatu hal yang
sangat penting
dalam kehidupan
mereka, bahkan
hal tersebut
5
Muhammad Zain dkk, Membangun Keluarga Humanis, Jakarta: Graha Cipta, 2005, cet.1, h.,45.
5
dianggap suatu hal yang sangat sakral. Pernikahan dalam adat istiadat Sunda seperti yang berlaku di daerah legok ada dua macam yaitu :
pernikahan biasa dan pernikahan diam-diam. Istilah pernikahan diam- diam didalamnya juga terbagi beberapa macam yaitu : kawin gantung,
kawin sirri; kawin dengan pria pendatang; ditarik kawin; kawin tua sama tua; naik ranjang dan turun ranjang.
Dalam adat Sunda, dikenal suatu istilah menikah melangkahi kakak kandung ngarunghal. Pernikahan yang melangkahi kakak
kandungnya itu dipandang merupakan suatu perbuatan terlarang yang tidak baik dilakukan dalam keluarga, karena masih ada saudara yang
lebih tua di atasnya yaitu kakak nya sendiri. Larangan ini secara tidak langsung, merupakan penghalang
bagi seseorang untuk melangsungkan pernikahan, karena kakak atau orang tua mereka tidak akan memberikan izin. Kalau pun kemudian
diperbolehkan maka mereka di haruskan membayar uang pelangkah terlebih dahulu kepada kakak nya yang belum menikah, sehingga hal
tersebut menjadi beban dan terkadang ada yang mengurungkan niat nya untuk menikah.
Namun pada kenyataannya di desa legok masih diperdebatkan karena ada masyarakat yang masih berpegang teguh dengan hukum
adat yang berpendapat bahwa jika sang adik dalam pernikahan melangkahi kakaknya, maka ditakutkan si kakak akan mendapatkan
jodohnya dalam waktu yang sangat lama dan di tambah lagi akan
6
adanya musibah yang akan di dapatkan apabila melangkahi kakak
kandung.
Dalam lingkungan masyarakat desa Legok yang penulis teliti lihat masih kental berlaku adat istiadat memberi uang pelangkah yaitu
bila terjadi pernikahan melangkahi kakak kandung dan apabila ada adik laki-laki yang melangsungkan pernikahan dengan melangkahi
kakak nya
laki-laki ataupun
sebaliknya. Maka
diyakini akan
menimbulkan musibah yang akan menimpa keluarga tersebut bila tidak dilangsungkan terlebih dahulu upacara tradisi memberi uang
pelangkah. Dari permasalahan di atas maka timbul pertanyaan, bagaimana
jika seorang adik atau seseorang yang mempunyai pasangan dan ternyata pasangannya itu masih mempunyai seorang kakak yang
belum menikah, sedangkan yang bersangkutan memiliki keinginan untuk menikah tapi takut kalau tidak segera menikah maka ia akan
terjerumus pada perbuatan zina atau bahkan membawa dampak negatif dan cenderung mempersulit proses pernikahan.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis mengangkat
permasalahannya dalam
skripsi yang
diberi judul
“TRADISI PEMBAYARAN UANG PELANGKAH DALAM PERKAWINAN Studi Kasus di Desa Legok, Kecamatan Legok,
Kabupaten Tangerang.
7
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah